Anda di halaman 1dari 47

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit
tidak menular yang menjadi mesalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya
pajanan faktor risiko, seperti faktor penjamu yang diduga berhubungan dengan
kejadian PPOK; semakin banyaknya jumlah peokok khususnya pada kelompok
usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan
di tempat kerja (PDPI, 2011). Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD), PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan saluran napas
tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
dikarenakan bahan yang merugikan atau gas yang berbahaya (GOLD, 2015).
PPOK merupakan salah satu penyebab gangguan pernafasan yang semakin
sering dijumpai. Salah satu dampak negatif PPOK adalah penurunan kualitas
hidup pasiennya. Hal ini dikarenakan PPOK penyakit paru kronik, progresif yang
tidak sepenuhnya reversible. Salah satu gejala PPOK yaitu sesak nafas, akibat
sesak nafas yang sering terjadi penderita menjadi panik, cemas dan frustasi
sehingga penderita mengurangi aktifitas untuk menghindari sesak nafas yang
menyebabkan penderita tidak aktif. Penderita akan jatuh dalam dekondisi fisik
yaitu keadaan merugikan akibat aktifitas yang rendah dan dapat mempengaruhi
sistem muskuloskletal, respirasi, kardiovaskular dan lainnya. Kemampuan
penderita untuk aktivitas fisik juga menurun. Keadaan ini menyebabkan kapasitas
fungsional menurun sehingga kualitas hidup juga menurun (Muthmainnah, 2015)
Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) menjadi penyebab kematian lebih dari 3
juta orang di seluruh dunia pada tahun 2012 (WHO, 2015). Di negara Amerika
Serikat dibutuhkan dana sekitar 18 milliar US$ setahun untuk penatalaksanaan
PPOK dan biaya tidak langsung sebesar 14 milliar US$, dengan jumlah pasien
2

sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal (PDPI, 2011).
Prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan
prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%) (Oemiati,
2013). Di indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalensi 5,6%.
Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknnya perokok karena 90%
pasien PPOK adalah perokok dan mantan perokok. Jumlah perokok yang berisiko
menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20 – 25%. Hubungan antara
rokok dan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok
yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko
penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar (PDPI, 2011)
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi PPOK


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2011).
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI
2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi (PDPI, 2010).
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik.
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh
pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar
(PDPI, 2010).

2.2. Epidemiologi PPOK


Prevalensi PPOK berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun
1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40
tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari
40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.
Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa
dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat
dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109
penderita dengan proporsi sebesar 90,83% (SKRT, 1995).
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil
4

Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa


sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3%
perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan
kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga
lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan
perokok pasif (Susenas, 2001).
Menurut Ilhamd (2000) dalam Parhusip (2008), penderita PPOK
menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru
yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan pada
periode Januari hingga Desember 1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada
(Parhusip, 2008).

2.3. Etiologi PPOK


Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan yang bersifat ireversibel atau reversible parsial. Gejala yang
ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari
penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis
kronik, dan perokok berat. Karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya
penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis fungsional), sedangkan dari
emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada perokok berat
adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit) (PDPI, 2010).

2.4. Faktor Risiko PPOK


Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini,
yaitu:
a. Kebiasaan merokok
Pada perokok berat kemungkinan untuk mendapatkan PPOK menjadi lebih
tinggi. WHO menyatakan hampir 75% kasus bronkitis kronik dan emfisema
diakibatkan oleh rokok. Perokok lebih beresiko 45% untuk terkena PPOK
dibanding yang bukan perokok (WHO, 2010).
5

Secara umum telah diketahui bahwa merokok dapat menyebabkan


gangguan pernapasan. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini.
Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin akan menyebabkan konstriksi
bronkiolus terminal paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan
keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan peningkatan sekresi
cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta pembengkakan lapisan epitel.
Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan
yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan
partikel asing dari saluran pernapasan. Akibatnya lebih banyak debris
berakumulasi dalam jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin
bertambah. Hasilnya, semua perokok baik berat maupun ringan akan merasakan
adanya tahanan pernapasan dan kualitas hidup berkurang (Guyton, 2006).
B. Pekerjaan
Pekerja yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah
terkena PPOK. Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi
oleh ukuran partikel tersebut. Partikel yang berukuran 5 μm atau lebih akan
mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang
berukuran kurang dari 2 μm akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan
alveolus. Partikel yang berukuran kurang dari 0,5 μm biasanya tidak sampai
mengendap di saluran pernapasan akan tetapi akan dikeluarkan lagi (Amin, 1996).
Apabila terdapat debu yang masuk ke sakkus alveolus, makrofag yang ada
di dinding alveolus akan memfagositosis debu tersebut. Akan tetapi kemampuan
fagositik makrofag terbatas, sehingga tidak semua debu dapat difagositosis. Debu
yang ada di dalam makrofag sebagian akan di bawa ke bulu getar yang
selanjutnya akan dibatukkan dan sebagian lagi tetap tertinggal di interstisium
bersama debu yang tidak sempat di fagositosis. Debu organik dapat menimbulkan
fibrosis sedangkan debu mineral (inorganik) tidak selalu menimbulkan akibat
fibrosis jaringan. Reaksi tersebut dipengaruhi juga oleh jumlah dan lamanya
pemaparan serta kepekaan individu untuk menghadapi rangsangan yang diterima
(Amin, 1996).
6

c. Berbagai faktor lain, yakni :


1. Jenis kelamin, dimana pasien pria lebih banyak daripada wanita. Ini
dikarenakan perokok pria lebih banyak 2 kali lipat daripada wanita (Amin, 1996).
2. Usia, di mana ini berhubungan dengan lamanya seseorang merokok, berapa
banyak bungkus rokok yang telah dihabiskan. Semakin dewasa usia seseorang
maka semakin banyak rokok yang telah dihisap (Kamangar, 2010).
3. Infeksi saluran pernapasan adalah faktor resiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Infeksi saluran pernapasan
pada anak-anak juga dipercaya berpotensi sebagai faktor predisposisi
perkembangan PPOK. Walaupun infeksi saluran pernapasan adalah salah satu
penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran
pernapasan dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa
dibuktikan
4. Hiperresponsif saluran pernapasan. Ini bisa menjurus kepada remodelling
saluran pernapasan yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada
penderita PPOK (Kamangar, 2010).

2.5. Klasifikasi PPOK


Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
7

Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%


4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4. Eksaserbasi lebih sering
terjadi.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.

2.6. Patofisiologi PPOK


Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya
peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang
meningkat sesuai berat sakit (Khairani F., 2013).
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru (Khairani F.,
2013).
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4, tumor necrosis
factor (TNF), monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 dan reactive oxygen species
8

(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease


yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan
dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan
menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti
proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan
antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan
mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksidadengan
bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik
akandiubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero,
ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl) (Khairani
F., 2013).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan
fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan
struktur berupa destruksi alveol yangmenuju ke arah emfisema karena produksi
radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok (Khairani
F., 2013).

2.7. Diagnosis PPOK


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariaso, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru (PDPI, 2003).
Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan :
A. Gambaran Klinis
1. Anamnesis (PDPI, 2003)
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernafasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
9

- Terdapat factor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat


badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran nafas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

2. Pemeriksaan Fisik (PDPI, 2003)


PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu nafas
- Hipertrofi otot bantu nafas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
di leher dan edema pada tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema, fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema, suara perkusi hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
• Auskultasi
- Suara nafas vesikuler normal atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau
pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus,
kulit kemerahan dan pernafasan pursed-lips breathing. Blue bloater adalah
gambaran yang khas pada bronchitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
10

edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer. Pursed-
lips breathing adalah sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal nafas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang (PDPI, 2003)
a. Pemeriksaan Rutin
1. Faal Paru
• Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
Obstruksi: % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternative dengan memantau variability harian pagi dan sore, tidak
lebih dari 20%.
• Uji Bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau
APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan <200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah Rutin
Hb, Ht, Leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran:
- Hiperinflasi
11

- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronchitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronchitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabilitas harian APE kurang dari 20%
2. Uji Latih Kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari nomal
3. Uji Provokasi Bronkus
Untuk menilai derajat hiperekativiti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji Coba Kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednisone atau metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per hari selama 2
minggu yaitu peningkatan VEP1 pasca bronkodilator > 20% dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
6. Radiologi
12

7. Elektrokardiografi
8. Ekokardiografi
9. Bakteriologi
10. Kadar alfa-1 antitripsin

2.8. Diagnosis Banding PPOK


• Asma
• SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) adalah penyakit
obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberkulosis dengan lesi paru yang minimal
• Pneumotoraks
• Gagal jantung kronik
• Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain, misal :
bronkiektasis, destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena
terapi dan prognosisnya berbeda (PDPI, 2003).

2.9. Penatalaksanaan PPOK


A. Penatalaksanaan PPOK stabil
Sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap PPOK, seorang dokter
harus dapat membedakan keadaan pasien. Apakah pasien tersebut mengalami
serangan (eksaserbasi) atau dalam keadaan stabil. Hal ini dikarenakan
pentalaksanaan dari kedua jenis ini berbeda.
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil antara lain mempertahankan
fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan terakhir mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di Poliklinikklinik sebagai evaluasi
berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksaserbasi.
Penatalaksanaan PPOK stabil meliputi pemberian obat-obatan, edukasi,
nutrisi, rehabilitasi dan rujukan ke spesialis paru/rumah sakit. Dalam
13

penatalaksanaan PPOK yang stabil termasuk disini melanjutkan pengobatan


pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis paru baik setelah mengalami
serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti pemeriksaan fungsi paru,
analisis gas darah, kardiologi dll. Obat-obatan diberikan dengan tujuan
mengurangi laju beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan stabil yang telah
tercapai dengan mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan inflamasi. Obat-
obatan yang digunakan antara lain:
1. Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan
golongan xantin. Masing-masing dalam dosis subobtimal, sesuai dengan
berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya
aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinsi dengan salbutamol 1 mg atau
terbutalin 1 mg.
2. Kortikosteroid
Gunakan golongan metilprednisolon/prednison, diberikan dalam bentuk
oral, setiap hari atau selang sehari dengan dosis 5 mg perhari, terutama
bagi penderita dengan uji steroid positif.
3. Ekspektoran
Gunakan obat batuk hitam (OBH)
4. Mukolitik
Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mucoid
5. Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu.
Manfaatkan obat-obatan yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis
yang terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian
untuk menghindari efek samping obat.
14

Tabel 1. Terapi berdasarkan stage dari PPOK


Sumber: Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD)

B. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut


Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari
eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya
komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD, 2009).
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat
jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap,
unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI, 2003).
1. Bronkodilator
Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK
adalah short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini
15

belum tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun


bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun
penggunaan klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam terapi
eksaserbasi masih kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin,
aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada
respon yang adekuat dari penggunaan short-acting inhaled B2-agonists.
Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan long-acting
inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid selama
eksaserbasi (GOLD, 2009).
Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan
dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan
dengan cara yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator
lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang memakai
oksigen sebagai kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk
menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin
dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena
mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah
sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebulizer, dengan
pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi
sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003).
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan
terapi pada penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang
direkomendasikan tidak diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan
risiko efek samping yang bermakna. Dosis prednisolon oral sebesar 30-40
mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman (GOLD, 2009). Menurut
PDPI (2003), kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat
eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30
mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena.
Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan manfaat yang lebih
baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.
16

3. Antibiotik
Antibiotik harus diberikan kepada (GOLD, 2009):
a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu
peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan
peningkatan sesak.
b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika
peningkatan purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut.
c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di
rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat
jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan
makrolid, dan bila ringan dapat diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat
diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin,
dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi
Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin
sebagai Makrolid (PDPI, 2003).
4. Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah
keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat,
ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa,
60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak
ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan
dengan perubahan gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat
hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan
(ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup
rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila
terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus
digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).
17

5. Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK
eksaserbasi berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta
memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non
invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif
(NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau
trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. Penggunaan NIV telah
dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled Trials pada kasus gagal
napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka
keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV
memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan,
derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD, 2009).

2.10. Komplikasi PPOK


Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,
gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.
Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO250
mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai
oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum
yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan
terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi
lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor
pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat
disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).
18

2.11. Pencegahan dan Edukasi PPOK


A. Pencegahan PPOK
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang
belum ada faktor resiko PPOK, meliputi: menciptakan lingkungan yang bersih dan
berperilaku hidup sehat seperti tidak merokok.
2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
a. Kebiasaan merokok harus dihentikan
b. Memakai alat pelindung seperti masker di tempat kerja (pabrik) yang
terdapat asap mesin, debu
c. Membuat corong asap di rumah maupun di tempat kerja (pabrik)
d. Pendidikan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan PPOK
3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk mencegah orang yang telah
sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari
komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita
dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui
diagnosis dini dan pemberian pengobatan.
4. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Pencegahan tertier meliputi:
a. Rehabilitasi Psikis
Rehabilitasi psikis bertujuan memberikan motivasi pada penderita
untuk dapat menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat
disembuhkan bahkan akan mengalami kecemasan, takut dan depresi
terutama saat eksaserbasi. Rehabilitasi psikis juga bertujuan
mengurangi bahkan menghilangkan perasaaan tersebut.
b. Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan yang
dapat dilakukan penderita sesuai dengan gejala dan fungsi paru
19

penderita. Diusahakan menghindari pekerjaan yang memiliki risiko


terjadi perburukan penyakit.
c. Rehabilitasi Fisik
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas
fisik serta diikuti oleh gangguan pergerakan yang mengakibatkan
kondisi inaktif dan berakhir dengan keadaan yang tidak terkondisi.
Tujuan rehabilitasi fisik yang utama adalah memutuskan rantai
tersebut sehingga penderita tetap aktif.

B. Edukasi PPOK
Hal lain yang harus diberikan adalah pendidikan atau edukasi, karena
keterbatasan obat-obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya, seperti
keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk, keterbatasan
ekonomi dan sarana kesehatan, edukasi di Puskesmas ditujukan untuk mencegah
bertambah beratnya penyakit dengan cara menggunakan obat yang tersedia
dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi.
Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat juga harus dijaga.
Asupan nutrisi diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat
menyebabkan meningkatnya derajat sesak. Pemberian karbohidrat yang
berlebihan menghasilkan CO2 yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah tahap
rehabiltasi dimana pasien harus diberikan latihan pernapasan dengan pursed-lips,
latihan ekspektorasi dan latihan otot pernapasan dan ekttremitas.(PDPI, 2003).

2.12. Prognosis PPOK


Beberapa pasien mungkin hidup lebih lama dengan eksaserbasi, namun
tetap dengan bantuan dari ventilasi mekanik sebelum meninggal akibat penyakit
ini. Banyak kematian dari PPOK disebabkan oleh komplikasi sistem pernapasan,
berhubungan dengan kondisi lain yang sebenarnya memiliki angka kematian yang
rendah apabila tidak terjadi bersamaan dengan PPOK.
20

BAB 3
STATUS ORANG SAKIT

Nomor RM : 00.67.45.49

Tanggal Masuk : 04 Mei 2016 Dokter Ruangan :


dr. Hasbi
Jam : 04.30 WIB Dokter Chief of Ward :
dr. M. Taufiq Siregar
dr. Ricky Rivalino Sitepu
Ruang : RA2 III 1 bed 3 Dokter Penanggung Jawab Pasien :
dr. Alwinsyah, Sp.PD

ANAMNESA PRIBADI

Nama : Hotma Hutagalung

Umur : 45 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Pekerjaan : Sopir

Suku : Batak

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Puskesmas Pasar II No. 58

ANAMNESA PENYAKIT

Keluhan Utama : Sesak napas

Telaah :

Hal ini dialami OS ± 1 tahun terakhir dan memberat sejak 2


minggu ini. Sesak napas tidak berhubungan dengan cuaca
dan semakin memberat bila melakukan aktivitas. Riwayat
21

terbangun pada malam hari karena sesak tidak dijumpai.


Riwayat menggunakan 2-3 bantal saat tidur tidak dijumpai.
Riwayat napas berbunyi dijumpai dalam 1 tahun ini bersifat
hilang timbul. Riwayat asma disangkal oleh OS. Riwayat
kontak dengan debu dijumpai, OS bekerja sebagai sopir
truk selama ± 20 tahun. Riwayat merokok ± 30 tahun
dengan jumlah ± 3 bungkus/hari rokok filter dan sudah
berhenti semenjak 3 minggu ini. OS juga mengeluhkan
batuk dalam 2 tahun ini dan memberat sejak 3 bulan
terakhir dengan frekuensi batuk sering. Batuk berdahak
dijumpai dengan dahak berwarna kuning. Batuk berdarah
tidak dijumpai. Riwayat keringat malam tidak dijumpai.
Penurunan nafsu makan dijumpai disertai penurunan BB ±
3 kg dalam 3 bulan ini. Riwayat demam dijumpai 2 minggu
ini bersifat hilang timbul dan turun dengan obat penurun
demam. Nyeri ulu hati dijumpai sejak 1 minggu ini disertai
mual. Muntah tidak dijumpai. Riwayat darah tinggi dan
sakit gula tidak dijumpai. Riwayat minum obat selama 6
bulan ini tidak dijumpai. BAK dan BAB dalam batas
normal.

RPT : Tidak jelas

RPO : Obat batuk hitam (OBH)

ANAMNESA ORGAN

Jantung Sesak Nafas :+ Edema : -


Angina Pektoris : - Palpitasi : -
Lain-lain : -

Saluran Batuk-batuk :+ Asma,bronchitis : -


Pernafasan Dahak :+ Lain-lain : -

Saluran Nafsu Makan : berkurang Penurunan BB : -


Pencernaan Keluhan menelan :- Keluhan Defekasi :-
Keluhan perut : + Lain-lain :-
22

Saluran Sakit BAK : + BAK tersendat :-


Urogenital Mengandung batu :- Keadaan urin : kuning
Lain-lain :-
Sendi dan Sakit pinggang : - Keterbatasan Gerak :-
Tulang Keluhan Persendiaan : - Lain-lain :-

Endokrin Haus/Polidipsi :- Gugup : -


Poliuri : - Perubahan suara :-
Polifagi :- Lain-lain :-

Saraf Pusat Sakit Kepala : - Hoyong :-


Lain-lain :-

Darah dan Pucat ; - Perdarahan :-


Pembuluh Darah Petechiae : - Purpura : -
Lain-lain :-

Sirkulasi Perifer Claudicatio Intermitten : - Lain-lain :-

ANAMNESA FAMILI : Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK

STATUS PRESENS

Keadaan Umum Keadaan Penyakit


Sensorium : Compos mentis Pancaran wajah : Lemas
Tekanan darah : 140/100 mmHg Sikap paksa :-
Nadi : 90x/i, regular, t/v: cukup Refleks fisiologis :+
Pernafasan : 28x/i Refleks patologis :-
Temperatur : 36,3°C (axilla)
23

Anemia (-/-), Ikterus (-/-), Dispnoe (+)

Sianosis (-), Edema (-), Purpura (-)

Turgor Kulit : Baik

Keadaan gizi : Obesitas

𝐵𝐵 𝑥 100%
𝐵𝑊 =
𝑇𝐵 − 100
92 𝑥 100%
𝐵𝑊 =
170 − 100
= 131,42 %

IMT : BB / (TB)2

: 92/(1,7)2

: 31,83 (Obesitas)

KEPALA :
Mata : Konjungtiva palp. inf. pucat (-/-), ikterus (-/-), pupil isokor ki=ka,
diameter ± 3mm, reflex cahaya direk (+/+) / indirek (+/+), kesan:
normal
Telinga : Dalam batas normal, serumen (+), membran timpani (+)
Hidung : Dalam batas normal, deviasi septum (-), pernafasan cuping hidung(-)
Mulut : Lidah : Atrofi papil lidah (-), kering (-)
Gigi geligi : Perdarahan (-), hyperplasia gingival (-)
Tonsil/faring : Hiperemis (-)

LEHER
Struma tidak membesar , tingkat : (-)
Pembesaran kelenjar limfa (-), lokasi (-), jumlah (-), konsistensi (-), mobilitas (-),
nyeri tekan (-)
Posisi trakea : medial, TVJ: R-2 cm H2O
Kaku kuduk (-), lain-lain (-)
24

THORAKS DEPAN
Inspeksi
Bentuk : simetris fusiformis
Pergerakan : thorakoabdominal, tidak ada ketinggalan di kedua
lapangan paru

Palpasi
Nyeri tekan : tidak dijumpai
Fremitus suara : stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Iktus : tidak terlihat, teraba pada ICS V

Perkusi
Paru
Batas Paru Hati R/A : relatif ICS IV, absolut ICS V
Peranjakan : 1 cm

Jantung
Batas atas jantung : ICS II-III LMCS
Batas kiri jantung : ICS V 1 cm medial LMCS
Batas kanan jantung : ICS V LPSD

Auskultasi
Paru
Suara pernafasan : Ekspirasi memanjang
Suara tambahan : Wheezing (+/+)
Jantung
M1>M2, P2>P1, T1>T2, A2>A1, desah sistolis (-), desah diastolis (-), lain-lain
(-), HR : 90x/menit ,regular, intensitas : cukup

THORAX BELAKANG
Inspeksi : Simetris fusiformis
25

Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan normal

Perkusi : Sonor kedua lapangan paru

Auskultasi : SP : Ekspirasi memanjang

ST : Wheezing (+/+)

ABDOMEN

Inspeksi

Bentuk : Simetris

Gerakan Lambung/usus : Normoperistaltik

Vena kolateral :-

Caput medusa :-

Palpasi
Dinding Abdomen : Soepel, H/L/R tidak teraba

HATI
Pembesaran :-
Permukaan :-
Pinggir :-
Nyeri Tekan :-

LIMFA
Pembesaran : (-), Schuffner (-), Haecket (-)

GINJAL
Ballotement : (-), Kiri / Kanan, lain-lain: (-)

UTERUS/OVARIUM : (-)
26

TUMOR : (-)

Perkusi

Pekak hati :-

Pekak beralih :-

Undulasi :-

Auskultasi

Peristaltik usus : Normoperistaltik

Lain-lain :-

PINGGANG

Nyeri ketuk sudut kosto vertebra (-), Kiri / Kanan

INGUINAL : Tidak dilakukan pemeriksaan


GENITAL LUAR : Tidak dilakukan pemeriksaan
PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)
Perineum : Tidak dilakukan pemeriksaan
Spincter Ani : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ampula : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mukosa : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sarung tangan : Tidak dilakukan pemeriksaan

ANGGOTA GERAK ATAS


Deformitas sendi :-
Lokasi :-
Jari tabuh :-
Tremor ujung jari :-
27

Telapak tangan sembab :-


Sianosis :-
Eritma Palmaris :-

ANGGOTA GERAK BAWAH Kiri Kanan


Edema - -
Arteri femoralis + +
Arteri tibialis posterior + +
Arteri dorsalis pedis + +
Reflex KPR + +
Refleks APR + +
Refleks Fisiologis + +
Refleks Patologis - -
Lain-lain - -
28

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

Darah Kemih Tinja


Hb: 16,3 g/dL Warna: kuning jernih Warna: kuning
Eritrosit: 5,73 x 106/mm3 Protein: +1 kecoklatan
Leukosit: 9,52 x 103/mm3 Reduksi: +1 Konsistensi: lunak
Trombosit: 301 x 103/mm3 Bilirubin: - Eritrosit: -
Ht: 48 % Urobilinogen: - Leukosit: -
Amoeba/Kista: -
MCV: 84 fL Sedimen
MCH: 28,4 pg Eritrosit: 0-1 /lpb Telur Cacing
MCHC: 34 g/dL Leukosit: 0-1 /lpb Ascaris: -
Epitel: 2-3 /lpb Ankylostoma: -
Neutrofil: 60,70 % Silinder: - /lpb T. Trichiura: -
Limfosit: 27,90 % Kremi: -
Monosit: 8,90 %
Eosinofil: 2,20 %

RESUME

ANAMNESA Keluhan Utama : Dyspnoea (+)


Telaah :
Hal ini dialami OS ± 1 tahun terakhir dan memberat 2
minggu ini; Wheezing (+); Riwayat kontak dengan
debu (+); Riwayat merokok (+) ± 30 tahun, 3
bungkus/hari, rokok filter; Tussis (+); Sputum (+)
warna kuning; Epigastric pain (+); Nausea (+);
Anorexia (+); Cachexia (+); Pyrexia (+).
STATUS PRESENS Keadaan Umum : Sedang
Keadaan Penyakit : Sedang
Keadaan Gizi : Berlebih
PEMERIKSAAN FISIK Sensorium : Compos mentis
29

Tekanan darah : 140/100 mmHg


Nadi : 90x/i
Pernafasan : 28x/i
Temperatur : 36,3°C

Thoraks
Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : sonor
Auskultasi: SP: ekspirasi memanjang
ST: wheezing (+/+)
LABORATORIUM Darah : Kesan normal
RUTIN Kemih : Kesan normal
Tinja : Kesan normal
DIAGNOSA BANDING 1. PPOK eksaserbasi akut dd asma dd pneumonia
dd TB paru dd mikosis paru
2. High blood pressure dd hipertensi st I
3. Dyspepsia fungsional dd organik
DIAGNOSA PPOK eksaserbasi akut + High blood pressure +
SEMENTARA Dyspepsia fungsional
PENATALAKSANAAN Aktivitas : Tirah baring
Diet : Diet MB rendah garam
Tindakan suportif : IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i (makro),
O2 1-2 L/i
Medikamentosa :
 Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
 Inj. Ranitidine 50mg/12 jam
 Inj. Metoclopramide 10mg/8 jam
 Nebule ventoline 1 fls/12 jam
 Nebule flexotide 1 fls/12 jam
30

 Ambroxol syr 3 x C1
 Paracetamol tab 500 mg (k/p)
Rencana Penjajakan Diagnostik/Tindakan Lanjutan

1. Urinalisa 6. EKG
2. Profil lipid + AGDA 7. Spirometri
3. BTA DS 3x 8. Pantau TD
4. Kultur sputum 9. Modifikasi gaya hidup
5. Foto Thorax PA

FOLLOW UP

Tanggal S O A P
5-5- Sesak Compos mentis  PPOK  Tirah baring
2016 nafas (+) TD: 140/90 mmHg eksaserbasi  O2 1-2 L/i
dan HR : 100x/i akut  IVFD NaCl
batuk RR : 28x/i  High blood
(+) Temp :36,7°C 0,9% 20 gtt/i
pressure
 Dyspepsia  Diet MB rendah
Mata: Anemia (-/-) fungsional garam
,ikterus (-/-)  Inj. Ceftriaxone
Leher: TVJ R -2 cm 1gr/12 jam
H2O
 Inj. Ranitidine
Thoraks
SP : Ekspirasi 50mg/12 jam
memanjang  Inj.
ST : Wheezing Metoclopramide
(+/+) 10mg/8 jam
Abdomen :
 Nebule
Simetris, soepel
H/L/R tidak teraba ventoline 1
Ext : Inf&sup fls/12 jam
oedema(-/-)  Nebule flexotide
1 fls/12 jam
Hasil Lab  Ambroxol syr
Hb/Leu/Tr =
3xC1
16.3/9.520/301.000
 Paracetamol tab
MCV/MCH/MCHC 500 mg (k/p)
= 84/28.4/34.0

Urinalisa = P/R/B/U
+1/+1/-/-
Sedimen =
31

Eri 0-1/lpb
Leu 8-10 /lpb
Epi 2-3/lpb
Silinder (-)
Kristal (-)
Bakteri (-)
6-5- Sesak Compos mentis  PPOK  Tirah baring
2016 nafas (+) TD: 130/90 mmHg eksaserbasi  O2 1-2 L/i
dan HR : 90x/i akut  IVFD NaCl
batuk RR : 24x/i  High blood
(+) Temp :36,7°C 0,9% 20 gtt/i
pressure
 Dyspepsia  Diet MB rendah
Mata: Anemia (-/-) fungsional garam
,ikterus (-/-)  Inj. Ceftriaxone
Leher: TVJ R -2 cm 1gr/12 jam
H2O
 Inj. Ranitidine
Thoraks
SP : Ekspirasi 50mg/12 jam
memanjang  Inj.
ST : Wheezing Metoclopramide
(+/+) 10mg/8 jam
Abdomen :
 Nebule
Simetris, soepel
H/L/R tidak teraba ventoline 1
Ext : Inf&sup fls/12 jam
oedema(-/-)  Nebule flexotide
1 fls/12 jam
 Ambroxol syr
3xC1
 Paracetamol tab
500 mg (k/p)
7-5- Sesak Compos mentis  PPOK  Tirah baring
2016 nafas (+) TD: 130/90 mmHg eksaserbasi  O2 1-2 L/i
dan HR : 90x/i akut  IVFD NaCl
batuk RR : 26x/i  High blood
(+) Temp :36,7°C 0,9% 20 gtt/i
pressure
 Dyspepsia  Diet MB rendah
Mata: Anemia (-/-) fungsional garam
,ikterus (-/-)  Inj. Ceftriaxone
Leher: TVJ R -2 cm 1gr/12 jam
H2O
 Inj. Ranitidine
Thoraks
SP : Ekspirasi 50mg/12 jam
memanjang  Inj.
ST : Wheezing Metoclopramide
32

(+/+) 10mg/8 jam


Abdomen :  Nebule
Simetris, soepel ventoline 1
H/L/R tidak teraba
fls/12 jam
Ext : Inf&sup
oedema(-/-)  Nebule flexotide
1 fls/12 jam
 Ambroxol syr
3xC1
 Paracetamol tab
500 mg (k/p)
8-5- Sesak Compos mentis  PPOK  Tirah baring
2016 nafas (+) TD: 130/90 mmHg eksaserbasi  O2 1-2 L/i
dan HR : 92x/i akut  IVFD NaCl
batuk RR : 24x/i  High blood
(+) Temp :36,7°C 0,9% 20 gtt/i
pressure
 Dyspepsia  Diet MB rendah
Mata: Anemia (-/-) fungsional garam
,ikterus (-/-)  Inj. Ceftriaxone
Leher: TVJ R -2 cm 1gr/12 jam
H2O
 Inj. Ranitidine
Thoraks
SP : Ekspirasi 50mg/12 jam
memanjang  Inj.
ST : Wheezing Metoclopramide
(+/+) 10mg/8 jam
Abdomen :
 Nebule
Simetris, soepel
H/L/R tidak teraba ventoline 1
Ext : Inf&sup fls/12 jam
oedema(-/-)  Nebule flexotide
1 fls/12 jam
 Ambroxol syr
3xC1
 Paracetamol tab
500 mg (k/p)
9-5- Sesak Compos mentis  PPOK  Tirah baring
2016 nafas (+) TD: 130/90 mmHg eksaserbasi  O2 1-2 L/i
dan HR : 68x/i akut  IVFD NaCl
batuk RR : 26x/i  High blood
(+) Temp :36,2°C 0,9% 20 gtt/i
pressure
 Dyspepsia  Diet MB rendah
Mata: Anemia (-/-) fungsional garam
,ikterus (-/-)  Inj. Ceftriaxone
Leher: TVJ R -2 cm
33

H2O 1gr/12 jam


Thoraks  Inj. Ranitidine
SP : Ekspirasi 50mg/12 jam
memanjang
ST : Wheezing  Inj.
(+/+) Metoclopramide
Abdomen : 10mg/8 jam
Simetris, soepel  Nebule
H/L/R tidak teraba ventoline 1
Ext : Inf&sup fls/12 jam
oedema(-/-)
 Nebule flexotide
1 fls/12 jam
 Ambroxol syr
3xC1
 Paracetamol tab
500 mg (k/p)
10-5- Sesak Compos mentis  PPOK stabil  Tirah baring
2016 nafas (-) TD: 110/80 mmHg  O2 1-2 L/i
dan HR : 84x/i
 IVFD NaCl
batuk (-) RR : 24x/i
Temp :36,5°C 0,9% 20 gtt/i
 Diet MB rendah
Mata: Anemia (-/-) garam
,ikterus (-/-)  Inj. Ceftriaxone
Leher: TVJ R -2 cm 1gr/12 jam
H2O
 Inj. Ranitidine
Thoraks
SP : Vesikuler 50mg/12 jam
ST : -  Inj.
Abdomen : Metoclopramide
Simetris, soepel 10mg/8 jam
H/L/R tidak teraba
 Nebule
Ext : Inf&sup
ventoline 1
oedema(-/-)
fls/12 jam
 Nebule flexotide
1 fls/12 jam
 Ambroxol syr
3xC1
 Paracetamol tab
500 mg (k/p)
11-05- Sesak Compos mentis  PPOK stabil  Tirah baring
2016 nafas (-) TD: 110/80 mmHg  O2 1-2 L/i
dan HR : 88x/i
34

batuk (-) RR : 24x/i  IVFD NaCl


Temp :36,5°C 0,9% 20 gtt/i
 Diet MB rendah
Mata: Anemia (-/-)
,ikterus (-/-) garam
Leher: TVJ R -2 cm  Inj. Ceftriaxone
H2O 1gr/12 jam
Thoraks  Inj. Ranitidine
SP : Vesikuler 50mg/12 jam
ST : -
 Inj.
Abdomen :
Simetris, soepel Metoclopramide
H/L/R tidak teraba 10mg/8 jam
Ext : Inf&sup  Nebule
oedema(-/-) ventoline 1
fls/12 jam
 Nebule flexotide
1 fls/12 jam
 Ambroxol syr
3xC1
 Paracetamol tab
500 mg (k/p)
35

BAB 4

DISKUSI KASUS

No TEORI KASUS
1 Defenisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) Pasien mangeluhkan gejala
adalah penyakit paru kronik dengan hambatan (obstuksi) saluran
karakteristik adanya hambatan aliran nafas dan inflamasi yaitu batuk
udara di saluran napas yang bersifat berdahak warna kuning, sesak
progresif nonreversibel atau reversibel nafas, dan disertai demam.
parsial, serta adanya respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajat berat
penyakit.
2 Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) Pasien adalah seorang pria
umumnya lebih sering terjadi pada berumur 45 tahun dan memiliki
kelompok pria dibanding wanita riwayat merokok.
(perbandingannya 3:1). Penderita PPOK
umumnya berusia minimal 40 tahun, akan
tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK
terjadi pada usia kurang dari 40 tahun.
3 Faktor Risiko Pasien memiliki riwayat
Faktor yang paling memainkan peran merokok selama 30 tahun
dalam proses terjadinya penyakit paru lebih, dan pekerjaan pasien
obstruktif kronik (PPOK) adalah riwayat sehari-hari adalah supir.
merokok. selain itu, polusi dalam ruangan
seperti asap kompor, polusi di luar
ruangan seperti debu jalan dan asap
36

kendaraan, dan polusi di tempat kerja


seperti bahan kimia, zat iritasi, dan gas
beracun.

4 Gejala Klinis Pasien mangeluhkan batuk


1. Sesak nafas berdahak warna kuning, sesak
Progresif (sesak bertambah seiring nafas, dan disertai demam.
berjalannya waktu), bertambah berat Pasien memiliki riwayat
dengan aktivitas, persisten (menetap merokok, dan pekerjaan pasien
sepanjang hari), pasien mengeluh sehari-hari adalah supir
berupa “perlu usaha untuk bernapas”,
berat, sukar bernapas, terengah-engah
2. Batuk kronik
Hilang timbul dan mungkin tidak
berdahak
3. Batuk kronik berdahak
Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK
4. Riwayat terpajan faktor risiko
Asap rokok, debu, bahan kimia di
tempat kerja, asap dapur

5 Pemeriksaan Fisik Sensorium : compos mentis


PPOK dini umumnya tidak ada Tekanan darah: 140/100 mmHg
kelainan Nadi : 90x/i
Pernafasan : 28x/i
 Inspeksi Temperatur : 36,3°C
- Pursed-lips breathing (mulut
setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-
37

posterior dan transversal sebanding) Thoraks


- Penggunaan otot bantu nafas Inspeksi:
- Hipertrofi otot bantu nafas simetris fusiformis
- Pelebaran sela iga Palpasi :
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan stem fremitus kanan = kiri,
terlihat denyut vena jugularis di leher kesan normal
dan edema pada tungkai Perkusi :
- Penampilan pink puffer atau blue sonor pada kedua lapangan
bloater paru
 Palpasi Auskultasi:
Pada emfisema, fremitus melemah, Suara Pernapasan: ekspirasi
sela iga melebar memanjang
 Perkusi Suara Tambahan: wheezing
Pada emfisema, suara perkusi
hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah.
 Auskultasi
- Suara nafas vesikuler normal atau
melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada
waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer adalah gambaran yang


khas pada emfisema, penderita kurus,
kulit kemerahan dan pernafasan
pursed-lips breathing
38

Blue bloater adalah gambaran yang


khas pada bronchitis kronik,
penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di
basal paru, sianosis sentral dan
perifer
Pursed-lips breathing adalah sikap
seseorang yang bernafas dengan
mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2
yang terjadi pada gagal nafas kronik.

5 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Rutin Pada pasien akan dilakukan
1. Faal Paru penjajakan berupa
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, pemeriksaan:
KVP, VEP1/KVP), dan Uji 1. Urinalisa
bronkodilator 2. Profil lipid + AGDA
2. Laboratorium darah 3. BTA DS 3X
3. Radiologi 4. Kultur sputum
5. Foto thorax PA
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
6. EKG
1. Faal Paru Lengkap
7. Spirometri
2. Uji latih kardiopulmoner
8. Pantau TD
3. Uji provokasi bronkus
9. Modifikasi gaya hidup
4. Analisi gas darah
5. Radiologi lanjut
39

6. EKG
7. Ekokardiografi
8. Bakteriologi
9. Kadar a-1 antitripsin

6 Tatalaksana
1. Bronkodilator  Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Bronkodilator yang lebih dipilih pada  Inj. Ranitidine 50mg/12 jam
terapi eksaserbasi PPOK adalah short-  Inj. Metoclopramide 10mg/8
acting inhaled B2-agonists. Jika respon jam
segera dari obat ini belum tercapai,  Nebule ventoline 1 fls/12
direkomendasikan menambahkan jam
antikolinergik, walaupun bukti ilmiah  Nebule flexotide 1 fls/12
efektivitas kombinasi ini masih jam
kontroversial. Walaupun penggunaan  Ambroxol syr 3 x C1
klinisnya yang luas, peranan  Paracetamol tab 500 mg
metilxantin dalam terapi eksaserbasi
(k/p)
masih kontroversial. Sekarang
metilxantin (teofilin, aminofilin)
dipertimbangkan sebagai terapi lini
kedua, ketika tidak ada respon yang
adekuat dari penggunaan short-acting
inhaled B2-agonists. Tidak ada
penelitian klinis yang mengevaluasi
penggunaan long-acting inhaled B2-
agonists dengan/tanpa inhalasi
glukokortikosteroid selama eksaserbasi
(GOLD, 2009).
Bila rawat jalan B2-agonis dan
antikolinergik harus diberikan dengan
40

peningkatan dosis. Inhaler masih cukup


efektif bila digunakan dengan cara
yang tepat, nebulizer dapat digunakan
agar bronkodilator lebih efektif. Hati-
hati dengan penggunaan nebulizer
yang memakai oksigen sebagai
kompresor, karena penggunaan
oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan
uap dapat menyebabkan retensi CO2.
Golongan xantin dapat diberikan
bersama-sama dengan bronkodilator
lainnya karena mempunyai efek
memperkuat otot diafragma. Dalam
perawatan di rumah sakit,
bronkodilator diberikan secara
intravena dan nebulizer, dengan
pemberian lebih sering perlu monitor
ketat terhadap timbulnya palpitasi
sebagai efek samping bronkodilator
(PDPI, 2003).
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena
direkomendasikan sebagai tambahan
terapi pada penanganan eksaserbasi
PPOK. Dosis pasti yang
direkomendasikan tidak diketahui,
tetapi dosis tinggi berhubungan dengan
risiko efek samping yang bermakna.
Dosis prednisolon oral sebesar 30-40
mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif
dan aman (GOLD, 2009). Menurut
41

PDPI (2003), kortikosteroid tidakselalu


diberikan tergantung derajat berat
eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat
sedang dapat diberikan prednison 30
mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan secara
intravena. Pemberian lebih dari dua
minggu tidak memberikan manfaat
yang lebih baik, tetapi lebih banyak
menimbulkan efek samping.
3. Antibiotik
Antibiotik harus diberikan kepada
(GOLD, 2009):
d. Pasien eksaserbasi yang mempunyai
tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan
volume sputum, sputum menjadi
semakin purulen, dan peningkatan
sesak.
e. Pasien eksaserbasi yang mempunyai
dua gejala kardinal, jika peningkatan
purulensi merupakan salah satu dari
dua gejala tersebut.
f. Pasien eksaserbasi yang memerlukan
ventilasi mekanik.
Pemilihan antibiotik disesuaikan
dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang
mutakhir. Pemberian antibiotik di
rumah sakit sebaiknya per drip atau
intravena, sedangkan untuk rawat jalan
bila eksaserbasi sedang sebaiknya
42

diberikan kombinasi dengan makrolid,


dan bila ringan dapat diberikan
tunggal. Antibiotik yang dapat
diberikan di Puskesmas yaitu lini I:
Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin,
dan lini II: Ampisilin kombinasi
Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi
Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol
ditambah dengan Eritromisin sebagai
Makrolid (PDPI, 2003).
4. Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen
merupakan hal yang pertama dan
utama, bertujuan untuk memperbaiki
hipoksemia dan mencegah keadaan
yang mengancam jiwa, dapat dilakukan
di ruang gawat darurat, ruang rawat
atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang
adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg
atau SaO2>90%) mudah tercapai pada
pasien PPOK yang tidak ada
komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat
terjadi secara perlahan-lahan dengan
perubahan gejala yang sedikit sehingga
perlu evaluasi ketat hiperkapnia.
Gunakan sungkup dengankadar yang
sudah ditentukan (ventury mask) 24%,
28% atau 32%. Perhatikan apakah
sungkup rebreathing atau non-
rebreathing, tergantung kadar PaCO2
dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak
43

dapat mencapai kondisi oksigenasi


adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik (PDPI, 2003).
5. Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi
mekanik pada PPOK eksaserbasi berat
adalah mengurangi mortalitas dan
morbiditas, serta memperbaiki gejala.
Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi
intermiten non invasif (NIV), baik
yang menggunakan tekanan negatif
ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi
mekanik invasif dengan oro-tracheal
tube atau trakeostomi. Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal
dipikirkan penggunaan ventilasi
mekanik dengan intubasi. Penggunaan
NIV telah dipelajari dalam beberapa
Randomized Controlled Trials pada
kasus gagal napas akut, yang secara
konsisten menunjukkan hasil positif
dengan angka keberhasilan 80-85%.
Hasil ini menunjukkan bukti bahwa
NIV memperbaiki asidosis respiratorik,
menurunkan frekuensi pernapasan,
derajat keparahan sesak, dan lamanya
rawat inap (GOLD, 2009)
44

BAB 5

KESIMPULAN

Seorang laki-laki, HH usia 45 tahun berdasarkan anmnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang didiagnosis dengan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) dan dianjurkan untuk rawat inap. Pasien diberikan tatalaksana
tirah baring dan diet MBTKP & rendah garam dengan terapi medikamentosa Inj.
Ceftriaxone 1gr/12 jam, Inj. Ranitidine 50mg/12 jam, Inj. Metoclopramide
10mg/8 jam, Nebule ventoline 1 fls/12 jam, Nebule flexotide 1 fls/12 jam,
Ambroxol syr 3 x C1, dan Paracetamol tab 500 mg (k/p).
45

DAFTAR PUSTAKA

Amin, 1996. Polusi Udara dan Rokok Alfa-I Antitripsin. Surabaya: Air Langga
University Press.

Casaburi R, ZuWallack R. Pulmonary rehabilitation for management of Chronic


Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J med 2009: 360:1329- 35.
Depkes RI, 2002. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS).

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy
for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. 2011

Guyton AC, Hall JE. 2006. Ventilasi Paru dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
Edisi 11. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 495-506.

Khairani F., 2013. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Universitas Diponegoro

Muthmainnah, Restuastuti. T., Munir. S. M., 2015. Gambaran Kualitas Hidup


Pasien PPOK Stabil di Poli Paru RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
Dengan Menggunakan Kuesioner SGRQ. JOM FK Volume 2 No. 2 Oktober
2015.

Oemiati, R., 2013. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK). Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88

Parhusip, D.H., 2008. Kadar C-Reactive Protein pada Penderita PPOK


eksaserbasi Penelitian Potong Lintang di Departemen / SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran USU/ RSUP H Adam Malik / RSUD Dr.
Pirngadi Medan Maret 2008 – Juni 2008. Universitas Sumatera Utara.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK): Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.
46

Available from : http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-


ppok/ppok.pdf

Setiyanto, H., dkk., 2008. Pola Sensitiviti Kuman PPOK Eksaserbasi Akut yang
Mendapat Pengobatan Echinacea Purpurea dan Antibiotik Siprofloksasin.
Jurnal Respirologi Indonesia Vol. 28, No.3.

World Health Organization (WHO). Chronic Obstructive Pulmonary Disease


(COPD.) 2015 Available from : http://www.who.int/respiratory/copd/en/
47

Anda mungkin juga menyukai