Anda di halaman 1dari 21

See discussions,

MANAJEMEN RISIKO DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI


INSTALASI FARMASI RSUD TEBING TINGGI
KAB. EMPAT LAWANG

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Patient Safety

NAMA : Ika Pujiastuti Ismail


NIM : 260120150011
KONSENTRASI : Farmasi Rumah Sakit

MAGISTER FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN

Risiko merupakan bagian dari kehidupan manusia maupun perusahaan Sepanjang


manusia hidup, manusia akan selalu menghadapi risiko. Ketika kegagalan itu terjadi oleh
karena berbagai faktor yang menyebabkannya, bisa jadi kita akan mendapatkan risiko
kerugian baik materi maupun non materi dalam berbagai bentuknya. Agar resiko
kerugian yang diperoleh minimal, maka perlu dilakukan manajemen terhadap
kemungkinan terjadinya resiko yang lebih sesuai dengan manajemen risiko.

Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan


bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung upaya
kesehatan. Dalam menghadapi sistem pelayanan kesehatan tidak jauh dari resiko. Namun
bagaimana manajemen rumah sakit mengatasi resiko yang terjadi di rumah sakit dengan
membentuk manajemen resiko rumah sakit untuk menjamin keselmatan pasien maupun
pelanggan rumah sakit. Hal ini berkaitan dengan peraturan presiden no 77 tahun 2015
bahwa pengaturan pedoman organisasi rumah sakit bahwa keselamatan pasien
merupakan merupakan tugas dari pelayanan penunjang medis. Peraturan menteri
kesehatan Republik Indonesia nomor 1691/menkes/per/VIII/2011 tentang keselamatan
pasien rumah sakit, bahwa keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya
cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
BAB II
MANAJEMEN RISIKO

A. Definisi Manajemen Resiko

1. Menurut Smith, 1990 Manajemen Resiko didefinisikan sebagai proses identifikasi,


pengukuran, dan kontrol keuangan dari sebuah resiko yang mengancam aset dan
penghasilan dari sebuah perusahaan atau proyek yang dapat menimbulkan
kerusakan atau kerugian pada perusahaan tersebut.

2. Menurut Clough and Sears, 1994, Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu
pendekatan yang komprehensif untuk menangani semua kejadian yang
menimbulkan kerugian.

3. Menurut William, et.al.,1995,p.27 Manajemen risiko juga merupakan suatu


aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi, mengukur,
dan menangani sebab dan akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi.

4. Menurut Dorfman, 1998, p. 9 Manajemen risiko dikatakan sebagai suatu proses


logis dalam usahanya untuk memahami eksposur terhadap suatu kerugian.

Dari beberapa definisi yang telang diungkapkan para ahli, dapat dapat diambil
kesimpulan bahwa resiko bisnis dapat menyebabkan kinerja perusahaan menjadi rendah,
resiko tersebut bisa timbul dari dalam perusahaan maupun pengaruh dari luar
perusahaan.Manajemen resiko adalah menyangkut identifikasi atas kemungkinan resiko
yang akan dihadapinya dan berusaha melakukan proteksi agar pengaruh resiko tersebut
dapat diminimalisasi, bahkan ditiadakan sama sekali.
Manfaat manajemen resiko bagi perusahaan maupun untuk pribadi perilaku, yaitu:
a. Pengendalian terhadap timbulnya adverse event

b. Meningkatkan perilaku untuk mencari peluang perbaikan sebelum suatu masalah


terjadi
c. Meningkatkan perencanaan, kinerja, dan efektivitas
d. Efisiensi
e. Mempererat hubungan stakeholders
f. Meningkatkan tersedianya informasi yang akurat untuk pengambilan keputusan
g. Memperbaiki citra
h. Proteksi terhadap tuntutan
i. Akuntabilitas, jaminan, dan governance

j. Meningkatkan personal health and well being


Terdapat empat prasyarat utama manajemen resiko, yaitu:
1. Kebijakan Manajemen Risiko

Eksekutif organisasi harus dapat mendefinisikan dan membuktikan kebenaran dari


kebijakan manajemen risikonya,termasuk tujuannya untuk apa,dan komitmennya.
Kebijakan manjemen risiko harus relevan dengan konteks strategi dan tujuan
organisasi,objektif dan sesuai dengan sifat dasar bisnis (organisasi) tersebut.
Manejemen akan memastikan bahwa kebijakan tersebut dapat dimengerti,dapat
diimplementasikan di setiap tingkatan organisasi.
2. Perencanaan Dan Pengelolaan Hasil
a. Komitmen Manajemen;Organisasi harus dapat memastikan bahwa:

1) Sistem manejemen risiko telah dapat dilaksanakan,dan telah sesuai dengan


standar

2) Hasil/ performa dari sistem manajemen risiko dilaporkan ke manajemen


organisasi,agar dapat digunakan dalam meninjau (review) dan sebagai dasar
(acuan) dalam pengambilan keputusan.

b. Tanggung jawab dan kewenangan;Tanggung jawab,kekuasaan dan hubungan


antar anggota yang dapat menunjukkan dan membedakan fungsi kerja didalam
manajemen risiko harus terdokumentasikan khususnya untuk hal-hal sebagai
berikut:

1) Tindakan pencegahan atau pengurangan efek dari risiko.

2) Pengendalian yang akan dilakukan agar faktor risiko tetap pada batas yang
masih dapat diterima.

3) Pencatatan faktor-faktor yang berhubungan dengan kegiatan manajemen


risiko.
4) Rekomendasi solusi sesuai cara yang telah ditentukan.
5) Memeriksa validitas implementasi solusi yang ada.
6) Komunikasi dan konsultasi secara internal dan eksternal.

c. Sumber Daya Manusia;Organisasi harus dapat mengidentifikasikan persyaratan


kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan. Oleh karena itu untuk
meningkatkan kualifikasi SDM perlu untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang
relevan dengan pekerjaannya seperti pelatihan manajerial,dan lain sebagainya.
3. Implementasi Program

Sejumlah langkah perlu dilakukan agar implementasi sistem manajemen risiko dapat
berjalan secara efektif pada sebuah organisasi. Langkah-langkah yang akan dilakukan
tergantung pada filosofi,budaya dan struktur dari organisasi tersebut.
4. Tinjauan Manajemen

Tinjauan sistem manajemen risiko pada tahap yang spesifik,harus dapat memastikan
kesesuaian kegiatan manajemen risiko yang sedang dilakukan dengan standar yang
digunakan dan dengan tahap-tahap berikutnya.

Manajemen risiko adalah bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen proses.
Manajemen risiko adalah bagian dari proses kegiatan didalam organisasi dan
pelaksananya terdiri dari mutlidisiplin keilmuan dan latar belakang,manajemen risiko
adalah proses yang berjalan terus menerus.

Elemen utama dari proses manajemen risiko,seperti yang terlihat pada gambar
meliputi:

 Penetapan tujuan; Menetapkan strategi,kebijakan organisasi dan ruang lingkup


manajemen risiko yang akan dilakukan.

 Identifkasi risiko; Mengidentifikasi apa,mengapa dan bagaimana faktor-faktor


yang mempengaruhi terjadinya risiko untuk analisis lebih lanjut.

 Analisis risiko; Dilakukan dengan menentukan tingkatan probabilitas dan


konsekuensi yang akan terjadi. Kemudian ditentukan tingkatan risiko yang ada
dengan mengalikan kedua variabel tersebut (probabilitas X konsekuensi).

 Evaluasi risiko; Membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar.
Setelah itu tingkatan risiko yang ada untuk beberapa hazards dibuat tingkatan
prioritas manajemennya. Jika tingkat risiko ditetapkan rendah,maka risiko
tersebut masuk ke dalam kategori yang dapat diterima dan mungkin hanya
memerlukan pemantauan saja tanpa harus melakukan pengendalian.

 Pengendalian risiko; Melakukan penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi


yang ada dengan menggunakan berbagai alternatif metode,bisa dengan transfer
risiko,dan lain-lain.

 Monitor dan Review; Monitor dan review terhadap hasil sistem manajemen risiko
yang dilakukan serta mengidentifikasi perubahan-perubahan yang perlu
dilakukan.
 Komunikasi dan konsultasi; Komunikasi dan konsultasi dengan pengambil
keputusan internal dan eksternal untuk tindak lanjut dari hasil manajemen risiko
yang dilakukan.

B. PROSES MANAJEMEN RESIKO

Pemahaman risk management memungkinkan manajemen untuk terlibat


secara efektif dalam menghadapi uncertainty dengan risiko dan peluang yang
berhubungan dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan nilai
tambah. Menurut COSO, proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam 8
komponen (tahap)
(1) Internal environment (Lingkungan internal)

Komponen ini berkaitan dengan lingkungan dimana instansi Pemerintah berada


dan beroperasi. Cakupannya adalah risk-management philosophy (kultur
manajemen tentang risiko), integrity (integritas), risk-perspective (perspektif
terhadap risiko), risk-appetite (selera atau penerimaan terhadap risiko), ethical
values (nilai moral), struktur organisasi, dan pendelegasian wewenang.
(2) Objective setting (Penentuan tujuan)

Manajemen harus menetapkan objectives (tujuan-tujuan) dari organisasi agar


dapat mengidentifikasi, mengakses, dan mengelola risiko. Objective dapat
diklasifikasikan menjadi strategic objective dan activity objective. Strategic
objective di instansi Pemerintah berhubungan dengan pencapaian dan
peningkatan kinerja instansi dalam jangka menengah dan panjang, dan
merupakan implementasi dari visi dan misi instansi tersebut. Sementara itu,
activity objective dapat dipilah menjadi 3 kategori, yaitu (1) operations
objectives; (2) reporting objectives; dan (3) compliance objectives. Risk
tolerance dapat diartikan sebagai variation dalam pencapaian objective yang
dapat diterima oleh manajemen. Dalam penerapan pelayanan pajak modern
seperti pengiriman SPT WP secara elektronik, diperkirakan 80% Wajib Pajak
(WP) Besar akan mengimplementasikannya. Bila ditentukan risk tolerance
sebesar 10%, dalam hal 72% WP Besar telah melaksanakannya, berarti tujuan
penyediaan fasilitas tersebut telah terpenuhi. Disamping itu, terdapat pula
aktivitas suatu organisasi seperti peluncuran roket berawak dengan risk
tolerance adalah 0%.
(3) Event identification (Identifikasi risiko)

Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kejadian potensial baik yang terjadi di


lingkungan internal maupun eksternal organisasi yang mempengaruhi strategi
atau pencapaian tujuan dari organisasi. Kejadian tersebut bisa berdampak positif
(opportunities), namun dapat pula sebaliknya atau negative (risks).

Terdapat 4 model dalam identifikasi risiko, yaitu (1) Exposure analysis; (2)
Environmental analysis; (3) Threat scenario; (4) Brainstorming questions. Salah
satu model, yaitu exposure analysis, mencoba mengidentifikasi risiko dari
sumber daya organisasi yang meliputi financial assetsphysical assets seperti
tanah dan bangunan, human assets yang mencakup pengetahuan dan keahlian,
dan intangible assets seperti reputasi dan penguasaan informasi. Atas setiap
sumber daya yang dimiliki organisasi dilakukan penilaian risiko kehilangan dan
risiko penurunan. seperti kas dan simpanan di bank,
(4) Risk assessment (Penilaian risiko)

Komponen ini menilai sejauh mana dampak dari events (kejadian atau keadaan)
dapat mengganggu pencapaian dari objectives. Besarnya dampak dapat
diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat dianalisis dalam dua
perspektif, yaitu: likelihood (kecenderungan atau peluang) dan
impact/consequence (besaran dari terealisirnya risiko). Dengan demikian,
besarnya risiko atas setiap kegiatan organisasi merupakan perkalian antara
likelihood dan consequence.

Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik, yaitu: (1) qualitative techniques;
dan (2) quantitative techniques. Qualitative techniques menggunakan beberapa
tools seperti self-assessment (low, medium, high), questionnaires, dan internal
audit reviews. Sementara itu, quantitative techniques data berbentuk angka
yang diperoleh dari tools seperti probability based, non-probabilistic models
(optimalkan hanya asumsi consequence), dan benchmarking.

Yang perlu dicermati adalah events relationships atau hubungan antar


kejadian/keadaan. Events yang terpisah mungkin memiliki risiko kecil. Namun,
bila digabungkan bisa menjadi signifikan. Demikian pula, risiko yang
mempengaruhi banyak business units perlu dikelompokkan dalam common
event categories, dan dinilai secara aggregate.
(5) Risk response (Sikap atas risiko)
Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian risiko. Risk response dari
organisasi dapat berupa: (1) avoidance, yaitu dihentikannya aktivitas atau
pelayanan yang menyebabkan risiko; (2) reduction, yaitu mengambil langkah-
langkah mengurangi likelihood atau impact dari risiko; (3) sharing, yaitu
mengalihkan atau menanggung bersama risiko atau sebagian dari risiko dengan
pihak lain; (4) acceptance, yaitu menerima risiko yang terjadi (biasanya risiko
yang kecil), dan tidak ada upaya khusus yang dilakukan.

Dalam memilih sikap (response), perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti


pengaruh tiap response terhadap risk likelihood dan impact, response yang
optimal sehingga bersinergi dengan pemenuhan risk appetite and tolerances,
analis cost versus benefits, dan kemungkinan peluang (opportunities) yang
dapat timbul dari setiap risk response.
(6) Control activities (Aktifitas-aktifitas pengendalian)

Komponen ini berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan (policies) dan


prosedur-prosedur untuk menjamin risk response terlaksana dengan efektif.
Aktifitas pengendalian memerlukan lingkungan pengendalian yang meliputi: (1)
integritas dan nilai etika; (2) kompetensi; (3) kebijakan dan praktik-praktik SDM;

(4) budaya organisasi; (5) filosofi dan gaya kepemimpinan manajemen; (6)
struktur organisasi; dan (7) wewenang dan tanggung jawab.

Dari pemahaman atas lingkungan pengendalian, dapat ditentukan jenis dan


aktifitas pengendalian. Terdapat beberapa jenis pengendalian, diantaranya
adalah preventive, detective, corrective, dan directive. Sementara aktifitas
pengendalian berupa: (1) pembuatan kebijakan dan prosedur; (2) pengamanan
kekayaan organisasi; (3) delegasi wewenang dan pemisahan fungsi; dan (4)
supervisi atasan. Aktifitas pengendalian hendaknya terintegrasi dengan
manajemen risiko sehingga pengalokasian sumber daya yang dimiliki organisasi
dapat menjadi optimal.
(7) Information and communication (Informasi dan komunikasi)

Fokus dari komponen ini adalah menyampaikan informasi yang relevan


kepada pihak terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-faktor yang
perlu diperhatikan dalam penyampaiaan informasi dan komunikasi adalah
kualitas informasi, arah komunikasi, dan alat komunikasi.

Informasi yang disajikan tergantung dari kualitas informasi yang ingin


disampaikan, dan kualitas informasi dapat dipilah menjadi: (1) appropriate; (2)
timely; (3) current; (4) accurate; dan (5) accessible. Arah komunikasi dapat
bersifat internal dan eksternal. Sedangkan alat komunikasi berupa diantaranya
manual, memo, buletin, dan pesan-pesan melalui media elektronis.
(8) Monitoring

Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus (ongoing)


maupun terpisah (separate evaluation). Aktifitas monitoring ongoing tercermin
pada aktivitas supervisi, rekonsiliasi, dan aktivitas rutin lainnya.

Monitoring terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu


(kasuistis). Pada monitoring ini ditentukan scope tugas, frekuensi, proses
evaluasi metodologi, dokumentasi, dan action plan.

Pada proses monitoring, perlu dicermati adanya kendala seperti reporting


deficiencies, yaitu pelaporan yang tidak lengkap atau bahkan berlebihan (tidak
relevan). Kendala ini timbul dari berbagai faktor seperti sumber informasi,
materi pelaporan, pihak yang disampaikan laporan, dan arahan bagi pelaporan.

C. Penerapan Manajemen Risiko Dalam Tatanan Klinis

Dalam tatanan klinis, ada 8 langkah yang bisa diaplikasikan sebagai upaya penerapan
manajemen resiko, yaitu :
a. Langkah 1 : Menetapkan konteks

Konteks merupakan dasar/pijakan bagi proses manajemen risiko selanjutnya.


Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
1. Adanya konteks manajemen risiko pada area kritis.

Contoh : Dengan data banyaknya kejadian VAP di area kritis, maka perlu
dibuat protab untuk menekan angka kejadian VAP bagi pasien yang
terpasang ventilator.
2. Adanya risk criteria pada area kritis.

Contoh : dengan membuat peta 10 besar penyakit yang sering dirawat di


area keperawatan kritis.

3. Adanya peta risiko korporat di area kepereawatan kritis (gunakan


pendekatan masukan, proses, keluaran).

Contoh : ada laporan tentang kondisi pasien mulai dari masuk ruangan,
proses perawatan, sampai akhir proses perawatan dan pasien meninggalkan
ruangan tersebut.
b. Langkah 2 : Identifikasi bahaya

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
1. Adanya risiko K3 pada area keperawatan kritis.

Contoh : jika suatu rumah sakit belum memiliki oksigen sentral, maka perlu
diantisipasi adanya tabung oksigen yang jatuh dan bisa menimpa pasien.
2. Adanya registrasi risiko yang ada pada area keperawatan kritis

Risk register mencatat semua sumber bahaya, lokasi, tingkat risiko dan
rencana pengendaliannya. Contoh : pada kasus VAP, sumber bahaya bisa dari
pemakaian ventilator dalam jangka waktu lama, petugas kesehatan yang
tidak melakukan prosedur cuci tangan saat dan setelah melakukan intervensi
ke pasien, serta aktivitas lain yang bisa menjadi faktor risiko VAP, serta
rencana pengendaliannya harus dicatat dan perlu dijadikan suatu protab
yang harus dipatuhi oleh seluruh tenaga kesehatan yang ada pada area
keperawatan kritis.
c. Langkah 3 : Penilaian risiko

Penilaian risiko merupakan proses menganalisa tingkat resiko, pertimbangan


tingkat bahaya, dan mengevaluasi apakah sumber bahaya dapat dikendalikan
atau tidak, dengan memperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi.
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
1. Adanya penilaian risiko untuk setiap bahaya yang ada.
2. Terdapat risk matrix.

Untuk mengidetifikasi potensi kerugian gunakan tabel matriks kualitatif.


Menentukan Nilai probabilitas kerugian menggunakan 3 kategori: Critical,
Very Serious and Less Serious.
Analisa matrik grading risiko (KKP-RS, 2008) :

Penilaian matriks risiko adalah suatu metode analisa kualitatif untuk


menentukan derajat risiko suatu insiden berdasarkan dampak dan
probabilitasnya.
a. Dampak (Consequences)

Penilaian dampak / akibat suatu insiden adalah seberapa berat akibat yang
dialami pasien mulai dari tidak ada cedera sampai meninggal. b.
Probabilitas / Frekuensi /Likelihood
Penilaian tingkat probabilitas / frekuensi risiko adalah seberapa seringnya
insiden tersebut terjadi.
Tabel 1 : Penilaian Dampak Klinis / Konsekuensi / Severity

Tabel 2 : Penilaian Probabilitas / Frekuensi

Setelah nilai dampak dan probabilitas diketahui, dimasukkan dalam Tabel


Matriks Grading Risiko untuk menghitung skor risiko dan mencari warna bands
risiko.
a. SKOR RISIKO

Cara menghitung skor risiko :


Untuk menentukan skor risiko digunakan matriks grading risiko (tabel 3) :
1. Tetapkan frekuensi pada kolom kiri
2. Tetapkan dampak pada baris ke arah kanan,

3. Tetapkan warna bandsnya, berdasarkan pertemuan antara frekuensi dan


dampak.
b. BANDS RISIKO

Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat warna
yaitu : Biru, Hijau, Kuning dan Merah. Warna “bands” akan menentukan
Investigasi yang akan dilakukan : ƒ Bands BIRU dan HIJAU : Investigasi sederhana

ƒ Bands KUNING dan MERAH : Investigasi Komprehensif / RCA


dan b

Contoh : Pasien jatuh dari tempat tidur dan meninggal, kejadian seperti ini di RS
X terjadi pada 2 tahun yang lalu
Nilai dampak : 5 (katastropik ) karena pasien meninggal
Nilai probabilitas : 3 (mungkin terjadi) karena pernah terjadi 2 thn lalu
Skoring risiko : 5 x 3 = 15
Warna Bands : Merah (ekstrim)
Tabel 3 : Matrix Grading Risiko

Tabel 4 : Tindakan sesuai Tingkat ands risiko

3. Adanya risk profile atau risk mapping.


Misalnya : di ruang ICU harus ada pemetaan jenis kuman yang berkembang
d. Langkah 4 : Analisa risiko

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain adanya analisa secara kualitatif atau kuantitatif terhadap setiap risiko di area
keperawatan kritis
e. Langkah 5 : Pengendalian risiko

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :

Adanya langkah pengendalian sampai risiko mencapai batas yang dapat


diterima. Langkah pengendalian risiko merupakan eliminasi bahaya dengan
desain dan metode penilaian resiko yang sesuai. Semua resiko harus dikurangi
ke arah tingkat As Low As Reasonable Practical (ALARP).
Langkah pengendalian risiko yang bisa diterapkan dalam area keperawatan kritis
diantaranya :
1. Pencegahan pada sumbernya

Misalnya : pada kasus VAP, angka kejadian VAP bisa ditekan dengan
melakukan tindakan pencegahan terhadap semua faktor risiko yang bisa
menyebabkan VAP, diantaranya : membuat protab cuci tangan yang benar,
teknik suctioning yang tepat, dll.
1. Proteksi akibat dari bahaya
2. Tanggap darurat

3. Belajar dari kasus sebelumnya


f. Langkah 6 : Komunikasi risiko

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara
lain :
1. Adanya pola komunikasi semua risiko kepada pihak terkait.

2. Adanya media untuk menyebarkan hasil ke seluruh pihak terkait dengan


kegiatan
g. Langkah 7 : Dokumentasi manajemen risiko

Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area keperawatan kritis antara lain
:

1. Adanya dokumen semua program manajemen risiko.


Misalnya : adanya pelaporan untuk setiap angka kejadian VAP.

2. Adanya dokumen hasil identifikasi bahaya, penilaian, dan pengendalian yang


dilakukan
h. Langkah 8 : Implementasi manajemen risiko
Contoh program yang bisa dilakukan di area keperawatan kritis antara lain :

1. Implementasikan semua hasil pengendalian risiko dalam setiap tahapan


aktivitas.
2. Adanya program pengendalian risiko dalam rencana kerja
BAB III
CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN

RSUD Tebing Tinggi Kabupaten Empat Lawang adalah rumah sakit tipe D dengan
kapasitas 57 tempat tidur, melayani pasien umum, jamsoskes dan BPJS. Pelayanan pasien
Jamsoskes yang merupakan kebijakan Gubernur Sumatera Selatan yang mana semua
penduduk yang domisili Sumatera Selatan mendapatkan pelayanan pengobatan gratis
pada fasilitas kesehatan pemerintah. Pelayanan pasien BPJS merupakan kelanjutan dari
sistem pelayanan pasien ASKES yang sudah dilaksanakan d RSUD Tebing tinggi sejak
bulan November 2012. Mulai tanggal 1 Januari 2014 sudah mengikuti kebijakan
pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan bagi pasien BPJS, yang merupakan
implementasi dari program pemerintah dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang
tertuang dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). BPJS sendiri merupakan peralihan
dari Askes sebagai penyelenggara untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Banyak
aturan-aturan dari Askes yang diambil sebagai aturan dari BPJS, sehingga di awal
penyelenggaraan, karena sudah terbiasa melayani pasien Askes, maka melayani pasien
BPJS pun tidak menemui kendala yang berarti.

Sebagai rumah sakit milik pemerintah daerah, tentu sistem pengelolaan dan
manajemen didasarkan pada standar pelayanan minimal dan prosedur tata ognasisai
daerah. Demikian halnya pada sistem pengelolaan di instalasi farmasi. Instalasi farmasi
merupakan instalasi Pelayanan Penunjang Medis, yang mana dalam peraturan tersebut
tugas instalasi farmasi adalah melaksanakan kegiatan peracikan, penyiapan dan
penyaluran obat- obatan, gas, medis, bahan kimia serta peralatan medis. Jadi kaitannya
dengan pelayanan pasien, bahwa sediaan farmasi dalam hal ini obat-obatan adalah hal
yang krusial dan harus disediakan.

Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk


mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait Obat. Tuntutan pasien
dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya
perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi
Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).

Namun seiring berjalannya kegiatan pelayanan di RSUD Tebing Tinggi tidak lepas
dari berbagai permasalahan baik pelayanan pada konsumen maupun manajemen
internal rumah sakit. Instalasi farmasi yang merupakan titik akhir dan titik tolak dari
persediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit tidak luput dari permasalahan tersebut.

Kasus yang pernah terjadi di instalasi farmasi RSUD tebing tinggi kabupaten
Empat Lawang adalah terjadinya kesalahan pemberian obat di apotek rawat jalan
dikarenakan penulisan resep yang terbalik nama pasiennya. Pasien berasal dari poliklinik
penyakit dalam yang merupakan pasien “langganan” atau sudah sering berobat ke RS.
Pasien bernama saibani dan rafani. Pasien saibani membawa resep dengan nama rafani
sedangkan pasien rafani membawa resep dengan nama saibani. Namun pasien tidak
mengecek nama yang tercantum dalam resep dan langsung menuju apotek rawat jalan.

Pada saat pasien menyerahkan resep pada petugas penerima resep, kemudian di
cek sediaan, kekuatan dan jenis sediaan, dikerjakan etiket dan pengemasan sesuai
dengan yang diperintahkan dalam resep. Setelah obat siap diserahkan kepada pasien,
petugas penyerahan resep memanggil pasien yang bernama saibani. Petugas
memberikan konseling mengenai sediaan yang diterima pasien. Namun kemudian pasien
sedikit curiga dengan penjelasan yang diberikan petugas kepada beliau. Menurut pasien
bahwa obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita pasien.

Petugas kemudian segera meriscek resep pasien saibani kemudian berkonsultasi


dengan bagian poli rawat jalan penyakit dalam. Dari hasil cek dan riscek ternyata dokter
salah menuliskan resep pada pasien saibani. Jenis obat yang diresepkan untuk pasien
saibani tertukar dengan jenis obat yang tertulis pada pasien rafani. Jadi pasien saibani
sesungguhnya membawa resep obatnya sendiri sesuai dengan penyakitnya namun
dalam resep yang dibawanya tertulis nama rafani, sedangkan rafani memang benar
membawa resep obatnya sendiri sesuai dengan penyakitnya namun dalam resep yang
dibawanya bertuliskan saibani. Jadi pada saat di panngil nama saibani saat penyerahan
obat tentu saja pasien saibani yang datang namun tidak sesuai obatnya dengan kondisi
penyakitnya.

Kesimpulannya, terjadi kesalahan pada penulisan nama pasien pada resep yang
dibawa pasien. Hal ini dimungkinkan dokter penulis resep kurang berkonsentrasi pada
saat pelayanan pasien atau nama pasien yang berdekatan pada saat pemeriksaan
sehingga rekam medisnya terbalik pengamatannya.
ANALISIS KASUS
a. Menetapkan konteks

Hal ini dibuat dokumentasi mengenai banyaknya kejadian kesalahan pemberian obat
pada pasien dikarenakan resep yang tertukar dan tidak disadari oleh pasien
b. Identifikasi bahaya

Sejauh mana bahaya terhadap kejadian kesalahan pemberian obat terhadap


pelayanan pasien dan berdasar pada resep pasien sehingga perlu koordinasi dengan
dokter penulis resep maupun petugas di poli rawat jalan, rawat inap maupun UGG.
c. Pengukuran Kualitatif Frekuensi/ Kemungkinan (likehood)

Setelah seluruh resiko diidentifikasi maka dilakukan pengukuran tingkat


kemungkinan dan dampak resiko. Pengukuran resiko dilakukan setelah
mempertimbangkan pengendalian resiko yang ada. Pengukuran resiko dilakukan
menggunakan criteria pengukuran resiko secara kualitatif, semi kualitatif, atau
kuantitatif tergantung pada ketersediaan data tingkat kejadian peristiwa dan
dampak kerugian yang ditimbulkannya. Pada kasus salah memberikan obat pada
pasien, maka pengukuran kualitatif frekuensi/kemungkinan (likehood) adalah
sebagai berikut :
Kemungkinan Deskripsi Nilai
Jarang Terjadi pada keadaan khusus 1
Kadang-kadang (Unlikely) Dapat terjadi sewaktu-sewaktu 2
Mungkin (Possible) Mungin terjadi sewaktu-waktu 3
Mungkin sekali (likely) Mungkin terjadi pada banyak keadaan tapi 4
tidak menetap
Hampir pasti (almost certain) Dapat terjadi pada tiap keadaan dan 5
menetap

Dalam kasus ini, kejadian mungkin terjadi sewaktu-waktu karena kejadiannya dalam
setahun lebih dari 3 kejadian. Hal ini lebih banyak terjadi pada saat peak hour
sehingga memungkinkan petugas kurang berkonsentrasi dalam melayani pasien.
d. Pengukuran kualitatif konsekuensi / dampak
Tingkat Deskriptor Contoh
1 Tidak bermakna Tidak ada cedera, kerugian keuangan kecil
2 Rendah Pertolongan pertama dapat diatasi,
kerugian keuangan sedang
3 Menengah Memerlukan pengobatan medis, kerugian
keuaangan besar
4 Berat Cedera luas, kehilangan kemampuan produksi,
kerugian
5 Katastropik Kematian, kerugian keuangan sangat besar.

Dampak yang terjadi pada kasus tersebut berbobot nilai satu (1) yaitu tidak
bermakna karena petugas apotek segera meriscek resep pasien pada petugas poli
dan dokter penulis resep, sehingga pada saat pemberian ke pasien, kesalahan bisa
langsing diatasi.
Dampak

Kemungkinan Sangat Rendah Sedang Besar Ekstrim


(likehood) rendah
Jarang 1 2 3 4 5
Kadang-kadang 2 4 6 8 10
Mungkin 3 6 9 12 15

Mungkin sekali 4 8 12 16 20
Hampir pasti 5 10 15 20 25

Nilai :
1-3 4-6 8-12 15-25
Rendah Sedang Bermakna Tinggi

Skor risiko yang dapat dihitung:


Bobot likehood = 3
Bobot dampak = 1
Bobot total penilaian adalah berada di kolom hijau yaitu rendah.
e. Mengevaluasi resiko

Evaluasi resiko perlu dilakukan setelah diukur tingkat kemungkinan dan


bagaimana dampaknya. Apakah resiko masih dapat ditoleransi atau diterima atau
tidak dan apakah resiko termasuk prioritas yang harus ditangani sesegera mungkin.

Dari kasus ini, pemberian konseling/informasi obat dan informed consent


petugas apotek pada pasien guna mengecek informed consent yang di berikan
dokter sangat penting dilakukan sehingga terjadi kecocokan. Selain diperlukan
ketelitian dan dalam penyerahan obat pada pasien berdasarkan resep, sehingga jika
terjadi kesalahan penulisan resep dapat segera ditangani.
f. Menangani resiko

Dalam kasus ini, penanganan resiko adalah dengan melakukan cross-check


dengan segera agar masalah dapat segera teratasi dan tidak menganggu pelayanan
pasien yang lain. Pengendalian bersama petugas medis yang lain dari poli rawat
jalan, zaal rawat inap dan UGDyang terintegrasi agar kasus ini dapat ditekan
kejadiannya atau bahkan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Salah satu
pengendaliannya adalah dengan menganalisa beban kerja petugas dengan
pelayanan yang diberikan agar walaupun pada saat peak hour tetap dapat
berkonsentrasi dan maksimal dalam melakukan pelayanan.
g. Memantau resiko

Dalam kasus ini memantau resiko dengan melakukan cross-check terhadap


sediaan obat dengan pasien apakah sesuai dengan keluhan pasien atau tidak. Jika
ada nama pasien yang mirip perlu dilakukan cross-check dengan petugas poli rawat
jalan.
h. Mengkomunikasikan risiko

Mengkomunikasikan resiko dapat dilakukan pada pejabat yang berwenang


dalam manajemen RS dan di teruskan pada petugas rumah sakit. Hal ini dilakukan
agar setiap petugas memiliki rasa tanggung jawab pada pekerjaannya dan
memahami bahwa jika terjadi kesalahan serupa maka yang dirugikan bukan hanya
pasien eksternal namun juga manajemen RS.

Error secara garis besar terbagi dua, yaitu: human error dan organizational error.
Human error sendiri dapat berasal dari 18ystem pasien dan 18ystem tenaga kesehatan.
Organizational error sendiri seringkali diistilahkan sebagai system error, atau dalam
konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit diistilahkan sebagai hospital error.

Dari kasus tersebut, kejadian yang sewaktu-waktu terjadi dan lebih dari 3
kejadian dalam setahun perlu dilakukan dokumentasi dan pengawasan serta
pengendalian. Pada kasus ini instalasi farmasi melakukan koordinasi dengan komite
medik dan memberi laporan lisan pada bidang pelayanan dan keperawaan yang
membawahi instalasi farmasi dan komite medik agar dapat diperbaiki. Kelalaian
semacam ini harus segera diantisipasi karen jika pasien saat itu tidak menyadari bahwa
obat yang diberikan tidak sesuai dengan penyakitnya, misalnya pasien yang tidak
memahami kondisi penyakitnya sendiri dan tidak diberikan informed consent oleh
dokter dan saat petugas apotek memberikan informasi namun kurang ditanggapi oleh
pasien atau bukan pasien yang mengambil obat namun keluarga pasien atau yang
disuruh oleh pasien yang mana tidak tmemahami kondisi penyakit bisa menjadi
kesalahan fatal dan berdampak fatal dan berakibat citra RS dipertaruhkan.

Namun, hasil koordinasi instalasi farmasi baru sebatas kebijakan lisan dan belum
dituangkan pada kebijakan tertulis dikarenakan pada struktur organisasi RSUD Tebing
Tinggi kabupaten Empat Lawang belum memiliki manajer pengendali mutu maupun
manajer Risiko dan pasien safety.
BAB III
KESIMPULAN

Manajemen Resiko dalam Pelayanan Kesehatan perlu dilakukan guna


meminimalisir kejadian tak diharapkan (KTD) dalam rumah sakit yang kejadiannya dapat
menjadikan beban berat jika tidak segera ditangani. Resiko tersebut perlu dianalisis dan
dilakukan pengatasan guna pelayanan yang lebih bermutu. Dalam pencegahan
menempatkan resiko KTD secara prorposional beberapa pendekatan dapat dilakukan
pada sumber penyebab itu sendiri, baik pada 20sistem manusianya (pasien dan tenaga
kesehatannya), maupun dari sisi organisasinya. Dari sisi organisasi, konsep intervensi
organisasi-pendekatan pada 20sistem (sarana) pelayanan kesehatan memerlukan
penanganan khusus namun akan jauh lebih antisipatif dalam mengelola resiko
kemungkinan terjadinya KTD. Sistem analisis resiko dapat dilakukan dari sisi man,
metode, pendanaan, sarana dan prasarana, kebijakan, dan standar operasional.

Perlunya komunikasi, kolaborasi, monitoring dan konsolidasi dalam mencegah


terjadinya resiko kembali juga perlu dilakukan sebagai bahan evaluasi apakah standar
sudah berjalan dangan baik. Namun di banyak hal, peran manusia perlu di perhatikan
lebih utama karena sagala bentuk pelayan faktor manusia memiliki peran penting.
DAFTAR PUSTAKA

Idris, Fachmi Dr. dr. M.Kes. 2007. Manajemen Resiko Dalam Pelayanan Kesehatan: Konsep
Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat– Kedokteran
Komunitas (IKM/IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Komite Keselamatan Rumah Sakit. 2007. Meningkatkan Kepercayaan Dengan Patient


Safety. http://www.inapatsafety-persi.or.id

http://fijaytrangki.blogspot.co.id/2014/09/penerapan-manajemen-risiko-dalam.html

http://ppnisardjito.blogspot.co.id/2013/11/prinsip-dasar-manajemen-risiko-risk.html

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011


Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Peraturan presiden no 77 tahun 2015 bahwa pengaturan pedoman organisasi rumah sakit

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai