MAGISTER FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
2. Menurut Clough and Sears, 1994, Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu
pendekatan yang komprehensif untuk menangani semua kejadian yang
menimbulkan kerugian.
Dari beberapa definisi yang telang diungkapkan para ahli, dapat dapat diambil
kesimpulan bahwa resiko bisnis dapat menyebabkan kinerja perusahaan menjadi rendah,
resiko tersebut bisa timbul dari dalam perusahaan maupun pengaruh dari luar
perusahaan.Manajemen resiko adalah menyangkut identifikasi atas kemungkinan resiko
yang akan dihadapinya dan berusaha melakukan proteksi agar pengaruh resiko tersebut
dapat diminimalisasi, bahkan ditiadakan sama sekali.
Manfaat manajemen resiko bagi perusahaan maupun untuk pribadi perilaku, yaitu:
a. Pengendalian terhadap timbulnya adverse event
2) Pengendalian yang akan dilakukan agar faktor risiko tetap pada batas yang
masih dapat diterima.
Sejumlah langkah perlu dilakukan agar implementasi sistem manajemen risiko dapat
berjalan secara efektif pada sebuah organisasi. Langkah-langkah yang akan dilakukan
tergantung pada filosofi,budaya dan struktur dari organisasi tersebut.
4. Tinjauan Manajemen
Tinjauan sistem manajemen risiko pada tahap yang spesifik,harus dapat memastikan
kesesuaian kegiatan manajemen risiko yang sedang dilakukan dengan standar yang
digunakan dan dengan tahap-tahap berikutnya.
Manajemen risiko adalah bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen proses.
Manajemen risiko adalah bagian dari proses kegiatan didalam organisasi dan
pelaksananya terdiri dari mutlidisiplin keilmuan dan latar belakang,manajemen risiko
adalah proses yang berjalan terus menerus.
Elemen utama dari proses manajemen risiko,seperti yang terlihat pada gambar
meliputi:
Evaluasi risiko; Membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar.
Setelah itu tingkatan risiko yang ada untuk beberapa hazards dibuat tingkatan
prioritas manajemennya. Jika tingkat risiko ditetapkan rendah,maka risiko
tersebut masuk ke dalam kategori yang dapat diterima dan mungkin hanya
memerlukan pemantauan saja tanpa harus melakukan pengendalian.
Monitor dan Review; Monitor dan review terhadap hasil sistem manajemen risiko
yang dilakukan serta mengidentifikasi perubahan-perubahan yang perlu
dilakukan.
Komunikasi dan konsultasi; Komunikasi dan konsultasi dengan pengambil
keputusan internal dan eksternal untuk tindak lanjut dari hasil manajemen risiko
yang dilakukan.
Terdapat 4 model dalam identifikasi risiko, yaitu (1) Exposure analysis; (2)
Environmental analysis; (3) Threat scenario; (4) Brainstorming questions. Salah
satu model, yaitu exposure analysis, mencoba mengidentifikasi risiko dari
sumber daya organisasi yang meliputi financial assetsphysical assets seperti
tanah dan bangunan, human assets yang mencakup pengetahuan dan keahlian,
dan intangible assets seperti reputasi dan penguasaan informasi. Atas setiap
sumber daya yang dimiliki organisasi dilakukan penilaian risiko kehilangan dan
risiko penurunan. seperti kas dan simpanan di bank,
(4) Risk assessment (Penilaian risiko)
Komponen ini menilai sejauh mana dampak dari events (kejadian atau keadaan)
dapat mengganggu pencapaian dari objectives. Besarnya dampak dapat
diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat dianalisis dalam dua
perspektif, yaitu: likelihood (kecenderungan atau peluang) dan
impact/consequence (besaran dari terealisirnya risiko). Dengan demikian,
besarnya risiko atas setiap kegiatan organisasi merupakan perkalian antara
likelihood dan consequence.
Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik, yaitu: (1) qualitative techniques;
dan (2) quantitative techniques. Qualitative techniques menggunakan beberapa
tools seperti self-assessment (low, medium, high), questionnaires, dan internal
audit reviews. Sementara itu, quantitative techniques data berbentuk angka
yang diperoleh dari tools seperti probability based, non-probabilistic models
(optimalkan hanya asumsi consequence), dan benchmarking.
(4) budaya organisasi; (5) filosofi dan gaya kepemimpinan manajemen; (6)
struktur organisasi; dan (7) wewenang dan tanggung jawab.
Dalam tatanan klinis, ada 8 langkah yang bisa diaplikasikan sebagai upaya penerapan
manajemen resiko, yaitu :
a. Langkah 1 : Menetapkan konteks
Contoh : Dengan data banyaknya kejadian VAP di area kritis, maka perlu
dibuat protab untuk menekan angka kejadian VAP bagi pasien yang
terpasang ventilator.
2. Adanya risk criteria pada area kritis.
Contoh : ada laporan tentang kondisi pasien mulai dari masuk ruangan,
proses perawatan, sampai akhir proses perawatan dan pasien meninggalkan
ruangan tersebut.
b. Langkah 2 : Identifikasi bahaya
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
1. Adanya risiko K3 pada area keperawatan kritis.
Contoh : jika suatu rumah sakit belum memiliki oksigen sentral, maka perlu
diantisipasi adanya tabung oksigen yang jatuh dan bisa menimpa pasien.
2. Adanya registrasi risiko yang ada pada area keperawatan kritis
Risk register mencatat semua sumber bahaya, lokasi, tingkat risiko dan
rencana pengendaliannya. Contoh : pada kasus VAP, sumber bahaya bisa dari
pemakaian ventilator dalam jangka waktu lama, petugas kesehatan yang
tidak melakukan prosedur cuci tangan saat dan setelah melakukan intervensi
ke pasien, serta aktivitas lain yang bisa menjadi faktor risiko VAP, serta
rencana pengendaliannya harus dicatat dan perlu dijadikan suatu protab
yang harus dipatuhi oleh seluruh tenaga kesehatan yang ada pada area
keperawatan kritis.
c. Langkah 3 : Penilaian risiko
Penilaian dampak / akibat suatu insiden adalah seberapa berat akibat yang
dialami pasien mulai dari tidak ada cedera sampai meninggal. b.
Probabilitas / Frekuensi /Likelihood
Penilaian tingkat probabilitas / frekuensi risiko adalah seberapa seringnya
insiden tersebut terjadi.
Tabel 1 : Penilaian Dampak Klinis / Konsekuensi / Severity
Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat warna
yaitu : Biru, Hijau, Kuning dan Merah. Warna “bands” akan menentukan
Investigasi yang akan dilakukan : ƒ Bands BIRU dan HIJAU : Investigasi sederhana
Contoh : Pasien jatuh dari tempat tidur dan meninggal, kejadian seperti ini di RS
X terjadi pada 2 tahun yang lalu
Nilai dampak : 5 (katastropik ) karena pasien meninggal
Nilai probabilitas : 3 (mungkin terjadi) karena pernah terjadi 2 thn lalu
Skoring risiko : 5 x 3 = 15
Warna Bands : Merah (ekstrim)
Tabel 3 : Matrix Grading Risiko
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain adanya analisa secara kualitatif atau kuantitatif terhadap setiap risiko di area
keperawatan kritis
e. Langkah 5 : Pengendalian risiko
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
Misalnya : pada kasus VAP, angka kejadian VAP bisa ditekan dengan
melakukan tindakan pencegahan terhadap semua faktor risiko yang bisa
menyebabkan VAP, diantaranya : membuat protab cuci tangan yang benar,
teknik suctioning yang tepat, dll.
1. Proteksi akibat dari bahaya
2. Tanggap darurat
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
1. Adanya pola komunikasi semua risiko kepada pihak terkait.
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara lain
:
RSUD Tebing Tinggi Kabupaten Empat Lawang adalah rumah sakit tipe D dengan
kapasitas 57 tempat tidur, melayani pasien umum, jamsoskes dan BPJS. Pelayanan pasien
Jamsoskes yang merupakan kebijakan Gubernur Sumatera Selatan yang mana semua
penduduk yang domisili Sumatera Selatan mendapatkan pelayanan pengobatan gratis
pada fasilitas kesehatan pemerintah. Pelayanan pasien BPJS merupakan kelanjutan dari
sistem pelayanan pasien ASKES yang sudah dilaksanakan d RSUD Tebing tinggi sejak
bulan November 2012. Mulai tanggal 1 Januari 2014 sudah mengikuti kebijakan
pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan bagi pasien BPJS, yang merupakan
implementasi dari program pemerintah dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang
tertuang dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). BPJS sendiri merupakan peralihan
dari Askes sebagai penyelenggara untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Banyak
aturan-aturan dari Askes yang diambil sebagai aturan dari BPJS, sehingga di awal
penyelenggaraan, karena sudah terbiasa melayani pasien Askes, maka melayani pasien
BPJS pun tidak menemui kendala yang berarti.
Sebagai rumah sakit milik pemerintah daerah, tentu sistem pengelolaan dan
manajemen didasarkan pada standar pelayanan minimal dan prosedur tata ognasisai
daerah. Demikian halnya pada sistem pengelolaan di instalasi farmasi. Instalasi farmasi
merupakan instalasi Pelayanan Penunjang Medis, yang mana dalam peraturan tersebut
tugas instalasi farmasi adalah melaksanakan kegiatan peracikan, penyiapan dan
penyaluran obat- obatan, gas, medis, bahan kimia serta peralatan medis. Jadi kaitannya
dengan pelayanan pasien, bahwa sediaan farmasi dalam hal ini obat-obatan adalah hal
yang krusial dan harus disediakan.
Namun seiring berjalannya kegiatan pelayanan di RSUD Tebing Tinggi tidak lepas
dari berbagai permasalahan baik pelayanan pada konsumen maupun manajemen
internal rumah sakit. Instalasi farmasi yang merupakan titik akhir dan titik tolak dari
persediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit tidak luput dari permasalahan tersebut.
Kasus yang pernah terjadi di instalasi farmasi RSUD tebing tinggi kabupaten
Empat Lawang adalah terjadinya kesalahan pemberian obat di apotek rawat jalan
dikarenakan penulisan resep yang terbalik nama pasiennya. Pasien berasal dari poliklinik
penyakit dalam yang merupakan pasien “langganan” atau sudah sering berobat ke RS.
Pasien bernama saibani dan rafani. Pasien saibani membawa resep dengan nama rafani
sedangkan pasien rafani membawa resep dengan nama saibani. Namun pasien tidak
mengecek nama yang tercantum dalam resep dan langsung menuju apotek rawat jalan.
Pada saat pasien menyerahkan resep pada petugas penerima resep, kemudian di
cek sediaan, kekuatan dan jenis sediaan, dikerjakan etiket dan pengemasan sesuai
dengan yang diperintahkan dalam resep. Setelah obat siap diserahkan kepada pasien,
petugas penyerahan resep memanggil pasien yang bernama saibani. Petugas
memberikan konseling mengenai sediaan yang diterima pasien. Namun kemudian pasien
sedikit curiga dengan penjelasan yang diberikan petugas kepada beliau. Menurut pasien
bahwa obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita pasien.
Kesimpulannya, terjadi kesalahan pada penulisan nama pasien pada resep yang
dibawa pasien. Hal ini dimungkinkan dokter penulis resep kurang berkonsentrasi pada
saat pelayanan pasien atau nama pasien yang berdekatan pada saat pemeriksaan
sehingga rekam medisnya terbalik pengamatannya.
ANALISIS KASUS
a. Menetapkan konteks
Hal ini dibuat dokumentasi mengenai banyaknya kejadian kesalahan pemberian obat
pada pasien dikarenakan resep yang tertukar dan tidak disadari oleh pasien
b. Identifikasi bahaya
Dalam kasus ini, kejadian mungkin terjadi sewaktu-waktu karena kejadiannya dalam
setahun lebih dari 3 kejadian. Hal ini lebih banyak terjadi pada saat peak hour
sehingga memungkinkan petugas kurang berkonsentrasi dalam melayani pasien.
d. Pengukuran kualitatif konsekuensi / dampak
Tingkat Deskriptor Contoh
1 Tidak bermakna Tidak ada cedera, kerugian keuangan kecil
2 Rendah Pertolongan pertama dapat diatasi,
kerugian keuangan sedang
3 Menengah Memerlukan pengobatan medis, kerugian
keuaangan besar
4 Berat Cedera luas, kehilangan kemampuan produksi,
kerugian
5 Katastropik Kematian, kerugian keuangan sangat besar.
Dampak yang terjadi pada kasus tersebut berbobot nilai satu (1) yaitu tidak
bermakna karena petugas apotek segera meriscek resep pasien pada petugas poli
dan dokter penulis resep, sehingga pada saat pemberian ke pasien, kesalahan bisa
langsing diatasi.
Dampak
Mungkin sekali 4 8 12 16 20
Hampir pasti 5 10 15 20 25
Nilai :
1-3 4-6 8-12 15-25
Rendah Sedang Bermakna Tinggi
Error secara garis besar terbagi dua, yaitu: human error dan organizational error.
Human error sendiri dapat berasal dari 18ystem pasien dan 18ystem tenaga kesehatan.
Organizational error sendiri seringkali diistilahkan sebagai system error, atau dalam
konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit diistilahkan sebagai hospital error.
Dari kasus tersebut, kejadian yang sewaktu-waktu terjadi dan lebih dari 3
kejadian dalam setahun perlu dilakukan dokumentasi dan pengawasan serta
pengendalian. Pada kasus ini instalasi farmasi melakukan koordinasi dengan komite
medik dan memberi laporan lisan pada bidang pelayanan dan keperawaan yang
membawahi instalasi farmasi dan komite medik agar dapat diperbaiki. Kelalaian
semacam ini harus segera diantisipasi karen jika pasien saat itu tidak menyadari bahwa
obat yang diberikan tidak sesuai dengan penyakitnya, misalnya pasien yang tidak
memahami kondisi penyakitnya sendiri dan tidak diberikan informed consent oleh
dokter dan saat petugas apotek memberikan informasi namun kurang ditanggapi oleh
pasien atau bukan pasien yang mengambil obat namun keluarga pasien atau yang
disuruh oleh pasien yang mana tidak tmemahami kondisi penyakit bisa menjadi
kesalahan fatal dan berdampak fatal dan berakibat citra RS dipertaruhkan.
Namun, hasil koordinasi instalasi farmasi baru sebatas kebijakan lisan dan belum
dituangkan pada kebijakan tertulis dikarenakan pada struktur organisasi RSUD Tebing
Tinggi kabupaten Empat Lawang belum memiliki manajer pengendali mutu maupun
manajer Risiko dan pasien safety.
BAB III
KESIMPULAN
Idris, Fachmi Dr. dr. M.Kes. 2007. Manajemen Resiko Dalam Pelayanan Kesehatan: Konsep
Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat– Kedokteran
Komunitas (IKM/IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
http://fijaytrangki.blogspot.co.id/2014/09/penerapan-manajemen-risiko-dalam.html
http://ppnisardjito.blogspot.co.id/2013/11/prinsip-dasar-manajemen-risiko-risk.html
Peraturan presiden no 77 tahun 2015 bahwa pengaturan pedoman organisasi rumah sakit