Anda di halaman 1dari 25

1

Skenario 4
Bayi Besar
Seorang ibu usia 37 tahun G3P2A0 dengan usia kehamilan 40 minggu
melahirkan bayinya diruang OK. Bayi tersebut lahir dengan Sectio Caesar dengan
BB lahir 4200 g dan saat lahir pasien langsung menangis. Ibu pasien memiliki
riwayat DM sejak kehamilan anak ke 2. Dokter melakukan perawatan rutin
dikamar bersalin setelah itu, bayi dirawat diruang NICU
Step 1
1. Sectio Caesar : Pembedahan janin melalui abdomen.
2. NICU : Neonatal Intensive Care Unit (usia < 28 hari).
Step 2
1. Mengapa bayi dengan berat badan tersebut dilakukan Sectio Caesar ?
2. Hubungan riwayat DM denagn berat badan bayi ?
3. Mengapa ibu tersebut mengalami DM saat kehamilan ?
4. Bagaimana berat badan normal pada bayi ?
5. Mengapa bayi dirawat di NICU ?
6. Apa saja perawatan setelah Sectio Caesar ?
Step 3
1. Berikut persalinan Sectio Caesar :
a. Resiko persalinan pervaginam.
b. Berat badan tidak normal.
c. Resiko robekan jalan lahir.
d. Distosia bahu.
e. Riwayat DM pada ibu.
f. Indikasi ibu dan janin.
g. Penyakit pada ibu.
2. Berikut hubungan DM dengan berat badan bayi.
a. DM → transient hiperinsulinemia pada bayi → hipoglikemia → cadangan
glukosa menjadi lemak → makrosomia.
b. Riwayat DM intoleransi glukosa → hiperinsulinemia → makrosomia.
2

3. Berikut penyebab DM pada ibu hamil :


a. Faktor resiko gaya hidup, makanan manis, merokok, riwayat DM
keluarga.
b. Konsumsi nutrisi pada ibu hamil berlebih.
c. Kurang olahraga.
d. DM gestasional karena pengaruh hormon kehamilan yang menyebabkan
resistensi insulin.
e. Kelebihan berat badan.
f. Usia.
g. Hormone chorionic somatotropin.
4. Berikut berat badan normal :
a. BBBN : 2500- 3500
b. BBBL : > 4000
c. BBBLR : < 1500- 2500
d. BBCR : < 1500
e. BBSR : <1000
5. Berikut perawatan NICU.
a. Bayi resiko tinggi karena makrosomia.
b. Menghindari komplikasi.
c. Resiko jaundice, kejang.
d. Makrosomia menyebabkan peningkatan hipoglikemia
6. Berikut perawatan setelah SC.
a. Kontrol luka.
b. Infeksi.
c. Kontrol nifas.
d. Sterilisasi alat.
Step 4
1. Berikut persalinan SC
a. Indikasi Sc ;
i. Mutlak : ibu adalah CPD, tumor jalan lahir.
ii. Janin adalah makrosomia.
iii. Relatif : riwayat SC, preeklamsia berat, HIV.
3

iv. Sosial : permintaan ibu, hak otonomi pasien.


2. Berikut hubugan riwayat DM dengan BB bayi
a. DM ada peningkatan glukosa yang menyebabkan glukosa masuk ke
plasenta menyebabkan peningkatan glikogen sehingga menyebabkan
insulin dari ibu masuk kebayi terjadi hiperinsulinemia sementara pada usia
36 minggu bayi menghasilkan pancreas yang sudah mengeluarkan insulin
sehingga menyebabkan bayi stress yang akan mengeluarkan katekolamin
seingga menyebabkan peningkatan glukosa.
b. Plasenta menghasilkan hormone somatotropin sehingga menyebabkan
intoleransi glukosa yang akan menyebabkan peningkatan glukosa
3. Berikut penyebab DM saat kehmilan
a. DM → sebelum kehamilan → perubahan hormon → T3 → ovarium
adrenal plasenta → mempengaruhi metabolisme karbohidrat →
peningkatan estrogen progesterone HPL kortisol → gula dalam darah
menurun → hipoglikemi pada bayi.
b. Komplikasi : infeksi, hidraamnion, RDS ,Kelainan kngenital,
Hiperbilirubinemia.
c. Saat labour terjadi peningkatan insulin sehingga menyebabkan
metabolism meningkat terjadi hipoglikemia.
4. Berikut BB normal.
a. BBLSR : 1000- 1500 gr.
b. BBLASR : < 1000 gr.
5. Berikut Perawatan NICU.
a. Bayi hipoglikemia bahaya perlu di monitor.
i. Asi 30-60 menit per 1-2 jam.
ii. Glukosa.
iii. ABC.
iv. Vit K, D, A.
v. Menyusui : NGT.
b. Gejala : hipototonus, apneu, neurologis lemah, kejang, pergerakan
abnormal.
c. Kejang : gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan kontraksi otot.
4

6. Berikut perawatan setelah SC.


a. Kontrol luka, mobilisasi, masa nifas, teratur minum obat.
Mind map

Patofisiologi Factor
pada resiko
kehamilan

Neonatus resiko Bayi


tinggi Ibu

Tatalaksana

BBLR, Hipoglikemia,
jaundice patologis,
Bayi kejang neonatorum ,
Ibu
perdarahan tali pusat,
hipotermi.
Step 5
1. Kriteria bayi yang termasuk risiko tinggi.
2. Patomekanisme terjadinya bayi risiko tinggi dihubungkan dengan faktor yang
mempengaruhi bayi risiko tinggi.
Step 6
Belajar mandiri.
Step 7
1. Berikut kriteria bayi yang termasuk risiko tinggi.
Bayi risiko tinggi adalah kelompok bayi yang memiliki kemungkinan
lebih besar untuk mengalami kematian dan kesakitan termasuk gangguan
tumbuh kembang. Penyebab risiko tinggi pada bayi adalah gangguan pada
masa prenatal, saat kelahiran, dan pascanatal.1
Bayi berisiko tinggi pada awalnya dapat terlihat baik-baik saja, tetapi
sebenarnya memiliki banyak masalah klinis, seperti hipotermia, hipoglikemik,
apnea, infeksi, dan lain-lainnya pada bayi baru lahir. Berikut kriteria bayi
risiko tinggi 2:
a. Bayi yang lahir prematur atau postterm.
b. Bayi memiliki berat baru lahir rendah, yaitu kurang dari 2500 gram.
5

c. Bayi dengan berat badan berlebih, yaitu lebih dari 4000 gram.
d. Bayi yang memiliki skor APGAR rendah, yaitu antara 0-3 selama 1 menit.
e. Bayi yang memiliki masalah klinik setelah persalinan.2

Berikut beberapa permasalahan klinik yang dapat timbul pada bayi risiko
tinggi 3:
a. Bayi dengan berat badan lahir rendah
Bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu bayi baru lahir yang
berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499
gram). Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir
rendah diantaranya adalah penyakit hipotermia, gangguan pernafasan,
membran hialin, ikterus, pneumonia, aspirasi dan hiperbilirubinemia.
b. Asfiksia neonatorum
Suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir sehingga bayi tidak dapat memasukkan
oksigen dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya.
c. Perdarahan tali pusat
Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul karena trauma
pada pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses
pembentukkan trombus normal. Selain itu, perdarahan pada talipusat juga
dapat sebagai petunjuk adanya penyakit pada bayi.
d. Kejang neonatus
Kejang pada neonatus bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan
suatu gejala penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang
atau adanya kelainan susunan saraf pusat. Penyebab utama terjadinya
kejang adalah kelainan bawaan pada otak, sedangkan sebab sekunder
adalah gangguan metabolik atau penyakit lain seperti penyakit infeksi. Di
negara berkembang, kejang pada neonatus sering disebabkan oleh tetanus
neonatorum, sepsis, meningitis, ensefalitis, pendarahan otak, dan cacat
bawaan.3
6

2. Berikut patomekanisme terjadinya bayi risiko tinggi dihubungkan dengan


faktor yang mempengaruhi bayi risiko tinggi.
a. Berat Badan Lahir Rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang
dari 2500 gram tanpa melihat usia gestasi. BBLR merupakan salah satu
penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatus. 3
Etiologi
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor
ibu yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti
penyakit vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga
merupakan penyebab terjadinya BBLR. BBLR dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu 3:
i. Faktor ibu
1) Penyakit
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kehamilan
misalnya toksemia gravidarum, perdarahan antepartum, trauma
fisik dan psikologis, penyakit lainnya yaitu nefritis akut,
diabetes melitus, infeksi akut atau tindakan operatif.
2) Usia
Angka kejadian prematuritas tertinggi yaitu pada usia ibu
dibawah 20 tahun dan pada multigravida yang jarak antar
kelahirannya terlalu dekat. Kejadian terendah yaitu pada usia
ibu antra 26-35 tahun.
3) Keadaan sosial-ekonomi
Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial-ekonomi
yang rendah dan perkawainan yang tidak sah. Hal ini
disebabkan oleh keadaan gizi yang kurang baik dan
pengawasan antenatal yang kurang.
4) Sebab lain
Ibu yang perokok, ibu yang peminum alkohol dan ibu
pecandu narkotika termasuk faktor lain yang mengakibatkan
bayi lahir dengan BBLR.
7

ii. Faktor janin


Cacat bawaan, infeksi dalam rahim, kehamilan ganda dan
kelainan kromosom umumnya akan mengakibatkan bayi lahir
dengan BBLR.
iii. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi terjadinya
BBLR, meliputi tempat tinggal dataran tinggi, radiasi, dan zat-zat
beracun. 3
Masalah – masalah atau kelainan pada bayi berat lahir rendah pada
BBLR yaitu 3:
i. Suhu Tubuh
1) Pusat mengatur nafas tubuh masih belum sempurna.
2) Luas badan bayi relatif besar sehingga penguapannya
bertambah.
3) Otot bayi masih lemah.
4) Lemak kulit dan lemak coklat kurang sehingga cepat
kehilangan panas badan.
ii. Kemampuan metabolisme panas masih rendah sehingga bayi
dengan berat badan lahir rendah perlu diperhatikan agar tidak
terlalu banyak kehilangan panas badan dan dapat dipertahankan
sekitar 36° sampai 37° C.
iii. Pernafasan
1) Pusat pengatur pernafasan belum sempurna.
2) Surfaktan paru-paru masih kurang sehingga perkembangan
tidak sempurna.
3) Otot pernafasan dan tulang iga masih lemah.
4) Dapat disertai penyakit : penyakit hialin membran, mudah
infeksi paru-paru, gagal pernafasan.
iv. Alat pencernaan makanan
1) Penyerapan makanan masih lemah atau kurang baik karena
pencernaannya belum berfungsi sempurna.
8

2) Aktivitas otot pencernaan makanan masih belum sempuna


sehingga pengosongan lambung berkurang.
3) Mudah terjadi regurgitasi isi lambung dan dapat menimbulkan
aspirasi pneumonia.
v. Hepar belum matang sehingga mudah menimbulkan gangguan
pemecahan bilirubin sehingga mudah terjadi hiperbilirubinemia
(kuning) sampai menyebabkan icterus.
vi. Ginjal masih belum matang sehingga kemampuan mengatur
pembuangan sisa metabolisme dan air masih belum sempurna
sehingga mudah terjadi oedema.
vii. Perdarahan dalam otak
1) Pembuluh darah bayi dengan berat badan lahir rendah masih
rapuh dan mudah pecah.
2) Karena mengalami gangguan pernafasan sehingga
memudahkan terjadi perdarahan dalam otak.
3) Perdarahan dalam otak memperburuk keadaan dan
menyebabkan kematian pada bayi.
4) Pemberian oksigen belum mampu diatur sehingga
mempermudah terjadi perdarahan dan nekrosis. 3
Patofisiologi
Tingkat kematangan fungsi sistem organ neonatus merupakan
syarat untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan diluar rahim. Secara
umum bayi berat badan lahir rendah ini berhubungan dengan usia
kehamilan yang belum cukup bulan atau prematur dan disebabkan karena
dismaturitas. Biasanya hal ini terjadi karena adanya gangguan
pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang disebabkan oleh faktor
ibu, komplikasi hamil, komplikasi janin, plasenta yang menyebabkan
suplai makanan ibu ke bayi berkurang. Faktor lainnya yang menyebabkan
bayi berat badan lahir rendah yaitu faktor genetik atau kromosom, infeksi,
kehamilan ganda, perokok, peminum alkohol. 3
Konsekuensi dari anatomi dan fisiologi yang belum matang, bayi
prematur cenderung mengalami masalah yang bervariasi. Hal ini harus
9

diantisipasi dan dikelola pada masa neonatal. Berkaitan dengan hal itu,
maka menghadapi bayi prematur harus memperhatikan masalah masalah
sebagai berikut 3:
i. Sistem pengaturan suhu tubuh (Hipotermia)
Dalam kandungan, bayi berada dalam suhu lingkungan
yang normal dan stabil yaitu 36° sampai dengan 37° C. Segera
setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang
umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu ini memberi pengaruh
pada kehilangan panas tubuh bayi.
Hipotermia terjadi apabila suhu tubuh turun dibawah 36,5°
C. Apabila seluruh tubuh bayi teraba dingin maka bayi sudah
mengalami hipotermia sedang (suhu 32° sampai dengan 36° C).
Disebut hipotermia berat apabila suhu tubuh kurang dari 32° C.
Hipotermia dapat terjadi karena kemampuan untuk
mempertahankan panas dan kesanggupan menambah produksi
panas sangat terbatas karena pertumbuhan otot-otot yang belum
cukup memadai, lemak subkutan yang sedikit, belum matangnya
sistem saraf pengatur suhu tubuh, luas permukaan tubuh relatif
lebih besar dibandingkan dengan berat badan sehingga mudah
kehilangan panas. 3
ii. Gangguan pernafasan
Asfiksia adalah suatu keadaan kegagalan bernafas secara
spontan dan teratur beberapa saat setelah lahir. Kegagalan ini
menyebabkan terjadinya hipoksia yang diikuti dengan asidosis
respiratorik. Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel dalam
suasana anaerob akan menyebabkan asidosis metabolik yang
selanjutnya terjadi perubahan kardiovaskuler.
Menurunnya atau terhentinya denyut jantung menyebabkan
iskemia. Iskemia setelah mengalami asfiksia selama 5 menit
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah kecil dimana akan
mengakibatkan kerusakan-kerusakan menetap. 3
10

iii. Hipoglikemia
Glukosa merupakan sumber utama energi selama masa
janin. Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar
gula darah ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin
menyebabkan terhentinya pemberian glukosa.
Bayi aterm dapat mempertahankan kadar gula darah 50-60
mg/dL selama 72 jam pertama, sedangkan bayi berat badan lahir
rendah dalam kadar 40 mg/dL. Hal ini disebabkan cadangan
glikogen yang belum mencukupi. Hipoglikemia bila kadar gula
darah sama dengan atau kurang dari 20 mg/dL. 3
iv. Sitem imunologi
Kemungkinan terjadi kerentanan pada bayi dengan berat
lahir rendah terhadap infeksi mengalami peningkatan. Konsentrasi
Ig G serum pada bayi sama dengan bayi matur. Imunoglobulin G
ibu ditransfer secara aktif melalui plasenta ke janin pada trimester
terakhir. Konsentrasi Ig G yang rendah mencerminkan fungsi
plasenta yang buruk berakibat pertumbuhan janin intra uterin yang
buruk dan meningkatkan risiko infeksi post natal. Oleh karena itu
bayi dengan berat lahir rendah berpotensi mengalami infeksi lebih
banyak dibandingkan bayi matur. 3
v. Perdarahan intrakranial
Pada bayi dengan berat badan lahir rendah pembuluh darah
masih sangat rapuh hingga mudah pecah. Perdarahan intracranial
dapat terjadi karena trauma lahir, disseminated intravascular
coagulopathy atau trombositopenia idiopatik. Matriks germinal
epidimal yang kaya pembuluh darah merupakan wilayah yang
sangat rentan terhadap perdarahan selama minggu pertama
kehidupan. 3
vi. Rentan terhadap infeksi
Pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin terjadi
pada minggu terakhir masa kehamilan. Bayi dengan berat badan
lahir rendah mudah menderita infeksi karena imunitas humoral dan
11

seluler masih kurang hingga bayi mudah menderita infeksi. Selain


itu, karena kulit dan selaput membran bayi dengan berat badan
lahir rendah tidak memiliki perlindungan seperti bayi cukup
bulan.3
vii. Hiperbilirubinemia
Pada bayi dengan berat badan lahir rendah lebih sering
mengalami hiperbilirubinemia dibandingkan dengan bayi cukup
bulan. Hal ini dapat terjadi karena belum maturnya fungsi hepar
sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk belum
sempurna. Kadar bilirubin normal pada bayi dengan berat badan
lahir rendah 10 mg/dL. Sesungguhnya hiperbilirubinemia
merupakan keadaan normal pada bayi baru lahir selama minggu
pertama, karena belum sempurnanya metabolisme bilirubin bayi.3

Bagan 1.1 Patofisiologi bayi baru lahir dengan BBLR. 3


12

Diagnosa dan gejala klinis


i. Sebelum bayi lahir
1) Pada anamnesis sering dijumpai adanya riwayat abortus, partus
prematurus dan lahir mati.
2) Pembesaran uterus tidak sesuai masa kehamilan.
3) Pergerakan janin yang pertama (quickening) terjadi lebih
lambat, gerakan janin lebih lama walaupun kehamilannya
sudah agak lanjut.
4) Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai menurut
seharusnya.
5) Sering dijumpai kehamilan dengan oligohidramnion atau bisa
pula dengan hidramnion, hiperemesis gravidarum dan pada
hamil lanjut dengan toksemia gravidarum atau perdarahan
antepartum. 3
ii. Setelah bayi lahir
1) Bayi dengan reterdasi pertumbuhan intrauterin secara klasik
tampak seperti bayi yang kelaparan. Tanda-tanda bayi ini
adalah tengkorak kepala keras, gerakan bayi terbatas, verniks
kaseosa sedikit atau tidak ada, kulit tipis, kering, berlipat-lipat,
mudah diangkat. Abdomen cekung atau rata, jaringan lembek
dan berwarna kehijauan.
2) Bayi prematur yang lahir sebelum kehamilan 37 minggu.
Verniks kaseosa ada, jaringan lemak bawah kulit sedikit, tulang
tengkorak lunak mudah bergerak, abdomen buncit, tali pusat
ebal dan segar, menangis lemah, tonus otot hipotoni, dan kulit
tipis, merah dan transparan.
3) Bayi small for date sama dengan bayi dengan retardasi
pertumbuhan intrauterin.
4) Bayi prematur kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam
tubuhnya, karena itu sangat peka terhadap gangguan
pernafasan, infeksi, trauma kelahiran, hipotermi, dan
sebagainya, pada bayi kecil untuk masa kehamilan (small for
13

date) alat-alat dalam tubuh lebih berkembang dibandingkan


dengan bayi prematur berat badan sama, karena itu akan lebih
mudah hidup diluar rahim, namun tetap lebih peka terhadap
infeksi dan hipotermi dibandingkan dengan bayi matur dengan
berat badan normal. 3
Penatalaksanaan
i. Pemberian vitamin K
Pemberian vitamin K diberikan secara Injeksi 1 mg IM,
atau 2 mg secara oral sebanyak 3 kali (lahir usia 3-10 hari, usia 4-6
minggu). 3
ii. Pengaturan suhu lingkungan
Menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi baru
lahir dapat dilakukan dengan lima cara yaitu kontak kulit dengan
kulit, kangaroo mother care (dada dan perut bayi kontak kulit
dengan dada ibu dengan kepala bayi sedikit ditengadahkan, posisi
dipertahankan dengan gendongan kain dan pakaian ibu), pemancar
panas, inkubator (alat yang berfungsi membantu terciptanya suhu
lingkungan yang cukup dengan suhu normal), dan ruangan yang
hangat. 3
iii. Diatetik (pemberian nutrisi yang adekuat) pada bayi baru lahir
dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), yaitu 3:
1) Apabila daya isap belum baik, bayi dicoba untuk menetek
sedikit demi sedikit.
2) Apabila bayi belum bisa meneteki pemberian ASI diberikan
melalui sendok atau pipet.
3) Apabila bayi belum ada reflek mengisap dan menelan harus
dipasang sonde fooding.
Bayi dengan berat badan lahir rendah mempunyai masalah
menyusui karena refleks menghisapnya masih lemah. Untuk itu
sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperas dan
diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan
memegang kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih
14

untuk menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan


diberikan dengan pipet atau selang kecil yang menempel pada
putting. ASI merupakan pilihan utama :
a) Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima
jumlah yang cukup dengan cara apapun, perhatikan cara
pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap
paling kurang sehari sekali.
b) Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan
beratnya naik 20 g/hari selama 3 hari berturut-turut,
timbang bayi minimal 2 kali seminggu.3
b. Asfiksia Neonatorum
Asfiksia pada BBL ditandai dengan keadaan hipoksemia,
hiperkarbia, dan asidosis. Menurut AAP dan ACOG, asfiksia perinatal
pada seorang bayi menunjukan karakteristik berikut 3:
i. Asidenia Metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik)
yang jelas, yaitu pH >7, pada sampel darah yang diambil dari arteri
umbilikal.
ii. Nilai APGAR 0-3 pada menit ke-5.
iii. Manifestasi neurologi pada periode BBL segera, termasuk kejang,
hipotonia, koma, atau ensefalopatia hipoksik iskemik.
iv. Terjadi disfungsi sistem multiorgan segera pada periode BBL. 3
Patofisiologi
BBL mempunyai karakteristik yang unik. Transisi dari kehidupan
janin intrauterine ke kehidupan bayi ekstrauterine, menunjukan perubahan
sebagai berikut. Alveoli paru janin dalam uterus berisi cairan paru. Pada
saat lahir dan bayi mengambil nafas pertama, udara memasuki alveoli paru
dan cairan paru diabsorpsi oleh jaringan paru. 3
Pada nafas kedua dan berikutnya, udara yang masuk alveoli
bertambah banyak dan cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh
alveoli berisi udara yang mengandung oksigen. Aliran darah paru
meningkatan secara dramatis. Hal ini disebabkan ekspansi paru yang
15

membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang


lebih tinggi. 3
Ekspansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya,
menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran
darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih
arah yang kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan
penurunan resistensi vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal
persisten pada BBL (Persistent Pulmonali Hipertention of the Neonate),
dengan aliran darah paru yang inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi
paru yang inadekuat menyebabkan gagal nafas. 3
c. Ikterus Neonatorum
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus
neonatarum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih, pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin
>5mg/dl(86µmol/L).4
Klasifikasi
Terdapat dua jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis. 5
i. Ikterus fisiologi
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua
dan hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak
mempunyai potensi menjadi karena ikterus.
Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
1) Timbul pada hari kedua dan ketiga.
2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus
cukup bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per
hari.
4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
5) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan
patologis.5
16

ii. Ikterus Patologi


Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar
patologis atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia.
Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :
1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan
atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
3) Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik. 5
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus
neonatarum dapat dibagi 5:
Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi
untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 5
i. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini
dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia
dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase
(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y
dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel
hepar.
ii. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini
dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek
yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
17

iii. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya
diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. 5
Patofisiologi

Gambar 1.1 Peningkatan bilirubin pada bayi baru lahir. 5

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-


90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari
senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks
haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah
merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai
cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang
tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk
diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat
(bilirubin terkonjugasi, direk). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi,
18

bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk


diekskresikan.5
Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon
menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus
melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati.
Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu
untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air
bersama urin. 5
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan
muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang
baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia
dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan
hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati
(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam
jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini,
bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu(sekitar 22,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan
yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus. 5
d. Kejang Neonatus
Definisi kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak,
yang mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron
(perilaku, fungsi motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan
kesadaran. kesadaran.6 Kejang pada neonatus dibatasi waktu yaitu kejang
yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan (bayi cukup bulan) atau 44
minggu masa konsepsi (usia kronologis + usia gestasi pada saat lahir) pada
bayi prematur.6
Etiologi
Etiologi kejang pada neonatus perlu segera diketahui karena
menentukan terapi dan prognosis.6
19

Tabel 1.1 Etiologi kejang neonates dihubungkan dengan awitan kejang dan
frekuensi.6

Tabel 1.2 Etiologi kejang pada neonatus.6


Patofisiologi
Depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak terjadi akibat masuknya
ion natrium ke dalam sel, sedangkan repolarisasi diakibatkan oleh
keluarnya ion kalium ke ekstra sel. Fungsi neuron adalah menjaga
keseimbangan antara depolarisasi dan repolarisasi. Jika terjadi depolarisasi
maka terjadi potensial aksi yang mengakibatkan penglepasan
neurotransmiter dari presinaps di terminal akson. Neurotransmiter akan
20

berikatan dengan reseptor postsinaps dan menghasilkan potensial aksi


yang dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. Fungsi otak normal sangat
bergantung dari keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi.6
Keseimbangan membran potensial membutuhkan enerji yang
berasal dari adenosine triphospate (ATP) yang menggerakkan pompa Na-
K yang berfungsi mengeluarkan ion kalium dan memasukkan ion natrium.
Meskipun mekanisme terjadinya kejang pada neonatus belum diketahui
secara pasti, namun terdapat beberapa teori yang menerangkan
depolarisasi berlebihan, yaitu 6:
i. Pompa Na-K tidak berfungsi akibat kekurangan enerji, disebabkan
oleh hipoksikiskemik dan hipoglikemia.
ii. Neurotransmiter eksitasi (glutamate) yang berlebihan (produksi
yang berlebih atau berkurangnya re-uptake) sehingga
mengakibatkan depolarisasi yang berlebihan, ditemukan pada
keadaan hipoksik-iskemik dan hipoglikemia.
iii. Defisiensi relatif neurotransmiter inhibisi (gama-amynobutiric acid
/GABA) mengakibatkan depolarisasi berlebihan, hal ini terjadi
akibat menurunnya aktivitas enzim glutamic acid decarboxylase
pada keadaan defisiensi piridoksin.
iv. Terganggunya permeabilitas membran sel, sehingga ion natrium
lebih banyak masuk ke intrasel yang mengakibatkan depolarisasi
berlebihan, ditemukan pada hipokalsemia dan hipomagnesemia
karena ion kalsium dan magnesium berinteraksi dengan membran
sel untuk menghambat masuknya ion natrium.6

Kejang pada neonatus berbeda dari kejang pada bayi, anak maupun
orang dewasa demikian pula manifestasi kejang pada bayi prematur
berbeda dibandingkan bayi cukup bulan. Kejang neonates lebih bersifat
fragmenter, kurang terorganisasi dan hampir tidak pernah bersifat kejang
umum tonik klonik. Kejang pada bayi prematur lebih tidak terorganisasi
dibandingkan dengan bayi cukup bulan, berkaitan dengan perkembangan
neuroanatomi dan neurofisiologi pada masa perinatal.6
21

Organisasi korteks serebri pada neonatus belum sempurna, selain


itu pembentukan dendrit, akson, sinaptogenesis dan proses mielinisasi
dalam sistem eferen korteks belum selesai. Imaturitas anatomi tersebut
mengakibatkan kejang yang terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak
yang lain sehingga tidak menyebabkan kejang umum. Daerah subkorteks
seperti sistem limbik berkembang lebih dahulu dibandingkan daerah
korteks dan bagian ini sudah terhubung dengan diensefalon dan batang
otak sehingga kejang pada neonatus lebih banyak bermanifestasi gerakan-
gerakan oral-buccal-lingual movements seperti menghisap. mengunyah,
drooling, gerakan bola mata dan apnea.6
Hubungan antara sinaps eksitasi dan inhibisi merupakan faktor
penentu apakah kejang yang terjadi akan menyebar ke daerah lain.
Ternyata kecepatan perkembangan aktifitas sinaps eksitasi dan inhibisi di
otak manusia berbeda-beda. Sinaps eksitasi berkembang lebih dahulu
dibandingkan sinaps inhibisi terutama di daerah limbik dan korteks. Selain
itu daerah hipokampus dan neuron korteks yang masih imatur lebih mudah
terjadi kejang dibandingkan yang telah matur. Belum berkembangnya
sistem inhibisi di substansia nigra juga mempermudah timbulnya kejang.6
e. Perdarahan Tali Pusar
Perdarahan tali pusat yaitu adanya cairan yang keluar di sekitar tali
pusat bayi. Tetapi merupakan hal yang normal apabila pendarahan yang
terjadi disekitar tali pusat dalam jumlah yang sedikit. Dimana, pendarahan
tidak melebihi luasan uang logam dan akan berhenti melalui penekanan
yang halus selama 5 menit. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa
sebagai petunjuk adanya penyakit pada bayi. Perdarahan yang terjadi pada
tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan tali pusat yang
kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal. Selain
itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit
pada bayi.7
Etiologi
i. Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena 7:
1) Partus precipitatus.
22

2) Adanya trauma atau lilitan tali pusat.


3) Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan
yang berlebihan pada saat persalinan.
4) Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan
tersayatnya dinding umbilikus atau placenta sewaktu sectio
secarea.7
ii. Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :
1) Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom
tersebut pecah, namun perdarahan yang terjadi masuk kembali
ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya bagi bayi dan
dapat menimbulkan kematian pada bayi.
2) Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises
tersebut pecah.
3) Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi
pelebaran pembuluh darah setempat saja karena salah dalam
proses perkembangan atau terjadi kemunduran dinding
pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah
menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah.7
iii. Robekan pembuluh darah abnormal Pada kasus dengan robekan
pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya
dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh
darah seperti :
1) Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya
tipis dan tidak ada perlindungan jely wharton.
2) Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh
darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat sampai ke
membran tempat masuknya dalam placenta tidak ada proteksi.
Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada
kehamilan ganda.
3) Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah
yang menghubungkan masing-masing lobus dengan jaringan
placenta karena bagian tersebut sangat rapuh dan mudah pecah.
23

iv. Perdarahan akibat placenta previa dan abruptio placenta


Perdarahan akibat placenta previa dan abruptio placenta
dapat membahayakan bayi. Pada kasus placenta previa cenderung
menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abruptio placenta
lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat
terjadi anoreksia. Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk
menentukan adanya perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi
baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea
apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin
secara berkala.7
Tanda dan Gejala
i. Ikatan tali pusat lepas atau klem pada tali pusat lepas tapi masih
menempel pada tali pusat.
ii. Kulit di sekitar tali pusat memerah dan lecet.
iii. Ada cairan yang keluar dari tali pusat. Cairan tersebut bisa
berwarna kuning, hijau, atau darah.
iv. Timbul sisik di sekitar atau pada tali pusat.7
Penatalaksanaan
i. Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali
pusat yang terjadi.
ii. Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan
infeksi pada tali pusat.
1) Jaga agar tali pusat tetap kering setiap saat. Kenakan popok di
bawah tali pusat.
2) Biarkan tali pusat terbuka, tidak tertutup pakaian bayi sesering
mungkin.
3) Bersihkan area di sekitar tali pusat. Lakukan setiap kali Anda
mengganti popok. Gunakan kapas atau cotton bud dan cairan
alkohol 70% yang dapat dibeli di apotek.
4) Angkat tali pusat dan bersihkan tepat pada area bertemunya
pangkal tali pusat dan tubuh. Tidak perlu takut hal ini akan
menyakiti bayi Anda. Alkohol yang digunakan tidak menyengat.
24

Bayi akan menangis karena alkohol terasa dingin.


Membersihkan tali pusat dengan alkohol dapat membantu
mencegah terjadinya infeksi. Hal ini juga akan mempercepat
pengeringan dan pelepasan tali pusat.
5) Jangan basahi tali pusat sampai tidak terjadi pendarahan lagi.
Tali pusat akan terlepas, dimana seharusnya tali pusat aka
terlepas dalam waktu 1-2 minggu. Tapi, yang perlu diingat
adalah jangan menarik tali pusat, walaupun sudah terlepas
setengah bagian.
6) Hindari penggunaan bedak atau losion di sekitar atau pada tali
pusat.7
iii. Segera lakukan informed consent dan inform choise pada keluarga
pasien untuk dilakukan rujukan. Hal ini dilakukan bila terjadi
gejala berikut:
1) Tali pusat belum terlepas dalam waktu 3 minggu.
2) Klem pada pangkal tali pusat terlepas.
3) Timbul garis merah pada kulit di sekitar tali pusat.
4) Bayi menderita demam.
5) Adanya pembengkakan atau kemerah-merahan di sekitar tali
pusat.
6) Timbul bau yang tidak enak di sekitar tali pusat.
7) Timbulnya bintil-bintil atau kulit melepuh di sekitar tali pusat.
8) Terjadi pendarahan yang berlebihan pada tali pusat.
Pendarahan melebihi ukuran luasan uang logam.
9) Pendarahan pada tali pusat tidak berhenti walaupun sudah di
tekan.7
25

DAFTAR PUSTAKA
1. Gleason C., Juul Sandra E. Avery’s Disease of the Newborn. Edisi ke-10.
USA : Elsevier ; 2018.
2. Better care. Managing Normal and High Risk Infants In the Newborn Nursery.
USA : EBW ; 2014.
3. Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-5. Jakarta : Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo ; 2016.
4. Kosim, sholeh, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Cetakan ketiga.
Ikatan Dokter Anak Indonesia;2012
5. Rohsiswatmo, rinawati. Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35 Minggu di
Indonesia: Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. Vol 20 No 2. Sari Pediatri,
Departemen Kesehatan Anak, FKUI-RSCM;2018.
6. Handryastuti Setyo. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis
dan Tatalaksana. Jakarta : Universitas Indonesia ; 2007.
7. Lennox Bernard, Mc Carthy Dermond. Aneurysm of the Ductus Arteriosus
and Umbilical Haemorrhage in the Newborn. UK : Hammersmith Hospital ;
1950.

Anda mungkin juga menyukai