Skenario 4
Bayi Besar
Seorang ibu usia 37 tahun G3P2A0 dengan usia kehamilan 40 minggu
melahirkan bayinya diruang OK. Bayi tersebut lahir dengan Sectio Caesar dengan
BB lahir 4200 g dan saat lahir pasien langsung menangis. Ibu pasien memiliki
riwayat DM sejak kehamilan anak ke 2. Dokter melakukan perawatan rutin
dikamar bersalin setelah itu, bayi dirawat diruang NICU
Step 1
1. Sectio Caesar : Pembedahan janin melalui abdomen.
2. NICU : Neonatal Intensive Care Unit (usia < 28 hari).
Step 2
1. Mengapa bayi dengan berat badan tersebut dilakukan Sectio Caesar ?
2. Hubungan riwayat DM denagn berat badan bayi ?
3. Mengapa ibu tersebut mengalami DM saat kehamilan ?
4. Bagaimana berat badan normal pada bayi ?
5. Mengapa bayi dirawat di NICU ?
6. Apa saja perawatan setelah Sectio Caesar ?
Step 3
1. Berikut persalinan Sectio Caesar :
a. Resiko persalinan pervaginam.
b. Berat badan tidak normal.
c. Resiko robekan jalan lahir.
d. Distosia bahu.
e. Riwayat DM pada ibu.
f. Indikasi ibu dan janin.
g. Penyakit pada ibu.
2. Berikut hubungan DM dengan berat badan bayi.
a. DM → transient hiperinsulinemia pada bayi → hipoglikemia → cadangan
glukosa menjadi lemak → makrosomia.
b. Riwayat DM intoleransi glukosa → hiperinsulinemia → makrosomia.
2
Patofisiologi Factor
pada resiko
kehamilan
Tatalaksana
BBLR, Hipoglikemia,
jaundice patologis,
Bayi kejang neonatorum ,
Ibu
perdarahan tali pusat,
hipotermi.
Step 5
1. Kriteria bayi yang termasuk risiko tinggi.
2. Patomekanisme terjadinya bayi risiko tinggi dihubungkan dengan faktor yang
mempengaruhi bayi risiko tinggi.
Step 6
Belajar mandiri.
Step 7
1. Berikut kriteria bayi yang termasuk risiko tinggi.
Bayi risiko tinggi adalah kelompok bayi yang memiliki kemungkinan
lebih besar untuk mengalami kematian dan kesakitan termasuk gangguan
tumbuh kembang. Penyebab risiko tinggi pada bayi adalah gangguan pada
masa prenatal, saat kelahiran, dan pascanatal.1
Bayi berisiko tinggi pada awalnya dapat terlihat baik-baik saja, tetapi
sebenarnya memiliki banyak masalah klinis, seperti hipotermia, hipoglikemik,
apnea, infeksi, dan lain-lainnya pada bayi baru lahir. Berikut kriteria bayi
risiko tinggi 2:
a. Bayi yang lahir prematur atau postterm.
b. Bayi memiliki berat baru lahir rendah, yaitu kurang dari 2500 gram.
5
c. Bayi dengan berat badan berlebih, yaitu lebih dari 4000 gram.
d. Bayi yang memiliki skor APGAR rendah, yaitu antara 0-3 selama 1 menit.
e. Bayi yang memiliki masalah klinik setelah persalinan.2
Berikut beberapa permasalahan klinik yang dapat timbul pada bayi risiko
tinggi 3:
a. Bayi dengan berat badan lahir rendah
Bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu bayi baru lahir yang
berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499
gram). Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir
rendah diantaranya adalah penyakit hipotermia, gangguan pernafasan,
membran hialin, ikterus, pneumonia, aspirasi dan hiperbilirubinemia.
b. Asfiksia neonatorum
Suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir sehingga bayi tidak dapat memasukkan
oksigen dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya.
c. Perdarahan tali pusat
Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul karena trauma
pada pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses
pembentukkan trombus normal. Selain itu, perdarahan pada talipusat juga
dapat sebagai petunjuk adanya penyakit pada bayi.
d. Kejang neonatus
Kejang pada neonatus bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan
suatu gejala penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang
atau adanya kelainan susunan saraf pusat. Penyebab utama terjadinya
kejang adalah kelainan bawaan pada otak, sedangkan sebab sekunder
adalah gangguan metabolik atau penyakit lain seperti penyakit infeksi. Di
negara berkembang, kejang pada neonatus sering disebabkan oleh tetanus
neonatorum, sepsis, meningitis, ensefalitis, pendarahan otak, dan cacat
bawaan.3
6
diantisipasi dan dikelola pada masa neonatal. Berkaitan dengan hal itu,
maka menghadapi bayi prematur harus memperhatikan masalah masalah
sebagai berikut 3:
i. Sistem pengaturan suhu tubuh (Hipotermia)
Dalam kandungan, bayi berada dalam suhu lingkungan
yang normal dan stabil yaitu 36° sampai dengan 37° C. Segera
setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang
umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu ini memberi pengaruh
pada kehilangan panas tubuh bayi.
Hipotermia terjadi apabila suhu tubuh turun dibawah 36,5°
C. Apabila seluruh tubuh bayi teraba dingin maka bayi sudah
mengalami hipotermia sedang (suhu 32° sampai dengan 36° C).
Disebut hipotermia berat apabila suhu tubuh kurang dari 32° C.
Hipotermia dapat terjadi karena kemampuan untuk
mempertahankan panas dan kesanggupan menambah produksi
panas sangat terbatas karena pertumbuhan otot-otot yang belum
cukup memadai, lemak subkutan yang sedikit, belum matangnya
sistem saraf pengatur suhu tubuh, luas permukaan tubuh relatif
lebih besar dibandingkan dengan berat badan sehingga mudah
kehilangan panas. 3
ii. Gangguan pernafasan
Asfiksia adalah suatu keadaan kegagalan bernafas secara
spontan dan teratur beberapa saat setelah lahir. Kegagalan ini
menyebabkan terjadinya hipoksia yang diikuti dengan asidosis
respiratorik. Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel dalam
suasana anaerob akan menyebabkan asidosis metabolik yang
selanjutnya terjadi perubahan kardiovaskuler.
Menurunnya atau terhentinya denyut jantung menyebabkan
iskemia. Iskemia setelah mengalami asfiksia selama 5 menit
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah kecil dimana akan
mengakibatkan kerusakan-kerusakan menetap. 3
10
iii. Hipoglikemia
Glukosa merupakan sumber utama energi selama masa
janin. Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar
gula darah ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin
menyebabkan terhentinya pemberian glukosa.
Bayi aterm dapat mempertahankan kadar gula darah 50-60
mg/dL selama 72 jam pertama, sedangkan bayi berat badan lahir
rendah dalam kadar 40 mg/dL. Hal ini disebabkan cadangan
glikogen yang belum mencukupi. Hipoglikemia bila kadar gula
darah sama dengan atau kurang dari 20 mg/dL. 3
iv. Sitem imunologi
Kemungkinan terjadi kerentanan pada bayi dengan berat
lahir rendah terhadap infeksi mengalami peningkatan. Konsentrasi
Ig G serum pada bayi sama dengan bayi matur. Imunoglobulin G
ibu ditransfer secara aktif melalui plasenta ke janin pada trimester
terakhir. Konsentrasi Ig G yang rendah mencerminkan fungsi
plasenta yang buruk berakibat pertumbuhan janin intra uterin yang
buruk dan meningkatkan risiko infeksi post natal. Oleh karena itu
bayi dengan berat lahir rendah berpotensi mengalami infeksi lebih
banyak dibandingkan bayi matur. 3
v. Perdarahan intrakranial
Pada bayi dengan berat badan lahir rendah pembuluh darah
masih sangat rapuh hingga mudah pecah. Perdarahan intracranial
dapat terjadi karena trauma lahir, disseminated intravascular
coagulopathy atau trombositopenia idiopatik. Matriks germinal
epidimal yang kaya pembuluh darah merupakan wilayah yang
sangat rentan terhadap perdarahan selama minggu pertama
kehidupan. 3
vi. Rentan terhadap infeksi
Pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin terjadi
pada minggu terakhir masa kehamilan. Bayi dengan berat badan
lahir rendah mudah menderita infeksi karena imunitas humoral dan
11
iii. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya
diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. 5
Patofisiologi
Tabel 1.1 Etiologi kejang neonates dihubungkan dengan awitan kejang dan
frekuensi.6
Kejang pada neonatus berbeda dari kejang pada bayi, anak maupun
orang dewasa demikian pula manifestasi kejang pada bayi prematur
berbeda dibandingkan bayi cukup bulan. Kejang neonates lebih bersifat
fragmenter, kurang terorganisasi dan hampir tidak pernah bersifat kejang
umum tonik klonik. Kejang pada bayi prematur lebih tidak terorganisasi
dibandingkan dengan bayi cukup bulan, berkaitan dengan perkembangan
neuroanatomi dan neurofisiologi pada masa perinatal.6
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Gleason C., Juul Sandra E. Avery’s Disease of the Newborn. Edisi ke-10.
USA : Elsevier ; 2018.
2. Better care. Managing Normal and High Risk Infants In the Newborn Nursery.
USA : EBW ; 2014.
3. Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-5. Jakarta : Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo ; 2016.
4. Kosim, sholeh, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Cetakan ketiga.
Ikatan Dokter Anak Indonesia;2012
5. Rohsiswatmo, rinawati. Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35 Minggu di
Indonesia: Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. Vol 20 No 2. Sari Pediatri,
Departemen Kesehatan Anak, FKUI-RSCM;2018.
6. Handryastuti Setyo. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis
dan Tatalaksana. Jakarta : Universitas Indonesia ; 2007.
7. Lennox Bernard, Mc Carthy Dermond. Aneurysm of the Ductus Arteriosus
and Umbilical Haemorrhage in the Newborn. UK : Hammersmith Hospital ;
1950.