Anda di halaman 1dari 2

A.

PENGERTIAN IJTIHAD
Secara Bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya
menunjukkan Pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak
disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuatan (al-thaqah), dan berat (al-
masyaqqah) (Ahamd bin Ahmad bin ‘Ali al-Murqi al- Fayumi,t.th: 112, dan Elias A. Elias dan
Ed. E. Elias, 1982: 126). Para ulama mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan
kata ijtihad secara Bahasa. Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Murqi al-Fayumi (t.th:112)
menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah
“Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian suatu supaya
sampai kepada ujung yang ditujunya”

Secara Bahasa , arti ijtihad dalam artian jahada terdapat di dalam Al-Quran surat al-Nahl
[16] ayat 38, surat al-Nur [24] ayat 53, dan surat Fathir [35] ayat 42. Semua kata itu berarti
pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wus’i wa al-thaqah), atau juga berarti
berlebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).
Dalam al-sunnah , kata ijtihad terdapat dalam sabd Nabi yang artinya “pada waktu sujud,
bersungguh-sunggulah dalam berdoa (fajtahidu di al-du’a). dan hadis yang lain artinya “Rasul
Allah Swt bersungguh-sungguh (yajtahid) pada sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan).”
Para ulama sepakat bahwa pengertian ijtihad secara Bahasa, tetapi berbeda pandangan
mengenai pengertiannya secara istilah (terminologi) . pengertian ijtihad secara istilah muncul
belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat , perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad
dengan fiqih , ijtihad dengan al-qur’an, ijtihad dengan al-sunnah, dan ijtihad dengan dalalah
nash. (jalaludin Rakhmat, 1989:33)

Menurut Abu Zahra (t.th:379), secara istilah , arti ijtihad ialah “ upaya seorang ahli fiqih
dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dai dalil-
dalil yang rinci .

Menurut al-Amidi yang dikutip oleh wahbah al-Zuhaili (1978:480), ijtihad ialah “pengerahan
segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-hukum syarak.
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada
bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal; bukan bidang pemikiran. Oleh
karena itu, menurut ulama fiqih,ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam dan tasawuf. Di samping
itu , ijtihad berkenaan dengan dalil zhanni , sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qath’i.
hal ini senada dengan pendapat Ibrahim Hosen, yang selanjutnya dikutip oleh jalaludin
Rakhmat (1989 : 33), yang mengatakan bahwa cakupan ijtihad hanyalah bidang fiqih.
Selanjutnya, hosen mengatakan, pendapat yang menyatakan bahwa ijtihad secara istilah juga
berlaku di bidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa dibenarkan.
Berbeda dengan Hosen , Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya
dalam lapangan fikiq adalah ijtihad dalam pengertian sempit. Dalam arti luas, menurutnya,
ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat.
Senada dengan Harun Nasution , Ibrahim Abbas al-Dzarwi (1983:9) mendefinisikan ijtihad
sebagai “ pengarahan daya dan upaya untuk memperoleh maksud”

Tidak hanya Harun Nasution dan al-Dzarwi ,Fakhruddin al- Razy , Ibnu taimiyah, dan
Muhammad al-Ruwaih pun tidak membatasi ijtihad pada bidang fikih saja. Menurut
Fakharuddin, ijtihad ialah pengerahan kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak
mendatangkan celaan.(Jalaluddin Rakhmat;1989;3)
Sebagian ulama ada yang mempersembahkan ijtihad dengan qiyas; ada pula yang
mempersamakannya dengan ra’y. akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh imam al-Gazali yang
mengatakan bahwa ijhad itu lebih umum daripada qiyas.Wabah al-Zuhaili, 1978: 481)

Anda mungkin juga menyukai