Anda di halaman 1dari 6

PARADIGMA PENDIDIKAN INKLUSI DALAM UNSUR

PENDIDIKAN DI INDONESIA
Disusun guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Pendidikan
Inklusi

Dosen Pengampu: Budi Wahyono, S. Pd., M. Pd.

Disusun Oleh:

Nama : Maya Rohmantika Sari


NIM : K7617051
Kelas :B

PENDIDKAN EKONOMI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


2019
ARTIKEL SISTEM PENDIDIDIKAN INKLUSI

PARADIGMA SEKOLAH INKLUSIF DALAM UNSUR PENDIDIKAN DI


INDONESIA

Selama satu dekade terakhir pendidikan inklusif telah menjadi tema penting
bagi pendidikan di Indonesia . Di negara-negara maju di mana pendidikan inklusif telah
diterapkan sejak lama, sistem ini lebih luas ditafsirkan dalam konteks budaya sekolah
yang menekankan pada bagaimana sekolah, kelas, dan struktur kurikulum dirancang
untuk semua siswa sehingga mereka dapat memahami pelajaran dan mengembangkan
secara optimal (Kugelmass, 2004). Sementara itu, Indonesia telah mengadopsi sistem
ini sejak 2003 dan sekarang mulai berkembang (Yusuf, 2012). Karena ini baru
Paradigma atau Perencanaan, pelaksanaannya masih memerlukan beberapa instrumen
pendukung, sosialisasi, dan proses pendidikan untuk semua pemangku kepentingan.
Paradigma mempertimbangkan semua siswa adalah sama, sekarang telah bergeser ke
anggapan bahwa setiap anak memiliki perbedaan kebutuhan, potensi yang berbeda, dan
hambatan khas. Ini kemudian mengartikan bahwa semua calon guru harus memahami
konsep dan filosofi pendidikan inklusif. Saat ini, sumber daya manusia di sekolah
inklusif dapat dianggap mengejutkan karena kurangnya persiapan dalam mengajar
anak-anak dengan kebutuhan khusus di sekolah inklusif. Selanjutnya, kurangnya
sosialisasi atau pelatihan untuk mengajar anak-anak bersamanya

Kebutuhan khusus menjadi salah satu masalah yang menyebabkan pendidikan


inklusif di sekolah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam bukunya Penelitian
tentang pemahaman pendidikan inklusif untuk guru, Sunardi (2011) menemukan
bahwa pelatihan pendidikan inklusif dapat meningkatkan kompetensi pedagogik guru.
Sunardi (2014) juga menemukan pelatihan dua hari tentang pendidikan inklusif untuk
guru efektif sehingga para guru siap untuk menangani kelas inklusif. Yusuf (2016),
bagaimanapun, menemukan bahwa kepala sekolah bisa capai hanya 65 persen dari
kinerja ideal mereka; sementara guru hanya mencapai 62 persen.

Sekolah inklusi menjadi jalan penting adanya suatu pendidikan, hal ini karena
pendidikan sejatinya tidak hanya diperuntukan orang – orang yang normal saja. Anak
berkebutuhan khusus mempunyai hak akan mengenyam pendidikan, sehingga sekolah
inklusif perlu diadakan demi masa depan pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Penempatan pendidikan inklusif untuk siswa berkebutuhan khusus dalam kelas


– kelas pendidikan umum harus dipertimbangkan. Hal ini penting untuk mengetahui
ketrampilan, pengetahuan dan diposisi yang diperlukan untuk memungkinkan guru
berlatih tentang pendidikan inklusif yang tepat. Dalam hal ini disposisi berarti cara atau
kecenderungan individu untuk berperilaku berdasarkan system kepercayaan atau
peraturan yang berlaku. Garmon (2005) mendefinisikan disposisi yang diperlukan guru
untuk sukses di kelas inklusif adalah keterbukaan pikiran, kesadaran diri, dan referensi.
Jadi seorang guru dalam keterbukaan pikiran adalah guru memerlukan sifat akan
menerima informasi baru, berpikiran kreatif serta kritis dalam hal kegiatan belajar
mengajar. Dalam hal kesadaran diri yakni guru berkomitmen dalam keadilan sosial
sehingga terciptanya kesetaraan bagi semua peserta didik dan selalu mencari referensi
guna mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi. Namun perlu dipahami untuk
menciptakan sekolah inklusif, warga sekolah wajib ikut serta dalam mengambil peran
yang dibutuhkan. Seperti contoh berdasarkan study survey di Inggris Raya, Avramidis,
Bayliss, dan Burden (2000) menyimpulkan bahwa praktik inklusi sebagian besar tidak
berhasil karena kurangnya pelatihan guru dalam pengajaran pendidikan khusus. Hal ini
memang menjadi suatu tantangan bagaimana peran yang efektif dan hubungan yang
kolaboratif antar warga sekolah seperti pendidik khusus dengan pendidik regular, guru
dengan orang tua, guru dengan spesialis atau para professional.

Sehingga tidak hanya guru yang memerlukan ketrampilan dalam disiplin


mengajar anak berkebitihan khusus di sekolah inklusif mereka juga memerlukan
ketrampilan komunikasi dan strategi kolaboratif yang akan memungkinkan anak
berkebutuhan khusus berkomunikasi dan bekerja sama satu dengan lainya. Serta
pendidik khusus dan pendidik umum harus dapat membuat keputusan mengenai
kebutuhan siswa bekebutuhan khusus yang berada di sekolah inklusif. Seperti pendidik
harus menghormati perspektif yang berbeda dari siswa berkebutuhan khusus dengan
siswa normal, memahami komunikasi verbal dan non-verbal dengan mendengarkan
secara aktif pendapat siswa dan mempunyai model pembelajaran yang sesuai.

Sekolah inklusif sebagai unsur pendidikan di Indonesia juga tidak lepas dari
pendapat pro dan kontra. Dalam jurnal karangan Anabel Moriña dan Rafael Carballo
menanggapi secara inklusif terhadap kebutuhan siswa penyandang cacat/ disabilitas
sehingga berpendapat bahwa sekolah inklusi sangat diperlukan untuk mendukung dan
tidak membedakan antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik
normal. Di Indonesia sendiri keberadaan peserta didik berkebutuhan khusus semakin
meningkat tiap tahunnya, padahal Indonesia sudah memberlakukan sekolah inklusif
sejak tahun 2013 tetapi menurut data yang ada peningkatan jumlah anak berkebutuhan
khusus ini meningkat sebanyak lima belas persen dari seluruh jumlah penduduk yang
ada di Indonesia. Namun, kenaikan jumlah peserta didik berkebutuhan khusus tersebut
tidak diiringi dengan penambahan jumlah sekolah peserta didik berkebutuhan khusus.
Hal ini tidak selaras dengan peraturan yang ada di Indonesia bahwasanya seluruh
peserta didik yang berada dibawah sembilan tahun harus mengenyam pendidikan di
bangku sekolah. Untuk itu, seharusnya pendidikan inklusif sangat dianjurkan didirikan
di seluruh wilayah Indonesia karena hal ini dapat mengatasi permasalahan yang telah
dijabarkan di atas. Tetapi karna adanya keterbatasan sumber daya, pengetahuan,
keterampilan, dan sistem kurikulum yang belum mencakup sepenuhnya kebutuhan
untuk keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia.

Paradigma ini yang membuat sebagian orang berpendapat kontra terhadap


sekolah inklusif. Alasan yang pertama adalah karna biaya untuk menciptakan sekolah
inlklusi dalam membangun fasilitas untuk mendukung sarana kegiatan belajar
mengajar siswa berkebutuhan khusus seperti adanya laboraturium dan alat – alat
khusus pendukung lainnya. Seperti contoh siswa yang mempunyai kebutuhan khusus
tidak dapat mendengar maka hal ini mengaharuskan sekolah mempunyai alat bantu
dengar, begitu halnya jika siswa yang mempunyai kebutuhan khusus tidak dapat
melihat maka hal ini sekolah mempunyai buku pelajaran yang dapat digunakan untuk
siswa tersebut yaitu buku bryle. Alasan kenapa seseorang berpendapat kontra adalah
terkait dengan guru yang mengampu peserta didik berkebutuhan khusus. Yusuf, dkk.
(2018: 413) menyatakan bahwa perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia sangat
kurang, terutama dalam hal manajemen guru bayangan di sekolah inklusif. Kebutuhan
guru bayangan di sekolah inklusif belum ditindaklanjuti dengan peraturan yang jelas
terkait guru bayangan, seperti standar kualifikasi dan kompetensi, status pekerjaan,
tugas atau peran, sistem penghargaan atau gaji, serta sistem bimbingan karir.
Rendahnya kualitas guru yang mengampu sangat menjadi prioritas yang harus segera
ditangani oleh pemerintah, karena dasar dari pendidikan adalah guru. Bagus tidaknya
kualitas dan kemampuan guru, perlu diukur dan diberi pelatihan dan tugas yang dapat
menaikkan kemampuan guru tersebut. Alasan yang ketiga adalah karna dalam
paradigma atau perencanaan sekolah inklusi masih selalu ada masalah seperti
kurangnya silabus, bahan ajar, bahan pajangan, sistem evaluasi, dan koordinasi antar
guru dan orang tua yang perlu dibenahi.
Dalam paradigma sekolah inklusif di Indonesia ditarik kesimpulan bahwa
sekolah inklusif sebagai dasar berpikir dan jalan penting dalam dunia pendidikan
memang sudah diadopsi sejak dulu tetapi pelaksanaannya masih memerlukan beberapa
instrumen pendukung, sosialisasi, dan proses pendidikan untuk semua pemangku
kepentingan. Sehingga perlu adanya peningkatkan kualitas peralatan pembelajaran
untuk mendukung kursus Pendidikan Inklusif, seperti contoh pemberian bekal ilmu
tentang pendidikan inklusif di perguruan tinggi khususnya untuk jurusan dalam bidang
pendidikan atau calon guru.
DAFTAR PUSTAKA

Bleckers, N. S., & Boakes, N. S. (2014). Creating a learning environment for all
children: are teachers able and willing? International Journal of Inclusive
Education, Vol. 14:5, 435-447.
Cahyana, U., & Rahmah, A. (2017). Inclusive Education Program Evaluation In
Primary Education Office In West Java Province Indonesia. International Business
Information Management Association.
Kantavong, P., dkk. (2017). comparative study of teacher's opinions relating to
inclusive classrooms in Indonesia and Thailand. Kasetsart Journal of Social
Sciences xxx 1-6.
Morina, A., & Carballo, R. (2017). The impact of a faculty training program on
inclusive education and disability. International Journal of evaluation and
Program Planning, Vol.65, 77-83.
Sheehy, K., & Budiyanto. (2014). Teachers’ attitudes to signing for children with
severe learning disabilities in Indonesia International Journal of Inclusive
Education, Vol. 18, No. 11, 1143–1161.
Yusuf, M., dkk. (2018). Performance of shadow teachers in inclusive schools in
Indonesia viewed from working understanding, appreciation of work and career
guidance. International Journal Education Economics and Development, Vol. 9,
No. 4.
Yusuf, M., dkk. (2017). Development of inclusive education course at the faculty of
teacher training and education, universitas sebelas maret. International Journal for
Studies on Children, Women, Elderly, and Disabled, Vol. 1, No.0128-309X.

Anda mungkin juga menyukai