(SLE)
A. Defenisi SLE
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) adalah
penyakit autoimun multisistem dengan perbedaan gejala klinis. Fungsi sistem imun
yang abnormal dan pembentukan antibodi terhadap antigen diri menjadi dasar
patogenesis dari SLE. Ciri dari SLE adalah pengembangan autoantibodi nuclear
selular yang mengarah kepada penyakit autoimun peradangan kronis (Dipiro et. al.,
2005).
B. Etiologi
Etiologi produksi autoantibodi abnormal dan pengembangan SLE masih
belum diketahui. Faktor genetik, lingkungan, dan hormonal semua mungkin
memainkan peran dalam hilangnya toleransi diri dan ekspresi penyakit (Dipiro, et al.,
2005). Beberapa gen berkontribusi dalam kerentanan SLE, dan setidaknya 100 gen
telah dikaitkan dengan SLE pada manusia. Bukti menunjukkan bahwa besar gen
MHC (Major Hiscompatibility Complex), terutama beberapa gen HLA (Human
Leukocyte Antigen), mungkin berperan penting dalam lupus. Agen lingkungan yang
mungkin memiliki peran dalam induksi atau aktivasi SLE termasuk sinar matahari
(sinar ultraviolet), obat-obatan, bahan kimia seperti hidrazin (ditemukan dalam
tembakau) dan amina aromatik (ditemukan dalam pewarna rambut), diet, estrogen
lingkungan, dan infeksi virus atau bakteri. Selain itu, androgen dapat menghambat
dan estrogen meningkatkan ekspresi autoimunitas, dan peningkatan sirkulasi kadar
prolaktin telah dikaitkan dengan lupus pada laki-laki dan perempuan (Dipiro, et al.,
2005).
C. Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi
sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia,
produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003).
Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik
yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus,
fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA.
Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi
peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T
akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs
dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut
dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan
adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel
Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-
2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat
membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa
gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi
seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B
yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan
dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami
peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga
meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90
akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya
respon imun.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan
dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi
terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall,
1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut
sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan
sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang
umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi
autoantibodi (Mok and Lau, 2003).
Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan
tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3
mekanisme yaitu:
1. Kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan
dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.
2. Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak
di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan.
3. Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi
komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke
dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi
sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan
(Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks
imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take
kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat
disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan
IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga
berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan
tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan
terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam
organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi
yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,
pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi
apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi
apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan
oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi
inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di
dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel.
Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang
akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter
ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan
mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada
SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi
dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan
apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan
apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
Patogenesis dari SLE
Faktor lingkungan, seperti organisme infeksius, obat-obatan, dan bahan kimia,
disajikan sebagai agen pencetus dalam genetik dan hormonal individu yang rentan
menstimulasi keadaan dari penataan ulang imun. Respon imun yang abnormal
menyebabkan fungsi sel T-helper tipe 2 limfosit dan limfosit B hiperaktif. Penekan
fungsi T-limfosit, produksi sitokin, dan mekanisme pengaturan kekebalan tubuh
lainnya juga tidak normal dan gagal untuk menurunkan pembentukan antibodi dari B
limfosit hiperaktif. Autoantibodi terbentuk dari disregulasi imun ini menjadi patogen,
bentuk kompleks imun, dan mengaktifkan komplemen yang mengarah ke kerusakan
jaringan host. (APC, sel antigen-presenting; TH2, T-helper tipe 2.)
D. Diagnosa
American College of Rheumatology (ACR) mengembangkan kriteria untuk
mengidentifikasi pasien lupus. Kriteria ini dikembangkan pada tahun 1971, direvisi
pada tahun 1982, dan dimodifikasi sedikit pada tahun 1997. Kriteria tidak mencakup
semua manifestasi klinis penyakit dan digunakan terutama untuk membedakan SLE
dari penyakit collagen-vascular lainnya (Dipiro, et al., 2005).
Kriteria klasifikasi Lupus Sistemik Erythematosus (Dipiro, et al., 2005) :
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan fotikular.
Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter
Arthritis Arthritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau
efusia.
Serositis a. Pleuritis - Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritik friction yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura
atau
b. Perikarditis – Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapatbukti effusi pericardium
Gangguan renal a. Proteinuria menetap > 50 gram perhari atau > 3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder sekunder : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan
neurologi metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau
ketidak seimbangan elektrolit)
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
hematologik atau
b. Leukopenia < 4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
c. Limfofenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan obat-
obatan.
Gangguan a. Anti DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
imunologik abnormal.
atau
b. Anti-Sm:terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan posistif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas :
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG
atau IgM
2) Tes lupus anti koagulanpositif menggunakan metoda
standar, atau
3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes
imobilisasi Treponema pollidium atau tes fluoresensi
absorbsi antibodi treponema
Antibodi Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
antinuklear positif imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
(ANA) waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))
6. Foto polos thorax
pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring.
* Setiap 3-6 bulan bila stabil
Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial
tromboplastin time Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari
manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan
tergantung kondisi klinis pasien. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
2011).
F. Penatalaksanaan
2. Antimalaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroksiklorokuin telah digunakan
dengan sukses dalam pengobatan lupus diskoid dan SLE. Terapi antimalaria ini dapat
mengendalikan eksaserbasi penyakit. Karena obat ini tidak efektif dengan segera,
obat malaria ini baik digunakan dalam pengelolaan jangka panjang.
Hydroxychloroquine mungkin lebih aman daripada klorokuin dan dianggap sebagai
antimalaria dari pilihan pertama.Secara umum, manifestasi dari SLE yang
dapat diobati dengan antimalaria adalah artralgia, pleuritis, peradangan
ringan, kelelahan dan leukopenia. Mekanisme kerja dari obat antimalaria ini yaitu
dapat mengganggu aktifasi limfosit-T. Efek lain dari antimalaria yang mungkin
bermanfaat bagi pasien SLE termasuk penghambatan sitokin, penurunan sensitivitas
terhadapsinar ultraviolet, aktivitas anti-inflamasi, efek antiplatelet, dan
antihiperlipidemia (Dipiro et.al, 2005).
Dosis dan lama terapi tergantung pada respon pasien. Dosis yang disarankan
pada SLE yaitu hydroxychloroquine 200 – 400mg/hari dan chloroquine 250 –
500mg/hari. Setelah 1 atau 2 tahun pengobatan, maka dosis diturunkan secara
bertahap.Efek samping dari obat ini diantaranya sakit kepala, gelisah, insomnia,
ruam, pigmentasi perubahan kulit dan rambut dan toksisitas mata reversibel seperti
gangguan pada kornea. Evaluasi harus dilakukan pada awal dan setiap 3 bulan ketika
menggunakan klorokuin dan setiap 6 sampai 12 bulan ketika menggunakan
hidroksiklorokuin(Dipiro et.al, 2005).
3. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat digunakan dalam terapi untuk SLE. Pada lupus
nefritis dapat dilakukan dengan menggunakan terapi kortikosteroid. Seorang pasien
tidak langsung memerlukan terapi kortikosteroid, tapi apabila tidak menimbulkan
respon terhadap NSAID atau antimalaria baru digunakan kortikosteroid. Tujuan dari
pengobatan dengan kortikosteroid pada SLE yaitu untuk menekan dan
mempertahankan penyakit yang aktif dengan dosis serendah mungkin. Pada pasien
dengan penyakit yang ringan, terapi dosis rendah (Prednison 10-20 mg/hari), tetapi
pada pasien yang dengan penyakit lebih parah, memerlukan dosis yang lebih tinggi
(Prednison 1-2 mg/kgBB/hari). Dan setelah efek dicapai, maka dosis diturunkan
secara berangsur-angsur untuk menekan penyakit lanjutan. Selain itu, pada
penggunaan kortikosteroid ini juga harus dipertimbangkan hal yang lain yang dapat
meningkatkan resiko kortikosteroid, seperti infeksi, hipertensi, penyakit
arterosklerosis, diabetes, obesitas, dan osteoporosis (Dipiro et.al, 2005).
4. Cytotoxic
Obat-obat sitotoksik ini adalah siklofosfamid (agen pengalkilasi) dan
azathioprine (antimetabolit). Obat sitotoksik ini biasanya digunakan dalam kombinasi
dengan kortikosteroid, telah menjadi andalan terapi imunosupresif. Terapi sitotoksik
kombinasi dengan kortikosteroid, memungkinkan dosis steroid yang lebih rendah dan
meningkatkan hasil terapi dibandingkan dengan steroid tunggal.Namun, terapi
sitotoksik harus dimonitor efek sampingnya, dan respon maksimum 6 bulan atau lebih
pada beberapa pasien (Dipiro et.al, 2005).
Azathioprine
Azathioprineadalah antimetabolit imunosupresan yang bekerja dengan
mengurangibiosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel
termasuk selsistem kekebalan tubuh. Azathioprine digunakan sebagai agen
“steroid-sparing” sehingga dosis kortikosteroid dapat dikurangi. Pemberian
azathioprine lebih efektif dibandingkan prednisone tunggal. Azathioprine
diberikan secara oral dalam dosis 1-3 mg/kg per hari, sering dalam kombinasi
dengan kortikosteroid untuk penyakit yang parah. Azathioprine lebih aman
dari siklofosfamid, tetapi efek samping dapat serius dan termasuk supresi
hematopoiesis, infeksi oportunistik termasuk herpes zoster, kanker,
hepatotoksisitas, dan kegagalan fungsi ovarium.
Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetilberfungsi menghambat sintesis
purin,proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid,MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung
telur) danlebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau
alopecia(kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebihbaik
ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalamkehamilan,
sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur biladisertai
penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangnyawaktu
paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggusebelum konsepsi
yang direncanakan.
Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikansebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak
efek pada sel-selsistem kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin.
Digunakann seminggu sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat
sekaliseminggu (tidak pada hari yang sama dengan methotrexate) secara
rutinuntuk mengurangi risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup
seringterjadi, leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang
abnormalkadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan
selamakehamilan.
Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga
menyebabkanpenurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan
kreatininserum merupakan efek samping yang paling sering terjadi
sehinggapemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini
dianggapaman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif
terendahdengan memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal.
Cyclophosphamide
Obat ini telah terbuktimeningkatkan efek pengobatan terhadap pasien
lupus ginjal dibandingkanhanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak
digunakan untukpengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru
berat. Dapatdiberikan dalam dosis oral harian atau sebagai infus intravena.
Sesuaidengan keparahan penyakit. Siklofosfamid sering diberikan secara
intravena dalam dosis pulse intermiten untuk meminimalkan toksisitas. Untuk
mengurangi risiko toksisitas kandung kemih, pasien harus terhidrasi dengan
baik dengan pemberian cairan oral atau intravena, dan output urin harus
dipantau.
Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial
dalamperkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan
kombinasidengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan
tingkatautoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan dramatis
padabeberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu obat
yangmenjanjikan untuk Lupus
PEMBAHASAN KASUS
1. Pengkajian Administrasi
2. Pengkajian Farmasetis
a. Metotrexat
Pengkajian Farmasetis Ada / Tidak Keterangan
b. Kloroquin
Pengkajian Farmasetis Ada / Tidak Keterangan
c. Kalsium Laktat
Pengkajian Farmasetis Ada / Tidak Keterangan
d. Lansoprazol
Pengkajian Farmasetis Ada / Tidak Keterangan
Nama, bentuk, kekuatan, Nama : Ada Lansoprazol No.XXX
jumlah obat Bentuk : ada
Kekuatan : tidak ada
Jumlah obat : Ada
Signa / Aturan Pakai Ada S 1dd tab 1 (satu kali sehari,
satu tablet)
Stabilitas obat Tidak ada Disimpan pada suhu 250C
atau pada batas suhu 150C –
300C
e. Sukralfat syr
Pengkajian Farmasetis Ada / Tidak Keterangan
f. Asam folat
Pengkajian Farmasetis Ada / Tidak Keterangan
g. Amlodipin
Pengkajian Farmasetis Ada / Tidak Keterangan
1 8a Penggunaan methotrexate Gunakan obat ulcer yang lain yang Konfirmasikan ke dokter
bersamaan dengan Lansoprazole lebih aman jka dikombinasi dengan
dapat meningkatkan konsentrasi methotrextate. Atau perlu
methotrextate didalam darah dan penyesuaian dosis jika penggunaan
meningkatkan efek samping dua obat ini secara bersamaan
methotrextate (drugs.com) (drug.com)
1. Indikasi 3. Dosis obat 7. Lama pemberian 10. Keidaksesuaian RM 14. Kompatibilitas obat
a. Tidak ada indikasi a. Kelebihan (over dosis) 8. Interaksi obat dengan: 15. Ketersediaan obat/kegagalan mendapat obat
b. Ada indikasi, b. Kurang (under dosis) a. obat a. Resep 16. Kepatuhan
tidak ada terapi 4. Interval pemberian b.mak/min b. Buku injeksi 17. Duplikasi Terapi
c. Kontra indikasi 5.Cara/waktu pemberian c. hasil lab 11. Kesalahan penulisan resep 18. Lain-lain……………………………………
2. Pemilihan Obat 6.Rute pemberian 9. Efek Samping 12. Stabilitas sediaan injeksi
13. sterilitas sediaan injeksi
Penyerahan Obat
Periksa kesesuaian antara resep, obat dan etiket : Nama obat, Jumlah, aturan pakai,
nama pasien.
Nama pasien : Ny. N
No. resep atau No DMK : 12.41.99.xx
Periksa ketepatan pasien dengan obat yang akan diserahkan tanyakan nama
pasien, alamat, nomor reg dan nomor resep.
Yang diperiksa Resep Obat
Nama Obat Methotrextate Methotrextate
Jumlah 20 tab 20 tab
Aturan Pakai S 1dd tab IV Sehari satu kali 4 tablet
Etiket Warna putih
a. Metotrextate
Nama Obat : Metotextate
Tujuan Pengobatan : Sebagai imunosupresan
Cara penggunaan : per oral sehari satu kali empat tablet
Cara penyimpanan : Obat disimpan pada suhu 15-250C. Hindari dari
cahaya secara langsung
Interaksi Obat : Lansoprazole
Efek samping : Mual, muntah, diare, anoreksia, kerusakan ginjal,
nefropati, faringitis dll
b. Klorokuin
Nama Obat : Klorokuin
Tujuan Pengobatan : Sebagai penghambat sitokin, antiplatelet dan sebagai
antiinflamasi
Cara penggunaan : per oral sehari satu kali satu tablet
Cara penyimpanan : Obat harus disimpan pada suhu 250C
Efek samping : jarang terjadi seperti diare, mual, muntah, kejang
perut dll
c. Kalsium Laktat
Nama Obat : Kalsium Laktat
Tujuan Pengobatan :
Cara penggunaan : per oral sehari satu kali satu tablet
Cara penyimpanan :
Efek samping :
d. Lansoprazole
Nama Obat : Lansoprazole
Tujuan Pengobatan : Untuk
Cara penggunaan : per oral sehari satu kali satu tablet sesudah makan
Cara penyimpanan : Obat disimpan pada suhu 250C atau dalam rentang 15-
300C
Interaksi Obat : Metotrextate
Efek samping : Sakit kepala, diare, konstipasi, mual, nyeri perut
e. Sukralfat
Nama Obat : Sukralfat
Tujuan Pengobatan : sebagai profilaksis peptic ulcer
Cara penggunaan : per oral sehari empat kali satu sendok makan
Cara penyimpanan : Stabil pada suhu kamar, kocok dahulu sebelum
diminum.
Efek samping : Konstipasi, pusing, kembung, mual, muntah
f. Asam Folat
Nama Obat : Asam folat
Tujuan Pengobatan : Sebagai profilaksis toksisitas metotrextate
Cara penggunaan : per oral sehari satu kali satu tablet
Cara penyimpanan :
Efek samping : bronkospasme, malaise, ruam kulit, eritema dll
g. Amlodipin
Nama Obat : Asam folat
Tujuan Pengobatan : Sebagai antihipertensi
Cara penggunaan : per oral sehari satu kali satu tablet
Cara penyimpanan : Obat disimpan pada suhu 250C atau dalam rentang 15-
300C
Efek samping : pulmonary edema, sakit kepala, pusing dll