Anda di halaman 1dari 4

Waktunya Kita Ubah Wajah Parlemen!

indoprogress.com/2017/07/waktunya-kita-ubah-wajah-parlemen/

Waktunya Kita Ubah Wajah Parlemen! 17 July 2017 Eko Prasetyo Harian IndoPROGRESS July 17, 2017

Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berfikir (Adolf Hitler)
Harapan adalah sarapan yang baik, tetapi merupakan makan malam yang buruk (Francis
Bacon)
Dalam membangunkan harimau, gunakan tongkat panjang (Mao Zedong)

KITA bukan sekali punya wakil rakyat. Saat usia Republik masih muda, kita sudah punya
anggota parlemen yang pintar. Berdebat soal ideologi, rumusan konstitusi hingga
memastikan arah bangsa. Tumbuh pada masa pembentukan Republik, mereka seperti
kilatan cahaya. Memberi kebanggaan dan inspirasi. Terutama pada saat ideologi apapun
dapat berdiri. Natsir bisa debat dengan Aidit. Begitu pula Syafruddin Prawinagera bisa debat
panas dengan Nyoto. Meski nanti berujung pada minum kopi bersama.

Garis hidup politisi saat itu simpel: sederhana, punya pikiran besar dan punya partai yang
militan. Berlarut-larut perdebatan di antara mereka tak menciutkan hubungan erat yang
terjalin. Kisah indah terukir bagaimana Natsir bisa bonceng vespa dengan Aidit. Sungguh
itulah masa terbaik politisi kita: cerdik, tangkas tapi santun. Hingga Demokrasi Terpimpin
mengubah suasana itu. Soekarno meneguhkan kekuasaanya, ia berayun di antara ideologi
yang mau disatukan: nasionalis, agama dan komunis. Serdadu menyeret diri dalam medan
politik. Periode ini ditutup dengan peristiwa keji yang hingga hari ini tak mudah dibongkar.
Peristiwa yang mengantar Soeharto ke kursi penguasa.

1/4
Soeharto bukan politisi. Ia memimpin dengan keinginan sederhana: berkuasa tanpa batas
dan gantungkan diri pada sistem kapitalis. Guna meraih itu semua dibonsailah partai politik.
Jumlahnya diciutkan dan politisi hanya memerankan diri sebagai tukang stempel atas semua
kebijakan dan keputusannya. Parlemen hanya jadi kepanjangan tangan Soeharto sehingga
apapun yang Soeharto katakan sudah serupa dengan wahyu. Tak bisa digugat dan mustahil
dibantah. Diktator ini diberi kekuasaan begitu panjang. Selama 32 tahun ia telah mengubah
apa yang dinamakan dengan politisi. Bukan orang yang cakap dalam gagasan tapi orang
yang mahir menyesuaikan diri dengan situasi. Tidak merupakan sosok yang pintar dalam
berargumentasi tapi jadi pribadi yang berfikir untuk kepentingan dirinya sendiri. Maka
politisi yang lahir di masa Orde Baru mirip dengan bunglon: berubah sesuai dengan keadaan
dan berpendapat sejajar dengan situasi. Tak tahu Soeharto kalau dirinya memelihara
monster. Politisi seperti inilah yang memakan dirinya ketika berada di posisi terpojok.
Loyalitas mereka tak ada karena Soeharto hanya memupuk akal licik yang bisa dimanfaatkan
kapan saja dan oleh siapa saja.

Maka saat Soeharto hengkang kekuasaan politisi jadi luar biasa. Diberi kewenangan oleh
undang-undang mereka punya banyak peran. Terutama yang berhasil duduk sebagai
anggota parlemen. Penentuan posisi penting mesti melalui pintu mereka. Senayan serupa
dengan pengadilan hari akhir: jadi penentu karir siapa saja yang ingin mendapat posisi.
Bukan hanya itu, semua urusan perundang-undangan melalui prosedur parlemen. Secara
ideal bangunan demokrasi menyandarkan kekuasaan pada parlemen. Tapi selama Orba
hampir tak ada kesempatan untuk membuat parlemen jadi kekuatan yang ideal: menjadi
kekuatan pengimbang kekuasaan dan tempat berproduksi berbagai aturan. Lebih-lebih
partai politik dipangkas peran ideologisnya sehingga menjadi tangga karir bagi segelintir
orang yang mau mengubah nasib secara drastis. Saat reformasi berlangsung parlemen
dipadati oleh politisi yang memang sudah terbiasa hidup dengan cara kerja Orba. Hanya kini
kekuasaan tak lagi memusat ke Soeharto tapi berpencaran ke semua penjuru. Terutama
pada partai politik yang menghasilkan produk namanya politisi. Mereka lahir dari rahim
partai atas dasar modal dan popularitas. Kenyataan ini yang membuat Parlemen merupakan
cerminan wajah politisi kita. Kebal, kuat dan terus meluaskan pengaruh. Sulit untuk
membatasi pengaruh mereka apalagi melucuti wewenangnya.

Walau arus keras dan kritik berlangsung tapi parlemen seperti rumah baja. Kebal atas saran
dan malas untuk mengikuti opini. Kasus yang belakangan ini jadi bukti: Pansus untuk KPK.
Begitu percaya diri mereka melakukan rangkaian manuver untuk membekuk KPK. Seperti
biasa, alasan yang digunakan prosedural dan sedikit patriotik. Meski ada partai yang
menolak untuk terlibat tapi lebih banyak yang setuju dengan upaya membonsai peran KPK.
Sebabnya sederhana: KPK telah membuka banyak mata atas busuknya parlemen. Kasus
paling ngetop adalah E-KTP. Serupa kartu domino, kasus ini menyeret banyak anggota
penting parlemen. Didesak oleh pengusutan KPK maka dengan geram parlemen mencoba
membuat siasat dengan Pansus. Digebuk oleh pernyataan anggota Pansus, KPK jadi lembaga
yang kini berhadap-hadapan dengan Parlemen. Lagi-lagi kita menyaksikan paradoks tentang
anggota parlemen. Ia mengubah diri dari wakil rakyat menjadi wakil dirinya sendiri. Jujur saja
godaan apa yang membuat mereka bisa-bisanya melakukan tindakan memalukan ini?

2/4
Mengusut riwayat sejarah parlemen tentu kita harus menciutkan target. Sejak Orba
parlemen seperti panggung boneka. Digerakkan oleh kepentingan kekuasaan dan
merumuskan agenda sesuai dengan nalar penguasa. Ketika Orba runtuh bukan berarti
bangunan kekuasaanya ambruk. Sendi kekuatan bergeser ke tangan partai politik. Menjelma
menjadi kekuatan penopang demokrasi partai politik muncul dengan keanggotaan yang
sebagian adalah jaringan Orba. Golkar yang memiliki kekuatan dan jaringan terstruktur telah
membuktikan diri mampu meraih posisi teratas. Konflik pengurus malah memunculkan
partai politik yang tak beda jauh dengan Golkar. Sibuk merias diri dengan cita-cita perubahan
tapi tak mendorong munculnya program yang progresif. Lebih-lebih regulasi Pemilu telah
meniadakan munculnya partai alternatif. Syarat administratif yang ketat membuat partai
politik harus punya modal besar dengan jangkauan yang tersruktur baik. Padahal politik
massa mengambang pada masa Orba membuat kesempatan untuk membangun organ
politik yang mengakar sulit dilakukan. Itulah yang kemudian melahirkan politisi
mengambang.

Rahim yang melahirkan politisi ini jika diidentifikasi berasal dari berbagai latar belakang.
Para pimpinan partai kebanyakan dari jaring penguasa di masa Orba. Sebagian di antara
mereka alumni dari pengurus Golkar. Konflik saat Rakernas lalu mendirikan partai baru. Di
antara mereka ada pula yang mantan jenderal. Di luar itu adalah aktivis Ormas yang mampu
hidup karena mahir menyesuaikan diri dengan irama Orba. Pengalaman merawat jaringan
membuat mereka mahir untuk menghidupkan mesin politik yang berujud parpol. Tapi ada
arus lain yang kuat dan berpengaruh yakni pengusaha. Kekuatan modal yang dipunyai dan
jaringan usaha telah memuluskan posisi mereka untuk menduduki jabatan politik penting.
Para pengusaha yang menguasai parpol memberi warna budaya pragmatis. Tiap kali muncul
keputusan publik tentu yang jadi penentu adalah keuntungan bagi investasi. Wajar kalau
banyak proyek pembangunan diputuskan tidak dengan pertimbangan kesejahteraan tapi
kepastian usaha. Didasarkan atas situasi seperti itulah maka partai politik seperti rumah
keluarga dimana para pengurusnya saling melindungi, saling menjaga, dan sebisa mungkin
mendapat keuntungan.

Itulah yang membuat politik berlangsung tanpa ide perubahan yang progresif. Partai politik
makin personal karena dimiliki oleh sang ketua dan parlemen hanya kepanjangan dari
kepentingan sempit. Maka perbincangan politik tak bermuara pada hajat publik tapi
persekongkolan dan kesepakatan keji. Pansus KPK hanya contoh paling buram dari situasi
ini. Namun karena kewenangan yang dimiliki luas maka parlemen mengubah arena
permainan politik jadi brutal. Otoritas yang dimiliki parlemen membuatnya punya
kewenangan raksasa. Maka posisi sebagai anggota parlemen bisa menjamin untuk duduk di
posisi manapun: anggota parlemen bisa jadi menteri, gurbenur hingga hakim MK. Ritme
permainan ini tak bisa diubah karena posisi pemerintah juga menyesuaikan dengan langgam
parlemen. Ibaratnya kekuasaan bertahan karena dukungan parlemen. Keyakinan itulah yang
membuat parlemen jadi kekuatan yang perkasa dan tak ada yang mampu
menandinginya.Tapi berkaca dari kekuasaan Orba maka kekuasaan semacam ini bisa rontok
dengan perantaraan situasi dan gerakan.

3/4
Situasi ketidakpercayaan pada parlemen sudah banyak diketahui. Terutama pada soal
Pansus KPK. Banyak keberatan dilayangkan atas sikap parlemen. Juga korupsi yang dilakukan
oleh anggota parlemen menciptakan citra yang makin kusut. Ibarat produk, parlemen telah
banyak mengandung cacat. Ditunjang oleh strategi pemasaran yang buruk: politisi yang
muncul seringkali tampil dengan apa adanya, bukan apa yang diharapkan. Bicaranya kadang
blak-blakan, sembrono dan menyakitkan. Lebih dari itu tak muncul gagasan progresif yang
diperjuangkan dengan sungguh-sungguh: soal pendidikan bermutu yang murah atau
problem kepemilikan tanah yang terancam olek ekspansi pembangunan. Pada soal-soal
gawat seperti itu suara parlemen senyap. Tapi spontan suara gemuruh jika itu berkait
dengan revisi UU KPK, penambahan jatah kursi dewan hingga RUU Pemilu. Pada
kepentingan dirinya sendiri Parlemen sangat antusias bersuara. Kenyataan ini sudah
diketahui dan dikenal populer. Jelas kondisi ini menimbulkan kekecewaan yang jika ada
gerakan yang memperantarai akan muncul perlawanan.

Tapi suasana gerakan berbeda sekali. Bisa jadi rasa kecewa itu sudah bulat tapi jembatan
menuju gerakan tak ada. Kritik pada parlemen memang lantang dan data mengenai prilaku
menyimpangnya banyak. Tapi penggerak yang mewadahi rasa kecewa itu tak ada.
Harapannya politisi curang itu kelak tak dipilih kembali. Paling ancamannya partai yang
dihuni mereka akan berkurang dukungannya. Ini harapan tanpa jaminan. Meski pernah
terjadi pada sejumlah partai yang merosot suara karena pengurusnya tersangkut korupsi.
Cuman gerakan tak bisa mengandalkan pada harapan melainkan pada tindakan strategis
dan progresif. Tindakan itu tak bisa didasarkan pada kampanye moralistik seperti menolak
politisi busuk. Melainkan pada upaya untuk menolak sistem kepartaian yang berhamba pada
oligarkh dengan program politik yang pro-status quo. Itu artinya penting didorong
munculnya partai alternatif yang tidak didasarkan pada syarat administratif tapi komposisi
kepengurusan dengan ideologi gerakan. Begitu pula sudah waktunya partai politik yang
pengurusnya korup dihukum dengan tidak diperkenankan ikut berlaga lagi dalam kompetisi
politik berikutnya.

Usul ini didasarkan pada pertimbangan sederhana: politik tak mungkin berjalan stagnan
seperti sekarang. Dihuni oleh politisi itu melulu dengan persoalan yang tak berubah. Bukan
hanya itu kemenangan politik hanya didasarkan pada partai itu-itu saja. Butuh upaya radikal
untuk mengubah aturan main dan membuat medan politik terbuka bagi tampilnya orang
baru dengan gerakan politik yang berbeda. Sudah tentu usulan ini jangan dikembalikan pada
ruang parlemen karena itu akan membuat kita berada pada kutukan yang sama. Politik
tanpa perseteruan tapi penuh dengan perundingan. Usulan ini harus diperjuangkan oleh
massa yang berjuang untuk tujuan sama dengan pertimbangan yang menguntungkan.
Membayangkan parlemen berbeda isi dengan partai baru yang punya program lebih konkrit
akan membawa optimisme dalam berpolitik. Bukan optimisme buta tapi keyakinan yang
didasarkan pada kekuatan dan peluang yang tersisa. Jika dulu massa bisa menggenangi jalan
menuntut Ahok, kini waktunya massa didorong untuk menuntut sesuatu yang lebih suci dan
adil: permainan politik yang terbuka bagi siapapun dengan hukuman jelas untuk partai
politik yang brengsek! Inilah dengung tuntutan sakral yang niscaya akan membuat
kehidupan politik jadi punya makna dan arti agung.***

4/4

Anda mungkin juga menyukai