Anda di halaman 1dari 10

Sumber 1

Pada Januari 2004, pesawat antariksa NASA bernama Stardust melesat lewat Wild 2 dan
menjaring ribuan butir debu dengan perangkap yang terbuat dari aerogel—bahan kaca yang
menggembung. Dua tahun kemudian, kapsul yang membawa kargo rapuh ini berparasut ke
padang pasir Utah, Amerika Serikat. Tim Stardust mengeluarkan debu itu dari gel tersebut
dengan hati-hati, meletakkannya di mikroskop elektron. Mereka tercengang melihatnya.

Kalangan ilmuwan sudah lama tahu bahwa planet, komet, dan benda langit lain yang
mengitari matahari lahir sekitar 4,5 miliar tahun silam dari cakram debu dan gas yang
berputar, disebut nebula matahari. Mereka sudah lama berasumsi bahwa benda-benda itu
terbentuk kira-kira di tempatnya kini mengorbit. Di alam dingin di luar Neptunus, bahan yang
tersedia untuk membentuk komet diduga merupakan campuran es dan debu halus yang kaya
karbon.

Tetapi, butir-butir hitam yang diberi nama "Inti" ini, yang diambil oleh pesawat antariksa
Stardust, mengandung mineral eksotis—butir batu dan logam keras seperti wolfram dan
titanium nitrida, yang hanya mungkin terbentuk di dekat matahari yang baru lahir, pada suhu
di atas 1700 derajat Celsius. Tentu ada proses dahsyat yang melontarkannya ke tata surya
luar.

This image shows a comet particle collected by the Stardust spacecraft

Para ilmuwan terkesima, karena sungguh mencengangkan bahwa bahan bersuhu tertinggi ini
ditemukan dalam benda terdingin di tata surya. Tata surya kita benar-benar kacau-balau.”
Tata Surya yang 'Sepertinya' Statis
Semasa kita kecil, tata surya tampaknya tak pernah bertingkah. Sembilan planet beredar
dalam orbit yang ajek dan tak berubah, selamanya. Alat mekanis yang indah bernama orrery
mencerminkan konsep ini, yang berasal dari Isaac Newton. Pada akhir abad ke-17, Newton
menunjukkan bahwa orbit planet dapat dihitung dari interaksi gravitasinya dengan matahari.

Orrery

Tak lama kemudian para pembuat jam pun membuat orrery yang semakin rumit, dengan
planet perunggu mengitari matahari pada lintasan yang tak pernah berubah. Newton sendiri
tahu bahwa kenyataannya lebih amburadul. Dia menyadari bahwa planet juga tentu
berinteraksi satu sama lain.

Tarikan gravitasinya jauh lebih lemah daripada matahari, tetapi seiring waktu berpengaruh
juga pada lintasan tetangganya. Akibatnya, tidak ada yang namanya orbit lingkaran. Pada
prinsipnya, tarikan gravitasi yang tiada henti dapat memperbesar penyimpangan kecil ini
sehingga orbit berpindah, berpotongan, atau kacau dalam segi lain.

Newton menyimpulkan bahwa Tuhan tentu turun tangan dari waktu ke waktu untuk
memulihkan ketertiban. Namun, dia tidak tahu kapan. Dia tidak punya rumus untuk
menghitung orbit beberapa benda langit yang tarik-menarik untuk waktu yang jauh ke depan.
Pada kenyataannya, tidak ada yang melihat bukti bahwa orbit planet pernah berubah. Jadi,
konsep tata surya yang ajek tetap bertahan.
Migrasi Planet
Namun, dalam sekitar satu dasawarsa terakhir berkembang pandangan yang jauh lebih
dramatis. Ratusan juta tahun setelah terbentuk, planet-planet terbesar tersapu ke orbit baru,
menghumbalangkan bebatuan besar dan komet ke segala arah.

Siapa sangka bahwa planet raksasa bisa berpindah, bahwa seluruh susunan tata surya bisa
berubah? Tanda-tandanya memang ada, namun, mengungkapkannya diperlukan survei
teleskop baru, serta “orrery digital”—algoritme pintar yang menggunakan ketangguhan
kemampuan hitung komputer untuk menghitung orbit planet di masa lalu dan masa depan.

Petunjuk pertama berasal dari Pluto. Benda ini melenceng jauh di atas dan di bawah bidang
datar yang dilalui kedelapan planet. Pluto menukik dalam orbit lonjong yang membawanya
ke tempat 30-50 kali jarak Bumi ke matahari. Tetapi, yang paling menarik soal Pluto adalah
hubungannya dengan Neptunus. Hal ini disebut resonansi: Setiap tiga kali Neptunus
mengorbit matahari, Pluto mengorbit dua kali, dan sedemikian rupa sehingga kedua planet ini
tidak pernah berdekatan.

Model Malhotra
Pada 1993, Renu Malhotra menyusun teori soal kemungkinan cara berkembangnya
sinkronisasi tersebut. Dia mengajukan bahwa ketika tata surya masih muda serta dipenuhi
asteroid dan komet, Neptunus lebih dekat dengan matahari. Jika ada benda langit yang
mendekati Neptunus, gravitasi planet yang kuat dapat melemparkannya ke arah matahari atau
keluar sama sekali dari tata surya.

Karena aksi menimbulkan reaksi, orbit Neptunus juga bergeser sedikit. Model komputer
Malhotra menunjukkan bahwa biasanya hal itu menyebabkan Neptunus bergerak menjauhi
matahari. Dalam skenarionya, hal inilah yang menyebabkan planet ini “menangkap” Pluto,
yang sudah berada lebih luar, dan memasukkannya ke dalam barisan gravitasi.

Malhotra terbukti benar satu dasawarsa kemudian. Di sabuk Kuiper, wilayah gelap yang
membentang jauh melampaui Neptunus, teleskop menemukan banyak Plutino—dunia kerdil
beku yang sama-sama memiliki resonansi dua banding tiga dengan Neptunus. Menurut
Malhotra, hal itu hanya mungkin terjadi jika Neptunus mendekati Sabuk Kuiper seperti pukat
gravitasi, menjaring banyak planet kerdil ke orbit baru.

Begitu Plutino ditemukan, teori ini tidak terbantahkan lagi. Migrasi planet jadi pemikiran
yang diakui umum.”

Bombardir Berat Akhir


Gagasan migrasi planet ini muncul saat para ilmuwan planet dibingungkan oleh beberapa
fitur tata surya lain. Pada awal 2000-an, mereka telah lama menyadari bahwa pembentukan
tata surya penuh prahara. Planet-planet membesar hingga ukuran saat ini dengan menyerap
planetesimal—asteroid berbatu, komet es, dan benda yang lebih besar—yang menabraknya
dengan kecepatan tinggi. Ini mungkin terjadi dalam 100 juta tahun pertama.

Late Heavy Bombardment


Yang membingungkan, prahara besar ini tidak berakhir di sini. Ratusan juta tahun kemudian,
bulan mengalami serangkaian benturan besar yang menyebabkan permukaannya bopeng
dengan kawah-kawah besar. Masa yang disebut Late Heavy Bombardment (Bombardir Berat
Akhir) ini memberondong Bumi dengan lebih dahsyat lagi.

Para ilmuwan tidak punya penjelasan yang baik soal pemicunya, karena pada saat peristiwa
itu planet telah menyapu sebagian besar puing di orbitnya. Teleskop mengungkap teka-teki
yang sama di sabuk Kuiper. Selain Plutino, sabuk itu dipenuhi benda-benda dengan orbit
yang sangat berbeda-beda.

Beberapa benda itu berkelompok dalam cakram datar, beberapa dalam awan berbentuk donat
gembung; beberapa memiliki orbit yang bahkan jauh lebih eksentrik (istilah teknis untuk
lonjong) daripada orbit Pluto. Migrasi mulus Neptunus ke luar, yang digunakan Malhotra
untuk menjelaskan Plutino, tidak mungkin menebarkan puing seluas ini.

Sementara itu, para astronom mulai menemukan planet di sekitar bintang lain—dan mulai
secara radikal memperluas pemikiran mereka tentang apa saja yang sebenarnya mungkin
terjadi dalam sebuah sistem planet. Ada yang orbitnya berdempetan, jauh lebih dekat
daripada planet-planet di tata surya kita. Bahkan, ada planet yang melayang bebas di ruang
antarbintang.

Model Nice
Semua planet ini tidak sesuai dengan konsep bahwa planet lahir di cakram berputar di sekitar
bintang lalu duduk manis di tempat kelahirannya. Proses itu seharusnya menghasilkan orbit
hampir lingkaran yang berjauhan, seperti yang ditampilkan orrery kuningan.

Jelas ada banyak planet yang bermigrasi, tetapi migrasi tenang tampaknya tidak menjelaskan
orbit ekstrem dan Bombardir akhir, setidaknya menurut anggapan Levison. Dia mulai curiga
bahwa sejarah tata surya kita sama sekali tidak tenang. Pada 2004, dia berkumpul dengan tiga
rekan saat cuti panjang di Nice, Prancis, untuk berusaha memikirkan kejadiannya.

“Yang akan saya sampaikan ini benar-benar luar biasa gila,” katanya pada awal seminar baru-
baru ini. “Jika hal ini kami terbitkan, mungkin karier saya bisa tamat.”

Pernyataan serupa sebetulnya berlaku tahun 2004, untuk hal yang sekarang disebut model
Nice—hipotesis yang dikembangkannya bersama rekan-rekannya, termasuk Alessandro
Morbidelli dari Observatoire de la Côte d’Azur di Nice, berdasarkan puluhan simulasi
komputer.
Pada dasarnya, tim Levison mengusulkan bahwa empat planet raksasa di tata surya kita—
Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus—awalnya lebih berdempetan, dalam orbit yang
hampir lingkaran, dan tiga planet terakhir lebih dekat dengan matahari daripada orbitnya
sekarang.

Pada mulanya, keempat planet itu berada dalam nebula surya berbentuk cakram, yang masih
penuh dengan puing es dan batu. Karena planet tersebut menyerap planetesimal atau
melemparkannya ke luar tata surya saat berpapasan dalam jarak dekat, cakram itu pun
semakin bersih. Karena planet juga tarik-menarik, seluruh sistem itu tidak stabil—“tingkat
kekacauannya hampir tak terhingga,” kata Levison.

Alih-alih setiap planet hanya terhubung ke matahari dengan batang kuningan, bayangkan ada
tambahan pegas gravitasi yang menghubungkan semua benda langit itu. Pegas terkuat
menghubungkan dua benda terbesar, Yupiter dan Saturnus. Sentakan pada pegas itu
mengguncang sistem.

Dan itulah, menurut tim ini, yang terjadi ketika tata surya berumur sekitar 500 juta sampai
700 juta tahun. Saat planet berinteraksi dengan planetesimal, orbitnya sendiri mengalami
pergeseran. Yupiter bergerak sedikit ke dalam; sementara Saturnus bergerak sedikit ke luar,
sebagaimana halnya Uranus dan Neptunus. Semuanya terjadi perlahan—hingga suatu ketika
Saturnus tepat berevolusi sekali setiap Yupiter berevolusi dua kali.

Resonansi satu banding dua itu tidak stabil seperti resonansi yang terjadi antara Neptunus dan
Pluto; itu sentakan singkat yang kuat pada pegas gravitasi. Saat Yupiter dan Saturnus
mendekat dan tarik-menarik berulang kali pada titik yang sama di orbitnya, orbit yang hampir
lingkaran itu memanjang menjadi elips yang kita lihat sekarang.

Orbit seperti itu segera mengakhiri resonansi yang presisi, tetapi Saturnus sudah telanjur
pindah ke dekat Uranus dan Neptunus, sehingga mempercepat keduanya. Kedua planet itu
terdorong ke luar dengan kencang.

Sementara Uranus dan Neptunus mengarungi zona-zona tata surya yang masih dipenuhi
planetesimal sarat es, keduanya memicu efek kumulatif yang merusak. Bola es berlontaran ke
segala arah. Banyak benda, mungkin termasuk komet Wild 2, tersebar ke dalam sabuk
Kuiper.

Entah berapa banyak—mungkin satu triliun—yang terasingkan lebih jauh lagi ke awan Oort,
suatu kepompong raksasa komet yang tersebar hingga setengah jalan ke bintang tetangga.
Banyak komet juga terlontar ke dalam tata-surya-dalam, dan di sana menabrak planet atau
hancur terkena panas matahari.

Sementara itu, migrasi planet-raksasa juga mengganggu sabuk asteroid batu di antara Yupiter
dan Mars. Asteroid yang bertebaran itu bergabung dengan komet dari tempat jauh,
membentuk Bombardir Besar Akhir. Misi NASA baru-baru ini yang disebut GRAIL
mendokumentasikan seberapa parah bulan kita terkena dampaknya saat itu, dan pada masa
sebelumnya dalam sejarah: seluruh permukaannya retak-retak besar.

Bumi tentu terkena serangan lebih gencar, tetapi pergeseran lempeng tektonik telah
meniadakan kawah-kawah yang dulu terbentuk. Masa terburuk Bombardir Berat Akhir
berhenti, menurut model Nice itu, dalam waktu kurang dari 100 juta tahun. Tetapi, kajian
terbaru oleh Bill Bottke dari Southwest Research Institute menyiratkan bahwa tumbukan
yang berlangsung mungkin mengganggu kehidupan selama hingga dua miliar tahun lagi.
Bombardir Berat Akhir Bumi mungkin dihasilkan dari gangguan dramatis orbit-orbit planet,
yang membuat Neptunus (depan) dan Uranus mengganggu sabuk komet, dan Jupiter
mengganggu sabuk asteroid. Menurut model Nice, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus
lahir berdekatan di nebula surya (awan berbentuk cakram penuh dengan puing-puing berbatu
dan dingin). Seiring gravitasi kuat empat raksasa itu menyedot dan melemparkan puing-puing
tersebut, orbit mereka sendiri secara perlahan bergeser-sampai mencapai titik kritis

Ketika suatu asteroid menabrak Bumi, tetes-tetes kecil batu cair melambung tinggi ke
atmosfer, kemudian menjadi hujan dalam bentuk manik-manik kaca padat bernama sferulit.
Lapisan sferulit dari sebuah asteroid selebar sepuluh kilometer yang menghantam Yucatán
sekitar 65 juta tahun silam, yang memunahkan dinosaurus, ditemukan di seluruh dunia.
Sejauh ini, telah ditemukan setidaknya belasan lapisan sferulit yang berasal dari deretan
tabrakan yang terjadi antara 1,8 miliar dan 3,7 miliar tahun yang lalu.

Menurut Bottke, mungkin sampai 70 di antaranya menabrak Bumi, masing-masing sebesar


asteroid yang memunahkan dinosaurus. “Evolusi tata surya itu dinamis,” kata Levison.
“Dahsyat. Tata surya kita mungkin tergolong tenang jika dibandingkan dengan yang terjadi di
tempat lain. Mungkin memang harus tenang, agar terbentuk planet yang dapat dihuni.”

Menguji Model Nice


Model nice merupakan hipotesis, dan tidak semua ilmuwan yakin benar. Sekarang, semua
orang sepakat bahwa setidaknya beberapa planet pernah bermigrasi, tetapi apakah itu memicu
serangan dahsyat ke seluruh tata surya masih diperdebatkan. “Konsepnya menarik,” kata
Donald Brownlee.

“Tentu terjadi di berbagai tempat, di seputar bintang lain. Apakah pernah terjadi di sini, kita
tidak tahu pasti.” Jelas bahwa partikel komet seperti "Inti" terlontar keluar dari tempat di
dekat matahari, katanya, tetapi pergeseran planet mungkin terjadi lebih lamban.

Kunci untuk menguji model Nice adalah membuat peta. Memetakan komposisi dan orbit
benda-benda jauh dapat mengungkapkan apakah memang planet yang melontarkannya ke
sana dan bagaimana terjadinya. Stern memimpin misi NASA bernama New Horizons yang
akan mengirim wahana tanpa awak melewati Pluto dan kelima bulannya yang diketahui pada
Juli 2015.

Dari sana, Stern berharap dapat memerintahkan New Horizons memeriksa setidaknya satu
benda lain dalam sabuk Kuiper. Teleskop baru yang berkekuatan tinggi yang direncanakan
dalam dasawarsa berikut akan memperlihatkan jauh lebih banyak benda dalam sabuk Kuiper.

Teleskop itu juga mungkin mengintip awan Oort, yang disebut Stern sebagai loteng tata
surya. Puing-puing yang terlempar ke sana akibat Yupiter mungkin ada yang berupa planet
hilang. “Saya yakin awan Oort akan membuat kita terpana,” kata Stern. “Planet pasti
bertebaran di sana. Saya yakin kita akan menemukan banyak planet yang mirip Mars dan
Bumi di sana.”

Selama kekacauan awal tata surya, Jupiter diperkirakan memelemparkan triliunan asteroid,
komet dan mungkin beberapa planet ke luar angkasa. Mereka yang terlempar ini sekarang
membentuk awan bulat, yang disebut awan Oort, sekitar tata surya kita. Dalam gambar artis
ini, matahari terlihat kecil, cerah, dan planet yang belum ditemukan digambarkan di latar
depan. Sebuah teleskop baru yang sedang dikembangkan di Chili akan mengungkapkan
planet tersebut.

Masa Depan Planet-Planet di Tata Surya Kita


Bagaimana dengan masa depan planet yang kita kenal? Sifat acak di sistem ini begitu tinggi,
kata teoretikus Greg Laughlin dari University of California, Santa Cruz, sehingga ramalan—
maupun rekonstruksi sejarah—harus disajikan dalam kerangka probabilitas.

Kalangan ilmuwan sangat yakin bahwa keempat planet raksasa sudah selesai berkelana dan
akan tetap berada di orbit yang sama selama lima miliar tahun ke depan, sementara matahari
yang menua diperkirakan akan menggembung dan melahap planet-dalam. Tetapi, tidak jelas
apakah planet-dalam—Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars—saat itu masih ada dan akan mati
seperti itu.
“Ada peluang satu persen bahwa tata surya-dalam akan semakin tidak stabil secara drastis
selama lima juta tahun ke depan,” kata Laughlin. Masalahnya adalah hubungan jarak-jauh
yang aneh antara Yupiter dan Merkurius. Ketika gerak terdekat Yupiter ke matahari sejajar
dengan orbit Merkurius yang sangat datar dengan cara yang tepat, Yupiter memberi tarikan
kecil tapi stabil.

Setelah miliaran tahun, ini membuka peluang 1 banding 100 bagi Merkurius untuk melintasi
orbit Venus. Ada juga peluang 1 banding 500 bahwa jika Merkurius menggila, planet itu juga
akan mengganggu orbit Venus atau Mars, cukup untuk menyebabkan salah satunya menabrak
Bumi—atau meleset sejauh beberapa ribu kilometer. “Seluruh Bumi akan melar dan meleleh
seperti gulali,” kata Laughlin.

Risiko kecil kiamat itu—peluang 1 banding 50.000 bahwa Bumi akan hancur akibat
kekacauan orbit sebelum sempat dihanguskan matahari—adalah peninggalan dari masa muda
tata surya, sebelum susunannya terbalik-balik. “Kalau gravitasi diberi cukup waktu,” kata
Levison, “akibatnya adalah hal-hal seperti ini.”

Anda mungkin juga menyukai