Anda di halaman 1dari 16

Leukimia Limfositik Akut pada Anak

KELOMPOK C5
Royke Fabian Novan 102011120
Ema Febrianti Siskanondang Manalu 102012411
Asrianti Saddi Pairunan 102013280
M Ibnu Sinna Faiz 102013471
Virginia Marsella Teiseran 102014041
Shintia Katoda 102014094
Christovel Liempepas 102014153
Dinda Puspita Dewi 102014166
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
email : asriantisaddi@gmail.com

PENDAHULUAN

Leukemia adalah salah satu penyakit keganasan yang sangat ditakuti oleh masyarakat
dewasa ini. Meskipun telah dilakukan berbagai penelitian, etiologi dari keganasan
hemopoetik ini tidak diketahui secara keseluruhan.
Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik.Leukemia juga digolongkan menurut tipe
sel darah putih yang terkena. Maksudnya, leukemia dapat muncul dari sel limfoid (disebut
leukemia limfositik) atau mieloid (disebut leukemia mieloid). Secara keseluruhan, leukemia
dibagi menjadi : Leukemia limfositik kronik / LLK (mengenai orang berusia lebih 55 tahun,
dan jarang sekali mengenai anak-anak), leukemia mieloid kronik / LMK (mengenai orang
dewasa), leukemia limfositik akut / LLA (mengenai anak-anak, tetapi dapat juga mengenai
dewasa dan leukemia mieloid akut (mengenai anak maupun orang dewasa dan merupakan 20
% leukemia pada anak).
Leukemia Limfositik akut adalah bentuk akut dari leukemia yang diklasifikasikan
menurut cell yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa limfoblas.
Pada keadaan leukemia terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering

disertai bentuk
 leukosit yang lain daripada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat

menyebabkan anemia, 
 trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian. Faktor penyebab

1
LLA tidak diketahui, tapi dimungkinkan karena interaksi sejumlah faktor: neoplasia, infeksi,
radiasi, keturunan, zat kimia, mutasi gen.
Leukemia akut cepat terjadi dan lambat penyembuhannya, dapat diakhiri dengan
kematian bila tidak segera diobati.1

ANAMNESIS
Anamnesis pada LLA harus ditanyakan apakah ada gejala anemia, kelemahan tubuh,
berat badan menurun, anoreksia, mudah sakit, sering demam, perdarahan, nyeri tulang, nyeri
sendi. Ada beberapa point penting yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis , antara lain:
 Identitas : Nama, umur, pekerjaan, dan alamat tempat tinggal.
 Keluhan utama:
o Pucat. Seringkali terlihat pada pasien anemia. Pucat paling baik dinilai
pada telapak tangan/kaki, kuku, mukosa mulut, dan konjungtiva.
 Keluhan penyerta:
o Biasanya anak lemas, demam, penurunan kadar trombosit, muntah
sehingga menunjukkan gejala seperti serangan demam berdarah bahkan
dapat ditemukan kulit yang tampak kuning pucat seperti penyakit kuning.1
 Riwayat penyakit terdahulu
o Perlu juga ditanyakan riwayat penyakit anak yang pernah diderita.
Ditanyakan pengobatan sebelumnya dan hasilnya, tindakan pengobatan
sebelumnya. Pada saat terjadinya penyakit apakah ada reaksi alergi dan
riwayat penyakit lain yang pernah diderita sebelumnya.
 Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
o Status pertumbuhan anak dapat diambil dari kurva berat badan terhadap
umur dan panjang badan terhadap umur. Data ini dapat diperoleh dari
Kartu Menuju Sehat atau karta pemeriksaan lain. Status perkembangan
pasien perlu untuk mengetahui tahapan perkembangan anak.
 Riwayat imunisasi
 Riwayat keluarga
o Untuk riwayat keluarga, biasanya boleh diambil data keluarga sama ada
pernah tidak menghidap penyakit leukemia.2

PEMERIKSAAN FISIK

2
Pada pemeriksaan fisik yang khas ialah pucat, panas, dan perdarahan disertai
splenomegaly, dan kadang-kadang hepatomegaly serta limfadenopatia.Penderita yang
menunjukkan gejala lengkap seperti tersebut di atas, secara klinis dapat didiagnosis
leukemia.Pucat dapat terjadi mendadak, sehingga bila pada seorang anak terdapat pucak yang
mendadak dan sebab terjadinya sukar diterangkan, waspadalah leukemia.Perdarahan dapat
berupa ekimosis, petekia, epistaksis, perdarahan gusi, dan sebagainya.Pada stadium
permulaan mungkin tidak terdapat splenomegali.Gejala yang tidak khas ialah sakit sendi atau
sakit tulang yang dapat disalah-tafsirkan sebagai penyakit reumatik. Gejala lain dapat timbul
sebagai akibat infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh, seperti lesi purpura pada kulit, efusi
pleura, kejang pada leukemia serebral dan sebagainya.2

Gambar 1. Splenomegali.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah tepi

Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan sumsum tulang
yaitu berupa pansitopenia, limfositosis yang kadang – kadang menyebabkan gambaran
darah tepi monoton dan terdapatnya sel blas. Terdapatnya sel blas dalam darah tepi
merupakan gejala patognomonik untuk leukemia2.
 Anemia : kadar Hb, nilai Ht, jumlah eritrosit menurun
 Trombositopenia
 Hitung leukosit : meningkat / menurun / normal
 Sediaan hapus darah tepi :

3
o Eritrosit normositik normokrom, eritrosit berinti
o Sel blas bervariasi, +/-
o Pada ANLL, pada sel blas mungkin terdapat Auer rod3.
 Berdasarkan hitung leukosit dan adanya sel blas, leukemia akut dibagi menjadi :
1. Leukemia leukemik : hitung leukosit meningkat dengan sel blas (++)
2. Leukemia subleukemik : hitung leukosit normal dengan sel blas (+)
3. Leukemia aleukemik : hitung leukosit menurun dan sel blas (-)3

2. Sumsum tulang
Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton yaitu hanya
terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan system lain terdesak (aplasia sekunder).
Pada LMA selain gambaran yang monoton terlihat pula adanya hiatus leukemikus yaitu
keadaan yang memperlihatkan banyak sel blas (mieloblas), beberapa sel tua (segmen) dan
sangat kurang bentuk pematangan sel yang berada diantaranya (promielosit, mielosit,
metamielosit, dan batang)2.
 Hiperseluler, gambaran monoton, sel blas >30%
 Eritropoesis, trombopoesis tertekan
 Pada LLA  aspirasi sumsum tulang mungkin dry tap (karena serabut retikulin
bertambah)3

Pemeriksaan lain
1. Biopsy limpa
Pemeriksaan ini akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari
jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, RES, granulosit, pulp cell.
2. Kimia darah
Kolesterol mungkin menurun, asam urat dapat meningkat, hipogamaglobulinemia.
3. Cairan serebrospinal
Bila terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan protein, maka hal ini berarti suatu
leukemia meningeal.Kelainan ini dapat terjadi pada setiap saat dari perjalanan penyakit
baik pada keadaan remisi maupun pada keadaan kambuh.

4
Untuk mencegahnya dilakukan pungsi lumbal dan pemberian metotreksat (MTX)
intratrakeal secara rutin pada setiap penderita baru atau pada mereka yang menunjukkan
gejala tekanan intracranial yang meninggi.
4. Sitogenetik
70 – 90% dari kasus LMK menunjukkan kelainan kromosom, yaitu pada kromosom 21
(kromosom Philadelphia atau Ph1).
50 – 70% dari penderita LLA dan LMA mempunyai kelainan berupa:
a. kelainan jumlah kromosom seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a).
b. kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom yang diploid.
c. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial depletion)
d. Terdapatnya marker chromosome yaitu elemen yang secara morfologis bukan
merupakan kromosom normal; dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat
kecil.3,4

WORKING DIAGNOSIS

Leukimia Limfositik Akut (LLA)


Leukemia Limfositik Akut atau Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah
keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid.Pada lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas
berasal dari limfosit B dan sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia ini merupakan
bentuk leukemia yang paling banyak pada anak-anak.Walaupun demikian, 20% kasus adalah
dewasa. Jika tidak diobati, dapat fatal.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah tepi dan dipastikan oleh
pemeriksaan sumsum tulang atau limpa.Pada stadium ini limpa mungkin tidak membesar,
bahkan gambaran darah tepi masih normal dan hanya terlihat gejala pucat yang mendadak
dengan atau tanpa trombositopenia.Dalam keadaan ini pemeriksaan sumsum tulang dapat
memastikan diagnosis.
Pada stadium praleukemia, gejala lebih tidak khas lagi, bahkan sumsum tulang dapat
memperlihatkan gambaran normal atau gambaran lain yang nonleukemik (misal anemia
aplastik, ITP menahun, diseritropoesis). Dengan pemeriksaan mikroskop electron sebenarnya
telah dapat dilihat adanya sel patologis.
Keluhan panas, pucat, dan perdarahan dapat disebabkan anemia aplastik,
trombositopenia (ITP, ATP, demam berdarah atau infeksi lain). Bila pada pemeriksaan
jasmani ditemukan splenomegali, maka diagnosis lebih terarah pada leukemia akut.

5
ATP dan trombositopenia ‘biasa’ tidak menunjukkan kelainan lain dalam darah tepi,
kecuali jumlah trombosit yang rendah. Bila darah tepi juga menunjukkan granulositopenia
dan retikulositopenia (terdapat pansitopenia), diagnosis lebih condong pada anemia aplastik
atau leukemia1,4.

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Leukemia Mielositik Akut (LMA)
Pada sebagian besar kasus, gambaran klinis dan morfologi pada pewarnaan rutin
membedakan ALL dari AML. Pada ALL, blas tidak memperlihatkan adanya diferensiasi
(dengan perkecualian ALL sel B). Sedangkan pada AML, biasanya ditemukan tanda – tanda
diferensiasi kearah granulosit atau monosit pada blas atau progeninya. Diperlukan tes khusus
untuk memastikan penegakan diagnosis AML atau ALL dan untuk membagi lagi kasus –
kasus AML atau ALL ke dalam subtype yang berbeda.5
Pada sebagian kecil kasus leukemia akut, sel blas memperlihatkan adanya gambaran
AML dan ALL sekaligus. Ciri – ciri ini dapat ditemukan pada sel yang sama (biphenotypic)
atau pada populasi yang terpisah (bilineal), dan gambaran ini mencakup ekspresi yang tak
wajar dari petanda imunologik atau penataan ulang gen yang tak wajar. Hal ini disebut
leukemia akut hybrid dan pengobatan biasanya diberikan berdasarkan pola yang dominan .6

Thalasemia
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari
kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif menurut hukum mendel. Gen Talasemia
sangat luas tersebar dan kelainan ini diyakini merupakan penyakit genetik manusia yang
paling prevalen. Distribusi utama meliputi daerah – daerah perbatasan laut medeterania,
sebagian besar Afrika Timur Tengah, sub benua India dan Asia Tenggara. Dari 3 % sampai 8
% orang Amerika keturunan Italia atau Yunani dan 0,5 dari kulit hitam Amerika membawa
Gen untuk Talesemia. Dibeberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40 % dari populasi
mempunyai satu atau lebih gen talasemia.
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder.Primer adalah
berkurangnya sintetis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel – sel
eritrosit intramedular.Sedangkan yang sekunder ialah karena defesiensi asam folat
bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi dan distribusi
eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati. Penelitian biomolekuler

6
menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai Alfa atau Beta dari
hemoglobin berkurang. Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi
berkurang , peningkatan absorbis besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif,
anemia kronis, serta proses hemolisis.7

ETIOLOGI
Sampai saat ini masih belum jelas penyebab pasti dari leukemia limfositik akut.
Diduga kemungkinan besar penyebabnya adalah virus (onkovirus). 1
Faktor lain yang berperan pada leukemia limfositik akut : 1
 Sinar X, sinar radiaktif

Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan
leukemia. Angka kejadian LMA dan LGK jelas sekali meningkat setelah sinar radioaktif
digunakan. Sebelum proteksi terhadap sinar radioaktif rutin dilakukan, ahli radiologi
mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar dibandingkan yang tidak
bekerja di bagian tersebut. Penduduk Hirosima dan Nagasaki yang hidup setelah ledakan
bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LGK sampai 20 kali lebih banyak.
Leukemia timbul terbanyak 5 sampai 7 tahun setelah ledakan tersebut .
 Bahan kimia ( benzen, arsen, preparat sulfa).
 Infeksi : virus maupun bakteri.
 Kelainan kromosom
Insiden leukemia pada anak-anak penderita Sindrom Down adalah 20 kali lebih
banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukemia
akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada penderita dengan kelainan kongenital
misalnya agranulositosis kongenital, sindrom Ellis Van Creveld, penyakit seliak, sindrom
Bloom, anemia Fanconi, sindrom Wiskott Aldrich, sindrom Kleinefelter dan sindrom
trisomi D
 Faktor herediter
Insiden leukemia meningkat dalam keluarga. Kemungkinan untuk mendapat leukemia
pada saudara kandung penderita naik 2-4 kali. Selain itu, leukemia juga dapat terjadi
pada kembar identik ( 1 telur / monozigot ).

EPIDEMIOLOGI

7
Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang
dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria
daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih
besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot dari pasien LLA
mempunyai risiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.3

PATOFISIOLOGI
Secara imunologik, pathogenesis leukemia dapat diterangkan sebagai berikut:
Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang mempunyai struktur antigen
tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia seandainya
struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia itu. Bila struktur antigen individu
tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya, sama
kejadiannya dengan penolakan terhadap benda asing. Struktur antigen manusia terbentuk oleh
struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di
permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan). Oleh WHO terhadap antigen jaringan
telah ditetapkan istilah HL-A (Human Leucocyte locus A). Sistem HL-A indvidu ini
diturunkan menurut hukum genetika, sehingga agaknya peranan factor ras dan keluarga
dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan .1

GEJALA KLINIS
Manifestasi leukemia limfositik akut menyerupai leukemia granulositik akut dengan
tanda dan gejala dikaitkan dengan penekanan unsur sumsum tulang normal (kegagalan
sumsum tulang) atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia.Akumulasi sel-sel
limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan berkurangnya sel-sel normal di darah perifer
dengan manifestasi utama berupa infeksi, perdarahan, dan anemia.
Gejala lain yang dapat ditemukan yaitu:
 Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
 Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise
 Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel leukemia), biasanay
terjadi pada anak
 Demam, banyak berkeringat pada malam hari(hipermetabolisme). Disebabkan oleh
hipermetabolisme yang terjadi karena aktivitas proliferasi sel-sel leukemia. Semua
cadangan energi tubuh dipergunakan oleh aktivitas sel-sel leukemik yang ganas, sehingga
semakin lama cadangan lemak dalam jaringan adiposa semakin berkurang, akibatnya gizi

8
pasien terkesan kurang, lemas, dan mudah lelah. Kemungkinan lain penyebab penurunan
status gizi pasien adalah anemia dan gangguan oksigenasi jaringan. Peningkatan aktivitas
seluler yang terjadi mengakibatkan peningkatan suhu inti, akibatnya tubuh menjalankan
mekanisme pengaturan suhu sehingga terjadi demam. Kemungkinan lain akibat terjadinya
demam adalah adanya infeksi. Walaupun sel-sel leukosit yang berperan dalam sistem
imunitas meningkat, tetapi sel yang terbentuk tidak berdiferensiasi dengan sel imun jenis
apapun, sehingga tidak fungsional dalam menjaga kekebalan tubuh. Fenomena ini disebut
dengan leukopenia fungsional.
 Infeksi mulut, saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering adalah gram negatif
usus,stafilokokus, streptokokus, serta jamur
 Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria
 Limfadenopati. Hiperplasia terjadi akibat kerja limfonodus yang berlebihan dalam
memproduksi limfosit. Sehingga sel-sel limfonodus yang berlebihan menyebabkan
timbulnya rasa sakit.
 Hepatomegali. Terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1) infeksi; 2) akibat
anemia hemolitik; atau 3) akibat infiltrasi. Namun, dalam kasus ini, kaitan yang paling
mungkin adalah hepatomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik ke dalam jaringan
hepar.
 Splenomegali. Splenomegali yang terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1)
infiltrasi; 2) infeksi; atau 3) sumbatan/gangguan aliran darah. Namun, dalam kasus ini,
kemungkinan yang paling besar splenomegali terjadi akibatinfiltrasi sel-sel leukemia ke
dalam limpa/spleen.
 Massa di mediastinum (T-ALL).
 Leukemia SSP (Leukemia cerebral); nyeri kepala, tekanan intrakranial naik, muntah,
kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik fokal, dan perubahan status
mental.7,8

PENATALAKSANAAN
1. Transfusi darah biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia
yang berat dan perdarahan massif, dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat
tanda – tanda DIC dapat diberikan heparin.1
2. Kortikosteroid (prednisone, kortison, deksametason, dsb). Setelah dicapai remisi dosis
dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan. 1

9
3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat atau
MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin
(Oncovin),rubidomisin (daunorubicin), sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid
atau CPA, adriamisin, dsb. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama –
sama dengan prednisone. Pada pemberian obat – obatan ini sering terdapat akibat samping
berupa alopesia, stomatitis, leucopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis. Hendaknya
lebih berhati – hati bila jumlah leukosit kurang dari 2.000/mm3. 1
4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci
hama). 1
5. Imunoterapi merupakan cara pengobatan yang terbaru, setelah tercapai remisi dan jumlah
sel leukemia cukup rendah (105 – 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang
aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan
dimaksudkan agar terbentuk antibody yang dapat memperkuat daya tahan tubuh.
Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi.
Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibody yang spesifik terhadap sel leukemia,
sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia
dapat sembuh sempurna 7

Cara pengobatan berbeda-beda pada setiap klinik bergantung dari pengalaman, tetapi
prinsipnya sama, yaitu dengan pola dasar:
a. Induksi, dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat tersebut sampai sel
blas dalam sumsum kurang dari 5%. Dimulai 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan.Pada
fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vineristin, dan L-asparaginase.Fase
induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan di dalam
sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kuurang dari 5%.
b. Konsilidasi, bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.Pada fase
ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah
sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh.Secara berkala, dilakukan pemeriksaan darah
lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan.Jika terjadi supresi
sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.
c. Rumat, untuk mempertahankan masa remisi agar lebih lama, biasanya dengan
memberikan sitostatika setengah dosis biasa.
d. Reinduksi, dimaksudkan untuk mencegah relaps, biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan
dengan pemberian obat-obat seperti pad induksi selama 10-14 hari.

10
e. Mencegah terjadinya leukimia pada susunan saraf pusat diberikan MTX secara intratekal
dan radiasi kranial.
f. Pengobatan imunologik.Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia yang ada di dalam
tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna.Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun
remisi terus menerus.8

 Induksi
Sistemik :
3. VCR (vinkristin): 2 mg/m2/minggu, intravena diberikan 6 kali.
4. ADR (adriamisin): 40mg/m2/2 minggu intravena diberikan 3 kali dimulai
pada hari ketiga pengobatan
5. Prednisone 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu kemudian
tapering off selama 1 minggu.

SSP: Profilaksis: MTX (metotreksat) 10mg/m2/minggu intratrakeal, diberikan 5


kali dimulai bersamaan dengan atau setelah VCR pertama.
Radiasi cranial: dosis total 2.400 rad dimulai setelah konsolidasi terakhir
(siklofosfamid)
 Konsolidasi
a. MTX: 15 mg/m2/hari intravena diberikan 3 kali dimulai satu minggu setelah
VCR keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
b. 6-MP (6-merkaptopurin): 500 mg/m2/hari peroral diberikan 3 kali
c. CPA (siklofosfamid) 800mg/m2/kali diberikan pada akhir minggu kedua dari
konsolidasi
 Rumat
Dimulai satu minggu setelah konsolidasi terakhir (CPA) dengan :
a. 6-MP: 65 mg/m2/hari peroral
b. MTX: 20 mg/m2/minggu peroral dibagi dalam 2 dosis (misalnya Senin dan
Kamis)
 Reinduksi
Diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir.Selama reinduksi obat - obat rumat
dihentikan.

Sistemik :

11
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
b. Prednison dosis sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu penuh dan 1
minggu kemudian tapering off
SSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2 kaliSSP:
MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2 kali
 Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6
ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing – masing 0,2 ml. Suntikan BCG
diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat – obat
rumat diteruskan.
 Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.

Pungsi sumsum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi pengobatan (setelah 6
minggu).2,9

KOMPLIKASI
Komplikasi metabolik pada anak dengan LLA dapat disebabkan oleh lisis sel
leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat mengancam jiwa
pasien yang memiliki beban sel leukimia yang besar. Terlepasnya komponen intraselular
dapat menyebabkan hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia
sekuder. Beberapa pasien dapat menderita nefropati asam urat atau nefrokalsinosis. Jarang
sekali timbul urolitiasis dengan obstruksi uretersetelah pasien diobati untuk leukemia.
Hidrasi, pemberian alopurinol dan alumunium hidroksida, serta penggunaan alkalinisasi urin
yang tepat dapat mencegah atau memperbaiki komplikasi ini. Infiltrasi leukemik yang difus
pada ginjal juga dapat menimbulkan kegagalan ginjal. Terapi vinkristin atau siklofossamid
dapat mengakibatkan peningkatan hormon antidiuretik, dan pemberian antibiotika tertentu
yang mengandung natrium, seperti tikarsilin atau kabernisilin, dapat mengakibatkan
hipokalemia. Hiperglikemia dapat terjadi pada 10 % pasien setelah pengobatan dengan
prednison dan asparaginasi dan memerlukan penggunaan insulin jangka pendek.
Karena efek mielosupresif dan imunosupresif LLA dan juga kemoterapi, anak yang
menderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi. Sifat infeksi ini bervariasi dengan
pengobatan dan fase penyakit. Infeksi yang paling awal adalah bakteri, yang dimanifestasikan
oleh sepsis, pneumonia, selulitis, dan otitis media. Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia, Staphylococcus epidrmidis, Proteus mirabilis,

12
dan Haemophilus influenza adalah organisme yang biasanya menyebabkan septik. Setiap
pasien yang mengalami febris dengan granulositopeniayang berat harus dianggap septik dan
diobati dengan antibiotik spektrum luas. Transfusi granulosit diindikasikan untuk pasien
dengan granulositopenia absolut dan septikemia akibat kuman gram negatif yang berespon
buruk terhadap pengobatan.
Dengan pengguanaan kemoterapi yang intensif dan pemajanan antibiotika atau
hidrokortison yang lama, infeksi jamur yang diseminata oleh Candida atau Aspergillus lebih
sering terjadi, meskipun organisme itu sulit dibiakkan dari bahan darah. CT scan
bermanfaatuntuk mengetahui keterlibatan organ viscera. Abses paru, hati, limpa, ginjal, sinus,
atau kulit memberi kesan infeksi jamur. Amfositerin B adalah pengobatan pilihan, dengan 5-
fluorositosin dan rifamisin kadang kala ditambahkan untuk memperkuat efek obat tersebut.
Pneumonia Pneumocytis carinii yang timbul selama remisi merupakan komplikasi
yang sering dijumpai pada masa lalu, tetapi sekarang telah jarang karena kemoprofilaksis
rutin dengan trimetropim-sulfametoksazol. Karena penderita leukemia lebih rentan terhadap
infeksi, vaksin yang mengandung virus hidup ( polio, mumps, campak, rubella ) tidak boleh
diberikan.
Karena adanya trombositopenia yang disebabkan oleh leukemia atau pengobatannya,
manifestasi perdarahan adalah umum tetapi biasanya terbatas pada kulit dan membran
mukosa. Manifestasi perdarahan pada sistem saraf pusat, paru, atau saluran cerna jarang
terjadi, tetapi dapat mengancam jiwa pasien. Transfusi dengan komponen trommbosit
diberikan untuk episode perdarahan. Koagulopati akibat koagulasi intravaskuler diseminata,
gangguan fungsi hati, atau kemoterapi pada LLA biasanya ringan. Dewasa ini, trombosis
vena perifer atau serebral, atau keduanya, telah dijumpai pada 1 – 3 % anak setelah diinduksi
pengobatan dengan prednison, vinkristin, dan asparaginase. Patogenesis dari komplikasi ini
belum diketahui, tetapi disebabkan oleh status hiperkoagulasi akibat obat. Biasanya, obat
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit, seperti salisilat, harus dihindaripada
penderita leukemia.
Dengan adanya keberhasilan dalam pengobatan LLA, perhatian sekarang lebih
banyak ditujukan pada efek terapi yang lambat. Profilaksis sistem saraf pusat dan pengobatan
sistemikyang diintensifkan telah mengakibatkan leukoensefalopati, mineralisasi
mikroangiopati, kejang, dan gangguan intelektual pada beberapa pasien. Pasien juga memiliki
resiko tinggi untuk menderita keganasan sekunder. Efek lambat lainnya adalah gangguan
pertumbuhan dan disfungsi gonad, tiroid, hati, dan jantung. Kerusakan jantung terutama
terjadi secara tersembunyi,karena gangguan fungsional tidak terlihat sampai beberapa tahun
13
kemudian. Terdapat juga beberapa pertanyaan mengenai arteri koroner serta insufiensi
miokard dini. Sedikit informasi yang didapat tentang efek teratogenik dan muagenik pada
terapi antileukemik; meskipun demikian, tidak ada bukti meningkatnya cacat lahir di antara
anak yang dilahirkan oleh orang tua yang penah mendapat pengobatan leukemia.7,9

PREVENTIF
Tidak diketahui secara pasti cara-cara pencegahan berbagai tipe leukemia.Karena
kebanyakan penderita leukemia tidak mengetahui factor risiko mereka masing-masing.
Beberapa tipe dari leukemia mungkin dapat dicegah dengan cara menghindari paparan radiasi
dosis tinggi (bahkan pasca kemoterapi / terapi radiasi), pajanan zat kimia (benzene),
menghindari merokok ataupun paparan asap rokok.
Namun sayangnya, banyak kasus dari leukemia tidak dapat dicegah.Karena
sesungguhnya tidak dapat diidentifikasi secara nyata dan pasti mengenai penyebabnya.
Hanya saja perlu dihindari faktor-faktor lain (eksogen) yang dapat mencetuskan LLA.

PROGNOSIS

Karena onset biasanya mendadak, maka dapat disertai perkembangan dan kematian
yang cepat bila tidak diobati.60% pasien yang diobati menjadi sembuh dan mengalami
harapan hidup yang meningkat dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum
tulang serta SSP.Harapan sembuh pasien dewasa tergantung dari intensifnya terapi.Secara
umum, overall disease – free survival rate kira-kira 30%.

KESIMPULAN

Leukemia adalah salah satu penyakit keganasan yang sangat ditakuti oleh masyarakat
dewasa ini.Meskipun telah dilakukan berbagai penelitian, etiologi dari keganasan hemopoetik
ini tidak diketahui secara keseluruhan.
Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik.Pada leukemia akut, sel darah sangat tidak
normal, tidak dapat berfungsi seperti sel normal, dan jumlahnya meningkat secara
cepat.Kondisi pasien dengan leukemia jenis ini memburuk dengan cepat.Pada leukemia

14
kronik, pada awalnya sel darah yang abnormal masih dapat berfungsi, dan orang dengan
leukemia jenis ini mungkin tidak menunjukkan gejala.Perlahan-lahan, leukemia kronik
memburuk dan mulai menunjukkan gejala ketika sel leukemia bertambah banyak dan
produksi sel normal berkurang.
Untuk pengobatan leukemia akut, bertujuan untuk menghancurkan sel-sel kanker
sampai habis.Pelaksanaannya secara bertahap dan terdiri dari beberapa siklus.Tahapannya
adalah induksi (awal), konsolidasi dan pemeliharaan.Tahap induksi bertujuan memusnahkan
sel kanker secara progresif.Tahap konsolidasi untuk memberantas sisa sel kanker agar
tercapai sembuh sempurna.Tahap pemeliharaan berguna untuk menjaga agar tidak kambuh.
Terapi yang biasa dilakukan antara lain pemberian kemoterapi, radioterapi dan juga
transplantasi sumsum tulang.
Efek samping sitostatika bermacam-macam seperti anemia, pedarahan, rambut rontok,
granulositopenia (memudahkan terjadinya infeksi), mual/ muntah, stomatitis, miokarditis dan
sebagainya. Problem selama pengobatan adalah terjadinya relaps (kambuh). Relaps
merupakan pertanda yang kurang baik bagi penyakitnya dan dapat terjadi sekitar 20% pada
penderita LLA yang diterapi. Pada dasarnya ada 3 tempat relaps yaitu intramedular (sumsum
tulang), ekstramedular (susunan saraf pusat, testis, iris), intra dan ekstra meduler. Relaps bisa
terjadi pada relaps awal (early relaps) yang terjadi selama pengobatan atau 6 bulan dalam
masa pengobatan dan relaps lambat (late relapse) yang terjadi lebih dari 6 bulan setelah
pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hassan, et al.Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian ke-1. Cetakan ke-
11. Jakarta: Percetakan Infomedika; 2009.
2. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Hematologi. Hassan, R, Alatas, H. In: Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Percetakan Infomedika Jakarta; 2007. P.469-79.
3. Sudiono, Herawati, dkk. Leukemia. Penuntun Patologi Klinik Hematologi. Cetakan
ketiga. Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta: 2010.
4. Waldo, E. Nelson. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
15. Vol 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2008
5. Travis LB. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Jilid ke-2. Ed-20. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2009.h.1395-1406
6. Hoffbrand, A.V. Leukemia Akut. Kapita Selekta Hematologi. Edisi ke-4. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta: 2007

15
7. Fianza, PI. Leukemia limfoblastik akut. Sudoyo, AR, editors. In: Ilmu Penyakit Dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009. p.728-34.
8. Baldy CM, Gangguan sel darah putih. In: Price SA, Wilson LM, Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit 6th ed. Jakarta: EGC; 2009.
9. Rudolph, M. Abraham. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Pediatrik Rudolph. Edisi
20. Jakarta: EGC; 2008.

16

Anda mungkin juga menyukai