Anda di halaman 1dari 14

Diagnosis dan Tatalaksana Herpes Genitalis

Giovani Nando Erico Diantama

102015078

Giovaninandoerico@gmail.com

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No.06 Jakarta

Abstrak

Herpes genitalis merupakan penyakit menular seksual dengan prevalensi yang tinggi di berbagai
negara dan penyebab terbanyak penyakit ulkus genitalis. Infeksi herpes genitalis adalah infeksi
genitalia yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) terutama HSV tipe II. Dapat juga
disebabkan oleh HSV tipe I pada 10-40% kasus. Sebagian besar terjadi setelah kontak seksual
secara orogenital. Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau tipe II yang
ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada
daerah dekat mukokutan.

Kata kunci: Herpes genitalis, HSV tipe II, HSV tipe I

Abstract

Genital herpes is a sexually transmitted disease with a high prevalence in various countries and
the most common cause of genital ulcers. Genital herpes infection is a genital infection caused
by the herpes simplex virus (HSV), especially HSV type II. It can also be caused by HSV type I in
10-40% of cases. Most occur after orogenital sexual contact. Acute infection caused by herpes
simplex virus type I or type II which is characterized by the presence of vesicles clustered on
swollen and erythematous skin in the area near mucocutaneous.

Keywords: Genital Herpes, HSV type II, HSV type I


Pendahuluan

Herpes genitalis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang sering ditemui dan
telah berhasil mempengaruhi kehidupan jutaan pasien beserta pasangannya. Kebanyakan
individu mengalami gangguan psikologi dan psikososial sebagai akibat dari nyeri yang timbul
serta gejala lain yang menyertai ketika terjadi infeksi aktif. Oleh karena penyakit herpes genital
tidak dapat disembuhkan serta bersifat kambuh-kambuhan, maka terapi sekarang difokuskan
untuk meringankan gejala yang timbul, menjarangkan kekambuhan, serta menekan angka
penularan sehingga diharapkan kualitas hidup dari pasien menjadi lebih baik setelah dilakukan
penanganan dengan tepat.

Pada umumnya infeksi virus herpes tidak menimbulkan gejala atau hanya gejala ringan,
sehingga orang dengan infeksi HSV-1 atau HSV-2 tidak menyadari bahwa mereka sedang sakit.
Apalagi gejala sering dianggap sebagai kelainan kulit lain. Bila timbul gejala tampak sebagai
gelembung (blister) kecil berwarna bening, bisa tunggal atau jamak, di daerah sekitar mulut,
kelamin, atau rektum. Gelembung dapat pecah (masa ini disebut outbreak) dan menimbulkan
bekas luka seperti sariawan yang membutuhkan dua atau empat minggu untuk sembuh. Luka
herpes yang terletak di mulut biasanya terasa seperti kesemutan dan terbakar sesaat sebelum
outbreak. Adanya gelembung itu sendiri sebetulnya sudah cukup menimbulkan rasa nyeri.

Anamnesis

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis) atau keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, berdasarkan pengetahuan tentang penyakit
dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari
masalah yang dikeluhkan oleh pasien.

Hasil Anamnesis:

 Identitas diri : Laki-laki ; Usia 30 tahun


 Keluhan utama : Luka lecet di batang kemaluan sejak 3 hari yang lalu
 Riwayat Penyakit Sekarang : Luka perih dan tidak gatal. Sebelum terjadi luka timbul
lenting-lenting kecil bergerombol yang kemudian pecah.
 Riwayat Pengobatan : -
 Riwayat Penyakit Dahulu : -
 Riwayat Penyakit Keluarga : -
 Riwayat Pribadi : (Terakhir kali melakukan koitus? Dengan siapa?)
 Riwayat Sosial : -

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-
temuan dalam anamnesis. Terkadang pemeriksaan fisik membuat pasien merasa tidak nyaman,
takut akan rasa nyeri, ditelanjangi secara fisik, oleh karena itu kita harus melakukan
pemeriksaan fisik dengan terampil dan professional disertai rasa empati. Pemeriksaan fisik
didahului oleh pemeriksaan keadaan umum lalu pemeriksaan tanda-tanda vital lalu baru diikuti
dengan pemeriksaan fisik kulit yang meliputi warna kulit, suhu, kelembapan, tekstur, dan juga
lesi kulit yang meliputi eflorosensi, warna, ukuran, susunan kelainan/bentuk, batas, lokalisasi
dan penyebaran.
Dari hasil pemeriksaan fisik kulit didapatkan hasil: Regio penis, erosi miliar sampai
dengan lenticular, multiple, diskret sampai denga konfluens, sekitarnya hiperemis.

Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk


menunjang penegakan diagnosis infeksi HSV, tentunya dengan spesifisitas dan sensitivitas yang
beragam. Metode-metode tersebut antara lain:

Pemeriksaan sitologi

Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan Tzanck smears, pewarnaan Papanicolaou atau


Romanovsky, dan imunofluoresens. Tzanck smears dengan pewarnaan Giemsa menggunakan
bahan dari kerokan lesi kulit atau mukosa. Dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan
inklusi intranuklear.1 Ini merupakan pemeriksaan yang murah, namun spesifisitas dan sensitivitas
nya rendah.

Pewarnaan Papanicolaou atau Romanovsky menggunakan bahan dari hasil biopsi,


sedangkan deteksi sel yang terinfeksi dengan imunofluoresens menggunakan hasil kerokan dasar
vesikel. Pemeriksaan ini murah dan cepat, spesifisitas dan sensitivitas nya lebih tinggi daripada
Tzanck smears.2

Pemeriksaaan biologi molekular

Akhir-akhir ini, deteksi DNA HSV berdasarkan amplifikasi asam nukleat dan polymerase
chain reaction (PCR) sudah menjadi metode alternatif karena pemeriksaan ini empat kali lebih
sensitif, hasilnya tidak dipengaruhi oleh cara pengumpuan sampel dan proses transportasi, serta
pengerjaannya lebih cepat daripada kultur virus. Sampel pemeriksaan didapatkan dari swab,
kerokan lesi kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau sampel dari mukosa yang
tidak terdapat lesi. Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah sensitivitas dan spesifisitas nya
paling tinggi daripada pemeriksaan yang lain. Namun pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan di
laboratorium tertentu yang memiliki fasilitas yang mendukung pemeriksaan tersebut.2

Kultur virus

Kultur virus digunakan untuk menentukan tipe virus, sudah lama menjadi landasan untuk
penegakan diagnosis infeksi HSV selama dua dekade terakgir dan sudah ditentukan sebagai gold
standard diagnosis laboratoris untuk infeksi HSV. Sampel diambil dari swab, kerokan lesi kulit,
cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau dari mukosa yang tanpa lesi. Pemeriksaan ini
cukup mahal, tidak lebih sensitif dari PCR, sensitivitasnya bervariasi dari rendah ke tinggi
tergantung keadaan klinis pasien dan spesifisitasnya cukup tinggi.2

Deteksi antigen virus

Antigen virus dapat dideteksi oleh direct immunofluorescence (IF) assay dengan
menggunakan antibodi monoklonal spesifik yang sudah diberi label fluorescein, atau oleh
enzyme immunoassay (EIA) pada swab. Sampel diambil dari swab, kerokan dari lesi, cairan dari
vesikel, dan eksudat dari dasar vesikel. Spesifisitas kedua pemeriksaan tersebut cukup tinggi,
yaitu berkisar antara 62100% untuk pemeriksaan ELISA, dan pada immunoperoxidase staining
dapat mencapai 90%. Sensitivitas kedua pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu berkisar antara
85-90%.2

Working Diagnosis

Herpes Genitalis

Herpes genitalis merupakan penyakit menular seksual dengan prevalensi yang tinggi di
berbagai negara dan penyebab terbanyak penyakit ulkus genitalis. Infeksi herpes genitalis adalah
infeksi genitalia yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) terutama HSV tipe II. Dapat
juga disebabkan oleh HSV tipe I pada 10-40% kasus. Sebagian besar terjadi setelah kontak
seksual secara orogenital. Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau
tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer
maupun rekurens. Penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks dikenal dengan sebutan
fever blister, cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, atau herpes progenitalis (genitalis).1
Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang menulari manusia. Serupa dengan
herpes zoster, herpes simpleks menyebabkan luka-luka yang sangat sakit pada kulit. Gejala
pertama biasanya gatal-gatal dan kesemutan/perasaan geli, diikuti dengan lepuh yang membuka
dan menjadi sangat sakit. Infeksi ini dapat dorman (tidak aktif) dalam sel saraf selama beberapa
waktu namun tiba-tiba infeksi menjadi aktif kembali. Herpes dapat aktif tanpa gejala.

Diagnosis banding

Sifilis Primer

Masa tunas biasanya 2-4 minggu. Treponema pallidum masuk ke dalam selaput lendir
atau kulit yang telah mengalami lesi/mikro-lesi secara langsung, biasanya melalui senggama.
Treponema tersebut akan berkembang biak, kemudian terjadi penyebarannya secara limfogen
dan hematogen.

Kelainan kulit dimulai sebagai papul lenticular yang permukaannya segera menjadi erosi,
umumnya kemudian menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya, solitar, dasarnya ialah jaringan
granulasi berwarna merah dan bersih, di atasnya hanya tampak serum. Dindingnya tak bergaung,
kulit di sekitarnya tidak menunjukkan tanda- tanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut
indolen dan teraba indurasi karena itu disebut ulkus durum.

Kelainan tersebut dinamakan afek primer dan umunya berlokasi pada genitalia eksterna.
Pada pria tempat yang sering dikenali ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita labia
mayor dan minor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya lidah, tonsil, dan anus.

Afek primer tersebut semuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Seminggu setelah
afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis.
Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak,
besarnya biasanya lenticular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya
tidak menunjukkan tanda- tanda radang akut. Istilah Syphilis d’emblee dipakai, jika tidak
terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah
atau suntikan.

Ulkus Bakterial

ulkus yang kotor, merah dan nyeri. Merupakan penyakit menular seksual yang ditandai
dengan ulkus genitalis nekrotik yang sangat nyeri, disertai dengan limfadenipati inguinal.
Penyakit ini disebabkan oleh Haemophilus ducreyi, bakteri gram-negatif berbentuk basil anaerob
yang sangat infektif. Bakteri ini masuk ke dalam kulit melalui mukosa yang tidak intak dan
menyebabkan reaksi inflamasi. H. Ducreyi ditularkan secara seksual melalui kontak langsung
dengan lesi purulen dan dengan autoinokulasi pada daerah nonseksual misalnya mata dan kulit.
Penyakit ini biasanya dimulai dengan papul inflamasi berukuran kecil pada tempat inokulasi,
beberapa hari kemudian, papul akan berubah menjadi ulkus yang sangat nyeri. Tanpa
pengobatan, lesi dapat bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan, dan dapat
berkomplikasi menjadi limfadenopati supuratif.3 Tanda-tanda radang akut lebih mencolok dan
pada pemeriksaan penunjang sediaan apus berupa bahan dari dasar ulkus tidak ditemukan sel
datia berinti banyak.1
Etiologi

HSV tipe I dan II merupakan virus herpes homonis yang merupakan virus DNA. Virus
herpes simpleks hanya menginfeksi manusia. Terdapat dua tipe virus herpes simpleks, yaitu
HSV-1, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes nongenital (orofacial); dan HSV-2, yang
biasanya menyebabkan infeksi herpes genital pada laki-laki dan perempuan4, akan tetapi kedua
tipe virus tersebut dapat menginfeksi baik pada area orofacial maupun genital dan dapat
menyebabkan infeksi akut dan rekuren. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik
pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).1
Terdapat perbedaan antara kedua tipe HSV secara biologis, contohnya tingkat rekurensi infeksi
HSV-2 pada genital lebih sering daripada HSV-1. Sebaliknya, infeksi nongenital yang
disebabkan HSV-1 tingkat rekurensinya lebih tinggi daripada HSV-2. Infeksi HSV genital terjadi
enam kali lebih sering daripada infeksi HSV pada orolabial.4

Penularan herpes genitalis diperlukan kontak langsung dengan jaringan atau sekret dari
penderita infeksi HSV. Kebanyakan infeksi pada alat genital didapatkan dari partner dengan
infeksi subklinis. Pasangan yang aktif secara seksual dan sama-sama terinfeksi HSV tidak akan
mengalami reinfeksi satu sama lain. Autoinokulasi dapat menyebabkan herpetic whitlow atau
keratokonjungtivitis, terutama saat infeksi primer, namun jarang pada infeksi herpes rekuren.
Belum ada bukti penelitian bahwa HSV dapat menular melalui fomites, penggunaan pakaian atau
handuk secara bersama ataupun dari lingkungan. Penularan perinatal kepada bayi baru lahir
dapat terjadi, terutama jika infeksi baru terjadi pada kehamilan trimester akhir.5

HSV memiliki kemampuan untuk menyerang dan melakukan replikasi di dalam jaringan
saraf, kemudian virus tersebut memasuki masa laten di dalam jaringan saraf, terutama di ganglia
trigeminal untuk HSV-1, dan pada ganglia sacralis untuk HSV-2. Akhirnya, virus laten tersebut
melakukan reaktivasi dan bereplikasi sehingga menyebabkan penyakit pada kulit.4

Epidemiologi

Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda, infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I biasanya
dimulai pada anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III,
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.1

Insidens infeksi primer HSV-1 yang menyebabkan herpes labialis paling banyak terjadi
pada masa kanak-kanak, dimana 30-60% anak-anak biasanya terekspos oleh virus ini. Jumlah
kejadian infeksi HSV-1 meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mayoritas ditemukan
pada orang dewasa berusia 30 tahun atau lebih dengan HSV-2 seropositif. Infeksi HSV-2
berhubungan dengan perilaku seksual. Antibodi terhadap HSV-2 sangat jarang ditemukan
sebelum terjadi aktivitas seksual dan meningkat secara terus menerus setelahnya.

Pada tahun 2005-2008, prevalensi infeksi HSV-2 pada populasi usia 14-49 tahun di
Amerika Serikat sebesar 16%, angka tersebut stabil sejak tahun 2001-2004 yaitu sebesar 17%;
dengan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita yaitu 21%, sedangkan pada pria 12%. Kira-kira
45 juta penduduk Amerika Serikat terinfeksi HSV-2; jika digabung dengan yang terinfeksi HSV-
1 mungkin mencapai 60 juta orang. 5 Berdasarkan survei kesehatan nasional yang dilakukan oleh
CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada tahun 2010 menyatakan bahwa insidens
infeksi HSV-2 pada warga Amerika Serikat masih tinggi, dimana 1 dari 6 warga Amerika Serikat
terinfeksi HSV-2 dan prevalensinya tinggi pada perempuan dan ras AfrikaAmerika (16,2%)
antara usia 14-49 tahun. Di Eropa Barat, prevalensi HSV-2 secara umum lebih lebih rendah
daripada di Amerika Serikat, yaitu berkisar antara 10-15% pada hampir semua negara.5 Di
Indonesia, penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2005-2007 ditemukan
hasil yang kurang lebih sama, yaitu insidens herpes genitalis lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 1.96:1, usia terbanyak penderita bervariasi antara
25-34 tahun, terutama sesudah menikah.

Patogenesis

HSV-1 dan HSV-2 termasuk famili Herpesviridae dan subfamili Alphaherpesviridae.


Virus ini adalah virus DNA beruntai ganda ditandai dengan sifat biologis sebagai berikut:

 Neurovirulensi (kemampuan untuk menyerang dan bereplikasi dalam sistem saraf).


 Latensi (pembentukan dan pemeliharaan infeksi laten di ganglia sel saraf proksimal dari
lokal infeksi). Pada infeksi HSV orofacial, ganglia trigeminal yang paling sering terlibat,
sementara, pada infeksi HSV genital, akar ganglia saraf sacral (S2-S5) yang terlibat.
 Reaktivasi: reaktivasi dan replikasi HSV laten, selalu di daerah yang dipersarafi oleh
ganglia dimana tempat virus latensi, dapat disebabkan oleh berbagai rangsangan
(misalnya demam, trauma, stress emosional, sinar matahari, menstruasi), sehingga
berakibat infeksi berulang yang jelas atau samar-samar dan kemunculan kembali HSV.
Pada orang imunokompeten yang berada pada resiko yang sama tertular HSV-1 dan
HSV-2 baik secara oral maupun genital, HSV-1 reaktivasi lebih sering oral daripada
genital. Demikian pula HSV-2 mengaktifkan kembali 8-10 kali lebih umum di daerah
genital daripada di daerah orolabial. Reaktivasi lebih umum dan parah pada individu
imunocompromised.

Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan gangguan imunitas
sel T, seperti di penerima transplantasi organ pada individu dengan AIDS. HSV tersebar di
seluruh dunia. Manusia adalah satu-satunya reservoir alami, dan tidak ada vektor yang terlibat
selama transmisi. Endemisitas mudah bertahan dalam manusia karena adanya infeksi laten,
reaktivasi periodik, dan virus yang muncul tanpa gejala.

Selama infeksi primer, replikasi dimulai di dalam sel berinti pada dermis dan epidermis.
Setiap sel yang terinfeksi pasti dibunuh dan jumlah sel yang terlibat dalam proses infeksi
menentukan apakah secara klinis akan berkembang membentuk lesi, atau yang lebih sering
malah menjadi subklinis. Dalam dua keadaan tersebut, ujung saraf sensoris akan terinfeksi,
kemudian virus pindah melalui akson ke ganglia sakralis dan disana akan dimulai periode laten.
HSV hanya dapat dikultur dari ganglion selama periode infeksi primer. Virus menyebar ke
daerah lain secara sentrifugal dimana vesikel terbentuk akibat migrasi dari HSV-2 ke saraf
sensoris lainnya dan via autoinokulasi. Viremia terjadi pada 25% pasien dengan infeksi primer.6

Kemudian HSV-2 akan mempertahankan dirinya ke dalam periode laten di dalam


ganglion dimana aktivasi sistem kekebalan tubuh sangat terbatas. Virus tersebut kemudian akan
keluar dari neuron sensoris ke daerah genital sehingga menyebabkan terjadinya periode subklinis
ataupun berkembang menjadi lesi herpes genital. Sistem imun penderita, terutama limfosit
CD8+, sangat penting dalam proses terbentuknya lesi genital.6 Terbentuknya lesi pada genital
(simtomatik) menunjukkan adanya viral shedding, yaitu saat dimana virus menjadi aktif dan
keluar dari ganglion saraf menuju ke permukaan kulit dan menimbulkan lesi. Sebuah penelitian
di Amerika meneliti tentang besarnya angka viral shedding yang diukur dengan quantitive real-
time fluorescence polymerase chain reaction untuk HSV DNA dari swab genital, pada herpes
genitalis yang simtomatik dan asimtomatik. Hasilnya, pada herpes genitalis simtomatik lebih
sering ditemukan viral shedding daripada yang asimtomatik.7

Gejala Klinis

Primary Genital Herpes

Lesi pada daerah genital atau perianal multipel, biasanya bilateral. Umumnya dapat
ditemukan vaginal discharge. Urethral discharge umum ditemukan pada laki-laki, biasanya
disertai dengan disuria berat. Lesi kutaneus muncul setelah 7-15 hari berupa papul, menjadi
vesikel, menjadi pustul, menjadi ulkus, lalu menjadi krusta.

Lesi pada mukosa atau permukaan yang lembab (misalnya introitus vagina, labia minor,
uretra, rektum) mengalami ulserasi lebih awal, sering disertai dengan nyeri yang berat dan tidak
berubah menjadi krusta. Nyeri dan bengkak pada daerah inguinal juga sering ditemukan,
biasanya bilateral. Infeksi yang didapatkan melalui seks secara anal dapat dirasakan nyeri pada
rektum, keluar cairan, tenesmus, dan beberapa gejala dari proctitis. Demam, malaise, nyeri
kepala juga sering ada, dan kadang-kadang fotofobia dan kaku pada leher.5

First Episode Nonprimary Genital Herpes

Lesi yang ditemukan pada tipe ini biasanya lebih sedikit daripada infeksi primer.
Biasanya terjadi selama 10-20 hari. Nyeri dan bengkak pada daerah inguinal lebih jarang
ditemukan daripada infeksi primer.5

Recurrent Genital Herpes

Pada herpes genitalis rekuren biasanya terbentuk lesi berkelompok yang terdiri dari 2-10
lesi, lokasinya di bagian lateral dari garis tengah dan hanya terdapat di satu sisi tubuh. Lesi
tersebut biasanya timbul 2-3 cm dari lokasi lesi sebelumnya. Gejala infeksi rekuren selain dapat
terjadi di genital dan perianal, juga dapat terjadi di daerah bokong, paha, dan perut bagian bawah
(disebut juga area “boxer shorts”). Lesi yang paling sering ditemukan adalah lesi ulseratif
atipikal, tanpa didahului oleh periode vesikular ataupun pustular. Gejala neurologis prodormal
biasanya muncul 1-2 hari sebelum timbul lesi, biasanya berupa parestesia (rasa terbakar,
kesemutan), atau hypesthesia pada daerah lesi atau di sepanjang perjalanan nervus sakralis.
Gejala sistemik dan pembengkakan daerah inguinal jarang ditemukan.5

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum untuk herpes genitalis adalah membersihkan area yang


bersangkutan (terdapat lesi) dengan normal saline, pemberian analgesik (sistemik maupun lokal,
seperti lidokain gel), dan perawatan infeksi sekunder oleh bakteri. Selain itu juga diberikan
terapi antiviral spesifik misalnya asiklovir yang terbukti efektif dalam mengobati infeksi virus
serta ketersediaannya dalam bentuk generik. Obat lainnya, seperti valaciclovir dan famciclovir,
digunakan dalam dosis yang lebih jarang daripada asiklovir, namun harganya lebih mahal.
Penelitian menunjukkan ketiga obat tersebut dalam menurunkan berat dan durasi dari gejala
klinis akibat infeksi virus. Biasanya lama pemberian obat-obatan antivirus adalah lima hari,
namun BASHH guidelines merekomendasikan pengobatan harus tetap dilanjutkan lebih dari
lima hari jika lesi yang baru masih terus terbentuk, jika gejala dan tanda berat, atau jika pasien
mengidap HIV atau jika terdapat penyakit komplikasi lainnya. Guideline tersebut juga
menyatakan bahwa kombinasi obat oral dan topikal tidak menunjukkan keuntungan. Obat
antiviral sistemik intravena hanya diberikan jika pasien memiliki kesulitan menelan atau tidak
dapat mentoleransi obat-obatan karena muntah.

Rekomendasi terapi oral untuk infeksi herpes genitalis primer (diberikan selama lima
hari) adalah sebagai berikut: aciclovir 200 mg lima kali sehari, atau aciclovir 400 mg tiga kali
sehari, atau famciclovir 250 mg tiga kali sehari, atau valaciclovir 500 mg dua kali sehari.8

Komplikasi

Infeksi HSV-2 selain dapat menyebabkan penyakit herpes genitalis, juga dapat
menyebabkan komplikasi pada retina, otak, batang otak, nervus kranialis, medulla spinalis, dan
nerve roots. Secara umum, infeksi HSV-2 dapat menyebabkan meningitis. Manifestasi kelainan
neurologis akibat infeksi HSV-2 antara lain herpes simpleks ensefalitis pada neonatus,
meningitis aspetik akut pada dewasa, meningitis aseptik rekuren, ensefalitis dan
meningonesefalitis HSV-2 pada dewasa, radikulopati HSV-2, serta nekrosis retina akut. Sacral
radiculopathy dapat ditunjukkan dengan adanya gejala hyperesthesia pada saat terjadi infeksi
herpes simpleks primer. Amitriptilin dapat menjadi pilihan untuk terapi infeksi ini jika terapi
antiviral sistemik tidak adekuat atau tidak efektif. Sesuai dengan rekomendasi European
guideline for the management of Genital Herpes pada tahun 2010, jika herpes genitalis disertai
dengan komplikasi penyakit lainnya, maka waktu pengobatan dapat diperpanjang lebih dari lima
hari.

Prognosis

Selama pencegahan rekurens masih merupakan masalah, hal tersebut secara psikologik
akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih
baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih panjang. Pada orang
dengan gangguan imunitas misalnya pada penyakit-penyakit dengan tumor di sistem
retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah,
menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat fatal. Prognosis akan lebih
baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.1

Pencegahan

Kunci dari penanganan orang yang terinfeksi HSV-2 adalah dengan melakukan konseling
mengenai pencegahan penularan penyakit tersebut. Menghindari kontak seksual dengan
pasangan terutama selama masih ada lesi pada daerah genital dan saat terjadi gejala prodormal,
serta penggunaan kondom, ternyata telah terbukti dapat menurunkan angka penularan infeksi
HSV-2, meskipun tidak menghilangkan sama sekali. Ditambah dengan pemberian Valacyclovir
500 mg setiap hari pada penderita awal dapat mengurangi angka penularan hingga 50%.
Pengembangan vaksin untuk HSV adalah pendekatan terbaik untuk pencegahan infeksi ini.
Kesimpulan

Virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) adalah penyebab herpes genitalis yang umum,
namun selain di daerah genital, virus ini juga dapat bereplikasi di semua jaringan pada tubuh
manusia, dan terkadang dapat menyebabkan keratitis, hepatitis, pneumonitis, meningitis dan
sepsis neonatal. Pada pasien yang simtomatik dan asimtomatik, infeksi tidak selalu ditandai
dengan adanya keluhan maupun lesi di daerah genital, hal tersebut menyebabkan penularan dan
inflamasi yang persisten.

HSV-2 masih menjadi patogen yang dapat menyebar luas ke banyak populasi dan
biasanya menyebabkan infeksi berat pada neonatus dan pasien dengan sistem imun yang rendah.
Daftar Pustaka

1. Handoko RP. Herpes Simpleks. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010. P.380-2.
2. Legoff J, Pere H, Belec L. Diagnosis of Genital Herpes Simplex Virus Infection
in the Clinical Laboratory. Virology Journal 2014; 11: 1-17.
3. Bauer ME, Townsend CA, Doster RS, Fortney KR, Zwicki BW, Katz BP, et al. A
Fibrinogen-Binding Lipoprotein Contributes to the Virulance of Haemophilus
ducreyi in Humans. J Infect Dis 2009; 199(5): 684-92.
4. Melancon JM. Herpes Simplex. In: Arndt KA, Hsu JTS, Alam M, Bhatia A,
Chilukuri S. Manual of Dermatologic Therapeutics. 8th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2014. P.150-9.
5. Handsfield HH. Color Atlas & Synopsis of Sexually Transmitted Diseases. 3rd
ed. New York: McGraw-Hill; 2011. P.109-31.
6. Schiffer JT, Corey L. New Concept in Understanding Genital Herpes. Curr Infect
Dis Rep 2009; 11(6): 457-64.
7. Tronstein E, Johnston C, Huang ML, Selke S, Magaret A, Warren T, et al. Genital
Shedding of Herpes Simplex Virus Among Symptomatic and Asymptomatic
Persons with HSV-2 Infection. JAMA 2011; 305(14): 1441-9.
8. Sen P, Barton SE. Genital Herpes and It’s Management. BMJ 2007; 334: 1048-
52.

Anda mungkin juga menyukai