Anda di halaman 1dari 19

Perdarahan Paska Persalinan et causa Atonia Uteri

Monica Djiuardi
102012176
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no 6 Jakarta Barat 11470
monica.dj21@gmail.com

Pendahuluan
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua
wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum. Walaupun
angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan
post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana. Definisi
perdarahan post partum saat ini belum dapat ditentukan secara pasti. Perdarahan post partum
didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 mL setelah persalinan vaginal atau
lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu
kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan apabila perdarahan
ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum sekunder.

Anamnesis
Hal yang penting ditanyakan adalah; keluhan utama, perdarahan dari jalan lahir,
badan lemah, lambung, keluar keringat dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan
berkunang-kunang; Riwayat kehamilan dan persalinan; Riwayat hipertensi dalam kehamilan,
preeklamsia / eklampsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida, primimuda,
anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus
precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi kala II dan
III.. Riwayat kesehatan Kelainan darah dan hipertensi. Riwayat persalinan anak sebelumnya.
Pada kasus ditemukan seorang wanita telah melahirkan seorang bayi laki-laki yaitu
anaknya yang ketiga pada jam 15.30. Persalinannya berjalan lancar. Ketika perawat
memeriksanya pada jam 16.10, pasien berada dalam keadaan kurang sadar dan pucat.
Pemeriksaan fisik mendapatkan hasil tekanan darah 90/70 mmHg, nadi 100x/menit,
pernafasan 20x/menit, dan suhu 37°C. Fundus uteri setinggi pusat, konsistensi kenyal. Dari
vagina tampak mengalir darah.
Anamnesis dilakukan dengan cara alloanamnesis, yaitu secara tidak langsung dengan
pasien, melalui suami atau keluarga terdekat. Hal ini karena pasien berada dalam keadaan

1
kurang sadar. Di antara hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis adalah seperti berikut.
Waktu persalinan dan durasi persalinan; apakah bayi besar, apakah melahirkan bayi kembar,
apakah persalinan dibantu dengan alat seperti vakum dan/atau forceps, apakah plasenta telah
keluar lengkap, riwayat persalinan sebelumnya, status GPA (Gravid, Partus, Abortus);
Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan dahulu; Apakah ada komplikasi selama
kehamilan seperti hidramnion; Riwayat keluarga dengan kelainan pembekuan darah.

Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum; Status gizi, tanda-tanda vital;
Tekanan darah : 90/70 mmHg; Suhu : 37°C; Frekuensi nadi : 100x/menit; Frekuensi napas :
20x/menit. Konjuctiva anemis, sclera ikterik, edema kelopak mata, kloasma gravidarum,
jantung, paru, mamaen, abdomen,dll.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh karena telah terjadi perubahan
akibat kehamilan, yang bersumber dari perubahan hormonal. Perubahan sistem hormonal ini
dapat memperberat penyakit ibu yang diderita sebelumnya sehingga saling mempengaruhi
antara kehamilan dan penyakitnya. Selain itu, dasar keadaan umum sebelum hamil
merupakan bagian penting karena akan mempengaruhi tumbuh kembangnya janin.
Pemeriksaan fisik ibu hamil dapat dibagi menjadi dua, yaitu :1Pemeriksaan fisik
umum. Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah; Menilai keadaan umum yang dapat
mendukung kehamilan atau sebaliknya sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan. Mencari
tanda – tanda perubahan fisik ibu hamil yang dapat mendukung diagnosis kehamilan. Mencari
kemungkinan penyakit yang telah dideritanya atau terselubung sehingga dapat ditegakkan
diagnosis dini dari pengobatan. Melakukan pemeriksaan penunjang khususnya laboratorium
untuk menilai kesehatan umum ibu hamil atau untuk menegakkan diagnosis penyakit yang
diderita.
Pemeriksaan fisik khusus kehamilan: tujuan pemeriksaan adalah; untuk memastikan
telah terjadi kehamilan; untuk memastikan apakah kehamilannya intrauteri; untuk
memastikan apakah kehamilannya tunggal atau ganda; untuk memastikan apakah
kehamilannya tergolong berisiko rendah, meragukan, atau berisiko tinggi; bagaimana sikap
masing – masing untuk menghadapi keadaan itu; untuk menentukan keadaan janin dan ibu
saat ini; untuk menentukan apakah perlu diberikan pengobatan terhadap penyakit yang
diderita ibu; untuk menentukan apakah saat ini diperlukan intervensi medis.
Jika perlu dilakukan intervensi medis, perlu ditetapkan bagaimana bentuknya, tempat
dilakukan sehingga jika mungkin tercapai well born baby dan well health mother

2
Palpasi merupakan langkah diagnosis kehamilan yang sangat penting dengan tujuan
untuk; menentukan umur kehamilan melalui tingginya fundus uteri; menentukan letak janin
dalam uterus; menetapkan kemungkinan tumor yang dapat mengganggu proses persalinan.
Untuk dapat lebih jelasnya dapat dijabarkan sebagai berikut.

Diagnosis Kehamilan

Gambar 1. Diagnosis Usia kehamilan.1

Pemeriksaan Penunjang
Hitung darah lengkap, untuk menetukan tingkat hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit (
Hct ), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai
dengan infeksi. Menentukan adanya gangguan koagulasi1. Dengan hitung protombrin time (
PT ) dan activated Partial Tromboplastin Time ( aPTT ) atau yang sederhana dengan Clotting
Time ( CT ) atau Bleeding Time ( BT ). Ini penting untuk menyingkirkan garis spons desidua.
USG abdomen, sisa plasenta memberikan gambaran massa kompleks di kavum uteri,
berbentuk irregular, batas bias tidak tegas bila terdapat plasenta akreta, inkreta, atau perkreta,
dan dinding kavum uteri irregular. Kavum uteri terbuka lebih dari 2,5 cm dan berisi cairan
(darah). Selaput ketuban memberikan gambaran hiperkhoik batas tidak tegas, dan bentuknya
irregular. Adanya infeksi atau sisa plasenta dapat menyebabkan involusi uterus.2

3
Different Diagnostik
Pendarahan postpartum e.c. robekan jalan lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan
jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks
belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum,
trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi. 3
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, lacerasi), luka episiotomi, robekan perineum
spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada
dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan, yang
terberat, ruptura uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan, hendaklah dilakukan inspeksi
yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini. Perdarahan yang terjadi pada saat
kontraksi uterus baik, biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai
spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan
pulsatif sesuai dengan denyut nadi. Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pada
persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia
uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus
diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demui lapis sampai perdarahan
berhenti. 3
Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup
serta pspekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak
kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat
melakukan hemostatis.3

Pendarahan postpartum e.c. retensio plasenta


Bila plasenta tetap tertingggal dalam uterus setengah jam setengah anak lahir disebut
sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga
bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta
akreta bila implantasi menembus membran desidua basalis dan Nitabuch layer, disebut
sebagai plasenta inkreta bila plasienta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta
perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium. 3

4
Etiologinya adalah sebagai berikut; lepasnya plasenta tidak terjadi bersamaan
sehingga sebagian masih melekat pada tempat implantasinya; menyebabkan terganggunya
retraksi dan kontraksi otot uterus, sehingga sebagian pembuluh darah tetap terbuka serta
menimbulkan perdarahan; perdarahan plasenta rest dapat diterangkan dengan mekanisme
yang sama; terjadi gangguan pembentukan thrombus di ujung pembuluh darah, sehingga
menghambat berhentinya perdarahan; pembentukan epitel akan terganggu sehingga
menimbulkan perdarahan yang berkepanjangan.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio
sesarea, pernah kuret berulang dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih
tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan perdarahan postpartum
primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/
separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau
plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze),
sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta
belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah
lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus
diantisipasi dengan segera melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum lewat
setengah jam. 3
Sisa plasenta bila diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan kotiledon yang tidak lengkap pada saat
melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada
saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus
dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/ digital atu kuret dan pemberian
uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai
dengan keperluannya. 3
Faktor risiko, mencakup pembedahan uterus sebelumnya, plasenta previa, kebiasaan
merokok dan multiparitas grande. Plasenta previa berhubungan dengan 5% insiden akreta
yang meningkat menjadi 10-24% dengan adanya plasenta previa dan dua atau lebih bedah
sesar sebelumnya.

Pembentukan Plasenta
Pada hari ke 12, mudigah telah terbenam totla di dalma desidua. Pada saat ini lapisan
trofoblas telah memiliki ketebalan dua lapisan sel dan disebut korion. Korion yang meluas
menggerus dinding kapiler desidua, menyebabkan darah ibu bocor dari kapiler dan mengisi

5
rongga-rongga ini. Tonjolan-tonjolan jaringan korion terbentuk jari mejulur ke dalam genang
darah ibu. Segera mudigah yang sedang tumbuh ini mengirim kapiler ke dalam tonjolan
korion untuk membentuk vilus plasenta, sebagian vilus menjorok menembus ruang berisi
darah untuk melekatkan plsenta bagian janin ke jaringan endometrium, tetapi sebagian besar
hanya menjulur ke dalam genangan darah ibu. Segera mudigah yang sedang tumbuh ini
mengirim kapiler ke dalam tonjolan korion untuk membentuk vilus plasenta. Sebagian vilus
menjorok menembus ruang berisi darah untuk melekatkan plasenta bagianjanin ke jaringan
endometrium, tetapi sebagian besar hanya menjulur ke dalam genangan darah ibu.

Pendarahan postpartum e.c. gangguan pembekuan darah


Penyebab pendarahan postpartum karena gangguan pemberkuan darah baru dicurigai
bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal
yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap
dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas
jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin Degradation Product) serta
perpanjangan tes protrombin dan PTT (Partial Thromboplastin Time). 3
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, sindroma HELLP dan sepsis. Terapi yang
dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit,
fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (Epsilon Amino Caproic Acid).3
Gangguan koagulasi herediter menimbulkan perdarahan relatif langka dan
dikelompokkan sebagai berikut; Hemofilia A, disebabkan oleh defek atau defesiensi faktor
VIII; Hemofilia B, disebabkan oleh defek atau defisiensi faktor IX; penyakit Von Willebrand
(PvW), yakni suatu penyakit autosomal dominan atau motif yang menimbulkan defisiensi
atau defek faktor von Willebrand.
Pada hemofilia A, perempuan merupakan karier dan 50% nya memiliki faktor VIII
cukup rendah sehingga memerlukan terapi substitusi sebelum penderita menjalani operasi,
termasuk seksio Cesarea.
Koagulopati didapat lebih sering terjadi dalam kehamilan dan dapat mempersulit
banyak kehamilan berisiko tinggi, khususnya yang disertai kegawatan obstetri, seperti emboli

6
cairan amnion atau seksio placenta. Koagulopati ditegakkan atas dasar adanya pemanjang
masa koagulasi, trombositopenia konsumtif, dan penengkatan fibrinolisis
Pemeriksaan klinis pada pasien menunjukkan adanya kebocoran cairan terus-menerus
dari berbagai tempat akses vena dalam permukaan mukosa (perdarahan gusi, epitstaksis).
Berbagai penyebab antara lain : koagulopati intravaskular diseminata, kogulopati akibat
sepsis berat, perdarahan masif, disfungsi atau penyakit hati, penyakit ginjal, dan penghambat
kogulasi didapat.
Aktivasi koagulasi secara langsung dapat menyebabkan DIC dalam peristiwa emboli
cairan amnion dan melalui kebocoran tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal pada
keadaan seksio plasenta

Tabel 1. Uji Skrining laboratorium.1

Uji Keterangan
Koagulasi
Masa protrombin Pemanjangan PT, APTT
Masa trombopastin teraktivasi parsial
Masa trombin Pemanjangan TT
Assay fibrinogen Penurunan jumlah fibrinogen
Trombosit
Hitung absolut Inspeksi apus darah akan adanya gumpalan,
konfirmasi penurunan jumlah serta morfologi
Fibrinolisis
Produk degradasi fibrin (FDP) Peningkatan FDP
Percepatan lisis bekuan Peningaktan masa lisis bekuan euglobulin

Working Diagnosis
Pendarahan Post Partum et causa Atonia Uteri
Definisi pendarahan post partum adalah pendarahan yang melebihi 500ml setelah bayi
lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah pendarahan sampai sebanyak itu sebab
menghentikan pendarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya
bila terdapat pendarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda

7
vital (seperti kesadaran menurun, pucat, lambung, berkeringat dingin, sesak nafas, serta tensi
<90mmHg dan nadi >100x/menit), maka penanganan harus segera dilakukan. Kegagalan
uterus berkontraski secara adekuat setelah pelahiran merupakan penyebab tersering
pendarahan obstretis.
Pada banyak perempuan, atonia uterus paling tidak dapat diantisipasi dengan baik
jauh sebelum pelahiran. Uterus yang mengalami distensi berlebihan rentan menjadi hipotonus
setelah pelahiran. Jadi, perempuan dengan janin besar, multiple, atau hidramnion rentan
mengalami atonia uterus. Perempuan yang persalinannya ditandai oleh aktivitas uterus yang
sangat berlebihan atau hampir tidak efektif (lemah) juga beresiko mengalami pendarahan
massif akibat atonia pascapartum. Serupa dengan hal tersebut, persalinan yang dimulai atau
dibantu dengan oksitosik lebih beresiko diikuti oleh atonia dan pendarahan.
Risiko lain ialah jika perempuan tersebut pernah mengalami pendarahan pascapartum.
Terakhir, upaya untuk mempercepat pelahiran plasenta dapat mencetuskan atonia. Pemijatan
dan peremasan tanpa henti uterus yang telah berkontraksi mungkin menghambat mekanisme
fisiologis pelepasan plasenta, menyebabkan pelepasan plasenta yang inkomplet dan
bertambahnya pendarahan.2
Pendarahan postpartum dibagi menjadi 2 bentuk yaitu :

Tabel 2. Klasifikasi Pendarahan Post Partum2


Pendarahan Post Partum Primer Pendarahan Post Partum Sekunder
Definisi :
Pendarahan berlangsung dalam 24 jam Pendarahan post partum setelah 24 jam
dengan pertama jumlah 500cc atau lebih. pertama dengan jumlah 500cc atau lebih.
Penyebab :
 Atonia uteri  Tertinggalnya sebagian plaseta atau
 Retensio plasenta membrannya.
 Robekan jalan lahir :  Perlukaan terbuka kembali dan
- Ruptura uteri inkomplet atau komplet menimbulkan pendarahan.
- Hematoma parametrium  Infeksi pada tempat implantasi
- Perlukaan servikal plasenta.
- Perlukaan vagina atau vulva
- Perlukaan perineum

8
Faktor Risiko
Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak
terlalu besar; kelelahan karena persalinan atau persalinan kasep; kehamilan grande multipara,
ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun; mioma
uteri yang mengganggu kontraksi rahim; infeksi intrauterin (korioamniotis); dan ada riwayat
pernah atonia uteri sebelumnya.

Epidemiologi
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di Amerika
Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional
Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post
partum. Di negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada tiga peringkat
teratas penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa
negara berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran
hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh
perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya.
Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. Pada tahun
1965-1969 di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan
baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5%
sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60
%), sisa plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %),
kelainan darah (0,5 – 0,8 %).1

Etiologi
Meskipun pendekatan resiko untuk mengantisipasi perdarahan postpartum masih
diperdebatkan karena tidak seorangpun pasti terbebas dari kemungkinan perdarahan setelah
bersalin, tetapi pendekatan resiko tetap memberikan pertimbangan agar penanganan lebih
berhati-hati dan petugas lebih siaga. Perdarahan yang masif terjadi karena adanya
abnormalitas pada keempat proses dasar, yang disingkat “4 T”, baik tunggal ataupun
gabungan: tone (kontraksi uterus yang buruk setelah persalinan), tissue (retensi sisa hasil
konsepsi atau bekuan darah), trauma (pada saluran genital), atau thrombin (abnormalitas
pembekuan darah).
Beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan perdarahan postpartum dapat terjadi
pada salah satu dari keempat mekanisme tersebut. Faktor resiko yang memungkinkan seorang

9
ibu bersalin mengalami pedarahan postpartum antara lain dapat dilihat pada tabel berikut
(Tabel 3).4 Walaupun setiap wanita dapat mengalami perdarahan postpartum, adanya satu
atau lebih faktor resiko dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan postpartum.

Tabel 3. Etiologi dan Faktor Resiko Perdarahan Postpartum4

Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih
terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum
sehingga sinus-sinus maternalis ditempatin sersinya plasenta terbuka. Pada waktu uterus
berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh
darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan
retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab

10
perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti
robekan servix, vagina dan perinium. 5
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus terus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi
uterus menurun sehingga pembuluh darah – pembuluh darah yang melebar tadi tidak
menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. 5
Uterus terdiri atas tiga lapisan otot polos, yaitu lapisan otot polos, yaitu lapisan luar
longitudinal, lapisan dalam sirkular, dan di antara dua lapisan ini terdapat lapisan dengan
otot-otot yang beranyaman “tikar”. Berbeda dengan otot polos lain, pemendekan otot rahim
lebih besar, tenaga dapat disebarkan ke segala arah dan karena susunannya tidak teroganisasi
secara memanjang hal ini memudahkan pemendekan, kapasitas untuk meningkatkan tekanan
dan menyebabkannya tidak bergantung pada letak atau presentasi janin.
His yang sempurna bila terdapat; kontraksi yang simetris, kontraksi paling kuat atau
adanya dominasi di fundus uteri dan sesudah itu terjadi relaksasi. Diketahui bahwa otot-otot
uterus tidak mengadakan relaksasi sampai 0, akan tetapi masih mempunyai tonus, sehingga
tekanan di dalam ruang amnion masih terukur 6-12 mmHg. Pada tiap kontraksi tekanan
tersebut meninkat, disebut amplitudo atau intensitas his yang mempunyai dua bagian : bagian
pertama peningkatan tekanan yang agak cepat dan bagian kedua penurunan tekanan yang
agak lamban.
Frekuensi his adalah jumlah his dalam waktu tertentu. Amplitudo dikalikan dengan
frekuensi his dalam 10 menit menggambarkan keaktifan uterus dan ini diujur dengan unit
Montivideo. Misalkan amplitudo 50 mmHg, frekusni his 3x dalam 10 menit, maka aktivitas
uterus adalah 50x3 = 150 unit Montevideo. Nilai yang adekuat untuk persalinan ialah 150-
250 unit Montivideo.
His paling tinggi di fundus uteri yang lapisannya otot paling tebal dan puncak
kontraksi terjadi simultan di seluruh bagian uterus. Sesudah tiap his, otot-otot korpus uteri
menjadi lebih pendek daripada sebelumnya yang disebut sebagai retraksi. Oleh karena serviks
kurang mengandung otot, serviks tertarik dan terbuka (penipisand an pembukaan).

11
Manifestasi Klinis
Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga
dalam waktu singkat ibu dapat jatuh ke dalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan
yang berlagsung secara gradual sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu
lemas ataupun jatuh ke dalam syok. Antara gejala klinis pada perdarahan postpartum adalah
seperti berikut; perdarahan yang tidak dapat dikontrol, penurunan tekanan darah, peningkatan
denyut nadi, pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum.
Pada perdarahan post partum karena atoni uteri, dapat timbul manifestasi klinis
berikut; perdarahan pervaginam, perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat
banyak dan darah tidak merembes.Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan,
hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah;
konsistensi rahim lunak, gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya; fundus uteri naik,
disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal; terdapat
tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas
dingin,pucat, gelisah, mual dan lain-lain.

12
Atonia Uteri

Diagnosis : Faktor predisposisi:

Uterus tidak berkontraksi, Anemia


perdarahan mengucur deras
dalam waktu singkat Distensi berlebihan

Tatalaksana umum:

Cairan intravena dan


transfuse

Uterotonika

Pemijatan uterus

Rekasi tak ada Reaksi ada tetapi perdarahan


tetap berlangsung

Kemungkinan plasenta ret:

Kuratase postpartum

Bolus uterotonika

Tampon uterovagina selama 24


jam

Reaksi baik
Tampon basah
Kontraksi baik

Perdarahan berhenti

Laparotomy untuk:

Ligase arteri
hipogastrika
Konservatif :
Umur muda
Antibiotika
Paritas sedikit
Cairan intravena dan
Masih menginginkan transfuse
anak
Obat penyerta : vitamin

Fe

Gizi baik

13
Penatalaksanaan
Banyak darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemk. Tindakan
pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan klinik. Pada umumnya dilakukan
secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut; sikap Trendelenburg, memasang
venous line, dan memberikan oksigen; sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara;
masase fundus uteri dan merangsan puting susu, pemberian oksitosin dan turunan ergot
melalui suntikan secara im, iv, atau s.c; memberikan derivat prostaglandin F2 alfa (carboprost
ttomethamine) yang kadang memberikan efek samping diare, hipertensi, mual muntah, febris
dan takikardia; pemberian misoprosol 800-1000 microgram per-rektal; kompreis bimanual
eksternal dan atau internal; kompresi aorta abdominali; pemasangan tampon kondom,
kondom dalam kavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan
diisi cairan infus 200 ml yang akan menguranig perdarahna dan menghindari tindakan
operatif, tindakan ini tidak dianjurkan dan hanya bersifat temporer sebelum tindahakan bedah
ke rumah sakit rujukan.
Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif
laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan
histerektomi, alternatifnya berupa ligasi arterina atau arteria ovarika, operasi ransel B Lynch,
histerketomi supravaginal, histerektomi total abdominal.

Gambar 1. Daftar obat.6

14
Gambar 2. Bimanual Internal dan Tampon Kondom.1

Komplikasi
Meskipun setiap wanita mungkin menderita kehilangan darah yang berlebihan saat
melahirkan, wanita yang telah diganggu oleh anemia atau penyakit penyerta lebih mungkin
untuk menunjukkan kerusakan serius kondisi, dan anemia dan kehilangan darah yang
berlebihan bisa menyebabkan rentan terhadap infeksi nifas berikutnya. Morbiditas utama
yang terkait dengan terapi transfusi (misalnya, infeksi virus, reaksi transfusi) adalah jarang
terjadi tetapi tidak signifikan. Selain itu, jenis-jenis pengobatan untuk anemia mungkin
melibatkan beberapa risiko.
Postpartum hipotensi dapat menyebabkan nekrosis sebagian atau seluruh kelenjar
hipofisis anterior dan menyebabkan postpartum panhipohipofisesme, atau sindrom Sheehan,
yang ditandai dengan kegagalan untuk laktat, amenore, penurunan ukuran payudara,
hilangnya kemaluan dan ketiak rambut, hipotiroidisme, dan
insufisiensi adrenal. Kondisi ini jarang terjadi (<1 dari 10.000 kelahiran). Seorang wanita
yang telah postpartum hipotensi dan yang aktif menyusui mungkin tidak memiliki sindrom
Sheehan. Hipotensi juga dapat menyebabkan gagal ginjal akut dan cedera sistem organ
lainnya. Dalam perdarahan ekstrim, sterilitas akan hasil dari histerektomi dilakukan untuk
mengendalikan keras perdarahan postpartum.
Komplikasi tatalaksana aktif kala III; terjadi akibat plasenta dengan kelainan
perlekatan diantaranya adalah; plasenta adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta, dan
plasenta parkreta, sehingga mengalami kesulitan bila akan melakukan manual. Bagian bawah

15
uterus yang ikut berkontraksi, sehingga menimbulkan plasenta inkarserta dan akan
mengalami kesulitan saat harus melahirkan

Pencegahan
Klasifikasi kehamilan resiko renda dan risiko tinggi akan memudahkan
penyelenggaran pelayanan kesehatan utnuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat
prawatan antenatal dan melabirkan denganmengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan
jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan
mempunyai risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan
pascapersalinan, salah satunya adalah perdarahn pascapersalinan.
Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut; persiapan sebelum
hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis, anemia dan
lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal;
mengenal faktor predisposisi; persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan
partus lama; kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan;
kehmailan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih; menguasai langkah-
langkah pertolongan pertama menghadadapi PPP dan mengadakan rujukan sebagai mana
mestinya.
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan; melalukan secara rutin
manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan
insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri; pemberian misoprostol peroral 2-3
tablet (400-600 microgram) segerea setelah bayi lahir.7
Untuk mengurangi kemungkinan perdarahan post partum khususnya yang disebabkan
atonia uteri atau retensio plasenta maka dilakukan tatalaksana aktif pertolongan kala III,
sebagai berikut

16
Tabel 4. Tatalaksana Aktif Kala III Persalinan.1

Bentuk Aktvitas Keterangan


Upaya  Berikan oksitosin segera setelah bahu lahir IM dan diikuti dengan
pencegahan methergin
 Persalinan bayi dilakukan perlahan-lahan, sehingga kontraksi
uterus dapat mengikutinya
 Setelah bayi lahir, klem tali pusat terdekat mungkin dengan vulva,
sementara yang lainnya seperti biasa sekitar 10 cm panjangnya dari
bayi
Brandt-Andrew  Selang beberapa menit uterus akan berkontraksi dan retraksi
teknik sehingga plasenta akan lepas dari tempat implantasinya
 Tampak tanda plasenta telah lepas adalah; tali pusat memanjang,
terjadi perdarahn Duncan-Schultze atau kombinasinya, benuk
uterus memblat dan sedikit terdorong ke atas
 Saat itu tangan kiri diletakkan diantara simfisis dan fundus uterus
mendorongnya kearah fundus, sementara tangan kanan menarik
pusat.
 Dengan demikian plasenta akan segera dapat dilahirkan untuk
menghemat waktu dan mengurangi perdarahan
 Sikap menunggu lahirnya plasentasi spontan telah ditinggalkan

Evaluasi  Diikuti evaluasi perlukaan jalan lahir utama


perlukaan  Perlukaan serviks uteri (akan berkurang karena persalinan
dilakukan perlahan-lahan)
 Vagina bagian atas
 Perlukaan vulva dan perineum
 Kemungkinan hematoma sekitar parametrium, vagina atas, dan
vulva

17
Prognosis
Perdarahan post partum masih merupakan ancaman yang tidak terduga walaupun
dengan pengawasan yang sebaik-baiknya, perdarahan postpartum masih merupakan salah
satu sebab kematian ibu yang penting. Tingginya angka kematian ibu karena banyak
penderita yang dikirim dari luar dengan keadaan umum yang sangat jelek dan anemis dimana
tindakan apapun kadang-kadang tidak menolong.
Perdarahan pasca persalinan dapat menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24
jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88%
dalam dua minggu setelah bayi lahir.

Kesimpulan
Dari hasil pemeriksaan yang telah dipaparkan dalam skenario, jelas sekali bahwa ibu
ini mengalami perdarahan post partum. Terlihat dari perdarahan yang terus mengalir dan
pasien sudah dalam keadaan pucat dan setengah sadar. Penyebab dari perdarahan yang terjadi
harus segera diidentifikasi sehingga perdarahan bisa dihentikan. Pada kasus ini, fundus uteri
setinggi pusat dan konsistensi kenyal. Diagnosa yang bisa ditegakkan adalah perdarahan post
partum et causa atonia uteri. Penanganan yang dilakukan harus segera dan cepat karena dari
perdarahan yang terus mengalir akan bisa berlanjut pada keadaan ibu yang syok.

Daftar Pustaka
1. Ida BGM, Ida ACM, Ida BGFM. Pengantar Kuliah Obstreti. Jakarta: ECG, 2007. h.
159-85, 810-27.
2. Prabowo, Raden P. Perdarahan Post Partum dalam buku Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1
Cetakan ke 6. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. h.188-9, 522-9.
3. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknkosastra GH. Ilmu kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina Pustaka.h.522-9.
4. Maughan KL, et al. Preventing Postpartum Hemorrhage: Managing the Third Stage of
Labor. AmFam Physician 2006;73:1025-8.
5. Cunningham FG. Postpartum hemorrhage. In: Seils A, Edmonson KG, Davis K,
editors. Williams Obstetric. 22nd ed. New York: McGraw-Hill,,2005.p.823-39
6. Daftar obat. Diunduh d ari:
https://www.acog.org/~/media/Districts/District%.20II/PDFs/Final_Hemorrhage_Web.pdf.
2015 Juni 15

18
7. Mohammad H. Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi Persalinan. Ed 1. Yogyakarta:
Yayasan Essentia Medica. 2010.h.412-6.
8. Sunatrio, Gunawarman B. Syok Hemoragik dan Septik dalam buku Ilmu Bedah
Kebidanan. Ed 1 Cetakan ke 6. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005.
h.270-1.

19

Anda mungkin juga menyukai