Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN STRATEGIK

-Industri Pabrik Gula-

Oleh:

TAUFIQ BEKTI NURALIF 041724253002


FERDIAN WIRADESI 041724253004
CHANDRA ADITYA ALMA 041724253010

KELAS A2M

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA

2019
PENDAHULUAN
Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada
tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas
sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%. Dengan produksi puncak mencapai sekitar
3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan
dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam
penerapan teknologi .
Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia sekarang hanya
didukung oleh sekitar 60 pabrik gula (PG) yang aktif yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17
PG yang dikelola oleh swasta.

INDUSTRI GULA DI INDONESIA


Pada dekade terakhir, khususnya periode periode 1994-2004, industri gula Indonesia
menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula
Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat, dari 194,700 ton pada tahun
1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan laju 11.4 % per tahun. Pada
periode 1994- 2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 % per tahun. Hal ini terjadi karena
ketika konsumsi terus meningkat dengan 1.2 % per tahun produksi gula dalam negeri menurun
dengan laju –1.8 per tahun.
GAMBARAN UMUM

Gula terdiri dari 3 macam yaitu gula kristal putih, gula kristal rafinasi, gula kristal mentah.
Namun, yang di produksi di Indonesia hanya gula kristal putih dan gula kristal rafinasi. Pemerintah
Indonesia membagi pasar domestik gula menjadi 3:

1. Penanaman gula putih untuk konsumsi rumah tangga


2. Bahan baku gula (raw sugar) untuk diproses sebagai rafinasi gula (refined sugar) domestic
3. Rafinasi gula untuk industri makanan dan minuman local
PRODUKSI DAN KONSUMSI GULA DI INDONESIA

Seperti yang dapat dilihat di tabel, jumlah konsumsi gula di Indonesia lebih banyak
daripada kemampuan produksi gula Indonesia. Meskipun terjadi peningkatan terhadap produksi
gula nasional namun angka produksi tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan gula nasional Indonesia harus melakukan impor gula yang
merupakan solusi untuk menutupi defisit kebutuhan gula Indonesia.

DINAMIKA IMPOR GULA DAN KEBIJAKAN PERGULAAN NASIONAL


Penurunan Produksi
Penurunan produksi secara garis besar disebasbkan oleh tiga faktor utama yaitu:
1. Penurunan areal dan peningkatan proporsi areal tebu tegalan;
2. Penurunan produktivitas lahan;
3. Penurunan efisiensi di tingkat pabrik.
Produktivitas rendah yang berpangkal dari belum optimalnya sistem budidaya yang digunakan
yang disebabkan oleh
(i) Kualitas bahan tanam yang kurang;
(ii) Sistem bagi hasil antara petani dan PG;
(iii) Harga yang rendah khususnya pada dekade terakhir; dan
(iv) Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung.
Peningkatan Konsumsi
Pada tahun 1984, konsumsi gula domestik baru mencapai 1.866 juta ton. Pada tahun 2004,
konsumsi melonjak menjadi 3.4 juta ton atau mengalami peningkatan sekitar 0.5% per tahun.
Peningkatan konsumsi terutama berkaitan dengan dua faktor yaitu pertambahan penduduk dan
peningkatan pendapatan atau pertumbuhan ekonomi
Meningkatnya Impor
Pada tahun 1930-an, Indonesia pernah menjadi salah satu eksportir gula terbesar di dunia.
Kini Indonesia merupakan salah satu importir terbesar ke-4 di dunia dengan pangsa impor pada
sekitar 3,5% dari impor gula dunia.
Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) per Mei 2015,
produsen terbesar gula adalah Brasil dengan total produksi 36 juta ton per tahun sedangkan
produksi Indonesia hanya sebesar 2,25 juta ton per tahun. Produsen terbesar kedua adalah Thailand
dengan total produksi sebesar 10,6 juta per tahun dari 50 pabrik gula yang dimiliki.
30%
Surplus
diekspor
8,6 juta Ekspor
ke
ton
Indonesia

ANALISIS KOMPONEN SWOT


Analisis komponen SWOT terdiri dari analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman. Poin-poin dalam komponen-komponen tersebut diperoleh dari hasil peramalan produksi
dan konsumsi dan analisis dayasaing agribisnis gula. Berikut ini akan dijelaskan apa saja yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman agribisnis gula di Indonesia. Dari analisis
tiap komponen tersebut kita dapat merumuskan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
dayasaing agribisnis gula di Indonesia.
a. Analisis Kekuatan
1. Usahatani tebu cukup layak untuk diusahakan
Usahatani tebu termasuk usahatani yang memerlukan biaya yang relatif bervariasi,
bergantung lokasi dan tingkat penerapan teknik budidaya. Biaya usahatani untuk tanaman baru
adalah Rp 12,2-Rp 16,3 juta/ha. Biaya tersebut sudah mencakup sewa lahan yang bervariasi antara
Rp 2-Rp 5 juta/ha. Tingkat keuntungan (gross margin) berkisar Rp 2,95-Rp 5,70 juta/ha.
Sedangkan untuk tanaman keprasan 1 dan 2, jumlah biaya diperkirakan sekitar Rp 5,52-Rp 12,90
juta/ha, dengan tingkat keuntungan Rp 2,31-Rp 11,1 juta/ha. Berdasarkan analisis usahatani
tanaman PC (Plant Cane) dengan teknologi standar PTPN, nilai B/C untuk usahatani tebu adalah
1,19. Hal ini berarti usahatani tebu masih cukup layak untuk diusahakan (Badan Litbang Pertanian
2005).
2. Sumberdaya manusia tersedia cukup banyak
Agribisnis gula diusahakan di Indonesia sejak zaman Kolonial. Hal ini menjadikan
agribisnis gula adalah usaha yang turun temurun. Sumberdaya manusia berperan dalam setiap
aspek produksi mulai dari penerapan teknologi di bidang usahatani sampai kepada pengelolaan
manajemen usaha. Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tahun 2005,
agribisnis gula merupakan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga
kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang. Jumlah petani dan tenaga kerja yang banyak
tersebut diharapkan dapat mendukung berkembangnya agribisnis gula.
3. Bargaining Position petani meningkat dengan adanya APTRI
Asosiasi petani tebu merupakan sebuah organisasi independen yang lahir dari bawah atas
inisiatif petani tebu dengan nama Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang memiliki
tujuan sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi dan meningkatkan nilai tawar anggota (petani
tebu). Peran APTRI dalam agribisnis gula antara lain, mencetuskan adanya dana talangan dan
jaminan harga minimal, menjual gula secara bersama-sama, demonstrasi penghentian impor gula,
mendorong direvisinya bagi hasil petani dan PG, serta mendukung program swasembada gula
(Sabil, 2003). Menguatnya bargaining position petani tersebut akan berdampak positif dalam
pencapaian swasembada gula.
4. Sistem tataniaga yang cukup baik
Sejak dibebaskannya monopoli BULOG tahun 1998, terdapat dua mekanisme tataniaga
gula, yaitu mekanisme lelang dan mekanisme jual bebas. Sistem lelang terutama bisa dilakukan
untuk menjual gula milik pabrik gula (PG). Namun, petani juga boleh menjual gulanya melalui
lelang dan PG sendiri tidak berhak untuk mengadakan lelang. Selain dengan melalui sistem lelang,
penjualan gula milik petani sebagian besar dilakukan dengan sistem jual bebas.
b. Analisis Kelemahan
1. Aksesibilitas terhadap pupuk masih rendah
Sejak dibebaskannya tataniaga pupuk, tidak ada lagi perbedaan harga pupuk untuk
subsektor tanaman pangan dan non tanaman pangan (perkebunan). Aksesibilitas petani terhadap
pupuk menjadi rendah karena sering terjadi kelangkaan pupuk dan harga pupuk yang berfluktuasi.
Jika petani sulit mendapatkan pupuk dalam waktu, jumlah, dan harga yang tepat maka akan terjadi
keterlambatan pemberian pupuk. Hal ini dapat berdampak pada rendahnya mutu hasil tebu.
2. Penggunaan bibit yang kurang baik
Penggunaan bibit varietas unggul baru belum dapat dilaksanakan seluruhnya oleh petani.
Saat ini masih banyak petani yang menggunakan varietas unggul lama karena menanam tebu
dengan cara keprasan. Berdasarkan Dirjen Perkebunan (2006), proporsi tanaman keprasan yang
mencapai lebih dari 75 persen dari total tanaman tebu akan menghambat peningkatan produktivitas
karena produktivitas tanaman keprasan sekitar 80 persen dari produktivitas tanaman pertamanya.
3. Kurangnya modal untuk usahatani dan pabrik gula
Keterbatasan modal merupakan masalah utama yang dihadapi oleh sebagian besar petani
tebu. Permodalan yang berasal dari lembaga perbankan penyalurannya sering tidak tepat waktu
dan jumlah. Hal ini berdampak pada ketidaktepatan waktu tanam dan tidak optimal penerapan
teknologi. Selain petani, PG terutama PG BUMN juga mengalami keterbatasan modal untuk
rehabilitasi pabrik karena harus menanggung beban hutang manajemen sebelumnya. Hal ini
mengakibatkan sebagian besar keuntungan yang diperoleh digunakan untuk cicilan hutang.
Industri gula BUMN juga diwajibkan menyetorkan keuntungan ke Kas Negara yang dapat
mempersulit likuiditas keuangannya (Dirjen Perkebunan 2006).
4. Infrastruktur yang ada sebagian besar kurang memadai
Ketersediaan infrastruktur merupakan syarat untuk mengembangkan agribisnis gula.
Agribisnis gula memerlukan sarana komunikasi, sarana irigasi, sarana transportasi, dan sarana
pengangkutan dan pendistribusian tebu dan gula. Infrastruktur yang ada saat ini sebagian besar
kurang memadai terutama infrastruktur PG BUMN. Sebagai contoh irigasi untuk lahan sawah di
daerah Jawa sudah menurun kualitasnya karena kerusakan alam.
5. Produktivitas lahan rendah
Produktivitas lahan dalam agribisnis gula dapat dilihat dari jumlah produksi tebu dan gula
per hektar. Produktivitas lahan yang rendah tersebut disebabkan oleh jumlah produksi tebu, gula,
dan atau rendemen yang rendah. Berdasarkan hasil peramalan dengan menggunakan Model
ARIMA 1,1,2, produksi gula Indonsia tidak mengalami kenaikan yang berarti hingga tahun 2025.
Produksi gula Indonesia diramalkan masih rendah untuk beberapa tahun ke depan. Hal ini dapat
berakibat pada rendahnya produktivitas lahan. Tanaman tebu yang dahulu diusahakan di lahan
sawah berpengairan teknis saat ini hampir seluruhnya diusahakan di lahan sawah tadah hujan dan
lahan tegalan untuk daerah Jawa dan seluruhnya diusahakan di lahan tegalan untuk lahan di luar
Jawa. Hal ini disebabkan karena tanaman tebu tidak lagi mampu bersaing dengan tanaman
alternatifnya di lahan sawah. Kondisi ini mengakibatkan produktivitas lahan yang ada semakin
menurun. Produktivitas lahan sawah dan tegalan yang ditanami tebu saat ini masih rendah. Hal ini
diduga disebabkan oleh perluasan areal lahan kering yang kurang produktif dan keterlambatan
pencairan kredit sehingga budidaya tanaman tebu tidak dapat dilaksanakan dengan optimal
(Isma`il 2001).
6. Tingkat rendemen rendah
Tingkat rendemen yang dihasilkan tanaman tebu dipengaruhi oleh keadaan tanaman,
manajemen tebang angkut dan proses penggilingan di pabrik gula. Menurut (Purwono 2003)
rendemen yang tinggi didapatkan dari tanaman bermutu baik dan ditebang pada saat yang tepat.
Namun, sebaik apapun mutu tebu, jika pabrik sebagai sarana pengolahan tidak baik, kristal gula
yang dihasilkan akan berbeda dengan kandungan sukrosa yang ada di batang. Tingkat rendemen
gula di Indonesia saat ini masih rendah yang dapat berpengaruh pada rendahnya produktivitas
lahan.
c. Analisis Peluang
1. Adanya potansi lahan di Indonesia Timur
Daerah di luar Jawa yang berpotensi untuk ditanami tebu antara lain Sulawesi Tenggara
dan Papua. Hal ini didukung dengan adanya penelitian tentang analisis komparatif komoditi tebu.
Komoditi tebu mempunyai nilai komparatif yang tinggi di Kolaka dan Buton Sulawesi Tenggara,
serta di Merauke dan Pulau Komdum Papua.
2. Dukungan pemerintah terhadap agribisnis gula
Dukungan pemerintah terhadap agribisnis gula di Indonesia antara lain melalui kebijakan
yang mempunyai dimensi cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi, dan kebijakan
harga. Selain itu, pemerintah juga mencanangkan program swasembada gula yaitu swasembada
konsumsi langsung (2009), swasembada konsumsi dalam negeri (2010-2014), dan swasembada
gula berdayasaing (2015-2025). Program yang dilakukan untuk mendukung swasembada tersebut
antara lain Akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional. Selain itu, pemerintah juga
menetapkan kebijakan proteksi dan promosi secara simultan untuk melindungi agribisnis gula
Indonesia.
3. Permintaan dalam negeri akan semakin meningkat
Meskipun konsumsi per kapita ada kemungkinan menurun sejalan dengan peningkatan
pendapatan nasional, namun konsumsi gula total terus meningkat (Pakhpahan 2005). Hasil
peramalan dengan menggunakan metode double exponential smoothing, menyatakan bahwa
permintaan gula dalam negeri akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah
penduduk dan pendapatan masyarakat Indonesia yang juga semakin meningkat.
4. Harga gula dunia semakin meningkat
Harga gula diperkirakan masih tinggi karena adanya defisit perdagangan gula sejak tahun
2004, desakan terhadap Eropa Barat dan Amerika Serikat agar mereformasi kebijakan industri
gulanya, dan kecenderungan harga minyak bumi yang masih tinggi yang mendorong lebih banyak
lagi tebu yang diproses untuk ethanol sebagai bahan bakar alternatif. Situasi perdagangan gula
dunia tersebut berpengaruh pada harga gula di pasar dalam negeri. Kecenderungan tingginya harga
gula dalam negeri mendorong produsen gula dalam negeri untuk mengembangkan agribisnis gula.
5. Adanya lembaga penelitian pergulaan
Lembaga penelitian pergulaan yang terdapat di Indonesia adalah Pusat Penelitian
Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). P3GI telah membantu pemerintah dan stake holder pergulaan
dalam melakukan berbagai kajian tetang kemungkinan ekspansi industri gula ke luar Jawa,
pembangunan pabrik etanol, pengembangan cogenerasi dari PG, peningkatan kapasitas giling PG,
pembangunan pabrik gula rafinasi, kelembagaan petani, hingga penanganan limbah.
6. Adanya Dewan Gula Indonesia
Dewan Gula Indonesia merupakan lembaga non struktural yang bertanggungjawab kepada
presiden. Ketua Asosiasi Gula Indoesia, Ketua APTR PTPN XI, dan Ketua BK APTRI merupakan
anggota Dewan Gula Indonesia. Karena petani dan PG memiliki perwakilan dalam Dewan Gula
Indonesia maka aspirasi mereka dapat disalurkan kepada presiden melalui Dewan Gula Indonesia.
d. Analisis Ancaman
1. Persaingan dengan gula impor
Kebutuhan akan gula dalam negeri yang masih belum dapat dipenuhi oleh produksi gula
dalam negeri menyebabkan terjadinya impor. Impor gula yang terjadi saat ini sudah mengalami
penurunan, namun masih sering dijumpai peredaran gula impor ilegal di pasar domestik. Produsen
gula Indonesia menghadapi persaingan dengan gula impor yang beredar di pasar gula
domestik.Adanya gula impor yang sering dijual dengan harga lebih murah tersebut dapat
mengancam kelangsungan agribisnis gula Indonesia.
2. Adanya PG rafinasi
Pabrik Gula (PG) Rafinasi mengolah raw sugar menjadi gula rafinasi yang digunakan
untuk bahan baku industri makanan, minuman, dan farmasi. Permintaan terhadap gula rafinasi
diperkirakan akan meningkat sebagai akibat meningkatnya permintaan terhadap ketiga produk
industri tersebut dan tuntutan terhadap gula yang memenuhi standar kesehatan. Namun, ketiga
industri tersebut dapat langsung mengimpor gula rafinasi. Hal ini menyebabkan gula rafinasi dijual
ke pasar gula konsumsi bahkan dengan harga yang lebih murah daripada gula produksi PG.
Kondisi ini dapat mengancam keberadaan industri gula berbasis tebu petani karena bahan baku
gula rafinasi adalah raw sugar impor.
3. Perkembangan produk berbahanbaku tebu
Krisis energi (kenaikan harga BBM) yang dialami dunia saat ini merupakan kecenderungan
jangka panjang yang tidak dapat dihindari karena BBM merupakan sumberdaya alam yang tidak
dapat diperbaharui. Produksi BBM dalam jangka panjang akan menurun yang memacu kenaikan
harga dan diperkirakan mencapai US$ 80/barrel (Dirjen Perkebunan 2006). Semakin
meningkatnya harga BBM tersebut memacu pengembangan biofuel yang berbahanbaku produk
pertanian misalnya tebu. Hal ini berakibat pada penurunan proporsi tebu yang diolah menjadi gula
yang akan berpengaruh negatif pada upaya pencapaian swasembada gula.

PERUMUSAN STRATEGI DENGAN MATRIKS SWOT


Setelah menganalisis keempat komponen yang ada dibentuklah matriks SWOT. Matriks
ini mencoba menemukan setiap komponen yang ada untuk merumuskan strategi-strategi yang
saling mendukung
a. Strategi S-O
Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Adapun strategi yang dapat dilakukan antara lain:
1. Mengoptimalkan sumberdaya yang ada
Peningkatan permintaan gula dalam negeri dan meningkatnya harga gula dapat
dimanfaatkan pihak internal untuk meningkatkan produksi gula. Hal ini dilakukan melalui
optimalisasi sumberdaya yang ada dengan pemanfaatan lahan, SDM, dan sumberdaya IPTEK yang
ada dengan optimal. Optimalisasi sumberdaya yang didukung dengan kebijakan ataupun program
pemerintah serta Lembaga penelitian akan mendukung tercapainya peningkatan produksi gula.
2. Pengembangan produk hasil samping pengolahan gula
Agribisnis gula selain meghasilkan produk utama yaitu gula juga dapat menghasilkan
produk sampig, seperti ethanol, ragi roti, inactive yeast, wafer pucuk tebu, papan partikel, papan
serat, pulp, kertas, Ca-sitrat dan listrik yang mempunyai peluang pasar yang cukup terbuka, baik
di pasar domestik maupun internasional. Pengembangan produk hasil samping pengolahan tebu
yang sinergis dapat memberikan dukungan finansial bagi industri gula.
3. Peningkatan kualitas dan efisiensi produksi gula
Kualitas dan efisiensi produksi gula berkaitan erat dengan kinerja PG sebagai pihak yang
memproses tebu menjadi gula. Kualitas dan efisiensi produksi gula dapat tercapai selain karena
bahan baku tebu yang berkualitas juga harus didukung kinerja PG yang baik. Adapun beberapa
cara untuk meningkatkan kinerja PG terutama PG BUMN antara lain (Indraningsih, KS dan Husni
Malian 2003):
(1) Teknologi yang diterapkan oleh semua PG BUMN harus diaudit
(2) Perbaikan teknologi melalui rehabilitasi PG BUMN yang secara finasial dan ekonomis masih
layak dipertahankan
(3) Restrukturisasi PG
4. Meningkatkan kinerja usahatani dengan penerapan teknologi on farm
Kinerja usahatani tebu sangat berpengaruh pada produktivitas gula yang dihasilkan karena
pembentukan gula (sukrosa) terjadi di dalam proses metabolisme tanaman. Peningkatan produksi
gula harus didukung dengan peningkatan kinerja di tingkat usahatani. Penyuluhan penerapan
teknologi on farm dilakukan dengan kerjasama antara PG, lembaga penelitian, dan pemerintah
agar kinerja usahatani bisa meningkat. Pihak PG sebaiknya bekerjasama dengan lembaga
penelitian dan pemerintah untuk berperan aktif melakukan penyuluhan, temu lapang, dan
pengawasan teknologi.
5. Penguatan Kelembagaan
Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi gula nasional tidak akan tercapai jika
tidak didukung oleh semua lembaga terkait. Hal tersebut dapat tercapai apabila antar lembaga
terkait telah terbina kerjasama yang kuat dan transparan. Hubungan yang kuat antar lembaga
terkait diharapkan dapat terjadi antara pemerintah, industri gula, petani tebu, lembaga penelitian
(P3GI), lembaga pengembangan SDM industri gula (LPP/Lembaga Pendidikan Perkebunan),
lembaga keuangan, serta lembaga tataniaga.
b. Strategi S-T
Strategi ini menunjukkan bagaimana menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
menguasai ancaman. Strategi yang dapat digunakan antara lain:
1. Menjaga ketersediaan pasokan tebu
Pada saat ini pola hubungan kemitraan antara petani dan pabrik gula terutama dalam
penetapan rendemen yang masih mengandung potensi konflik dan sering kontraproduktif. Masalah
ini dapat diatasi dengan kemitraan yang saling menguntungkan antara PG dan petani. Petani
bertanggungjawab untuk menjamin bahan baku tebu yang bersih, segar, dan manis (BSM) untuk
PG. Sedangkan PG melibatkan wakil petani dalam tim pengawas rendemen sebagai upaya
transparansi rendemen untuk meningkatkan kepercayaan petani. Jika hubungan ini tidak dapat
berjalan dengan baik maka petani akan meninggalkan usahatani tebu dan terjadi kelangkaan bahan
baku tebu yang dapat mengakibatkan penurunan produksi gula. Jadi, upaya peningkatan produksi
salah satunya dilakukan dengan menjaga ketersediaan pasokan tebu melaui kerjasama antara PG
dengan petani.
2. Pengaturan produksi dan impor gula rafinasi
Banyaknya kasus gula rafinasi yang dijual ke pasar gula konsumsi dapat mengancam
kelangsungan agribisnis gula berbasis tebu. Industri gula rafinasi sebenarnya dapat mendukung
pemenuhan konsumsi gula untuk industri, namun produksinya harus disesuaikan dengan
kebutuhan gula untuk industri. Pembatasan produksi dan impor gula rafinasi ini bertujuan untuk
melindungi kelangsungan agribisnis gula berbasis tebu. Asosiasi petani sebagai bagian dari Dewan
Gula Indonesia diharapkan dapat memberikan saran kepada pemerintah untuk mengatur produksi
dan impor gula rafinasi.
c. Strategi W-O
Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara
meminimalkan kelemahan yang dimiliki. Strategi yang dapat dilakukan antara lain:
1. Menciptakan lembaga permodalan bagi petani dan industri gula
Modal merupakan komponen penting dalam kelangsungan agribisnis gula. Lembaga
permodalan tidak hanya diperlukan oleh petani sebagai modal usaha untuk melakukan kegiatan
usahatani tetapi juga untuk kegiatan revitalisasi PG. Saat ini belum ada Lembaga Keuangan yang
khusus menangani masalah modal untuk agribisnis gula di Indonesia. Karena itu diperlukan suatu
lembaga keuangan non bank yang dananya berasal dari stake holder pergulaan sesuai UU No. 18
tahun 2004 (Sugar Fund).
2. Rehabilitasi sarana prasarana penunjang PG
Peningkatan produksi gula harus didukung rehabilitasi, konsolidasi, dan modernisasi
sarana prasarana penunjang PG. Hal ini dilakukan dengan perbaikan kinerja pabrik melalui
perbaikan peralatan dan profesionalisme SDM. Selain itu perlu juga dukungan pemerintah untuk
melakukan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur seperti irigasi, jalan, dan pelabuhan.
3. Penataan varietas dan pembibitan
Penataan varietas dilakukan dengan mengatur jumlah dan komposisi varietas berdasarkan
sifat kemasakan tebu yang ditanam. Jumlah varietas yang ditanam diupayakan 6-8 varietas.
Sedangkan komposisi sifat kemasakan dari varietas tersebut harus seimbang, yaitu untuk masing-
masing kategori kemasakan (masak awal, masak tengah, masak akhir) hanya sekitar 2-3 varietas.
Penataan varietas dapat berjalan lancar dengan didukung kegiatan pembibitan. Setiap PG perlu
membuat kebun bibit berjenjang, yaitu kebun bibit pokok (KBP), kebun bibit nenek (KBN), kebun
bibit induk (KBI), dan kebun bibit datar (KBD) secara berkelanjutan.
4. Mengatur ketersediaan pupuk dan bibit dalam waktu, jumlah, jenis, dan harga yang tepat
Produksi dan kualitas tebu yang dihasilkan dari kegiatan usahatani dipengaruhi oleh
ketepatan pemupukan. Jika pupuk tidak tersedia dalam jumlah, waktu, jenis, dan harga yang tepat,
kegiatan pemupukan berimbang sulit untuk dilakukan yang berakibat pada rendahnya produksi
tebu. Karena itu, perlu kebijakan pemerintah untuk pengaturan jumlah dan distribusi pupuk dengan
tepat.
5. Pengembangan industri gula di luar Jawa
Keterbatasan lahan untuk usahatani tebu sudah terjadi di Jawa karena persaingan usahatani
tebu dengan usahatani lain yang lebih menguntungkan. Karena itu, pengembangan agribisnis gula
ke luar Jawa merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi dengan memanfaatkan lahan
yang masih cukup luas di luar Jawa. Agribisnis gula di luar Jawa sebaiknya tidak hanya untuk
memproduksi gula, tetapi memproduksi ethanol, alkohol untuk industri, dan bahan campuran
bensin. Hal ini dilakukan agar agribisnis gula yang ada di Jawa tidak kekurangan bahan baku untuk
produksi gula karena produksi produk lain yang berbahan baku tebu tersebut dilakukan di luar
Jawa.
6. Perbaikan manajemen tebang muat angkut (TMA)
Kegiatan tebang muat angkut (TMA) adalah kegiatan yang sangat komplek, karena bukan
saja merupakan rangkaian dari tiga kegiatan yang saling mempengaruhi, tapi juga karena sangat
ketat dibatasi oleh waktu. Secara garis besar tujuan dari TMA adalah mendapatkan tebu giling
yang masak segar bersih (MSB) sebanyak-banyaknya sejak ditebang hingga digiling dalam tempo
secepatnya agar produktivitas gula yang dihasilkan tinggi. Lahan tebu yang semakin sulit dicari
tersebut memungkinkan cara peningkatan produktivitas melalui intensifikasi. Salah satunya
dengan manajemen tebang angkut yang mendukung kinerja usahatani dan meningkatkan
produktivitas lahan.
7. Mencari teknik budidaya yang sesuai untuk lahan bukan sawah
Sebagian besar tanaman tebu di Indonesia sudah beralih dari lahan sawah ke lahan bukan
sawah. Produktivitas lahan bukan sawah biasanya lebih rendah dibandingkan produktivitas di
lahan sawah. Karena itu diperlukan teknik budidaya yang sesuai dengan lahan bukan sawah agar
produktivitasnya meningkat. Hal ini dilakukan dengan penelitian yang dilakukan oleh P3GI
dengan dukungan dari pemerintah dan stake holder pergulaan.
d. Strategi W-T
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan
kelemahan yang dimiliki untuk menghindari ancaman yang ada. Strategi yang dapat dilakukan
antara lain:
1. Rehabilitasi tanaman tebu keprasan (bongkar ratoon)
Rehabilitasi tanaman tebu keprasan dilakukan dengan cara bongkar ratoon. Bongkar ratoon
merupakan penggantian tanaman tebu keprasan/RC (ratoon cane) dengan tanaman tebu baru/PC
(plant cane). Pemerintah pernah mencanagkan program bongkar ratoon untuk meningkatkan
produksi gula. Pelaksanaan program bongkar ratoon ini telah terbukti dapat meningkatkan
produktivitas lahan, maka program ini perlu dilanjutkan hingga pelaku usahatani sudah melakukan
pengeprasan tebu maksimal tiga kali.

Anda mungkin juga menyukai