Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada umumnya, undang- undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar
pelaksanaan dari keseluruhan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan. “Legal
policy” yang dituang dalam undang-undang, menjadi sebuah sarana rekayasa sosial,
yang membuat kebijaksanaan yang hendak dicapai pemerintah, untuk mengarahkan
masyarakat menerima nilai-nilai baru.

Dalam negara yang berdasarkan atas hukum modern ( verzorgingsstaat ). Tujuan


utama dari pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi
norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang telah mengendap dalam masyarakat,
akan tetapi tujuan utama pembentukan undang-undang itu adalah menciptakan
modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan didasarkan


pada pemikiran bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara
hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemayarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan
sistem hukum nasional.

Pembentukan undang-undang adalah bagian aktivitas dalam mengatur masyarakat,


yang terdiri dari gabungan individu-individu manusia dengan segala dimensinya.
Merancang dan membentuk undang-undang yang dapat diterima masyarakat luas,
merupakan pekerjaan yang sulit. Kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa kegiatan
pembentukan undang-undang adalah suatu bentuk komunikasi, antara lembaga
pemegang kekuasaan legislatif dengan masyarakat dalam suatu negara.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis terdorong menggali lebih dalam mengenai
Pembentukan Undang-Undang.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan Latar Belakang diatas, masalah yang dapat diuraikan maka


diajukan rumusan masalah sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana alur dan rancangan dari Pembentukan Undang-


Undang?
1.2.2 Bagaimana asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
yang baik?

1.3. TUJUAN PENULISAN


1. Mengetahui Proses dan Tahap pembentukan Rancangan Undang-
Undang.
2. Mengetahui Bagaimana Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik dalam Proses Penyiapan RUU yang akan dibuat.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Rancangan Undang-Undang (RUU)
Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula
dari perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses tersebut
dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif
(Presiden beserta jajaran kementriannya) dan legislatif (DPR).
Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala prioritas program
pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang
integralistik, baik dalam konteks pembentukan UU maupun peraturan di bawah UU.
Penyusunan daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas didasarkan atas:
a. Perintah UUD NKRI Tahun 1945;
b. Perintah Ketetapan MPR;
c. Perintah UU lainya;
d. Sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f. Rencana pembangunan jangka menegah;
g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;
h. Rencana pembangunan jangka panjang nasional
2.2. Alur dan Rancangan Pembentukan Undang-Undang
Undang-undang (UU) adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta, untuk UU tertentu, melibatkan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Secara garis besar proses pembentukan undang-undang
terbagi menjadi 5 (lima) tahap, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan dan pengundangan.
2.2.1. Perencanaan
Perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden (serta
DPD terkait RUU tertentu) menyusun daftar RUU yang akan disusun ke
depan. Proses ini umumnya kenal dengan istilah penyusunan Program
Legislasi Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan tersebut kemudian
dituangkan dalam Keputusan DPR.
Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang disusun untuk jangka
waktu 5 tahun (Prolegnas Jangka Menengah ProlegJM) dan tahunan
(Prolegnas Prioritas Tahunan / ProlegPT). Sebelum sebuah RUU dapat
masuk dalam Prolegnas tahunan, DPR dan/Pemerintah sudah harus
menyusun terlebih dahulu Naskah Akademik dan RUU tersebut.
Namun Prolegnas bukanlah satu-satunya acuan dalam
perencanaan pembentukan UU. Dimungkinkan adanya pembahasan atas
3
RUU yang tidak terdapat dalam proleganas, baik karena muncul
keadaan tertentu yang perlu segera direspon.
Pada tahap mengumpulkan masukan, Pemerintah, DPR, dan
DPD secara terpisah membuat daftar RUU, baik dari
kementerian/lembaga, anggota DPR/DPD, fraksi, serta masyarakat.
hasil dari proses pengumpulan tersebut kemudian disaring/dipilih untuk
kemudian ditetapkan oleh masing-masing pihak (Presiden, DPR dan
DPD -untuk proses di DPD belum diatur). Tahap selanjutnya adalah
pembahasan masing-masing usulan dalam forum bersama antara
Pemerintah, DPR dan DPD. Dalam tahap inilah seluruh masukan
tersebut diseleksi dan kemudian, setelah ada kesepakatan bersama,
ditetapkan oleh DPR melalui Keputusan DPR.
2.2.2. Keputusan
Tahap Penyusunan RUU merupakan tahap penyiapan sebelum
sebuah RUU dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah. Tahap ini
terdiri dari:
1. Pembuatan naskah akademik
2. Penyusunan Rancangan Undang-undang
3. Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi.
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau
pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya tehadap suatu masalah
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai
pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan sebagai
solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Penyusunan RUU adalah pembuatan rancangan peraturan pasal
demi pasal dengan mengikuti ketentuan dalam lampiran II UU12/2011
Harmonisasi, Pembulatan, dan Pemantapan
Konsepsi adalah suatu tahapan untuk:

1. Memastikan bahwa RUU yang disusun telah selaras dengan:


a. Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UU lain
b. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
2. Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur
dalam RUU.

2.2.3. Pembahasan

Pembahasan materi RUU antara DPR dan Presiden (juga dengan


DPD, khusus untuk topik-topik tertentu) melalui 2 tingkat pembicaraan.
Tingkat 1 adalah pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan
komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat panitia
khusus. Tingkat 2 adalah pembicaraan dalam rapat paripurna.
Pengaturan sebelum adanya putusan MK 92/2012 hanya “mengijinkan”
DPD untuk ikut serta dalam pembahasan tingkat 1, namun setelah
putusan MK 92/2012, DPD ikut dalam pembahasan tingkat 2. Namun

4
peran DPD tidak sampai kepada ikut memberikan persetujuan terhadap
suatu RUU. Persetujuan bersama terhadap suatu RUU tetap menjadi
kewenangan Presiden dan DPR.

2.2.4. Pengesahan
Setelah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden terkait
RUU yang dibahas bersama, Presiden mengesahkan RUU tersebut
dengan cara membubuhkan tanda tangan pada naskah RUU.
Penandatanganan ini harus dilakukan oleh presiden dalam jangka waktu
maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden. Jika presiden tidak menandatangani
RUU tersebut sesuai waktu yang ditetapkan, maka RUU tersebut
otomatis menjadi UU dan wajib untuk diundangkan. Segera setelah
Presiden menandatangani sebuah RUU, Menteri Sekretaris negara
memberikan nomor dan tahun pada UU tersebut.
2.2.5. Pengundangan
Pengundangan adalah penempatan UU yang telah disahkan ke
dalam Lembaran Negara (LN), yakni untuk batang tubung UU, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN)m yakni untuk penjelasan UU dan
lampirannya, jika ada. TLN.Sebelum sebuah UU ditempatkan dalam LN
dan TLN, Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu membubuhkan
tanda tangan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah UU.
Tujuan dari pengundangan ini adalah untuk memastikan setiap orang
mengetahui UU yang akan mengikat mereka.
2.2.6. Penyebarluasan
Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU merupakan kegiatan
untuk memberikan informasi dan/atau memproleh masukan masyarakat serta
para pemangku kepentingan mengenai Prolegnas dan RUU yang sedang
disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat
memberikan masukan atau tanggapan terhadap Prolegnas dan RUU tersebut
atau memahami UU yang telah diundangkan. Kegiatan penyebarluasan tersebut
dilakukan melalui media elektroknik dan/atau media cetak. Ketentuan pasal 89
UU PPP lebih progresif dalam penyebarluasan, bukan hanya kewenagan
pemerintah semata, melainkan penyebarluasan dilakukan secara bersama oleh
DPR dan pemerintah. Didalam UU ini diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas
dilakukan bersama oleh DPR dan pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan
Legislasi DPR. Penyebarluasan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh
komisi/panitia/badan/Badan Legislasi DPR. Sementara penyebarluasan RUU
yang berasal dari presiden dilaksankan oleh instansi pemrakarsa. Demikian
halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP diatur bahwa penyebarluasan UU
yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)
dilakukan secarara bersama-sama oleh DPR dan pemerintah. Dalam hal UU
yang berkaitan disahkan berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolahan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya serta yang berkaitan dengan

5
perimbangan keuangan pusat dan daerah,maka penyebarluasan UU tersebut
dapat dilakukan juga oleh DPD.

2.3. Asas Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


Dalam Proses pembentukan Peraturan yang baik, tidak terlepas dari asas-asas
yang baik, Sama halnya dengan Proses Penyiapan RUU juga memerlukan
pedoman dalam penyiapannya. Asas asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik adalah asas hukum yabg memberikan pedoman dan
bimbingan bagi penuangan isi peraturan, ke dalam bentuk dan susunan yang
sesuai, tepat dalam penggunaaan metodenya.
Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik ini dirumuskan
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 yang
dirumuskan sebagai berikut:[17]
a. Kejelasan tujuan;
Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat”
adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan”
adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya.
d. Dapat dilaksanakan;
Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa
setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

6
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
f. Kejelasan rumusan
Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap
peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan.
Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari pencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai desempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan

7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang ( RUU ), terdapat banyak
prosedur dan cara dalam membuatnya, Ada Proses penyiapan RUU dari pemerintah,
yang mana berdasarkan prolegnas yaitu tidak memerlukan izin pemrakarsa dari
presiden. Namun, secara berkala, pemrakarsa melaporkan persiapan dari penyusunan
RUU tersebut kepada presiden. Dan juga di luar dari prolegnas yaitu sama dengan
Prolegnas tetapi ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam
tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan
awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini
dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.
Ada juga Proses Penyiapan RUU dari DPR-RI yang mana harus telah disetujui dulu
oleh presiden lalu disampaikan kepada DPR-RI Untuk pembahasan, Proses ini diawali
dengan penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara
kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan
pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. Dalam Pembentukan Proses Penyiapan
RUU Juga memerlukan asas-asas yang baik sebagaimana yang telah diatur di dalam
Pasal 5 dan 6 UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.

B. Saran
Sebagai generasi penerus bangsa kita harus tahu dan memahami akan pentingnya
konstitusi bagi negara,serta berusaha untuk mempelajari semua hal yang berkaitan
dengan konstitusi ini untuk dapat kita jadikan pedoman dalam mengatasi setiap
masalah dalam kapasitas kita sebagai warga negara.

Anda mungkin juga menyukai