TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
1. Anatomi Panggul
a. Bentuk Panggul
2
b. Pintu Atas Panggul
3
Gambar 1. Diameter pada Pintu Atas Panggul
Ruang panggul ini memiliki ukuran yang paling luas. Pengukuran klinis
panggul tengah tidak dapat diperoleh secara langsung. Terdapat penyempitan
setinggi spina isciadika, sehingga bermakna penting pada distosia setelah kepala
engagement. Jarak antara kedua spina ini yang biasa disebut distansia
interspinarum merupakan jarak panggul terkecil yaitu sebesar 10,5 cm. Diameter
anteroposterior setinggi spina isciadica berukuran 11,5 cm. Diameter sagital
posterior, jarak antara sacrum dengan garis diameter interspinarum berukuran 4,5
cm.
Pintu bawah panggul bukanlah suatu bidang datar namun terdiri dari dua
segitiga dengan dasar yang sama yaitu garis yang menghubungkan tuber
isciadikum kiri dan kanan. Pintu bawah panggul yang dapat diperoleh melalui
pengukuran klinis adalah jarak antara kedua tuberositas iscii atau distansia
tuberum (10,5 cm), jarak dari ujung sacrum ke tengah-tengah distensia tuberum
atau diameter sagitalis posterior (7,5 cm), dan jarak antara pinggir bawah simpisis
ke ujung sacrum (11,5 cm).
2. Panggul Sempit
Distosia adalah persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu lambatnya
kemajuan persalinan. Distosia dapat disebabkan oleh kelainan pada servik, uterus,
4
janin, tulang panggul ibu atau obstruksi lain di jalan lahir. Kelainan ini oleh
ACOG dibagi menjadi tiga yaitu:
Kelainan kekuatan (power) yaitu kontraktilitas uterus dan upaya ekspulsif ibu.
b. kekuatan mengejan yang kurang misalnya pada hernia atau sesak nafas.
Kelainan yang melibatkan janin (passenger), misalnya letak lintang, letak dahi,
hidrosefalus.
5
menimbulkan kesulitan pada persalinan pervaginam. Panggul sempit yang penting
pada obstetric bukan sempit secara anatomis namun panggul sempit secara
fungsional artinya perbandingan antara kepala dan panggul. Selain panggul sempit
dengan ukuran yang kurang dari normal, juga terdapat panggul sempit lainnya.
Panggul ini digolongkan menjadi empat, yaitu:
6
Diameter biparietal janin berukuran 9,5-9,8 cm, sehingga sangat sulit bagi
janin bila melewati pintu atas panggul dengan diameter anteroposterior kurang
dari 10 cm. Wanita dengan tubuh kecil kemungkinan memiliki ukuran panggul
yang kecil, namun juga memiliki kemungkinan janin kecil. Dari penelitian Thoms
pada 362 nullipara diperoleh rerata berat badan anak lebih rendah (280 gram)
pada wanita dengan panggul sempit dibandingkan wanita dengan panggul sedang
atau luas.
Pada panggul sempit ada kemungkinan kepala tertahan oleh pintu atas
panggul, sehingga gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus secara langsung
menekan bagian selaput ketuban yang menutupi serviks. Akibatnya ketuban dapat
pecah pada pembukaan kecil dan terdapat resiko prolapsus funikuli. Setelah
selaput ketuban pecah, tidak terdapat tekanan kepala terhadap serviks dan segmen
bawah rahim sehingga kontraksi menjadi inefektif dan pembukaan berjalan lambat
atau tidak sama sekali. Jadi, pembukaan yang berlangsung lambat dapat menjadi
prognosa buruk pada wanita dengan pintu atas panggul sempit.
Pada nulipara normal aterm, bagian terbawah janin biasanya sudah masuk
dalam rongga panggul sebelum persalinan. Adanya penyempitan pintu atas
panggul menyebabkan kepala janin megapung bebas di atas pintu panggul
sehingga dapat menyebabkan presentasi janin berubah. Pada wanita dengan
panggul sempit terdapat presentasi wajah dan bahu tiga kali lebih sering dan
prolaps tali pusat empat sampai enam kali lebih sering dibandingkan wanita
dengan panggul normal atau luas.
7
Penyempitan pintu tengah panggul belum dapat didefinisikan secara pasti
seperti penyempitan pada pintu atas panggul. Kemungkinan penyempitan pintu
tengah panggul apabila diameter interspinarum ditambah diameter sagitalis
posterior panggul tangah adalah 13,5 cm atau kurang. Ukuran terpenting yang
hanya dapat ditetapkan secara pasti dengan pelvimetri roentgenologik ialah
distansia interspinarum. Apabila ukuran ini kurang dari 9,5 cm, perlu diwaspadai
kemungkinan kesukaran persalinan apalagi bila diikuti dengan ukuran diameter
sagitalis posterior pendek.
Pintu bawah panggul bukan suatu bidang datar melainkan dua segitiga
dengan diameter intertuberosum sebagai dasar keduanya. Penyempitan pintu
bawah panggul terjadi bila diameter distantia intertuberosum berjarak 8 cm atau
kurang. Penyempitan pintu bawah panggul biasanya disertai oleh penyempitan
pintu tengah panggul.
Disproporsi kepala janin dengan pintu bawah panggul tidak terlalu besar
dalam menimbulkan distosia berat. Hal ini berperan penting dalam menimbulkan
robekan perineum. Hal ini disebabkan arkus pubis yang sempit, kurang dari 900
sehingga oksiput tidak dapat keluar tepat di bawah simfisis pubis, melainkan
menuju ramus iskiopubik sehingga perineum teregang dan mudah terjadi robekan.
8
CV = 6 -8,5 cm dilakukan SC primer.
H i s a t a u t e n a g a ya n g m e n d o r o n g a n a k .
B e s a r n ya j a n i n , p r e s e n t a s i d a n p o s i s i j a n i n
Bentuk panggul
Umur ibu dan anak berharga
Penyakit ibu
9
mudah, namun biayanya mahal. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan
dengan MRI dengan keuntungan antara lain tidak ada radiasi, pengukuran panggul
akurat, pencitraan janin yang lengkap. Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena
biaya yang mahal.
Normal berat neonatus pada umumnya 4000 gram dan jarang ada yang
melebihi 5000 gram. Berat badan neonatus lebih dari 4000gram dinamakan bayi
besar. Frekuensi berat badan lahir lebih dari 4000gram adalah 5,3%, dan berat
badan lahir yang melihi 4500gram adalah 0,4%. Biasanya untuk berat janin 4000-
5000 gram pada panggul normal tidak terdapat kesulitan dalam proses melahirkan.
Factor keturunan memegang peranan penting sehingga dapat terjadi bayi besar.
Janin besar biasanya juga dapat dijumpai pada ibu yang mengalami diabetes
mellitus, postmaturitas, dan pada grande multipara. Selain itu, yang dapat
menyebabkan bayi besar adalah ibu hamil yang makan banyak, hal tersebut masih
diragukan.
10
selama proses melahirkan tidak terdapat kemajuan sama sekali pada proses
persalinan normal dan biasanya disertai oleh keadaan his yang tidak kuat. Untuk
kasus seperti ini sangat dibutuhkan pemeriksaan yang teliti untuk mengetahui
apakah terjadi sefalopelvik disproporsi. Selain itu, penggunaan alat ultrasonic juga
dapat mengukur secara teliti apabila terdapat bayi dengan tubuh besar dan kepala
besar.
8. Penatalaksanaan
a. Persalinan Percobaan
11
kemungkinan disfungsi plasenta janin yang akan menjadi penyulit persalinan
percobaan.
Pada janin yang besar kesulitan dalam melahirkan bahu tidak akan selalu
dapat diduga sebelumnya. Apabila dalam proses kelahiran kepala bayi sudah
keluar sedangkan dalam melahirkan bahu sulit, sebaiknya dilakukan episiotomy
medioateral yang cukup luas, kemudian hidung dan mulut janin dibersihkan,
kepala ditarik curam kebawah dengan hati-hati dan tentunya dengan kekuatan
terukur. Bila hal tersebut tidak berhasil, dapat dilakukan pemutaran badan bayi di
dalam rongga panggul, sehingga menjadi bahu depan dimana sebelumnya
merupakan bahu belakang dan lahir dibawah simfisis. Bila cara tersebut masih
juga belum berhasil, penolong memasukkan tangannya kedalam vagina, dan
berusaha melahirkan janin dengan menggerakkan dimuka dadanya. Untuk
melahirkan lengan kiri, penolong menggunakan tangan kanannya, dan sebaliknya.
Kemudian bahu depan diputar ke diameter miring dari panggul untuk melahirkan
bahu depan.
Persalinan percobaan ada dua macam yaitu trial of labour dan test of
labour. Trial of labour serupa dengan persalinan percobaan di atas, sedangkan test
of labour sebenarnya adalah fase akhir dari trial of labour karena baru dimulai
pada pembukaan lengkap dan berakhir 2 jam kemudian. Saat ini test of labour
jarang digunakan karena biasanya pembukaan tidak lengkap pada persalinan
dengan pangul sempit dan terdapat kematian anak yang tinggi pada cara ini.
b. Seksio Sesarea
12
dilakukan pada kesempitan panggul ringan apabila ada komplikasi seperti
primigravida tua dan kelainan letak janin yang tak dapat diperbaiki.
Seksio sesarea sekunder (sesudah persalinan selama beberapa waktu) dilakukan
karena peralinan percobaan dianggap gagal atau ada indikasi untuk menyelesaikan
persalinan selekas mungkin sedangkan syarat persalinan per vaginam belum
dipenuhi.
b. Simfisiotomi
Tindakan ini dilakukan dengan memisahkan panggul kiri dan kanan pada
simfisis. Tindakan ini sudah tidak dilakukan lagi.
13
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio
caesaria transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus.
Keunggulan teknik ini antara lain perdarahan akibat luka insisi tidak begitu
banyak, bahaya peritonitis tidak terlalu besar, dan perut pada umumnya kuat
sehingga bahaya rupture uteri di masa mendatang tidak besar karena dalam
masa nifas segmen bawah uterus tidak mengalami kontraksi yang kuat
seperti korpus uteri. Hal ini menyebabkan luka dapat sembuh sempurna. 5
14
komplikasi sectio caesaria yang dapat terjadi pada ibu dan janin. Faktor-
faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan antara lain
sebagai berikut :
1) Infeksi puerperal
Infeksi puerperal yang terjadi bisa bersifat ringan, seperti kenaikan
suhu selama beberapa hari dalam masa nifas. Komplikasi yang terjadi juga
bisa bersifat berat, seperti peritonitis, dan sepsis. Infeksi pasca operatif
terjadi apabila sebelum pembedahan sudah terdapat gejala-gejala infeksi
intrapartum, atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap
kelainan tersebut.
2) Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul waktu pembedahan jika cabang-
cabang arteria uterine ikut terbuka, atau karena terjadinya atonia uteri.
3) Komplikasi-komplikasi lain
Komplikasi lain yang dapat terjadi antara lain adalah luka pada kandung
kencing dan terjadinya embolisme paru.
2.3 Anemia
1. Definisi
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah
eritrosit sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan.
Anemia juga didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih
parameter sel darah merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah
sel darah merah (hemoglobin <10 g/dl , hematokrit <30 % , dan eritrosit <
2,8juta/mm3). Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan
jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan sehingga tubuh
akan mengalami hipoksia. Anemia merupakan gejala dan tanda penyakit
tertentu yang harus dicari penyebabnya agar dapat diterapi dengan tepat.
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen
15
yaitu berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya destruksi sel
darah merah dan kehilangan darah.
Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung
umur, jenis kelamin, kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena
itu, perlu ditentukan batasan kadar hemoglobin pada anemia. Kriteria
anemia menurut WHO adalah :
a. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl
b. Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 g/dl
c. Wanita hamil : Hb < 11 g/dl
d. Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
e. Anak umur 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 g/dl
Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah :
a. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-batas normal
b. Ringan : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
c. Sedang : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
d. Berat : Hb < 6 g/dl
2. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia
diderita oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada
anak usia belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa.
Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam
prevalensi anemia, termasuk Indonesia, yang tergambar pada gambar di
bawah ini dengan warna merah tua.
16
Gambar 2 Gambaran prevalensi anemia pada anak usia belum sekolah di dunia
17
Kerusakan sumsum tulang
Anemia aplastik
Anemia mieloplastik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoietik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin
Anemia Hemoragik
Anemia pasca perdarahan akut
Anemia akibat perdarahan kronik
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik intrakorpuskular
Gangguan membran eritrosit (membranopati)
Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) Anemia akibat
defisiensi G6PD
Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia, Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
18
Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan morfologi
akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini
klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi :
a. Anemia hipokromik mikrositer
Anemia Defisiensi Besi
Thalasemia Mayor
Anemia akibat Penyakit Kronik
Anemia Sideroblastik
b. Anemia makrositer
Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apabila
kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum
anemia tergantung pada : derajat penurunan hemoglobin, kecepartan
penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru
sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala,
yaitu:
a. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target
serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (HB < 7). Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus),
mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan sispepsia.
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku.
19
Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh
penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).
b. Gejala khass masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
- Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12.
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
c. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya,
pada anemia akibat infeksi cacing tambang dapat ditemukan keluhan
sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan.
5. Diagnosis
Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang tertera di bagian
manifestasi klinis. Sementara untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
beberapa macam pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai berikut:
- Sediaan Apusan Darah Tepi
Ukuran sel
Anisositosis
Poikilositosis
Polikromasia
Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting
apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah
anisositosis menunjukkan ukuran eritrositnya bervariasi, sedangkan
20
poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka
ragam.
- Hitung Retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi
anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas
dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan
dimetabolisme dalam waktu 24 -36 jam (waktu hidup retikulosit dalam
sirkulasi). Kadar normal retijulosit 1 – 2% yang menunjukkan
penggantian harian sekitar 0,8 – 1% dari jumlah sel darah merah
isirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah.
Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan
hematrokit pasien berdasarkan usia, gender, serta koreksi lain bila
ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini
disebabkan karena waktu dari retikulosit premature lebih panjang
sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah olah tinggi.
Faktor koreksi HT 35% : 1,5 HT 25%:2,0 HT 15% : 2,5.
- Persediaan dan Penyimpanan Besi
Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter)
Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter)
Feritin serum (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100
µmol/liter)
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan
TIBC dikali 100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan
persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan
puncaknya pada pukul 09.00 dan pukul 10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh.
Namun, feritin jga merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan
inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
- Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan
pada sumsum tulang misalnya yelofibrosis, gangguan pematangan, atau
21
penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu
kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis
sel –sel berarti pada sumsum tulang ( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
- Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit
dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek
sibtesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila
>100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC
dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia).
6. Tatalaksana
a. Anemia Defisiensi Besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi
penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia
defisiensi besi dapat diketahui sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral
atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama
efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian parenteral
dilakukan, pada pendeita yang tidak dapat memakan obat peroral atau
kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara peroral karena ada gangguan
pencernaan. Cara pemberian preparat besi :
- Preparat besi oral Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1
mg/KgBB/hari
Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2
minggu
Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2
minggu
Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu
22
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -
6 mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi
yang ada dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat
mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar
akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna dan tidak
memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Obat diberikan 2
– 3 dosis sehari. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia pada penderita teratai. Respon terapi
pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) :
preparat pilihan pertama (murah dan efektif), dosis 3 x 200 mg.
Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivas dan efek samping
bhampir sama.
- Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara
intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang
ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis,
sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.
Indikasi pemberian parenteral: intoleransi oral berat, kepatuhan
berobat kurang, kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb secara cepat
(misal preoperasi, hamil trimester akhir). Kemampuan menaikkan
kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering
digunakan adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric
acid complex.
b. Anemia Penyakit Kronik
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia
penyakit kronik berupa:
23
- Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
- Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat,
atau vitamin B 12.
- Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
- Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan
hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi
pemberian preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi
kenaikan akan berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9 – 10
g/dL.
c. Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah
jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 –
10 g%, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan
eritropoesis internal.
d. Trombosit profilaksis untuk penderita dengan trombosit <
10.000–20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau
demam, maka diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang
lebih tinggi.
7. Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan
besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan
yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik
dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan,
perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
- Diagnosis salah
- Dosis obat tidak adekuat
- Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
- Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap
- Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
24
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia,
makin berat prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal
karena infeksi, perdaraham atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa
dari anemia aplastik akan menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3 kriteria
berupa jumlah neutrofil <500/µL, jumlah platelet <20000/µL, andcorrected
reticulocyte count <1% (atau absolute reticulocyte count < 60000/µL).
Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4
bulan, 25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20%
mengalami perbaikan spontan (parsial/komplit).
Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi adalah sebagai
berikut.
1. Adanya gangguan pengosongan lambung
2. Terkadang sulit dilakukan intubasi
3. Kebutuhan oksigen meningkat
4. Pada sebagian ibu hamil, posisi terletang (supine) dapat menyebabkan
hipotensi (“supine aortocaval syndrome”) sehingga janin akan mengalami
hipoksia/asfiksia.
25
5. Tiroid membesar
6. Asma penyakit paru kronik
7. Penyakit jantung
8. Gangguan perdarahan
9. Pre-eklampsia berat
10. Riwayat mengalami komplikasi saat dianestesi
11. Komplikasi obstretri dan medis lain yang signifikan
1. Anestesi Lokal
26
Suntikan diberikan sebanyak 10 cc dan ditunggu selama 2-5 menit
sehingga efek anestesi tercapai.
27
Penanganan intoksikasi obat anestesi lokal yang masuk ke pembuluh darah
Bila terjadi kejang, dapat diatasi dengan memberikan :
Pentotal
Valium
Bila terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler:
Berikan infus secepatnya
Berikan efedrin hingga tekanan darah naik
Bila keadaan pasien gawat, maka pasien dapat dirujuk ke rumah sakit yang
mempunyai fasilitas cukup.
Apabila dalam melakukan pertolongan sederhana, diperkirakan dapat terjadi
komplikasi yang serius, maka pasien perlu dipasangi infus, karena akan
memudahkan pemberian obat-obat antidotum (jika diperlukan).
2. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
Anestesi spinal atau blok subaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau
blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Jarum spinal hanya
dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas
atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah
dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan
dilakukan insersi. Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum
suntik akan menembus kulis subkutis Lig. Supraspinosum Lig.
Interspinosum Lig. Flavum ruang epidural durameter ruang
subarachnoid.
28
a. Anatomi Tulang Belakang
Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan, terdapat 33 tulang
punggung pada manusia, 5 diantaranya bergabung membentuk bagian
sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di
atasnya terdiri dari 24 tulang yang dibagi menjadi 7 tulang cervical (leher),
12 tulang thorax (thoraks atau dada) dan, 5 tulang lumbal. Banyaknya
tulang belakang dapat saja terjadi ketidaknormalan. Bagian terjarang
terjadi ketidaknormalan adalah bagian punggung.
Struktur umum
Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior
yang terdiri dari badan dan tulang atau corpus vertebrae dan bagian
posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh
dua “kaki” atau pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan
atau procesus yakni procesus articularis, procesus transversus, dan
procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut
foramen vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan
membentuk saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla
29
spinalis. Di antara dua tulang punggung dapat ditemui celah yang disebut
foramen intervertebrale.
30
Tulang punggung coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan
tanpa celah.
Indikasi dan Kontraindikasi:
Indikasi :
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetrik-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikandengan anesthesia umum ringan.
Kontraindikasi absolut:
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Tekanan intrakranial meningkat
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relatif:
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis.
31
Persiapan analgesia spinal:
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan
pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT
(activated partial thromboplastine time).3,5
Peralatan analgesia spinal:
Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
Peralatan resusitasi/anestesi umum
Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point
whitecare)..4,2
32
b. Teknik analgesia spinal:
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan
sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.1,4
Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
33
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor,
pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan
posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada
posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.\
34
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml
sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Mual-muntah, Nyeri tempat suntikan, Nyeri punggung, Nyeri kepala
karena kebocoran likuor, Retensio urine dan Meningitis. 4
3. Anestesi Umum
Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam / sectio
cesarea.
Indikasi :
a) Gawat janin.
b) Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.
c) Diperlukan keadaan relaksasi uterus.
Keuntungan :
a) Induksi cepat.
b) Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
c) Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.
Kerugian :
a. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.
b. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.
c. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
asidosis pada janin.
d. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas maternal.
35
Teknik :
a. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit
sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus
digeser / dimiringkan ke kiri.
b. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien
diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.
c. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap,
dilakukan rapid-sequence induction dengan propofol 2 – 2.5 mg/kgBB
atau ketamine 1-2mg/kg dan 1,5 mg/kgBB suksinilkolin.
d. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa
endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
e. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin
diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0%
sevofluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan,
untuk mencegah ibu bangun.
f. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat tersebut
dapat menyebabkan atonia uteri.
g. setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV dan 0,2 mg
methergin IM/ dalam 100 ml normal salin di drip perlahan.
h. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans
(N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang
kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.
i. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.
36
Macam-macam anestesi intravena
a) Pentotal (golongan barbiturate)
Penggunaan pentotal dalam bidang obstetri dan ginekologi banyak ditujukan
untuk induksi anestesia umum dan sebagai anestesia singkat.
Dosis pentotal
Dosis pentotal yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB dalam larutan 2,5%
dengan pH 10.8, tetapi sebaiknya hanya diberikan 50-75 mg.
37
Keuntungan pentotal
Cepat menimbulkan rasa mengantuk (sedasi) dan tidur (hipnotik).
Termasuk obat anestesia ringan dan kerjanya cepat.
Tidak terdapat delirium
Cepat pulih tanpa iritasi pada mukosa saluran napas.
Komplikasi pentotal
Lokal (akibat ekstravasasi), dapat menyebabkan nekrosis
Rasa panas (bila pentotal langsung masuk ke pembuluh darah arteri)
Depresi pusat pernapasan
Reaksi vertigo, disorientasi, dan anfilaksis
Kontraindikasi pentotal
Pentotal merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien yang disertai keadaan
berikut:
Gangguan pernafasan
Gangguan fungsi hati dan ginjal
Anemia
Alergi terhadap pentotal
Apabila dilakukan anestesi intravena menggunakan pentotal, sebaiknya
pasien dirawat inap karena efek pentotal masih dijumpai dalam waktu 24 jam,
dan hal ini membahayakan bila pasien sedang dalam perjalanan.
b) Ketamin
Ketamin termasuk golongan non barbiturat dengan aktivitas “rapid setting
general anaesthesia”, dan diperkenalkan oleh Domine dan Carses pada tahun
1965.
Sifat ketamin :
o Efek analgetiknya kuat
o Efek hipnotiknya ringan
o Efek disosiasinya berat, sehingga menimbulkan disorientasi dan
halusinasi
o Mengakibatkan disorientasi (pasien gaduh, berteriak)
38
o Tekanan darah intrakranial meningkat
o Terhadap sistem kardiovaskuler, tekanan darah sistemikmeningkat
sekitar20-25%
o Menyebabkan depresi pernapasan yang ringan (vasodilatasi bronkus)
Dosis ketamin
Dosis ketamin yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kg BB, dengan lama kerja
sekitar 10-15 menit. Dosis ketamin yang dipakai untuk tindakan D & K
(dilatasi dan kuretase) atau untuk reparasi luka episiotomi cukup 0,5 – 1
mg/Kg BB.
39
Untuk menghindari terjadinya komplikasi karena tindakan anastesia
sebaiknya dilakukan dalam keadaan perut / lambung kosong.
Setelah pasien dipindahkan ke ruangan inap, pasien diobservasi dan
posisi tidurnya dibuat miring (ke kiri / kanan), sedangkan letak kepalanya
dibuat sedikit lebih rendah.
Dosis Valium
10 g IV atau IM. Bila digunakan untuk induksi anastesi, dosis nyasebesar 0,2
– 0,6 mg/kg BB.
d) Diprivan
Komposisi diprivan adalah sebagai berikut :
10 % minyak kacang kedelai
1,2 % fosfatida telur
2,25 % gliserol
Keseluruhannya merupakan larutan 1% dalam air, dalam bentuk emulsi.
Diprivan sangat baik karena tidak memerlukan obat premedikasi. Disamping
itu kesadaran pasien pulih dengan cepat, tanpa terjadi perubahan apapun.
Diprivan juga tidak menimbulkan depresi pusat pernafasan ataupun gangguan
jantung. Oleh karena itu, ketika diprivan digunakan untuk pertama kalinya
pada tahun 1977, obat ini langsung menduduki tempat tertinggi untuk
kepentingan operasi-operasi yang ringan dan singkat.
40
Perubahan fisiologi pada kehamilan
Sistem pernapasan
Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas. Functional
residual capacity menurun sampai 15-20 %, cadangan oksigen juga berkurang.
Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat sampai
100%.
Menjelang atau dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan jalan napas
pada 30% kasus, menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat pada waktu dilakukan
induksi anestesi, meskupun dengan disertai denitrogenasi. Ventilasi per menit
meningkat sampai 50%, memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang cepat
pada wanita hamil.
Sistem kardiovaskular
Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30%, peningkatan
frekuensi denyut jantung sampai 15%, peningkatan curah jantung sampai 40%.
Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit meningkat
hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional anemia of pregnancy.
Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan / kompresi
vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat menyebabkan
terjadinya supine hypertension syndrome. Jika tidak segera dideteksi dan
dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi uterus sampai asfiksia janin.
Pada persalinan, kontraksi uterus/his menyebabkan terjadinya
autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban jantung
meningkat, curah jantung meningkat, sampai 80%. Perdarahan yang terjadi pada
partus pervaginam normal bervariasi, dapat sampai 400-600 cc. Pada sectio
cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai 1000 cc. Meskipun demikian jarang
diperlukan transfusi. Hal itu karena selama kehamilan normal terjadi juga
peningkatan faktor pembekuan VII, VIII, X, XII dan fibrinogen sehingga darah
berada dalam hypercoagulable state.
41
Ginjal
Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sampai 150%
pada trimester pertama, namun menurun sampai 60% di atas nonpregnant state
pada saat kehamilan aterm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktifitas
hormon progesteron. Kadar kreatinin, urea dan asam urat dalam darah mungkin
menurun namun hal ini dianggap normal.
Pasien dengan preeklampsia mungkin berada dalam proses menuju kegagalan
fungsi ginjal meskipun pemeriksaan laboratorium mungkin menunjukkan nilai
“normal”.
Sistem gastrointestinal
Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan
perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Sementara
itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan tonus sfingter
esophagus bawah serta perlambatan pengosongan lambung. Enzim-enzim hati
pada kehamilan normal sedikit meningkat.
Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin akibat
hemodilusi dan penurunan sintesis. Pada pemberian suksinilkolin dapat terjadi
blokade neuromuskular untuk waktu yang lebih lama. Lambung harus selalu
dicurigai penuh berisi bahan yang berbahaya (asam lambung, makanan) tanpa
memandang kapan waktu makan terakhir.
42
Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat
meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran
reseptor (enhanced diffusion).
MENDELSON’S SYNDROME
Mendelson’s syndrome atau aspirasi isi lambung yang terdiri dari asam
lambung dan sisa makanan, merupakan salah satu penyulit anestesi yang dapat
dihindari. Aspirasi merupakan resiko dari tindakan anestesia yang dapat terjadi
pada saat intubasi, pasca intubasi, selama anestesi dan pasca bedah. Walaupun
angka kematiannya relatif rendah, namun ketidaktepatan penanganan akan
menambah morbiditas.
Mendelson mengklasifikasikan 2 kelompok gejala akibat aspirasi dari isi
lambung. Kelompok pertama adalah gejala akibat dari bahan padat isi lambung
yang mempunyai tanda dan gejala sianosis, suara wheezing, batuk-batuk,
takipneu, hipotensi dan mediastinal shift serta pada foto rontgen thoraks tampak
konsolidasi jaringan paru. Kelompok kedua adalah gejala dikenal dengan
43
sindroma Mendelson klasik yaitu akibat dari aspirasi asam dengan gejala spasme
bronchus, takhipneu, wheezing, sianosis dan rasa panas. aspirasi lebih mudah
terjadi pasien obstetri, Mendelson menyatakan bahwa penyebab aspirasi antara
lain adanya perubahan anatomi dan fisiologi pada ibu kehamilan, pengosongan
lambung yang memanjang dan penurunan kekuatan otot sphincter-esophagus.
44