Anda di halaman 1dari 30

1.

anatomi gaster
1.1 makro

GASTER (LAMBUNG)

Gaster terletak di bagian atas abdomen, terbentang dari permukaan bawah arcus costalis sinistra sampai regio
epigastrica dan umbilicalis. Sebagian besar gaster terletak di bawah costae bagian bawah. Secara kasar, gaster
berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum; dua curvatura, curvatura
major dan curvatura minor; dan dua dinding, paries anterior dan paries posterior.
Gaster dibagi menjadi bagian-bagian berikut:
1. Fundus gastricum berbentuk kubah, menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya
fundus berisi penuh udara.
2. Corpus gastricum terbentak dari ostium cardiacum sampai incisura angularis, suatu lekukan yang ada pada
bagian bawah curvatura minor.
3. Anthrum pyloricum terbentang dari incisura angularis sampai pylorus.
4. Pylorus merupakan bagian gaster yang berbentuk tubular. Dinding otot pylorus yang tebal membentuk
musculus sphincter pyloricus. Rongga pylorus dinamakan canalis pyloricus.
http://medicinembbs.blogspot.co.id/2011/04/arteries.html

Vaskularisasi Gaster
a. Arteri berasal dari cabang truncus coeliacus.
 Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan ke atas dan kiri untuk mencapai
oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura minor gaster. Arteria gastrica sinistra
mendarahi 1/3 bawah oesophagus dan bagian atas kanan gaster.
 Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir atas pylorus dan berjalan ke kiri
sepanjang curvatura minor. Arteria ini mendarahi bagian kanan bawah gaster.
 Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan berjalan ke depan di dalam
ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi fundus.
 Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum lienale dan berjalan ke depan di
dalam ligamentum gastrolienale untuk mendarahi gaster sepanjang bagian atas curvatura major.
 Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang merupakan cabang arteria
hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri dan mendarahi gaster sepanjang bawah curvatura major.

b. Venae. Vena-vena ini mengalirkan darah ke dalam sirkulasi portal.


 Vena gastrica sinistra dan dextra bermuara langsung ke vena porta hepatis.
 Venae gastricae breves dan vena gastroomentalis sinistra bermuara ke dalam vena lienalis.
 Vena gastroomentalis dextra bermuara ke dalam vena mesentrica superior.

Aliran limf
- Pembuluh-pembuluh limf mengikuti perjalanan arteria menuju ke nodi gastrici sinistra dan dextra, nodi
gastroomentals sinistra dan dextra, dan nodi gastrici breves.
- Seluruh cairan ini limf dari gaster akhirnya berjalan melalui nodi coeliaci yang terdapat di sekitar pangkal
truncus coeliacus pada dinding posterior abdomen

Persarafan Gaster
Persarafan ini termasuk serabut-serabut simpatis yang berasal dari plexus coeliacus dan serabut-serabut
parasimpatis dari nervus vagus dextra dan sinistra.
- Truncus vagalis anterior yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus vagus sinistra,
memasuki abdomen pada permukaan anterior oesophagus. Truncus, yang mungkin tunggal atau multipel,
kemudian terbagi menjadi cabang-cabang yang menyarafi permukaan anterior gaster. Sebuah cabang
hepaticus yang besar berjalan ke atas menuju hepar, dan di sini membentuk ramus pyloricus yang berjalan
turun ke pylorus.
- Truncus vagalis posterior, yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus vagus dextra,
memasuki abdomen pada permukaan posterior oesophagus. Selanjutnya truncus membentuk cabang-
cabang yang menyarafi permukaan posterior gaster. Suatu cabang yang besar berjalan menuju plexus
coeliacus dan plexus mesentricus superior dan kemudian didistribusikan ke usus sampai flexura coli sinistra
dan ke pancreas.
Persarafan simpatis gaster membawa serabut-serabut rasa nyeri, sedangkan serabut parasimpatis nervus vagus
membawa secretomotoris untuk glandulae gastricae dan serabut motoris untuk tunica muscularis gaster. Musculus
sphincter pyloricus menerima serabut motoris dari sistem simpatis dan serabut inhibitor dari nervus vagus.

1.2 mikro

GASTER (LAMBUNG)

Lambung terdiri atas empat lapisan :

1. Lapisan serosa
Lapisan peritoneal luar atau lapisan serosa yang merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan
peritoneum visceral menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum, memanjang kearah hati membentuk
omentum minus. Lipatan peritoneum yang kelaur dari organ satu menuju organ lain disebut ligamentum. Pada
kurvatura mayor peritoneum terus kebawah membentuk omentum mayus.

2. Muscularis
Lapisan berotot yang terdiri atas tiga lapis:
o serabut longitudinal, yang tidak dalam dan bersambung dengan otot esofagus,
o serabut sirkuler yang paling tebal dan terletak di pilorus serta membentuk otot sfingter; dan berada di bawah
lapisan pertama
o serabut oblik yang terutama dijumpai pada fundus lambung dan berjalan dari orifisium kardiak, kemudian
membelok ke bawah melalui kurvatura minor (lengkung kecil).
3. Submukosa
Lapisan submukosa terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh darah dan saluran limfe. Lapisan mukosa yang
terletak di sebelah dalam, tebal, dan terdiri atas banyak kerutan atau rugue, yang hilang bila organ itu mengembang
karena berisi makanan.

4. Mukosa
Membran mukosa dilapisi epitelium silindris dan berisi banyak saluran limfe. Semua sel-sel itu mengeluarkan sekret
mukus. Permukaan mukosa ini dilintasi saluran-saluran kecil dari kelenjar-kelenjar lambung. Semua ini berjalan dari
kelenjar lambung tubuler yang bercabang-cabang dan lubang-lubang salurannya dilapisi oleh epithelium
silinder. Epithelium bagian dari kelejar yang mengeluarkan sekret berubah-ubah dan berbeda-beda di beberapa
daerah lambung. Setiap kelenjar terdiri dari 4 tipe sel sekretori, yaitu :
a. Sel zimogen (Chief cell)
Sel ini terletak di dasar kelenjar lambung, dan menunjukkan ciri-ciri sel yang mensekresi protein (zimogen). Sel
zimogen mengeluarkan pepsinogen, yang dalam suasana asam di lambung akan diubah menjadi pepsin aktif dan
berfungsi menghidrolisis protein menjadi peptida yang lebih kecil.
b. Sel parietal (oksintik)
Sel ini tersebar satu-satu dalam kelompokan kecil di antara jenis sel lainnya, mulai dari ismus sampai ke dasar
kelenjar lambung, tetapi paling banyak di daerah leher dan ismus. Pada keadaan isitirahat, terdapat banyak
gelembung tubulosa, dan kenalikuli melebar dengan relatif sedikit mikrovili. Sewaktu mensekresi asam, mikrovili
bertambah banyak dan gelembung tubulosa berkurang, yang menunjukkan adanya pertukaran membran di antara
gelembung tubulosa di dalam sitoplasma dan mikrovili pada permukaan, sekresi asam HCl terjadi pada permukaan
membran yang luas ini. Sel ini juga mensekresikan faktor intrinsik, suatu glikoprotein yang terikat dengan vitamin
B12 dan membantu absorbsi vitamin ini di usus halus. Vitamin B 12 diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
Kekurangan vitamin B12 akibat kurangnya faktor ini dapat menyebabkan anemia pernisiosa.
c. Sel mukus leher
Sel ini terletak di daerah leher kelenjar lambung, dalam kelompok kecil atau satu-satu. Bentuknya cenderung tidak
teratur, seakan-akan terdesak oleh sel-sel disekitarnya (terutama sel parietal). Sel ini memiliki mikrovili apikal yang
gemuk dan pendek berisi filamen halus yang tampak kabur. Sel ini menghasilkan mukus asam, berbeda dengan
mukus netral yang dibentuk oleh sel mukus permukaan.

d. Sel enteroendokrin
Beberapa jenis sel enteroendokrin ditemukan di dalam kelenjar lambung. Sel-sel ini berjumlah banyak, terutama di
daerah antrum pylorik, dan umumnya ditemukan pada dasar kelenjar. Sel-sel enteroendokrin serupa dengan sel
endokrin yang mensekresi peptida. Sel ini juga ditemukan di dalam epitel usus halus dan besar, kelenjar oesophagus
bagian bawah (cardia), dan dalam jumlah terbatas pada ductus utama hati dan pankreas. Sel enteroendokrin
menghasilkan beberapa hormon peptida murni (sekretin, gastrin, kolesitokinin); semuanya melalui peredaran darah
untuk mencapai organ sasaran pankreas, lambung, dan kandung empedu. Walaupun sistem saraf mengendalikan
aktivitas sekretoris dan gerakan otot dalam saluran cerna, terdapat interaksi yang rumit dengan kebanyakan hormon
yang dihasilkan oleh sel enteroendokrin ini.

Peralihan Oesophagus-Gaster (Cardiac)


Merupakan segmen saluran pencernaan yang
melebar, fungsi utama menambah cairan
makanan, mengubahnya menjadi bubur dan
melanjutkan proses pencernaan. Ada 3 daerah
struktur histologis yang berbeda yaitu, corpus,
fundus dan pylorus. Peralihan oesophagus dan
lambung disebut oesophagus-cardia, epitel
berlapis gepeng oesophagus beralih menjadi
epitel selapis toraks pada cardia.
Mukosa cardia terlihat berlipat-lipat disebut
foveola gastrica. Didalam lamina propria
terdapat kelenjar terpotong melintang
(kelenjar tubulosa berkelok-kelok), dapat
meluas ke dalam lamina propria oesophagus. Setelah mencapai cardia, kelenjar oesophagus di submukosa tidak ada
lagi. Tunica muscularis circularis menebal membentuk sphincter.

Gaster
Epitel terdiri dari sel silindris mensekresi mukus (PAS-positif). Permukaan lambung ditandai dengan lipatan mukosa
disebut rugae. Dalam lipatan terdapat invaginasi atau cekungan disebut gastric-pits atau foveolae gastrica. Di dalam
mukosa terdapat kelenjar-kelenjar yang bermuara pada foveolae gastrica.

Fundus
Mukosa diliputi epitel selapis toraks. Pada dasar faveola gastrica bermuara kelenjar fundus, kelenjar tubulosa
simpleks dan lurus. Foveolae gastrica sepertiga tebal mukosa (dangkal), sedang kelenjarnya (fundus) dua pertiga
tebal mukosa, terletak dalam lamina propria.
Ada 4 macam sel kelenjar:
1. Sel mucus leher (neck cell), terdapat di leher kelenjar, mirip sel epitel mukosa. Bagian apikal sel kadang-kadang
mengandung granula.
2. Sel HCl (parietal cell). Bentuk sepertiga atau bulat, terdapat dibagian isthmus kelenjar. Sitoplasma merah
(asidofil), inti ditengah, kromatin padat
3. Sel zimogen (chief cell). Sel bentuk mirip sel HCl, tidak teratur, sitoplasma basofil (biru), inti terletak di basal.
Terdapat banyak dibagian bawah kelenjar.
4. Sel argentaffin (sediaan HE, sukar dijumpai). Dinding serupa saluran cerna yang lain, seperti, tunica muscularis
mucosa, tunica submucosa, tunica muscularis dengan lapisan circular lebih tebal dan tunica serosa.
5. Sel APUD (Amine Precursor Uptake and Decarboxyltion cells
- Mensintesa polipeptida
- Sel APUD gastro intestinal terdapat pada fundus, antrum pilorum, duodenum, yeyunum, ileum, dan colon
- Mensekresi: gastrin, sekretin, kolesistokinin, glucagon and somatostatin like substance

Pylorus
Berbeda dengan fundus foveolae gastrica lebih dalam. Sel-sel kelenjar
hampir homogen, semua sel mucus kelenjar pylorus sering berkelok-kelok
di dalam lamina propria. Kadang-kadang ditemukan nodulus lymphaticus
yang menembus sampai tunica submucosa. Tunica muscularis, dengan
lapisan circular amat tebal membentuk sphincter.

Peralihan Gaster-Duodenum
Perubahan histologis dari dinding gaster pylorus ke dinding
duodenum. Tunica mucosa epitel toraks, yang pada bagian
duodenum mulai terdapat sel goblet. Pada duodenum mulai
terdapat tonjolan ke permukaan villus intestinal yang gemuk
atau lebar dengan sel goblet dan criptus atau sumur
Lieberkuhn. Pada pylorus terdapat kelenjar pylorus.
Ciri khas duodenum adalah adanya kelenjar Brunner atau
mucu. Tunica adventitia pada duodenum, tidak terbungkus
peritoneum.

2. fisiologi
2.1 fungsi laambung

Fungsi gaster
a. Penyimpan makanan. Kapasitas lambung normal memungkinkan adanya interval yang panjang antara
saat makan dan kemampuan menyimpan makanan dalam jumlah besar sampai makanan ini dapat
terakomodasi di bagian bawah saluran cerna.
b. Produksi kimus. Aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus (massa homogen setengah cair
berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan mendorongnya ke dalam duodenum.
c. Digesti protein. Lambung mulai digesti protein melalui sekresi tripsin dan asam klorida.
d. Produksi mukus. Mukus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk barrier setebal 1 mm untuk
melindungi lambung terhadap aksi pencernaan dan sekresinya sendiri.
e. Produksi faktor intrinsik.
 Faktor intrinsik adalah glikoprotein yang disekresi sel parietal.
 Vitamin B12, didapat dari makanan yang dicerna di lambung, terikat pada faktor intrinsik. Kompleks
faktor intrinsik vitamin B12 dibawa ke ileum usus halus, tempat vitamin B12 diabsorbsi.
f. Absorbsi. Absorbsi nutrien yang berlangsung dalam lambung hanya sedikit. Beberapa obat larut lemak
(aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada dinding lambung. Zat terlarut dalam air terabsorbsi dalam jumlah
yang tidak jelas.

2.2 mekanisme kerja

Mekanisme pencernaan makanan pada gaster


A. Mekanik
Makanan bergerak dari kerongkongan menuju lambung, yaitu bagian saluran pencernaan yang
melebar. Makanan yang masuk ke dalam lambung tersimpan selama 2-5 jam. Selama makanan berada
di dalam labung, makanan di cerna secara kimiawi dengan bercampurnya dengan getah lambung yang
dihasilkan dari dinding lambung. Dalam getah lambung itu sendiri terdapat campuran zat-zat kimia
yang sebagian besar terdiri dari air dan sekresi asam lambung. Asam lambung mengandung HCl yang
berfungsi untuk mematikan bakteri atau membunuh kuman yang masuk ke lambung dan berfungsi
untuk menghasilkan pepsinogen menjadi pepsin. Lambung juga mengandung enzim renin yang
berfungsi untuk menggumpalkan kasein dalam susu. Mukosa (lendir) pada lambung berfungsi
melindungi dinding lambung dari abrasi asam lambung.
Proses pencampuran tersebut dipengaruhi oleh gerak mengaduk yang bergerak disepanjang
lambung setiap 15-25 detik akibat adanya kontraksi dinding lambung yang menyebabkan ketiga otot
lambung bergerak secara peristaltik mengaduk dan mencampur makan dengan getah lambung.
Sesudah kira-kira tiga jam, makanan menjadi berbentuk bubur yang disebut kim. Gerakan mengaduk
dimulai dari kardiak sampai di daerah pylorus yang terjadi terus-menerus baik pada saat lambung berisi
makanan maupun pada saat lambung kosong. Akibat gerakan peristaltik, kim terdorong ke bagian
pilorus. Di pilorus terdapat sfingter yang merupakan jalan masuknya kim dari lambung ke usus halus.
Gerakan peristaltik tersebut menyebabkan sfingter pilorus mengendur dalam waktu yang sangat
singkat. Jadi, di dalam lambung terjadi pencernaan secaea mekanis dengan bantuan peristaltik dan
pencernaan kimiawi dengan bantuan asam lambung dan enzim pepsin serta renin.
Persyarafan otonom
 Persarafan pada lambung umumnya bersifat otonom. Suplay saraf parasimpatis untuk lambung di
hantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mencabangkan ramus gastric,
pilorik, hepatic dan seliaka.
 Persarafan simpatis melalui saraf splangnikus mayor dan ganglia seliakum. Serabut-serabut
afferent simpatis menghambat pergerakan dan sekresi lambung. Pleksus auerbach dan submukosa
(meissner) membentuk persarafan intrinsic dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas
motorik dan sekresi mukosa lambung.

2.3 regulasi (enzim)

Fisiologi sekresi gaster


1. Fase sefalik
Terjadi sebelum makanan mencapai lambung. Masuknya makanan ke dalam mulut atau tampilan,
bau, atau pikiran tentang makanan dapat merangsang sekresi lambung.

2. Fase lambung
Terjadi saat makanan mencapai lambung dan berlangsung selama makanan masih ada.
 Peregangan dinding lambung merangsang reseptor saraf dalam mukosa lambung dan memicu
refleks lambung. Serabut aferen menjalar ke medula melalui saraf vagus. Serabut eferen
parasimpatis menjalar dalam vagus menuju kelenjar lambung untuk menstimulasi produksi
HCl, enzim-enzim pencernaan, dan gastrin.
 Fungsi gastrin:
- Merangsang sekresi lambung,
- Meningkatkan motilitas usus dan lambung,
- Mengkonstriksi sphincter oesophagus bawah dan merelaksasi sphincter pylorus,
- Efek tambahan: stimulasi sekresi pancreas.
 Pengaturan pelepasan gastrin dalam lambung terjadi melalui penghambatan umpan balik
yang didasarkan pada pH isi lambung.
- Jika makanan tidak ada di dalam lambung di antara jam makan, pH lambung akan rendah
dan sekresi lambung terbatas.
- Makanan yang masuk ke lambung memiliki efek pendaparan (buffering) yang
mengakibatkan peningkatan pH dan sekresi lambung.
3. Fase usus
Terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus halus yang kemudian memicu
faktor saraf dan hormon.
 Sekresi lambung distimulasi oleh sekresi gastrin duodenum sehingga dapat berlangsung
selama beberapa jam. Gastrin ini dihasilkan oleh bagian atas duodenum dan dibawa dalam
sirkulasi menuju lambung.
 Sekresi lambung dihambat oleh hormon-hormon polipeptida yang dihasilkan duodenum.
Hormon ini dibawa sirkulasi menuju lambung, disekresi sebagai respon terhadap asiditas
lambung dengan pH di bawah 2, dan jika ada makanan berlemak. Hormon-hormon ini meliputi
gastric inhibitory polipeptide (GIP), sekretin, kolesistokinin (CCK), dan hormon pembersih
enterogastron.
Tabel 2: Stimulasi Sekresi Lambung

Terdapat empat aspek motilitas lambung: (1) pengisian lambung/gastric filling, (2) penyimpanan
lambung/gastric storage, (3) pencampuran lambung/gastric mixing, dan (4) pengosongan
lambung/gastric emptying.

1. Pengisian lambung
Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat mengembang hingga
kapasitasnya mencapai 1 liter (1.000 ml) ketika makan. Akomodasi perubahan volume yang
besarnya hingga 20 kali lipat tersebut akan menimbulkan ketegangan pada dinding lambung dan
sangat meningkatkan tekanan intralambung jika tidak terdapat dua faktor berikut ini:
 Plastisitas otot lambung
Plastisitas mengacu pada kemampuan otot polos lambung mempertahankan ketegangan
konstan dalam rentang panjang yang lebar, tidak seperti otot rangka dan otot jantung, yang
memperlihatkan hubungan ketegangan. Dengan demikian, saat serat-serat otot polos
lambung teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut melemas tanpa
menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
 Relaksasi reseptif lambung
Relaksasi ini merupakan relaksasi refleks lambung sewaktu menerima makanan. Relaksasi ini
meningkatkan kemampuan lambung mengakomodasi volume makanan tambahan dengan
hanya sedikit mengalami peningkatan tekanan. Tentu saja apabila lebih dari 1 liter makanan
masuk, lambung akan sangat teregang dan individu yang bersangkutan merasa tidak nyaman.
Relaksasi reseptif dipicu oleh tindakan makan dan diperantarai oleh nervus vagus.
2. Penyimpanan lambung
Sebagian otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang autonom dan berirama. Salah
satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di daerah fundus bagian atas. Sel-sel
tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang menyapu ke bawah di sepanjang
lambung menuju sphincter pylorus dengan kecepatan tiga gelombang per menit. Pola depolarisasi
spontan ritmik tersebut, yaitu irama listrik dasar atau BER (basic electrical rhythm) lambung,
berlangsung secara terus menerus dan mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler
lambung.

Setelah dimulai, gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan corpus lalu ke antrum
dan sphincter pylorus. Karena lapisan otot di fundus dan corpus tipis, kontraksi peristaltik di kedua
daerah tersebut lemah. Pada saat mencapai antrum, gelombang menjadi jauh lebih kuat
disebabkan oleh lapisan otot di antrum yang jauh lebih tebal.

Karena di fundus dan corpus gerakan mencampur yang terjadi kurang kuat, makanan yang
masuk ke lambung dari oesophagus tersimpan relatif tenang tanpa mengalami pencampuran.
Daerah fundus biasanya tidak menyimpan makanan, tetapi hanya berisi sejumlah gas. Makanan
secara bertahap disalurkan dari corpus ke antrum, tempat berlangsungnya pencampuran
makanan.

3. Pencampuran lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan bercampur dengan sekresi
lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum mendorong kimus ke
depan ke arah sphincter pylorus. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas keluar, gelombang
peristaltik sudah mencapai sphincter pylorus dan menyebabkan sphincter tersebut berkontraksi
lebih kuat, menutup pintu keluar dan menghambat aliran kimus lebih lanjut ke dalam duodenum.
Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke depan, tetapi tidak dapat didorong ke dalam
duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada sphincter yang tertutup dan tertolak kembali ke dalam
antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak kembali pada saat gelombang peristaltik yang
baru datang. Gerakan maju-mundur tersebut, yang disebut retropulsi, menyebabkan kimus
bercampur secara merata di antrum.

4. Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltik antrum—selain menyebabkan pencampuran lambung—juga menghasilkan
gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah kimus yang lolos ke dalam duodenum
pada setiap gelombang peristaltik sebelum sphincter pylorus tertutup erat terutama bergantung
pada kekuatan peristalsis. Intensitas peristalsis antrum dapat sangat bervariasi di bawah pengaruh
berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; dengan demikian, pengosongan lambung diatur oleh
faktor lambung dan duodenum.
Faktor di lambung yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Faktor lambung utama
yang mempengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah kimus di dalam lambung. Apabila hal-hal
lain setara, lambung mengosongkan isinya dengan kecepatan yang sesuai dengan volume kimus
setiap saat. Peregangan lambung memicu peningkatan motilitas lambung melalui efek langsung
peregangan pada otot polos serta melalui keterlibatan plexus intrinsik, nervus vagus, dan hormon
lambung gastrin. Selain itu, derajat keenceran (fluidity) kimus di dalam lambung juga
mempengaruhi pengosongan lambung. Semakin cepat derajat keenceran dicapai, semakin cepat
isi lambung siap dievakuasi.
Faktor di duodenum yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Walaupun terdapat
pengaruh lambung, faktor di duodenumlah yang lebih penting untuk mengontrol kecepatan
pengosongan lambung. Duodenum harus siap menerima kimus dan dapat bertindak untuk
memperlambat pengsongan lambung dengan menurunkan aktivitas peristaltik di lambung sampai
duodenum siap mengakomodasi tambahan kimus. Bahkan, sewaktu lambung teregang dan isinya
sudah berada dalam bentuk cair, lambung tidak dapat mengosongkan isinya sampai duodenum
siap menerima kimus baru.
Tabel 3: faktor yang Mengatur Motilita dan Pengosongan Lambung

3. biokimia gaster

Biokimiawi

Pencernaan Karbohidrat, protein, dan lemak


1. Karbohidrat
Karbohidrat diklasifikasikan menjadi monosakarida (glukosa, galaktosa, dan fruktosa),
disakarida (maltosa, laktosa, sukrosa), oligosakarida dan polisakarida (amilum/pati). Dalam
kondisi sehari-hari, ada tiga sumber utama karbohidrat dalam diet makanan, yaitu sukrosa
(gula pasir), laktosa (gula susu) dan pati/starch (gula tumbuhan). Pencernaan karbohidrat
dimulai semenjak berada di mulut. Enzim ptyalin (α–amilase) yang dihasilkan bersama
dengan liur akan memecah polisakarida menjadi disakarida. Enzim ini bekerja di mulut
sampai fundus dan korpus lambung selama satu jam sebelum makanan dicampur dengan
sekret lambung. Enzim amilase juga dihasilkan oleh sel eksokrin pankreas, di mana ia akan
dikirim dan bekerja di lumen usus halus sekitar 15-30 menit setelah makanan masuk ke usus
halus. Amilase bekerja dengan cara mengkatalisis ikatan glikosida α(1à4) dan menghasilkan
maltosa dan beberapa oligosakarida. Setelah polisakarida dipecah oleh amilase menjadi
disakarida, maka selanjutnya ia kembali dihidrolisis oleh enzim-enzim di usus halus. Berbagai
disakaridase (maltase, laktase, sukrase, α-dekstrinase) yang dihasilkan oleh sel-sel epitel usus
halus akan memecah disakarida di brush border usus halus. Hasil pemecahan berupa gula
yang dapat diserap yaitu monosakarida, terutama glukosa. Sekitar 80% karbohidrat diserap
dalam bentuk glukosa, sisanya galaktosa dan fruktosa. Glukosa dan galaktosa diserap oleh
usus halus melalui transportasi aktif sekunder. Dengan cara ini, glukosa dan galaktosa dibawa
masuk dari lumen ke interior sel dengan memanfaatkan gradien konsentrasi Na+ yang
diciptakan oleh pompa Na+ basolateral yang memerlukan energi melalui protein pengangkut
SGLT-1. Setelah dikumpulkan di dalam sel oleh pembawa kotranspor, glukosa dan galaktosa
akan keluar dari sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi untuk masuk ke kapiler darah.
Sedangkan frukosa diserap ke dalam sel melalui difusi terfasilitasi pasif dengan bantuan
pengangkut GLUT-5.
Gambar 13: Pencernaan dan absorbsi karbohidrat

2. Lemak
Lemak merupakan suatu molekul yang tidak larut air, umumnya berbentuk trigliserida
(bentuk lain adalah kolesterol ester dan fosfolipid). Pencernaan lemak dilakukan oleh lipase
yang dihasilkan oleh sel eksokrin pankreas. Lipase yang dihasilkan pankreas ini akan dikirim
ke lumen usus halus dan menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan monogliserida.
Selain dihasilkan oleh sel lipase pankreas, juga diketahui bahwa lipase juga dihasilkan oleh
kelenjar lingual dan enterosit, namun lipase yang dihasilkan oleh bagian ini hanya mencerna
sedikit sekali lemak sehingga tidak begitu bermakna. Untuk memudahkan pencernaan dan
penyerapan lemak, maka proses tersebut dibantu oleh garam empedu yang dihasilkan oleh
kelenjar hepar (hati). Garam empedu memiliki efek deterjen, yaitu memecah globulus-
globulus lemak besar menjadi emulsi lemak yang lebih kecil (proses emulsifikasi). Pada
emulsi tersebut, lemak akan terperangkap di dalam molekul hidrofobik garam empedu,
sedangkan molekul hidrofilik garam empedu berada di luar. Dengan demikian lemak
menjadi lebih larut dalam air sehingga lebih mudah dicerna dan meningkatkan luas
permukaan lemak untuk terpajan dengan enzim lipase.
Setelah lemak (trigliserida) dicerna oleh lipase, maka monogliserida dan asam lemak yang
dihasilkan akan diangkut ke permukaan sel dengan bantuan misel (micelle). Misel terdiri
dari garam empedu, kolesterol dan lesitin dengan bagian hidrofobik di dalam dan hidrofilik
di luar (permukaan). Monogliserida dan asam lemak akan terperangkap di dalam misel dan
dibawa menuju membran luminal sel-sel epitel. Setelah itu, monogliserida dan asam lemak
akan berdifusi secara pasif ke dalam sel dan disintesis kembali membentuk trigliserida.
Trigliserida yang dihasilkan akan dibungkus oleh lipoprotein menjadi butiran kilomikron
yang larut dalam air. Kilomikron akan dikeluarkan secara eksositosis ke cairan interstisium
di dalam vilus dan masuk ke lakteal pusat (pembuluh limfe) untuk selanjutnya dibawa ke
duktus torasikus dan memasuki sistem sirkulasi.
Selain lipase, terdapat enzim lain untuk mencerna lemak golongan nontrigliserida seperti
kolesterol ester hidrolase (untuk mencerna kolesterol ester) dan fosfolipase A2 (untuk
mencerna fosfolipase). Khusus untuk asam lemak rantai pendek/sedang dapat langsung
diserap ke vena porta hepatika tanpa harus dikonversi (seperti trigliserida), hal ini
disebabkan oleh sifatnya yang lebih larut dalam air dibandingkan dengan trigliserida.
Gambar 14: Pencernaan dan absorbsi lipid

3. Protein
Pencernaan protein (pemutusan ikatan peptida) dilakukan terutama di antrum lambung dan
usus halus (duodenum dan jejunum). Sel utama (chief cell) lambung menghasilkan pepsin
yang menghidrolisis protein menjadi fragmen-fragmen peptida. Pepsin akan bekerja pada
suasana asam (pH 2.0-3.0) dan sangat baik untuk mencerna kolagen (protein yang terdapat
pada daging-dagingan). Selanjutnya, sel eksokrin pankreas akan menghasilkan berbagai
enzim, yaitu tripsin, kimotripsin, karboksipeptidase, dan elastase yang akan bekerja di
lumen usus halus. Tiap-tiap enzim akan menyerang ikatan peptida yang berbeda dan
menghasilkan campuran asam amino dan rantai peptida pendek. Hasil dari pencernaan oleh
protease pankreas kebanyakan masih berupa fragmen peptida (dipeptida dan tripeptida),
hanya sedikit berupa asam amino. Setelah itu sel epitel usus halus akan menghasilkan enzim
aminopeptidase yang akan menghidrolisis fragmen peptida menjadi asam-asam amino di
brush border usus halus. Hasil dari pencernaan ini adalah asam amino dan beberapa peptida
kecil. Setelah dicerna, asam amino yang terbentuk akan diserap melalui transpor aktif
sekunder (seperti glukosa dan galaktosa). Sedangkan peptida-peptida kecil masuk melalui
bantuan pembawa lain dan diuraikan menjadi konstituen asam aminonya oleh peptidase
intrasel di sitosol enterosit. Setelah diserap, asam-asam amino akan dibawa masuk ke
jaringan kapiler yang ada di dalam vilus.
Gambar 15:Pencernaan dan absorbsi protein

Peran enzim-enzim pencernaan


Pencernaan makanan secara kimiawi terjadi dengan bantuan zat kimia tertentu.Enzim
pencernaan merupakan zat kimia yang berfungsi memecahkan molekulbahan makanan yang
kompleks dan besar menjadi molekul yang lebih sederhanadan kecil. Molekul yang sederhana ini
memungkinkan darah dan cairan getahbening ( limfe ) mengangkut ke seluruh sel yang
membutuhkan. Secara umum enzim memiliki sifat : bekerja pada substrat tertentu,
memerlukansuhu tertentu dan keasaman (pH) tertentu pula. Suatu enzim tidak dapat bekerjapada
substrat lain. Molekul enzim juga akan rusak oleh suhu yang terlalu rendahatau terlalu tinggi.
Demikian pula enzim yang bekerja pada keadaan asam tidakakan bekerja pada suasana basa dan
sebaliknya.
Macam-macam enzimpencernaan yaitu:
a. Enzim ptyalin
Enzim ptialin terdapat di dalam air ludah, dihasilkan oleh kelenjar ludah. Fungsi enzim ptialin
untuk mengubah amilum (zat tepung) menjadi glukosa .
b. Enzim amylase
Enzim amilase dihasilkan oleh kelenjar ludah ( parotis ) di mulut dan kelenjar pankreas. Kerja
enzim amilase yaitu : Amilum sering dikenal dengan sebutan zat tepung atau pati. Amilum
merupakan karbohidrat atau sakarida yang memiliki molekul kompleks. Enzim amylase
memecah molekul amilum ini menjadi sakarida dengan molekul yang lebih sederhana yaitu
maltosa.
c. Enzim maltase
Enzim maltase terdapat di usus dua belas jari, berfungsi memecah molekul maltosa menjadi
molekul glukosa . Glukosa merupakan sakarida sederhana (monosakarida ). Molekul glukosa
berukuran kecil dan lebih ringan dari padamaltosa, sehingga darah dapat mengangkut glukosa
untuk dibawa ke seluruh selyang membutuhkan.
d. Enzim pepsin
Enzim pepsin dihasilkan oleh kelenjar di lambung berupa pepsinogen. Selanjutnya pepsinogen
bereaksi dengan asam lambung menjadi pepsin . Carakerja enzim pepsin yaitu : Enzim pepsin
memecah molekul protein yang kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yaitu
pepton. Molekul pepton perlu dipecah lagi agar dapatdiangkut oleh darah.
e. Enzim tripsin
Enzim tripsin dihasilkan oleh kelenjar pancreas dan dialirkan ke dalam usus duabelas jari
( duodenum ). Cara kerja enzim tripsin yaitu : Asam amino memiliki molekul yang lebih
sederhana jika dibanding molekul pepton. Molekul asam amino inilah yang diangkut darah
dan dibawa ke seluruhsel yang membutuhkan. Selanjutnya sel akan merakit kembali asam
amino-asam amino membentuk protein untuk berbagai kebutuhan sel.
f. Enzim rennin
Enzim renin dihasilkan oleh kelenjar di dinding lambung. Fungsi enzim renin untuk
mengendapkan kasein dari air susu. Kasein merupakan protein susu, sering disebut keju.
Setelah kasein diendapkan dari air susu maka zat dalam air susudapat dicerna.
g. Asam khlorida (HCl)
Asam khlorida (HCl) sering dikenal dengan sebutan asam lambung, dihasilkanoleh kelenjar
didalam dinding lambung. Asam khlorida berfungsi untukmembunuh mikroorganisme
tertentu yang masuk bersama-sama makanan.Produksi asam khlorida yang tidak stabil dan
cenderung berlebih, dapat menyebabkan radang lambung yang sering disebut penyakit
”mag”.

h. Cairan empedu
Cairan empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung dalam kantong empedu. Empedu
mengandung zat warna bilirubin dan biliverdin yang menyebabkan kotoran sisa pencernaan
berwarna kekuningan. Empedu berasal dari rombakansel darah merah ( erithrosit ) yang tua
atau telah rusak dan tidak digunakan untuk membentuk sel darah merah yang baru. Fungsi
empedu yaitu memecah molekul lemak menjadi butiran-butiran yang lebih halus sehingga
membentuk suatu emulsi . Lemak yang sudah berwujud emulsi ini selanjutnya akan dicerna
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana lagi.
i. Enzim lipase
Enzim lipase dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan kemudian dialirkan ke dalam usus dua
belas jari ( duodenum ). Enzim lipase juga dihasilkan oleh lambung, tetapi jumlahnya sangat
sedikit. Cara kerja enzim lipase yaitu : Lipid (seperti lemak dan minyak) merupakan senyawa
dengan molekul kompleks yang berukuran besar. Molekul lipid tidak dapat diangkut oleh
cairan getah bening, sehingga perlu dipecah lebih dahulu menjadi molekul yang lebih kecil.
Enzim lipase memecah molekul lipid menjadi asam lemak dan gliserol yang memiliki molekul
lebih sederhana dan lebih kecil. Asam lemak dan gliserol tidak larut dalam air, maka
pengangkutannya dilakukan oleh cairan getah bening (limfe ).

4. sindrom dyspepsia
4.1 definisi

Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang
menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn)
dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Sindroma dispepsi
organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.
Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada, yang sering dirasakan
sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut. Setiap orang dari berbagai usia dapat
terkena dispepsia, baik pria maupun wanita. Sekitar satu dari empat orang dapat terkena dispepsia dalam beberapa
waktu (Bazaldua, et al, 1999).
Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakatai bahwa definisi disepsia sebagai dyspepsia refers to pain or
discomfort centered in the upper abdomen (dispepsia merupakan rasa sakit atau tidak nyaman di daerah abdomen
atas).

4.2 klasifikasi

1. Dispepsia organic

Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40
tahun. Istilah dispepsia organik baru dapat digunakan bila penyebabnya sudah jelas, antara lain:

a. Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia). Keluhan penderita yang sering diajukan adalah rasa nyeri di
ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan, pada
tengah malam sering terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya dengan pemeriksaan
endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak gaster atau di duodenum.
b. Dispepsia bukan tukak. Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa ditemukan
pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
c. Refluks gastroesofageal. Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa panas di dada
dan regurgitasi asam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan tersebut
disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya, maka dapat disebut sindroma dispepsia
refluks gastroesofageal.
d. Penyakit saluran empedu. Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu.
Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu
kanan.
e. Karsinoma. Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma dispepsia.
Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan bertambah berkaitan dengan
makanan, anoreksia, dan berat badan yang menurun.
f. Pankreatitis. Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut dirasa makin
tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma dispepsi juga ada.
g. Dispepsia pada sindroma malabsorbsi. Pada penderita ini—di samping mempunyai keluhan rasa
nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama lainnya yang mencolok
ialah timbulnya diare profus yang berlendir.
h. Dispepsia akibat obat-obatan. Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak
enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat golongan NSAID
(non steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin,
eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu ditanyakan obat yang dimakan sebelum
timbulnya keluhan dispepsia.
i. Gangguan metabolisme. Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi
pengosongan gaster yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas
kenyang. Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan
hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomoltilitas gaster. Hiperparatiroidi mungkin disertai rasa
nyeri di perut, nausea, vomitus, dan anoreksia.

Etiologi Dispepsia Organik


 Esofago-gastro-duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis
NSAID, keganasan

 Obat-obatan Antiinflamasi non-steroid, teofilin,


digitalis, antibiotik

 Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis, kolelitiasis,


keganasan, disfungsi sphincter Odii.

Pankreatitis, keganasan
 Pancreas
Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal
 Penyakit sistemik lain ginjal, kehamilan, penyakit jantung
koroner atau iskemik

2. Dispepsia non-organik/fungsional

Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik,
tetapi merupakan kelainan dari fungsi saluran makanan. Yang termasuk dispepsia fungsional adalah:

Dispepsia dismotilitas (dismotility-like dyspepsia). Pada dispepsia dismotilitas, umumnya terjadi


gangguan motilitas, di antaranya: waktu pengosongan gaster lambat, abnormalitas kontraktil,
abnormalitas mioelektrik gaster, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional
biasanya sensitif terhadap produksi asam gaster yang meningkat.

Kelainan psikis, stres, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional. Hal ini dapat
dijelaskan kembali pada faal saluran cerna pada proses pencernaan yang mendapat mengaruh dari
nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung, tetapi
memungkinkannya efek dari antral gastrin dan rangsangan lain dari sel parietal. Dengan melihat,
mencium bau, atau membayangkan suatu makanan saja sudah terbentuk asam gaster yang banyak,
yang mengandung HCl dan pepsin.

Dispepsia fungsional :

1. Tipe seperti ulkus

Yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik. Pasien memperlihatkan gejala seperti ulkus kronik. Gejala
khasnya, nyeri terlokalisasi di epgastrium, sembuh setelah makan ataupun pemberian antasida, timbul sebelum
makan ataupun ketika lapar.Pasien jugadapat terbangun di malam hari karena nyerinya. Nyeri ulcer-like dyspepsia
timbul periodik dengan relaps dan remisi.

2. Tipe seperti dismotilitas.

Yang lebih dominan adalah kembung,mual,muntah,rasa penuh,cepat kenyang.Gejala karakteristiknya, rasa


tidak nyaman yang diperburuk oleh makanan, rasa cepat kenyang, mual, muntah, dan kembung di abdomen
atas.Ketiga, dispepsia nonspesifik atau campuran. Tipe ini timbul akibat kritik terhadap pembagian dispesia
fungsional berdasarkan gejala yang dominan karena banyaknya laporan tumpang tindih gejala antarsubgrup.

3. Tipe non spesifik

Tidak ada keluhan yang khas dan dominan

4.3 epidemiologi

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) populasi penderita dispepsia di dunia didapatkan
bahwa 15-30 % orang dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari.4 Menurut Oshima, dkk
di Asia pada tahun 2015 didapatkan hasil bahwa prevalensi dispepsia organik dan dispepsia fungsional
ialah 5.35 sampai 20.4 %.5 Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, dispepsia termasuk dalam 5 besar
penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2010 dengan angka . kejadian kasus sebesar 18.807 (39,8%)
pada pria dan 28.497 (60,2%) pada wanita.6 Penelitian di Rumah Sakit Martha Friska Medan tahun 2007
didapatkan penderita dispepsia fungsional sebanyak 160 pasien (78,8 %) dari 203 pasien yang
mengalami dispepsia.7Dispepsia diprediksi akan meningkat dari tahun ke tahun.6 Penelitian di Rumah
Sakit Martha Friska Medan tahun 2007 didapati penderita dispepsia fungsional sebanyak 160 pasien
(78,8 %) dari 203 pasien yang diperiksa.7 Penelitian yang dilakukan oleh Randall, dkk pada tahun
2014menyebutkan presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan dispepsia
fungsional sekitar 67%-75%.
Penderita dispepsia fungsional dapat terjadi pada rentang umur, jenis kelamin, etnik/suku, dan sosio-
ekonomi. Hasil berbagai survei belum dapat menunjukkan prevalensi umur pasti untuk dispepsia
fungsional. Beberapa penelitian di Asia, dispepsia fungsional lebih sering dijumpai pada kelompok umur
yang lebih muda , di India terbanyak pada umur >40 tahun.14 Indonesia prevalensi terbanyak pada
umur ≤40 tahun yaitu 85%.
Mayoritas penelitian mengenai prevalensi berdasarkan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara pria dan wanita. Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi
hasilnya didapati perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional dibanding pria yaitu
di Hongkong 1,4 : 1, di Korea 1,12 : 1,04, di Malaysia 1,35 : 1,15, di Singapura 1,16 : 1,16 dan di
Indonesia angka kejadian kasus dispepsia fungsional yaitu sebesar 9.594 pada pria dan 15.122 pada
wanita.7
4.4 etiologi
4.5 patofisiologi

Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah
hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.

1. Sekresi asam lambung


Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung yang
rata-rata normal, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin. Diduga adanya
peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak
di perut.
2. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti
dan diterima.
3. Dismotilitas gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum. Tapi harus dimengerti bahwa
proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga
gangguan pengosongan lambuk tidak dapat mutlak mewakili hal tersebut.
4. Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik,
dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai
hipersensitivitas viseral terhadap disetensi balon di gaster atau duodenum.
5. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada
kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagian proximal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan
terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten.
7. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional. Dilaporkan adanya penurunan
kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam
beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot
polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
8. Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional
dibandingkan kasus kontrol.
9. Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan
pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului
keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan,
fungsi autonom, dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang
karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dilaporkan dalam studi
terbatas adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau
adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional.6
Gambar 16: Patofisiologi Sindrom Dyspepsia

4.6 manisfestasi klinisi

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman
pada perut bagian atas. Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia
organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia
fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih
dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia;
apabila tidak dapat masuk ke dalam 2 subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik.
Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional dan organik,
terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan
didapatkan tanda-tanda bahaya.

Keluhan yang sering diajukan pada sindroma dispepsia ini adalah:


 Nyeri perut (abdominal discomfort): nyeri terjadi bila kandungan asam lambung dan duodenum meningkat
menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori lain menunjukkan bahwa kontak lesi dengan
asam merangsang mekanisme refleks local yang memulai kontraksi otot halus sekitarnya. Nyeri biasanya hilang
dengan makan, karena makan menetralisasi asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung telah
kosong atau alkali tidak digunakan nyeri kembali timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat dihilangkan dengan
memberikan tekanan lembut pada epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah. Beberapa gejala
menurun dengan memberikan tekanan local pada epigastrium.
 Rasa pedih di ulu hati
 Mual, kadang-kadang sampai muntah: meskipun jarang pada ulkus duodenal tak terkomplikasi, muntah dapat
menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut atau pembengkakan
akut dari membran mukosa yang mengalami inflamasi disekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau
tanpa didahului oleh mual, biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam
lambung.
 Nafsu makan berkurang
 Rasa cepat kenyang
 Perut kembung
 Rasa panas di dada dan perut
 Regurgitasi
 Banyak mengeluarkan gas asam dari mulut (ruktus)

Gejala-gejala ulkus dapat hilang selama beberapa hari, minggu, atau beberapa bulan dan bahkan dapat hilang hanya
sampai terlihat kembali, sering tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi. Banyak individu mengalami gejala ulkus,
dan 20-30% mengalami perforasi atau hemoragi yang tanpa adanya manifestasi yang mendahului.

4.7 cara mendiagnosis dan diagnosis banding

Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien dyspepsia yang belum diinvestigasi terutama hasrus
ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya kelainan organik sebagai kausa dispepsia. Pasien dispepsia
dengan alarm symptoms kemungkinan besar didasari kelainan organik. Menurut Wibawa (2006), yang
termasuk keluhan alarm adalah:
1. Disfagia,
2. Penurunan Berat Badan (weight loss),
3. Bukti perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, hematochezia, anemia defisiensi besi,atau fecal
occult blood),
4. Tanda obstruksi saluran cerna atas (muntah, cepat penuh).
5. Pasien dengan alarm symptoms perlu dilakukan endoskopi segera untuk menyingkirkan penyakit tukak
peptic dengan komplikasinya, GERD (gastroesophageal reflux disease), atau keganasan.

Pemeriksaan penunjang harus bisa menyingkirkan kelainan serius, terutama kanker gaster, sekaligus
menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan
untuk terapi empiris tanpa endoskopi.

a. Tes Darah

Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan kelainan serius. Hasil tes serologi
positif untuk Helicobacter pylori menunjukkan ulkus peptikum namun belum menyingkirkan keganasan
saluran pencernaan.

b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)

Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium Barret, dan ulkus peptikum. Biopsi
antrum untuk tes ureumse untuk H.pylori (tes CLO) (Davey,Patrick, 2006).

Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk menyingkirkan kausa organic pada pasien
dispepsia. Namun, pemeriksaan H. pylori merupakan pendekatan bermanfaat pada penanganan kasus
dispepsia baru. Pemeriksaan endoskopi diindikasikan terutama pada pasien dengan keluhan yang
muncul pertama kali pada usia tua atau pasien dengan tanda alarm seperti penurunan berat badan,
muntah, disfagia, atau perdarahan yang diduga sangat mungkin terdapat penyakit struktural.

Pemeriksaan endoskopi adalah aman pada usia lanjut dengan kemungkinan komplikasi serupa dengan
pasien muda. Menurut Tytgat GNJ, endoskopi direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada
evaluasi penderita dispepsia dan sangat penting untuk dapat mengklasifikasikan keadaan pasien
apakah dispepsia organik atau fungsional. Dengan endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk
mengetahui keadaan patologis mukosa gaster.

c. DPL : Anemia mengarahkan keganasan

d. EGD : Tumor, PUD, penilaian esofagitis

Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk hitung darah lengkap, laju endap
darah, amylase, lipase, profil kimia, dan pemeriksaan ovum dan parasit pada tinja. Jika terdapat emesis
atau pengeluaran darah lewat saluran cerna maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan barium
pada saluran cerna bgian atas.

pemeriksaan pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung; manometri untuk menilai adanya gangguan fase
III migrating motor complex (MMC); elektrogastrografi, skintigrafi, atau penggunaan pellet radioopaq untuk
mengukur waktu pengosongan lambung, Helicobacter pylori, dan sebagainya.

a. Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, seperti pemeriksaan darah, urine, dan
tinja secara rutin. Dari pemeriksaan darah, bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak, berarti
kemungkinan pasien menderita malabsorbsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsi tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambungnya.

b. Radiologis. Pemeriksaan radiologis banyak menunjang diagnosis suatu penyakit di saluran cerna.
Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran cerna bagian atas dan
sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal, akan tampak peristaltik di
oesophagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak antiperistaltik di antrum yang meninggi,
serta sering menutupnya pylorus sehingga sedikit barium yang masuk ke intestinal. Pada tukak, baik
di lambung maupun di duodenum, akan terlihat gambaran yang disebut niche, yaitu kawah dari tukak
yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan
dasar licin.

c. Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir ini makin banyak
dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak
menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada kondisi pasien yang berat
sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia terutama bila ada
dugaan kelainan di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan di oesophagus
dan lambung.

d. Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi dari saluran cerna bagian atas akan banyak membantu
menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan adalah ada-tidaknya kelainan di oesophagus,
lambung, duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor (jinak atau
ganas).

e. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat dilakukan pada
orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan ataumengalami
nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.

- Invasive Test :

 Rapid Urea Test : Tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim urea katalase
menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat,membuat suasana menjadi basa,yang diukur
dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa lambung diletakkan pada tempat yang berisi
cairan atau medium padat yang mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada
spesimen tersebut maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan
warna.

 Histologi: Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak min.4 sampel untuk 2 kuadran, bila
ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari dasar,pinggir dan sekitar tukak (min. 6
sampel).

 Kultur : Untuk kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin

-Non Invasive Test :

 Urea Breath Test : mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan urea yang dihasilkan H.pylori,
labeled karbondiokasida diproduksi di dalam perut dan diarbsobsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam
paru-paru dan akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan.

 Stool Antigen test : tes ini juga mengidentifikasikan adanya infeksi H.pylori melalui mendeteksi keadaan
antigen H.pylori dalam feces.

ROMA II
Dispepsia Fungsional
Berlangsung sekurang-kurangnya selama 12 minggu, dalam 12 bulan ditandai dengan:
 Gejala yang menetap atau berulang (nyeri atau tidak nyaman yang berpusat diabdomen atas)
 Tidak ada bukti penyakit organik (berdasarkan endoskopi)
 Tidak ada bukti bahwa dyspepsia berkurang setelah defekasi atau perubahan pola dan bentuk
defekasi

a. Dispepsia like-ulcer : Rasa nyeri terutama dirasakan pada abdomen atas


b. Dispepsia like-dysmotility : Rasa tidak nyaman terutama dirasakan pada abdomen atas berupa rasa
penuh, lekas kenyang, sebah dan mual
c. Dispepsia Unspecified (Nonspesific): Gejala yang ditunjukkan tidak memenuhi criteria like-ulcer atau
like-dysmotility

ROMA III
Dispepsia Fungsional
Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya:
Satu atau lebih gejala dibawah ini:
a. Rasa tidak nyaman setelah makan
b. Cepat merasa kenyang
c. Nyeri epigastrium
d. Rasa terbakar didaerah epigastrium
Dan
Tidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan endoskopi) yang menyebabkan gejala-gejala tesebut diatas.
*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terdiagnosis

a. Sindroma distress postprandial


Kriteria diagnosis* Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala dibawah ini
1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapakali seminggu
2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali seminggu
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terdiagnosis
Kritria supportif
1. Terasa kembung pada perut atas atau mual setelah makan atau sendawa yang berlebihan
2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik
b. Sindroma Nyeri Epigastrik
Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya :
Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium derajat sedang sekurang-kurangnya sekaliseminggu
1. Nyeri bersifat intermitten
2. Tidak menyebar ke region abdomen lainnya atau ke region dada
3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus
4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung empedu dan sfinter oddi
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelahterdiagnosis
Kriteria supportif
1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa nyeri retrosternal
2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan makanan tetapi timbul saat puasa
3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma post prandial

4.8 tatalaksana

1. Antasid
Antasid ialah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan
nyeri tukak peptik. Antacid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan oleh lambung,
tetapi peninggian pH akan menurunkan aktivitas pepsin. Mula kerja antacid sangat
bergantung pada kelarutan dan kecepatan netralisasi asam. Sedangkan kecepatan
pengosongan lambung sangat menentukan masa kerjanya. Semua antacid meningkatkan
produksi HCl berdasarkan kenaikan pH yang meningkatkan aktivitas gastrin. Antacid dibagi
dalam 2 golongan, yaitu :
a. Antasid sistemik
Antasid sistemik diabsorpsi didalam usus halus sehingga menyebabkan urin bersifat
alkalis. Pada pasien dengan kelainan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolic.
a) Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi.
Karbondioksida yang terbentuk dalam lambung akan menimbulkan sendawa.
Distensi lambung dapat terjadi, dan dapat menimbulkan perforasi. Selain dapat
menimbulkan alkalosis metabolic, obat ini juga dapat menyebabkan retensi natrium
dan edema.
b. Antasid non-sistemik
Antasid non-sistemik hampir tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan
alkalosis metabolik.
a) Aluminium Hidroksida (Al(OH)3)
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya lebih panjang.
Al(OH)3 dan sediaan Al lainnya bereaksi dengan fosfat membentuk aluminium fosfat
yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga ekskresi fosfat melalui urin berkurang
sedangkan melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan protein
sehingga bersifat astrigen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan menginaktivasinya.
Efek samping Al(OH)3 yang utama adalah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan
memberikan antacid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorpsi
fosfat dapat terjadi sehingga menimbulkan symbol deplesi fosfat disertai
osteomalasia. Aluminium hidroksida digunakan untuk mengobati tukak peptik,
nefrolitiasis fosfat dan sebagai adsorben pada keracunan.

b) Kalsium Karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif, karena mula kerjanya cepat,
maka kerjanya lama dan daya menetralkan asamnya cukup tinggi. Kalsium karbonat
dapat menyebabkan konstipasi, mual, muntah, perdarahan saluran cerna dan
disfungsi ginjal dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasar
daya netralisasi asam, tapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang
mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCl. Sebagai
akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi
efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat terjadi adalah hiperkalsemia,
kalsifikasi metastatic, alkalosis, azotemia.

c) Magnesium Hidroksida (Mg(OH)2)


Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antacid. Obat ini praktis tidak
larut dan tidak efektif sebelum obat ini bereaksi dengan HCl membentuk MgCl2.
Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan
akan menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek
katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorpsi, tetap berada dalam usus
dan akan menarik air.

d) Magnesium Trisilikat
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup
tukak. Sebanyak 7% silica dari magnesium trisilikat akan diabsorpsi melalui usus dan
diekskresi dalam urin. Silica gel dan magnesium trisilikat merupakan adsorben yang
baik; tidak hanya mengadsorpsi pepsin tapi juga protein dan besi dalam makanan.
Dosis tinggi magnesium trisilikat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan terjadinya
batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisilikat.

2. Obat penghambat sekresi asam lambung


a. Penghambat pompa proton (PPI)
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih
kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung, lebih distal
dari AMP. Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,
rebeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan antara kelima obat tersebut adalah subtitusi
cinci piridin dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran resemik isomer R dan
S. Esomeprazol adalah campuran resemik isomer omeprazol (S-omeprazol) yang
mengalami eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.

Farmakodinamik
Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan suasana asam untuk
aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat ini akan berdifusi ke
parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan mengalami aktivasi di situ
membentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfhidril
enzim H+, K+, ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di membran
sel parietal. Ikatan ini mengakibatkan terjadinya Penghambatan berlangsung lama antara
24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi asam lambung basal atau akibat stimulasi,
terlepas dari jenis perangsangnya histamin, asetilkolin, atau gastrin. Hambatan ini
sifatnya irreversibel, produksi asam kembali dapat terjdai 3-4 hari pengobatan dihentikan.

Farmakokinetik
Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enterik untuk
mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak mengalami
aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya labih baik. Tablet yang dipecah
dilambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan
makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena pengaruh
makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan. Obat ini
mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda memperlihatkan persentasi
jumlah absorbsi yang bervariasi luas. Bioalvailabilitas yang bukan salut enterik meningkat
dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya prosuksi asam lambung setelah
obat bekerja. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P 450 (CYP), terutama CYP2P19
dan CYP3A4.

Indikasi
Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom
Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik pada AH2
pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.

Efek samping
Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi, flatulence, dan
diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala, dan ruam kulit.

Sediaan dan posologi


Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg, diberikan 1 kali/hari selama
8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut enterik 20 mg dan 40 mg, serta
sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam bentuk tablet 20 mg dan 40 mg.

b. Sucralfate
Cara kerjanya adalah dengan membentuk selaput pelindung di dasar ulkus untuk
mempercepat penyembuhan. Sangat efektif untuk mengobati ulkus peptikum dan
merupakan pilihan kedua dari antasid. Sucralfate diminum 3-4 kali/hari dan tidak diserap
ke dalam darah, sehingga efek sampingnya sedikit, tetapi bisa menyebabkan sembelit.

c. Antagonis H2
Contohnya adalah cimetidine, ranitidine, famotidine dan nizatidine. Obat ini
mempercepat penyembuhan ulkus dengan mengurangi jumlah asam dan enzim
pencernaan di dalam lambung dan duodenum. Diminum 1 kali/hari dan beberapa
diantaranya bisa diperoleh tanpa resep dokter. Pada pria cimetidine bisa
menyebabkan pembesaran payudara yang bersifat sementara dan jika diminum dalam
waktu lama dengan dosis yang tinggi bisa menyebabkan impotensi. Perubahan mental
(terutama pada penderita usia lanjut), diare, ruam, demam dan nyeri otot telah
dilaporkan terjadi pada 1% penderita yang mengkonsumsi cimetidine. Jika penderita
mengalami salah satu dari efek samping tersebut diatas, maka sebaiknya cimetidine
diganti dengan antagonis H2 lainnya. Cimetidine bisa mempengaruhi pembuangan
obat tertentu dari tubuh (misalnya teofilin untuk asma, warfarin untuk pembekuan
darah dan phenytoin untuk kejang).

2. Obat yang meningkatkan pertahanan mukosa lambung


a. Sulkralfat Senyawa aluminium sukrosa sulfat ini membentuk polimer mirip lem dalam
suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik tukak secara selektif. Sulkralfat hampir
tidak diabsorpsi secara sistemik. Obat yang bekerja sebagai sawar terhadap HCl dan
pepsin ini terutama efektif terhadap tukak duodenum. Karena suasana asam perlu untuk
mengaktifkan obat ini, maka pemberian bersama AH2 atau antacid menurunkan
biovailabilitas. Efek samping yang tersering adalah konstipasi. Karena sulkralfat
mengandung aluminium, penggunaannya pada pasien gagal ginjal harus hati-hati.

3. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid, domperidon, cisapride.

a. Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat ini dipakai
untuk mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal, makanan yang dirasa tidak
turun, transit oesophageal yang melantur, gastroparesis, kolik empedu. Efek sampingnya
cukup banyak, terutama pada aksi parasimpatis sistemik, di antaranya adalah sakit
kepala, mata kabur, kejang perut, nausea dan vomitus, spasme kandung kemih,
berkeringat. Oleh karena itu, obat ini mulai tidak digunakan lagi.

b. Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang mempunyai efek anti-
dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini berkhasiat sentral maupun perifer.
Khasiat metoklopramid antara lain:

- Meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion kolinergik,


- Merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
- Merupakan reseptor antagonis dopamin
Jadi, dengan demikian, metoklopramid akan merangsang kontraksi dari saluran cerna
dan mempercepat pengosongan lambung.
Efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik, iritabilitas atau
sedasi, dan efek samping ekstrapiramidal karena efek antagonisme dopamin sentral
dari metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada anak dapat menyebabkan hipertonis
dan kejang.

c. Domperidon
Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena domperidon merupakan
antagonis dopamin perifer dan tidak menembus sawar darah otak, maka tidak
mempengaruhi reseptor dopamin saraf pusat, sehingga mempunyai efek samping
yang rendah daripada metoklopramid. Pemberian obat ini akan meningkatkan tonus
sphincter oesophagus bagian bawah sehingga mencegah terjadinya refluks
gastroesophagus. Obat ini akan meningkatkan koordinasi antroduodenal, dan
memperbaiki motilitas lambung yang sedang terganggu, yaitu dengan jalan
meningkatkan kontraktiliitas serta menghambat relaksasi lambung sehingga
pengosongan lambung akan lebih cepat. Domperidon bermanfaat untuk pengobatan
dispepsia yang disertai masa pengosongan yang lambat, refluks gastroesophagus,
anoreksia nervosa, gastroparesis. Demikian pula bermanfaat sebagai obat antiemetik
pada penderita pasca-bedah, bahkan efektif sebagai pencegah muntah pada
penderita yang mendapat kemoterapi. Efek sampingnya lebih rendah daripada
metoklopramid, yaitu mulut kering, kulit gatal, diare, pusing. Pada pemberian jangka
panjang atau dosis tinggi, efeknya akan meningkatkan sekresi prolaktin, dan dapat
menimbulkan ginekomasti pada pria, serta galaktore dan amenore pada wanita.

d. Cisapride
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik baru yang
mempunyai khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat ini mempunyai
spektrum yang luas. Pada penderita dengan dispepsia, dimana sering terjadi gangguan
motilitas pada saluran cerna bagian atas, obat ini bermanfaat untuk memperbaiki. Hal
ini disebabkan karena cisapride meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian
bawah, peristaltik oesophagus, dan pengosongan oesophagus. Di samping itu, akan
meningkatkan peristaltik antrum, memperbaiki koordinasi gastro-duodenum dan
mempercepat pengosongan lambung. Manfaat cisapride pada saluran cerna bagian
bawah yaitu akan merangsang aktivitas motorik usus halus dan kolon sehingga
mempercepat transit di sini. Jadi, obat ini juga bermanfaat pada pseudo-obstruksi usus
kronis idiopatik, pada penderita konstipasi karena paraplegia, dan pemakai obat
laxatif yang menahun. Efek samping yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan
rasa kejang di perut yang sifatnya sementar.

4. Antibiotik Untuk H. pylori


Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori. Yang paling sering digunakan
adalah kombinasi dari antibiotik dan penghambat pompa proton. Terkadang ditambahkan
pula bismuth subsalycilate. Antibiotik berfungsi untuk membunuh bakteri, penghambat
pompa proton berfungsi untuk meringankan rasa sakit, mual, menyembuhkan inflamasi dan
meningkatkan efektifitas antibiotik. Terapi terhadap infeksi H. pylori tidak selalu berhasil,
kecepatan untuk membunuh H. pylori sangat beragam, bergantung pada regimen yang
digunakan. Akan tetapi kombinasi dari tiga obat tampaknya lebih efektif daripada kombinasi
dua obat. Terapi dalam jangka waktu yang lama (terapi selama 2 minggu dibandingkan
dengan 10 hari) juga tampaknya meningkatkan efektifitas. Untuk memastikan H. pylori sudah
hilang, dapat dilakukan pemeriksaan kembali setelah terapi dilaksanakan. Pemeriksaan
pernapasan dan pemeriksaan feces adalah dua jenis pemeriksaan yang sering dipakai untuk
memastikan sudah tidak adanya H. pylori. Pemeriksaan darah akan menunjukkan hasil yang
positif selama beberapa bulan atau bahkan lebih walaupun pada kenyataanya bakteri
tersebut sudah hilang.
Terapi lini pertama :
Urutan prioritas
 PPI + amoksisilin + kklaritromisin
 PPI + metronidazol + klaritromisin
 PPI + metronidazol + tetrasiklin
Pengobatan dilakukan selama satu minggu.
Terapi lini kedua atau terapi kuadrupel
Terapi lini kedua dilakukan jika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria gagal adalah 4
minggu pasca terapi, kuman H.pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan UBT/HpSA atau
histopatologi.
Urutan prioritas
 Collodial bismuth subcitrate + PPI + amoksisilin + kklaritromisin
 Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + klaritromisin
 Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + tetrasiklin
Bila terapi lini kedua gagal sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan resistensi H.pylori
dengan media transport MIU.
Pembedahan
Jarang diperlukan pembedahan untuk mengatasi ulkus karena pemberian obat sudah efektif.
Pembedahan terutama dilakukan untuk:
 mengatasi komplikasi dari ulkus peptikum (misalnya prforasi, penyumbatan yang tidak
memberikan respon terhadap pemberian obat atau mengalami kekambuhan)
 2 kali atau lebih perdarahan karena ulkus
 ulkus gastrikum yang dicurigai akan menjadi ganas
 ulkus peptikum yang berat dan sering kambuhan.
Tetapi setelah dilakukan pembedahan, ulkus masih dapat kambuh dan dapat timbul masalah-
masalah lain seperti pencernaan yang buruk, anemia dan penurunan berat badan.

4.9 komplikasi
Pada kebanyakan kasus, dyspepsia bersifat ringan dan hanya terjadi sesekali. Tetapi, dyspepsia berat dapat
menyebabkan komplikas, seperti:
a. Esofageal stricture
Dyspepsia kadang disebabkan oleh reflux asam lambung, yang terjadi ketika asam lambung naik ke atas menuju
esophagus dan mengiritasi permukaannya. Jika iritasi ini bertambah seiring berjalannya waktu, dapat
menyebabkan esophagus menjadi terluka. Luka ini dapat menyebabkan esophagus menyempit dan konstriksi
(esophagus stricture). Gejala yang dialami adalah:
- Susah menelan (dysfagia)
- Makanan tersangkut di kerongkongan
- Sakit dada
Esophagus stricture biasanya di terapi dengan operasi untuk memperlebar esofagus
b. Stenosis pylorus
Disebabkan oleh iritasi jangka panjang permukaan system pencernaan karena asam lambung. Ini terjadi ketika
jalan antara lambung dan duodenum (daerah pylorus) menjadi terluka dan menyempit. Ini dapat menyebabkan
muntah dan mencagah makanan yang dimakan dicerna sempurna. Pada kebanyakan kasus, stenosis pylorus
diterapi dengan operasi untuk mengembalikan lebar awal pylorus.
c. Barret’s esophagus
Reflux asam lambung yang berulang dapat menyebabkan perubahan sel permukaan esophagus bawah. Ini
adalah kondisi Barret’s esophagus. Barret’s esophagus biasanya tidak menyebabkan gejala seperti reflux asam
lambung lainnya. Tetapi, ada risiko kecil sel yang terkena Barret’s esophagus dapat menjadi kanker dan memicu
kanker esophagus.
d. Perdarahan gastrointestinal adalah komplikasi yang paling umum. Perdarahan besar mendadak dapat
mengancam jiwa. Ini terjadi ketika ulkus mengikis salah satu pembuluh darah.
e. Perforasi (lubang di dinding) sering mengarah ke konsekuensi bencana. Erosi dinding gastro-usus oleh ulkus
menyebabkan tumpahan isi perut atau usus ke dalam rongga perut. Perforasi pada permukaan anterior perut
menyebabkan peritonitis akut, awalnya kimia dan kemudian bakteri peritonitis. Tanda pertama adalah sering
nyeri perut tiba-tiba intens. Perforasi dinding posterior menyebabkan pankreatitis, sakit dalam situasi ini sering
menjalar ke punggung.
f. Penetrasi adalah ketika ulkus berlanjut ke organ-organ yang berdekatan seperti hati dan pankreas.
g. Jaringan parut dan pembengkakan karena ulkus menyebabkan penyempitan di duodenum dan obstruksi
lambung. Pasien sering menyajikan dengan muntah-muntah hebat.

4.10 penceghan

Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut:


1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia bagi individu yang belum
ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health
Promotion) kepada masyarakat mengenai:
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali dan menghindari keadaan
yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan gizi dan penyediaan air
bersih.
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang diberikan harus diperhatikan
porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang beralkohol, kopi serta merokok.
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera (Early Diagnosis and
Prompt Treatment).
a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi klinik meliputi anamnese yang teliti,
pemeriksaan fisik, laboratorik serta pemeriksaan penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau
ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang, pemeriksaan lengkap dianjurkan bila terdapat keluhan
yang berat, muntah-muntah telah berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat badan dan usia lebih
dari 40 tahun. Untuk memastikan penyakitnya, disamping pengamatan fisik perlu dilakukan pemeriksaan
b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)
1) Penjelasan penyakit kepada penderita. Golongan obat yang digunakan untuk pengobatan penderita
dispepsia adalah antasida, antikolinergik, sitoprotektif dan lain-lain.
3. Pencegahan Tertier
Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi penderita gangguan mental akibat
tekanan yang dialami penderita dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.
Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami
gangguan ketika kembali ke masyarakat.

4.11 prognosis

Apabila penyebab yang mendasari dari tukak peptik ini diatasi maka akan memberikan prognosa yang
bagus.Kebanyakan penderita sembuh dengan terapi untuk infeksi H.Pylori, menghindari OAINS dan meminum obat
antisekretorus pada lambung.Prognosis menjadi buruk jika sudah terdapat komplikasi.

Anthony, LM. (2013). Junqueira's Basic Atlas Histology. 13th Ed. McGraw Hill Education. E-Books.

Richard Snell,S. (2012). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.

Rodger A. (2013). Physiology of Gastrin. Available:


http://uptodatealternative.com/contents/mobipreview.htm?25/9/25751. Last accessed 7th May 2016.

Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia. 6th ed. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 641-660

Siti, S. Et al. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing. 1729.

Sulistia, G. (2012). Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 517.

Anda mungkin juga menyukai