0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
193 tayangan9 halaman
Penggelolaan obat di puskesmas bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan obat yang efisien melalui perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi, pengendalian, pemusnahan, dan pencatatan obat. Prosesnya meliputi perencanaan kebutuhan tahunan berdasarkan data sebelumnya, permintaan obat sesuai kebutuhan, penerimaan dan pengecekan obat, penyimpanan yang memenu
Penggelolaan obat di puskesmas bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan obat yang efisien melalui perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi, pengendalian, pemusnahan, dan pencatatan obat. Prosesnya meliputi perencanaan kebutuhan tahunan berdasarkan data sebelumnya, permintaan obat sesuai kebutuhan, penerimaan dan pengecekan obat, penyimpanan yang memenu
Penggelolaan obat di puskesmas bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan obat yang efisien melalui perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi, pengendalian, pemusnahan, dan pencatatan obat. Prosesnya meliputi perencanaan kebutuhan tahunan berdasarkan data sebelumnya, permintaan obat sesuai kebutuhan, penerimaan dan pengecekan obat, penyimpanan yang memenu
Pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di puskesmas bertujuan untuk menjamin kelangsungan, ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan obat yang efisien, efektif dan rasional. Ruang lingkup pengelolaan obat secara keseluruhan mencakup perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi, pengendalian dan pencatatan serta pelaporan (Depkes RI, 2017). A. Perencanaan Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat dan Bahan Medis Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan obat di puskesmas. Proses perencanaan kebutuhan obat pertahun, puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan LPLPO (Lembaran Permintaan dan Laporan Pengunaan Obat). Selanjutnya UPOPPK (Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan) yang akan melakukan komplikasi dan analisa terhadap kebutuhan obat puskesmas di wilayah kerjanya (DirJen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010). Perencanaan obat di puskesmas bertujuan sebagai berikut: a. Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan. b. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat. c. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional. (Kemenkes RI, 2010). Proses seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan dengan mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi Sediaan Farmasi periode sebelumnya, data mutasi sediaan farmasi, dan rencana pengembangan. Proses seleksi sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan juga harus mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional. Proses seleksi ini harus melibatkan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola program yang berkaitan dengan pengobatan (Kemenkes RI, 2016). Proses perencanaan kebutuhan sediaan farmasi per tahun dilakukan secara berjenjang (bottom-up). Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian Obat dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) (Kemenkes RI, 2016). Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan Sediaan Farmasi Puskesmas di wilayah kerjanya, menyesuaikan pada anggaran yang tersedia dan memperhitungkan waktu kekosongan Obat, buffer stock, serta menghindari stok berlebih (Kemenkes RI, 2016). B. Permintaan Tujuan permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat (Kemenkes RI, 2016). Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing puskesmas diajukan oleh kepala puskesmas kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan format LPLPO, sedangkan permintaan dari sub unit ke kepala puskesmas dilakukan secara periodik menggunakan LPLPO sub unit. Permintaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dapat dilakukan secara rutin dan permintaan khusus. Permintaan rutin dilakukan sesuai jadwal yang disusun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk masing-masing puskesmas. Sedangkan permintaan khusus dilakukan diluar jadwal distribusi rutin apabila kebutuhan meningkat, Penanganan KLB, obat rusak dan kadaluarsa, serta untuk menghindari kekosongan (DirJen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010). C. Penerimaan Penerimaan adalah suatu kegiatan dalam menerima obat-obatan yang diserahkan dari unit pengelola yang lebih tinggi kepada unit pengelola di bawahannya. Tujuan dari penerimaan obat adalah agar obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas (Depkes RI, 2017). Penerimaan obat harus dilaksanakan oleh petugas pengelola atau petugas lain yang diberi kuasa oleh Kepala Puskesmas. Setiap penyerahan obat oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota kepada Puskesmas dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Petugas penerima obat bertanggung jawab atas pemeriksaan fisik, penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan, dan penggunaan obat berikut kelengkapan catatan yang menyertainya. Setiap penyerahan obat oleh UPT IFK kepada UPT Puskesmas dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Petugas penerima obat bertanggung jawab atas pemeriksaan fisik, penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat berikut kelengkapan catatan yang menyertainya. Petugas penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap obat yang diserahterimakan, meliputi kemasan, jenis dan jumlah obat, bentuk obat sesuai dengan isi dokumen (LPLPO) dan ditandatangani oleh petugas penerima serta diketahui kepala puskesmas. Petugas penerima dapat menolak apabila terdapat kekurangan dan kerusakan obat. Setiap penambahan obat, dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan obat dan kartu stok (DirJen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010). D. Penyimpanan Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu kegiatan pengaturan terhadap Sediaan Farmasi yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan (Kemenkes RI, 2016). Tujuannya adalah agar mutu Sediaan Farmasi yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan (Kemenkes RI, 2016). Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016).: a. Bentuk dan jenis sediaan; b. Kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan Sediaan Farmasi, seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban; c. Mudah atau tidaknya meledak/terbakar; d. Narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. Tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi. E. Distribusi Distribusi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sub UPK yang ada di wilayah kerja puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah, dan tepat waktu. Kebutuhan sub UPK yang ada di wilayah kerja puskesmas dapat berupa sub unit kesehatan di lingkungan puskesmas (kamar obat, laboratorium), puskesmas pembantu, puskesmas keliling dan posyandu. Kegiatan yang dilakukan antara lain, menentukan frekuensi distribusi, menentukan jumlah dan jenis obat yang diberikan dan melaksanakan penyerahan obat (Depkes RI, 2017). F. Pengendalian Berdasarkan Depkes RI (2017), kegiatan yang dilakukan dalam proses pengendalian antara lain sebagai berikut. a. Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu di puskesmas dan seluruh unit pelayanan. b. Menentukan stok optimum yaitu jumlah stok obat yang diserahkan kepada unit pelayanan agar tidak mengalami kekurangan/kekosongan. c. Menentukan stok pengaman yaitu jumlah stok yang disediakan untuk mencegah terjadinya suatu hal yang tidak terduga, misalnya karena keterlambatan pengiriman. d. Menentukan waktu tunggu (leadtime), yaitu waktu yang diperlukan dari mulai pemesanan sampai obat diterima. G. Pemusnahan dan Penarikan Pemusnahan dilakukan bila obat tidak memenuhi persyaratan mutu, telah kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan, dan dicabut izin edarnya. Penarikan obat yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan perundang- undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar dengan tetap memberikan laporan kepada BPOM (Kemenkes RI, 2016). Semua obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memiliki izin edar, kadaluarsa maupun tidak memenuhi syarat di pustu/puskemas akan ditarik ke dinas kesehatan kabupaten/kota untuk ditindaklanjuti. Tahapan pemusnahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai terdiri dari (Kemenkes RI, 2016): a. Membuat daftar obat dan alat medis yang akan dimusnahkan. b. Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan. c. Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak terkait. d. Menyiapkan tempat pemusnahan. e. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta peraturan yang berlaku. Tujuan dari pemusnahan dan penarikan obat ini adalah : a. Melindungi masyarakat dari bahaya yang di sebabkan oleh penggunaan obat atau perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. b. Menghindari pembiayaan seperti biaya penyimpanan, pemeliharaan, penjagaan atas obat atau perbekalan kesehatan lainnya yang sudah tidak layak pakai. Untuk menjamin perbekalan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dengan standar yang berlaku. Adanya penghapusan akan mengurangi beban penyimpanan maupun mengurangi risiko terjadinya penggunaan obat yang sub standar. H. Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan obat di Puskesmas merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di puskesmas atau UPK lainnya. Pencatatan dan pelaporan dilakukan sebagai bukti bahwa suatu kegiatan telah dilaksanakan, sebagai sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian serta sebagai sumber data untuk pembuatan pelaporan. Sarana yang digunakan untuk pencatatan dan pelaporan obat di puskesmas adalah LPLPO dan kartu stok. LPLPO merupakan bukti pengeluaran obat di UPT Instalasi Farmasi Kabupaten, bukti penerimaan obat di puskesmas, surat permintaan/pesanan obat dari puskesmas kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dan sebagai bukti penggunaan obat di puskesmas. LPLPO disampaikan oleh puskesmas ke UPT Instalasi Farmasi Kabupaten. Petugas pencatatan dan evaluasi melakukan evaluasi dan pengecekan sesuai dengan rencana distribusi dari instalasi farmasi lalu dikirimkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota untuk mendapatkan persetujuan dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. LPLPO dibuat tiga rangkap, diberikan ke dinas kesehatan kabupaten/kota melalui UPT instalasi farmasi kabupaten, untuk diisi jumlah yang diserahkan. Setelah ditandatangani oleh kepala dinas kesehatan, satu rangkap diberikan untuk kepala dinas kesehatan, satu rangkap untuk UPT instalasi farmasi kabupaten dan satu rangkap dikembalikan ke puskesmas. LPLPO sudah harus diterima oleh UPT instalasi farmasi kabupaten paling lambat tanggal 10 setiap bulannya (Kemenkes RI, 2016). I. Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan memantau seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian mulai dari pelayanan resep sampai kepada pelayanan informasi obat kepada pasien sehingga diperoleh gambaran mutu pelayanan kefarmasian sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian di Puskesmas selanjutnya. Berdasarkan Depkes RI (2016), hal-hal yang perlu dimonitor dan dievaluasi dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas, antara lain sebagai berikut: a. Sumber daya manusia (SDM). b. Pengelolaan sediaan farmasi (perencanaan, dasar perencanaan, pengadaan, penerimaan dan distribusi). c. Pelayanan farmasi klinik (pemeriksaan kelengkapan resep, skrining resep). d. Penyiapan sediaan, pengecekan hasil peracikan dan penyerahan obat yang disertai informasinya serta pemantauan pemakaian obat bagi penderita penyakit tertentu seperti ISPA, myalgia dan diare). e. Mutu pelayanan (tingkat kepuasan konsumen). Adapun indikator kinerja pelayanan kefarmasian yang digunakan, antara lain: a. Tingkat kepuasan konsumen: dilakukan dengan survei berupa angket melalui kotak saran atau wawancara langsung. b. Dimensi waktu: lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). c. Prosedur tetap (Protap) Pelayanan Kefarmasian: untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.
2.4.8 Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas
Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang paling terjangkau untuk pasien dan masyarakat (Kemenkes RI, 2011). Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: a. Tepat Diagnosis Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obatyang diberikan tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. b. Tepat Indikasi Penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberikan gejala adanya infeksi bakteri. c. Tepat Pemilihan Obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. d. Tepat Dosis Dosis, cara, dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan rentang terapi sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. e. Tepat Cara Pemberian Sebagai contoh Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya. f. Tepat Interval Waktu Pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Semakin sering frekuensi memberikan obat per hari, semakin rendah tingkat ketaatan pasien. g. Tepat Lama Pemberian Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing masing. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan. h. Waspada Terhadap Efek Samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Sehingga pada pemberiannya diperlukan perhatian i. Tepat Informasi Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. j. Tepat Tindak Lanjut Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. k. Tepat Penyerahan Obat Dalam menyerahkan obat, petugas harus memberikan informasi yang tepat pada pasien. (Kemenkes RI, 2011). Depkes RI. 2017. Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2010. Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/Kemenkes068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta : Menteri Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.