Anda di halaman 1dari 20

REFERAT ANESTHESIA

“KOMPLIKASI HEMODINAMIK PASCA SPINAL


ANESTHESIA”

OLEH :
Mimin Kurniati (H1A013039)

PEMBIMBING :
dr. Ni Made Ayu Suria Mariati, Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF


ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2018
BAB 1

PENDAHULUAN

Anestesi spinal ( intratekal, intradual, subdural, subaraknoid) adalah pemberian obat


anestetik local ke dalam ruang subaraknoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara
menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang subaraknoid. Teknik ini cukup sederhana, efektif
dan mudah dikerjakan. Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah, panggul, dan perineum. Penggunaan anestesi spinal ini dianggap mempunyai komplikasi
cukup aman dan jarang ditemukan komplikasi yang parah. Meskipun pada anestesi spinal ini
didapatkan efek kardiovaskular terkait dengan blok saraf simpatis, namun efek ini berhasil
ditangani dengan melakukan ekspansi volume dan pemberian obat vasoaktif.1,2
Blok yang dihasilkan tidak permanen dari cabang-cabang saraf anterior, posterior, serabut
saraf posterior dan bagian dari medula spinalis akibat hilangnya aktivitas otonom, sensoris dan
motoris. Fungsi saraf yang hilang meliputi sensoris temperatur, nyeri, fungsi otonom adalah rasa
raba, tekan dan fungsi motorik serta propioseptik. Masing-masing dihantarkan oleh serabut saraf
yang berbeda dengan perbedaan resistensi terhadap pengaruh obat anestesi lokal. Blok saraf
dimulai dari kaudal kearah kranial dan blok akan hilang dari arah sebaliknya yaitu dari kranial ke
kaudal. 1,2,3
Anestesi spinal mempunyai beberapa kelebihan dibanding anestesi inhalasi, antara lain
kedalaman anestesi cepat tercapai, cara sederhana, peralatan yang diperlukan minimal, tidak ada
polusi dalam ruang operasi. Meskipun begitu risiko dan komplikasi anestesi spinal tidak kalah
berbahayanya dibanding anestesi umum, bahkan kadang-kadang lebih berat. Komplikasi anestesi
spinal dapat digolongkan menjadi komplikasi yang terjadi segera dan lanjut. Kita harus
mengetahui komplikasi anestesi spinal sebelum melakukan anestesi spinal, sehingga bisa
mengantisipasi dan mempersiapkan obat atau melakukan tindakan serta mempersiapkan alat-alat
untuk mengantisipasi komplikasi yang terjadi.4
BAB II

ISI

1.1 Anestesi spinal

Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau
L4-L5. 1,5
Anatomi Kolumna Vertebralis
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis adalah salah satu faktor
keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang penyebaran
analgetika lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga
keamanan/keselamatan tindakan anestesi spinal.6

Gambar 2.1 Anatomi Kolumna Vertebralis


Sumber : http://www.espine.com/
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5
sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4 lekukan, yaitu lordosis servikalis,
kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis sakralis.6
Lekukan kolumna vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat analgetika lokal
dalam ruang subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi pada vertebra lumbal 3 dan
terendah pada torakal 5.6
Segmen medula spinal terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5
sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-kelompok saraf.
Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah torakal lebih kurang 2 kali panjang
segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf
servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus
brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis.
Hubungan antara segmen-segmen medula spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang
penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medula spinalis dan juga untuk
mencapainya pada pembedahan.4,6
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar yaitu kulit,
subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak
antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medula spinalis dan melekat pada
duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.4,6
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga di
bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan
sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak,
pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa
medula spinalis berakhir pada sisi vertebra lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula
spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.4,6

Persiapan Pasien4
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal (informed concernt)
meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik
dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin
parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan
operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata
dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang
digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis
obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar
akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas.
Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu
37ºC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk steril juga
harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung
bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil
(whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca
penyuntikan spinal.

Teknik Anestesi Spinal3,4


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam
melakukan anestesi spinal adalah sebagai berikut :
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2
atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira
2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke
lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah
keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya
nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

Indikasi Anestesi Spinal2,4


Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah
tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah). Anestesi spinal
ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria),
perineum dan kaki.

Kontraindikasi4
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi Absolut
diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis
yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus
pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan
(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda vital
stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi
harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat
meningkatkan risiko meningitis.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah pemberian
anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko herniasi uncus
ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah
injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma, hal ini sangat
penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi sebelum
menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan
mungkin tidak cukup panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi
membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi
spinal seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi, karena operasi
di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang sebagai teknik tunggal.
Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis, seperti multiple sclerosis, masih
kontroversial karena dalam percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan
terhadap toksisitas obat bius lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi relatif terhadap
anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai kontraindikasi mutlak untuk anestesi
spinal, sekarang mungkin menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam
perawatan anestesi mereka deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam
menempatkan anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal sebelumnya
semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting
untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum
mencoba anestesi spinal.

1.2 Komplikasi dan Tatalaksana Hemodinamik Pasca Anestesi Spinal

Pada anestesi spinal terjadi penurunan hemodinamik secara signifikan terutama pada
tekanan darah dan nadi. Bradikardi juga dapat terjadi, karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis T1-4. Keadaan tersebut dapat diatasi dengan pemberian sulfas atropine 0,25
mg intravena. Oleh karena itu penting dilakukan pemantauan terhadap respirasi, tekanan darah
dan denyut nadi secara ketat. Tekanan darah dapat turun drastis pada induksi anestesi di tulang
belakang, terutama pada orang tua dan mereka yang kebutuhan cairannya belum memadai.
Peringatan tanda-tanda tekanan darah menurun ialah pucat, berkeringat, mual, atau merasa
kurang sehat. Penurunan tekanan darah sistolik untuk mengatakan 80-90 mmHg pada pasien
yang lebih tua dapat diterima, asalkan pasien terlihat dan terasa baik dan cukup oksigen. Pada
penderita yang telah dilakukan anestesi spinal segera setelah tindakan untuk mencegah
penurunan hemodinamik ini dilakukan secara manual dengan memiringkan meja operasi,
kemudian meningkatkan kecepatan infus intravena untuk mencapai sampai tekanan darah
kembali normal, serta memposisikan pasien dengan posisi head up sekitar 20 derajat. Untuk
penurunan hemodinamik yang lain yaitu nadi kita berkolaborasi dengan tenaga medis dengan
pemberian atropine intravena dan untuk tekanan darah apabila pada tindakan tersebut tidak
mencapai maksimal dapat di berikan vasopresor atau efedrin 5-10mg intravena.

Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi dua bagian yaitu komplikasi yang terjadi
segera dan komplikasi lanjut:

Komplikasi Segera
1. Kardiovaskuler
Hipotensi4,5,8
Anestesi spinal menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, penurunan tekanan
darah sistolik dan penurunan tekanan darah arteri rata-rata, penurunan laju jantung dan
penurunan isi sekuncup. Hipotensi merupakan penyulit yang sering timbul akibat blok simpatis.
Penurunan tekanan darah ini sebanding dengan tingginya level saraf simpatis yang terblok. Saraf
simpatis yang terblok pada anestesi adalah dua atau lebih dermatom diatasnya dari tempat
injeksi. Penurunan tekanan darah lebih besar terjadi pada ibu hamil dibandingkan orang normal
karena penekanan pembuluh darah besar oleh uterus yang membesar. Secara klinis diagnosis
hipotensi ditegakkan bila ada penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 – 30 % dari tekanan
darah sistolik semula atau tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg.
Penatalaksanaan Hipotensi
1. Tindakan Preventif
Pemberian preloading pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal dengan 1 – 2 liter
cairan intravena (kristaloid atau koloid) sudah secara luas dilakukan untuk mencegah hipotensi
pada anestesi spinal. Pemberian cairan tersebut secara rasional untuk meningkatkan volume
sirkulasi darah dalam rangka mengkompensasi penurunan resistensi perifer. Kleinman dan
Mikhail mengatakan hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari anestesi spinal dapat diantisipasi
dengan loading 10 – 20 ml/kg cairan intravena (kristaloid atau koloid) pada pasien sehat akan
dapat mengkompensasi terjadinya venous pooling.
Salinas mengatakan bahwa penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan pemberian
preloading cairan kristaloid. Namun hal ini tergantung dari waktu pemberian cairan tersebut. Dia
mengatakan pemberian 20 ml/kg ringer laktat (RL) sesaat setelah dilakukan anestesi spinal dapat
secara efektif menurunkan frekuensi terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan preloading
20 menit atau lebih sebelum dilakukan anestesi spinal.
Vercauteren, et.al., dalam penelitiannya mengatakan pemberian ephedrine sebelum
anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif terjadinya hipotensi. Dalam
penelitiannya dengan pemberian 5 mg ephedrine IV (bolus) dapat mengurangi insidensi
terjadinya hipotensi.
2. Penatalaksanaan hipotensi
Penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal tergantung pada penyebab dasarnya. Jika
terjadi hipotensi secara mendadak yang kemudian diikuti dengan bradikardia dan nausea, hal ini
mungkin disebabkan akibat vasovagal syncope. Atropine dapat diberikan pada keadaan ini,
namun tidak se-efektif bila diberikan vasopresor. Untuk mengatasi hipotensi secara efektif,
penyebab utama dari hipotensi harus dikoreksi. Penurunan curah jantung dan venous return harus
diatasi, pemberian kristaloid sering kali berguna untuk memperbaiki venous return. Dalam
prakteknya pemberian preloading 500 – 1500 ml kristaloid dapat menurunkan terjadinya
hipotensi, walaupun pada beberapa penelitian lain tidak efektif. Penggunaan hanya dengan cairan
intra vena tidak cukup efektif dalam penanganan hipotensi akibat anestesi spinal. Respon
tekanan darah terhadap pemberian cairan intra vena membutuhkan waktu beberapa menit,
sedangkan pada beberapa kasus hal itu tidak cukup cepat, oleh karena itu sebagai obat pilihan
utama diberikan vasopresor
Secara fisiologis penatalaksanaan hipotensi adalah dengan mengembalikan preload. Cara
yang efektif adalah dengan memposisikan pasien menjadi trendelenburg atau dengan head down.
Posisi ini tidak boleh lebih dari 20 °, karena dengan posisi trendelenburg yang terlalu ekstrim
dapat menyebabkan penurunan prefusi cerebral dan dapat meningkatkan tekanan vena jugularis,
dan bila ketinggian blok pada anestesi spinal belum menetap, posisi trendelenburg dapat
meningkatkan ketinggian level blok pada pasien yang mendapatkan agen hiperbarik, yang dapat
memperburuk keadaan hipotensinya. Hal ini dapat dihindari dengan menaikkan bagian atas
tubuh menggunakan bantal dibawah bahu ketika bagian bawah tubuh sedikit dinaikkan diatas
jantung.
Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal
1. Pada pasien sehat
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan loading cairan
kristaloid 500 – 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan vasopresor, bila laju nadi sekitar
70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 – 10 mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80 kali/mnt dapat
diberikan phenylephrine 50 – 100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut dapat diulang setiap 2
– 3 mnt bila perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu dipertimbangkan juga untuk
mengubah posisi menjadi trendelenburg.
2. Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di susunan
saraf pusat
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan adanya
gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb. Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan
ephedrine 10 – 20 mg IV, jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan
epinephrine 8 – 16 mg IV atau infus titrasi epinephrine 0.15 – 0.3 mcg/kg/min. Dengan laju nadi
80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 – 200 mcg IV, jika tidak ada respon sampai
dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus titrasi phenylephrine 0.15 – 0.75 mcg/kg/min
atau infus titrasi norepinephrine 0.01 – 0.1 mcg/kg/min.
Bradikardi8
Terjadi pada anestesi spinal disebabkan oleh karena blok saraf simpatis dan menurunnya
rangsangan terhadap stretch receptors yang ada pada dinding atrium. Stretch reseptors ini
berfungsi mengatur tekanan darah dan laju jantung.

2. Respirasi4
Gangguan respirasi yang timbul akibat anestesi spinal adalah hipoventilasi, apneu, batuk,
gangguan ponasi. Batuk terjadi karena ekspirasi reserve menurun, sedangkan gangguan ponasi
oleh karena residual capacity menurun. Hipoventilasi dan apneu terjadi karena menurunnya
aliran darah ke medullary (pusat nafas), lumpuhnya otot intercostals dan diafragma karena terjadi
spinal tinggi. Tingginya level anestesi spinal tergantung dari besarnya dosis, posisi penderita dan
kecepatan penyuntikan.
3. Sistem Saluran Pencernaan4
Anestesi spinal menekan saraf simpatis, sehingga pada anestesi spinal akan terlihat efek
parasimpatis lebih menonjol. Pada usus akan terlihat peningkatan kontraksi, tekanan intralumen
meningkat, sphingter akan terjadi relaksasi. Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul
akibat anestesi spinal, kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab mual muntah
pada anestesi spinal ini antara lain :
1. Penurunan tekanan darah, merupakan penyebab terbesar. Bila segera diatasi maka mual
muntah akan segera berhenti.
2. Hipoksia, merupakan penyebab terbesar kedua setelah hipotensi. Hal ini dapat diatasi secara
efektif dengan terapi oksigen.
3. Kecemasan atau faktor psikologis. Hal ini dapat diatasi dengan penjelasan prosedur yang baik
atau dengan sedatif.
4. Pemberian narkotik sebagai premedikasi.
5. Peninggian aktivitas parasimpatis. Blok spinal akan mempengaruhi control simpatetik
gastrointestinal.
6. Refleks traksi pada usus, manipulasi usus.

4. Temperatur Tubuh1,12
Anestesi spinal menyebabkan penurunan suhu tubuh akibat vasodilatasi sehingga
memudahkan terjadinya penguapan panas. Hal ini dibuktikan dengan menggunakan dopler laser
yang diletakkan pada kaki untuk menilai fungsi simpatis. Selain itu anestesi spinal juga
menghambat pelepasan hormon katekolamin sehingga akan menekan produksi panas akibat
metabolisme. Menggigil sering mengikuti perubahan temperatur. Menggigil ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, laju jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen.
Pengobatan menggigil dengan pemberian petidin 25 mg intra vena.
Adapun juga metode rewarming eksternal membantu untuk mencegah kehilangan panas,
tetapi transfer panas sedikit untuk pasien. Suhu kulit mungkin 10-15 ºC lebih dingin dari suhu
inti pasien hipotermia. Panas mengalir dari area yang bersuhu tinggi ke suhu yang lebih rendah
sebagaimana hukum kedua termodinamika. Teknik rewarming eksternal karena itu tidak dapat
mentransfer panas ke inti sampai suhu kulit meningkat untuk setidaknya seperti suhu inti. Selama
jeda waktu, suhu inti sebenarnya dapat terus menurun (afterdrop). Selimut pemanas dengan
cairan bersirkulasi sangat tidak efisien karena selimut hanya bersentuhan dengan permukaan
tubuh dalam persentase kecil (<25%). Selain itu, selama hipotermia, perfusi kulit menurun dari
sekitar 200 ml/menit/m2 menjadi 4 ml/menit/m2, yang mengurangi konduktivitas termal.
Rewarmer udara konvektif juga mengirimkan panas yang sangat sedikit karena kerapatan
udara sangat rendah sehingga sangat sedikit mengandung panas bahkan pada suhu tinggi. Oleh
karena sebagian besar kehilangan panas terjadi melalui kulit, membungkus pasien dalam
penghangat konvektif secara efektif dapat mencegah kehilangan panas. Airway rewarming
tergantung pada prinsip bahwa jumlah air yang mampu ditahan sebagai uap tergantung pada
suhu udara. Ketika seorang pasien hipotermia membutuhkan udara hangat jenuh, kondensasi
terjadi pada kontak dengan airway dingin. Peritoneal lavage atau pleura lavage menunjukkan
transfer panas yang signifikan karena panas spesifik air adalah 1 kkal/LºC. Pemberian cairan
intravena hangat merupakan salah satu metode dalam mencegah dan mengurangi hipotermia.
Pasien akan mendapatkan ekstra panas 16 kkal untuk 1 L kristaloid dari suhu kamar (21ºC) ke
37ºC.

5. Anestesi Spinal Total


Komplikasi ini terjadi bila blok simpatis sampai thorakal atau bahkan cervical, dapat
terjadi hipotensi berat, bradikardi dan gangguan respirasi. Terjadinya spinal tinggi ini dapat
disebabkan misalnya : penderita mengangkat kaki pada waktu obat dimasukkan, penderita
mengejan, batuk atau tekanan intra abdomen yang meningkat. Gejala yang sering timbul pada
spinal tinggi biasanya berupa : penurunan kesadaran, hipoventilasi sampai apneu, hipotensi dan
bradikardi. Penangananan kepala lebih tinggi dari badan, pemberian oksigen lewat pipa
endotrakhea, pemberian cairan.

6.Reaksi Alergi
Reaksi ini manifestasinya bermacam – macam, bisa hanya berupa kemerahan pada kulit,
urtikaria namun dapat pula manifestasinya berupa reaksi anafilaktik syok. Reaksi ini dapat
terjadi segera ataupun lambat.
Komplikasi Lanjut
1. Sakit Kepala7
Kejadian nyeri kepala setelah anestesi spinal adalah 5 – 10%, banyak terjadi pada wanita,
umur muda. Keluhan nyeri kepala meningkat sesuai dengan besarnya jarum spinal yang
digunakan. Lokasi nyeri kepala yang tersering adalah dibagian frontal 50% occipital 25%, dan
sisanya adalah di bagian lain. Kejadian nyeri kepala umumnya 6 – 12 jam pasca anestesi spinal,
meskipun dapat pula terjadi lebih lambat. Nyeri kepala dapat berlangsung dalam hitungan hari,
minggu bahkan bulan meskipun umumnya berlangsung selama 1 – 2 minggu. Keluhan ini
terlihat dalam 3 hari pada 90% kasus dan dikeluhkan sampai 12 hari sesudah tusukan jarum
spinal.
Teori yang dapat menjelaskan terjadinya nyeri kepala setelah anestesi spinal antara lain :
1. Menurunnya tekanan cairan cerebrospinal akibat kebocoran durameter. Hal ini dapat
mengakibatkan penarikan terhadap pembuluh darah dan saraf yang sensitive nyeri. Pernah
dilaporkan adanya penyebab kematian akibat herniasi tentorium serebri dan hematom
subdural pada otopsi bedah mayat setelah anestesi spinal.
2. Iritasi selaput otak oleh zat kimia atau bakteri. Pada jenis ini tekanan serebrospinal normal
atau meningkat.
Nyeri kepala semakin diperberat pada posisi berdiri atau duduk. Pada ibu hamil atau
penderita dengan tumor intraabdomen, nyeri kepala yang terjadi lebih berat karena banyaknya
cairan serebrospinal yang keluar, disamping itu penggunaan obat vasopresor akan berinteraksi
dengan oksitosin dalam meningkatkan kejadian nyeri kepala paska bedah.
Gangguan pendengaran atau penglihatan sering menyertai nyeri kepala. Insiden gangguan
pendengaran kira- kira 0,4% dengan gejala nyeri telinga berdenging, tersumbat. Gangguan
pendengaran ini karena berkurangnya tekanan pada koklea. Kejadian gangguan penglihatan kira-
kira 0,1% dengan gejala : penglihatan ganda, mata kabur, kesulitan memfokuskan pandangan.
Gangguan ini terjadi karena lumpuhnya nervus VI dalam perjalanannya melewati dasar
tenggkorak, sehingga kalau ada perubahan pada cairan serebrospinal cepat mengenai nervus VI.

2. Nyeri Punggung10
Nyeri punggung terjadi karena kerusakan atau teregangnya kapsula, otot, ligament.
Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap nyeri punggung setelah anestesi antara lain :
persediaan tempat tidur rumah sakit dengan kasur yang terlalu lembek sehingga tidak
menyokong punggung, trauma yang terjadi pada saat penderita dipindahkan dari meja operasi,
penderita dengan riwayat nyeri punggung sebelumnya.

3. Retensi Urin4
Kejadian retensi urin yang terjadi karena terbloknya S2 – S4, sehingga mengakibatkan
tonus kandung kencing menurun dan hilangnya reflek pengosongan kandung kencing. Produksi
urin terus berlangsung namun karena otot detrusor tidak dapat berkontraksi akibatnya terjadi
retensi urin. Penderita dapat dapat dikatakan retensi urin bila tidak dapat kencing lebih dari 6
jam. Retensi urin terjadi pada operasi daerah perineum, urogenital dan abdomen bagian bawah.
Distensi kandung kencing akan mengakibatkan perubahan hemodinamik seperti peningkatan
tekanan darah dan peningkatan laju jantung.

4. Infeksi4,11
Infeksi yang sering terjadi pada anestesi spinal adalah meningitis dan abses epidural.
Kejadiannya berlangsung lambat. Meningitis yang terjadi dibagi dua yaitu : meningitis yang
disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri dan meningitis yang disebabkan oleh zat
kimia seperti powder dari sarung tangan, detergen, maupun dari zat aseptic yang digunakan
misalnya povidon yodida.
Kejadian meningitis sudah jauh berkurang karena sterilitas alat-alat sudah modern.
Pencegahan yang paling efektif adalah memperhatikan septik aseptik, serta sterilitas alat serta
bahan yang akan digunakan.

5. Komplikasi Neurologi4,9,10
Hal – hal yang menyebabkan terjadinya gangguan neurologik pada anestesi spinal antara lain:
1. Kompresi medulla spinalis
- Hematom : trauma jarum, kelainan pembuluh darah, gangguan perdarahan, tumor.
- Abses : infeksi lewat jarum, hematogen.
2. Trauma medulla spinalis
- Kerusakan oleh jarum.
- Toksik.
Macam gangguan neurologik pada anestesi spinal:
a. Sindroma kauda equina
Terjadi karena tekanan, iskemia atau kontak dengan bahan kimia toksik, maka serabut
otonom kauda equine sering menjadi bagian pertama yang terserang akibat anestesi spinal.
Kerusakan pada daerah rami saraf S2-4 akan menimbulkan lesi neuron motorik inferior berupa
atoni kandung kemih dan hilangnya inisiasi volunter miksi. Sindrom ini dapat berkembang
berupa gejala kelemahan motorik atau paralisa otot-otot di bawah lutut, otot-otot hamstring,
gluteal disertai menghilangnya reflek plantar dan ankle jerk. Jika L5 dan S1 terserang
menyebabkan hilangnya sensoris pada rami sacral bawah dan menghasilkan pola anestesi sadle
yang khas pada perineum, pantat dan paha yang menyebar hingga kaki dan betis.
b. Kompresi saraf spinal akibat hematom spinal
Kompresi akut pada saraf spinal akibat yang timbul pada spatium subarachnoid, subdural,
atau ekstradural dapat menimbulkan paraplegi irreversible mendadak. Meskipun perdarahan ini
disebabkan oleh trauma jarum spinal atau epidural tanpa diskrasia darah, tetapi ada kemungkinan
disebabkan oleh kelainan hemostatika.
c. Kompresi saraf spinal akibat pembentukan abses
Kompresi saraf spinal akibat proses infeksi dapat dikaitkan dengan tehnik anstesi spinal.
Penyebabnya adalah masuknya bahan yang terinfeksi melalui jarum spinal menuju kanalis
spinalis (kontaminasi dari kulit atau jarum) atau kontaminasi dari bakteri yang ada di darah.
Organisme yang sering ditemukan adalah stapilokokus aureus. Gambaran klinisnya adalah nyeri
punggung, kelemahan, paralisa setelah tusukan jarum beberapa jam, hari atau bulan. Hal ini bila
tidak diterapi akan berkembang menjadi paraplegi.
d. Bahan asing yang menyebabkan arakhnoiditis
Kejadian arakhnoiditis pada anestesi spinal dapat menyebabkan skuele neurologist serius.
Penyebabnya adalah masuknya benda asing korosif ke dalam spatium subarakhnoid. Gambaran
klinis yang muncul berupa kelemahan progresif yang berjalan perlahan dan hilangnya sensoris
pada ekstremitas inferior yang dimulai beberapa hari, minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dan berkembang menjadi paraplegi serta dapat berkembang kearah kematian. Perubahan
histologis yang ditemukan yaitu respon peradangan meningeal disertai proliferasi arakhnoid yang
menjepit saraf spinalis serta menyebabkan infark saraf spinalis.
6. Komplikasi Akibat Obat Anestesi Lokal10
Reaksi sistemik bisa terjadi bila obat anestesi local masuk pembuluh darah. Gejala yang
timbul dapat berupa penurunan kesadaran, kejang serta bradikardi. Pencegahan reaksi sistemik
dengan melakukan aspirasi sebelum penyuntikan obat atau dipastikan jarum spinal tidak masuk
pembuluh darah. Disamping itu dapat ditambahkan obat vasokonstriktor untuk menghambat
penyerapan obat. Reaksi alergi bisa terjadi akibat pemberian obat anestesi local. Golongan ester
lebih sering daripada golongan amida. Reaksi alergi ini terutama terjadi pada penderita dengan
riwayat atopi. Gejala yang timbul dapat berupa urtikaria, bronkospasme atau henti jantung.
BAB III

PENUTUP

Anestesi spinal merupakan teknik sederhana. Anestesi spinal (intratekal, intradural,


subdural, subaraknoid) ialah pemberian obat anestetik local ke dalam ruang subaraknoid.
Penggunaan anestesi spinal ini dianggap mempunyai komplikasi cukup aman dan jarang
ditemukan komplikasi yang parah. Hal – hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat,
dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan
intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas,
kehamilan, dan penyebaran obat. Cairan serebrospinal merupakan faktor penting dalam
menentukan efek intratekal dari agen yang diberikan, karena semua obat yang kita injeksikan ke
dalam ruang subarachnoid langsung menuju cairan CSF sebelum mencapai situs efektor di
sumsum tulang belakang.
Komplikasi anestesi spinal dapat digolongkan menjadi komplikasi yang terjadi segera
dan lanjut. Kita harus mengetahui komplikasi anestesi spinal sebelum melakukan anestesi spinal,
sehingga bisa mengantisipasi dan mempersiapkan obat atau melakukan tindakan serta
mempersiapkan alat-alat untuk mengantisipasi komplikasi yang terjadi. Komplikasi anestesi
spinal tidak hanya terjadi didalam ruang operasi tetapi dapat terjadi setelah post operasi.
Komplikasi segera yang sering ditemukan adalah penurunan tekanan darah, depresi respirasi,
mual muntah. Umumnya komplikasi ini saling berhubungan. Komplikasi ini terjadi terutama
sampai dengan 20 menit dari obat disuntikan. Komplikasi lanjut yang sering adalah nyeri kepala,
nyeri pungggung, retensi urin, infeksi serta gangguan neurologis. Pencegahan nyeri kepala dapat
dilakukan dengan cara tirah baring, pemberian cairan intravena atau peroral, pengikatan perut,
serta blood patch epidural. Defisit neurologis merupakan komplikasi anestesi spinal yang paling
ditakuti.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gligorijevic, S. 2011. Spinal anaesthesia – An update. , 113(2), pp.167–170.


2. Denny, N.M And Selander, D.E. 1998. Continuous spinal anaesthesia. , pp.590–597.
3. Kilic, Y. 2016. Spinal Anaesthesia and Neurological Complications : A Brief Report
Spinal Anaesthesia and Neurological Complications : A Brief Report. , (January).
4. Maher, P. & Mahmoud, F., Updates in Continuous Spinal Anesthesia Dr . Maha
Mohamed Ismail.
5. Apan, A and Apan, OC. 2014. Complications in Spinal Anaesthesia
6. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC. Jakarta.
2006.
7. Tarkkila, P., 2014. Complications Associated with Spinal Anesthesia Complications of
Regional Anesthesia Second Edition,
8. Rahman, M., Munir, M.H. & Alam, S., 2017. Haemodynamic Effects and Complications
of Unilateral Spinal versus Standard Spinal Anesthesia in Elderly with Low Ejection
Fraction Undergone Lower-Limb Surgery. , 5(1), pp.4–8.
9. Neal, J.M. et al., 2008. ƒ ASRA Practice Advisory on Neurologic Complications ASRA
Practice Advisory on Neurologic Complications in Regional Anesthesia and Pain
Medicine. , 33(5), pp.404–415.
10. Molina MB, G. & Borraz P, L., 2016. Neuraxial Anaesthesia Complications. Medical &
Clinical Reviews, 1(1), pp.1–7. Available at: http://medical-clinical-
reviews.imedpub.com/neuraxial-anaesthesia-complications.php?aid=7242
11. Jankovic-Novak, V. 2011. Infectious Complications of Regional Anaesthesia and
Analgesia. , 113(2), pp.247–250.
12. Budiono, U. 2010. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Volume II Nomer I. Semarang:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi
13. Kleiman, W., Mikhail, M., Spinal, Epidural, & Caudal Blocks., Clinical Anesthesiology.,
4th Ed., 2006 : 289 – 323.
14. Salinas, FV., Spinal Anesthesia., A Practical Approach to Regional Anesthesia. 4th ed.,
2009 : 60 – 102.
15. Vercuteren., et al., Prevention of Hypotension by a Single 5-mg Dose of Ephedrine
During Small-Dose Spinal Anesthesia in Prehydrated Cesarean Delivery Patients., Anesth
Analg., 2000;90:324 –7.

Anda mungkin juga menyukai