Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja adalah masa anak ingin tahu banyak hal tentang perubahan fisik,

emosional, dan lainya, sehingga merasa ada yang berbeda terhadap diri mereka, dan

pada akhirnya muncullah berbagai-bagai pertanyaan yang sangat mengganggu

pemikiran anak reamaja, sehingga membuat mereka menggebu-gebu untuk mencari

tahu akan hal yang sedang terjadi pada diri mereka.

Masa remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan

dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial. Secara biologis

remaja mengalami perubahanan fisik seperti perubahan bentuk tubuh, perubahan

suara, perubahan hormonal dan lain sebagainya. Perubahan kognitif yang terjadi pada

remaja yaitu mampu bernalar secara abstrak dan logis serta pikiran menjadi lebih

idealistik.

Penyimpangan seksual merupakan berita yang lazim pada zaman modern ini.

Tidak jarang media sosial baik media elektronik maupun media cetak membeberkan

masalah penyimpangan seksual. Berikut data penyimpangan seksual remaja dari

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sebanyak 32% remaja usia

14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung)

pernah berhubungan seks (Fathunaja, 2015).


Keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama di mana orang tua bertanggung

jawab terhadap anak-anak, perlu adanya kesadaran yang tinggi bahwa anak-anak

harus mendapatkan pendidikan seks yang benar. Orang tua harus menyadari bahwa

menjadi orang tua adalah sebuah anugerah yang sangat berharga, oleh sebab itu

mereka memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengasuh, membesarkan serta

mendidik, agar kelak anak memiliki pola pikir yang benar dan terarah sehingga kelak

anak-anak tidak menyimpang dari hal-hal yang benar.

Orang tua pun harus menjadi seorang pembimbing yang handal, yang

meletakkan dasar-dasar kepribadian anak, seorang pengajar yang mengarahkan anak

kepada pengertian yang benar, mampu menjadi teman yang setia bagi anak, dan

terlebih seorang guru profesional yang harus menjelaskan hal-hal yang dahulu

dianggap tabu, yaitu memberikan pendidikan seks.

Remaja perlu mengetahui hal tersebut, karena masa r\emaja merupakan masa

di mana anak akan mengalami perubahan-perubahan yang signifikan di dalam

dirinya, dan perubahan tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan, di sinilah

kesempatan emas bagi orang tua untuk menjawab dan menjelaskan dengan terarah

tentang pendidikan seks. Pendidikan seks sangat penting dalam proses kehidupan

manusia terutama para remaja, dan pendidikan seks sebaiknya diberikan ketika

menjelang masa remaja, agar mereka memiliki bekal untuk menghindari perilaku seks

yang tidak sehat dan menyimpang terhadap diri remaja (Puspitosari, 2002).
Berdasarkan pemaparan di atas, membicarakan seks kepada anak sangat

penting. Namun masih ada orang tua yang belum menyadarinya dan mungkin juga

menyadari akan hal ini namun enggan untuk membicarakannya. Dalam bukunya Seks

Dan Anak-anak, Maria Tretsakis mengatakan bahwa secara keseluruhan, informasi

seks yang anda berikan akan melindungi kehidupan masa depan mereka dari

komplikasi dan kelainan seks. Untuk menyelamatkan generasi masa depan, orang tua

perlu menjelaskan dan memberikan pemahaman yang benar tentang pendidikan seks

sebagai bekal bagi remaja ketika dewasa (Tretsakis, 2003)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka permasalahan yang dapat di rumuskan

dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan apakah adanya hubungan peran orang

tua terhadap perilaku seks bebas pada remaja.

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini ada beberapa hal penting yang perlu di perhatikan dan

menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui seberapa besar pengaruh peran orang tua dalam memberikan

pendidikan seks terhadap remaja.

2. Mengetahui bentuk-bentuk perilaku penyimpangan seks yang dilakukan para

remaja.
3. Mengetahui untuk menemukan faktor-faktor penyebab terjadianya penyimpangan

seks yang dilakukan para remaja.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Orang Tua

Sebagai bahan acuan untuk menolong orang tua dalam memberikan pendidikan

seks terhadap remaja.

2. Bagi Remaja

Sebagai informasi dan membuka wawasan bagi para remaja bahwa pendidikan

seks yang diberikan oleh orang tua memengaruhi perilaku seks remaja.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tinjauan Tentang Peranan Orang Tua

2.1.1. Pengertian Peranan

Secara umum peranan adalah perilaku yang dilakukan oleh seseorang terkait

oleh kedudukannya dalam struktur sosial atau kelompok sosial di masyarakat, artinya

setiap orang memiliki peranan masing-masing sesuai dengan kedudukan yang ia

miliki. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Peran berarti perangkat tingkah

atau karakter yang diharapkan atau dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam

masyarakat, sedangkan peranan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang

dalam suatu peristiwa”

Menurut Livinson dalam Soerjono Soekanto (2004:213) menyebutkan bahwa

peranan mencakup tiga hal, yaitu:

1. Peranan meliputi norma-norma yang diungkapkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian

peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

2. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu

masyarakat sebagai individu.


3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting sebagai

struktur sosial masyarakat.

Selain itu menurut Departemen Pendidikan Nasional “peranan adalah

perangkat tingkah laku yang diharapkan atau dimiliki oleh orang yang berkecukupan

di masyarakat, peran terutama ditentukan oleh ciri-ciri individual yang bersifat khas

atau istimewa”.

Selanjutnya, menurut Gross Mason dan Mc Eachern dalam buku David Berry

(1995:99), yaitu “peranan adalah harapan-harapan yang dkenakan pada individu-

individu yang menempati kedudukan social tertentu.”

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas,

maka dapat disimpulkan peranan merupakan tindakan atau perbuatan seseorang

dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai pemegang kedudukan dan posisi

tertentu.

2.1.2. Pengertian Orang Tua

Menurut Miami dalam Zaldy Munir (2010:2) dikemukakan bahwa Orang tua

adalah pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul

tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya. Sedangkan

menurut Widianingsih dalam Indah Pertiwi (2010:15) menyatakan bahwa orang tua

merupakan seorang atau dua orang ayah-ibu yang bertanggung jawab pada
keturunannya semenjak terbentuknya hasil pembuahan atau zigot baik berupa tubuh

maupun sifat-sifat moral dan spiritual.

Orang tua berperan dalam Pendidikan anak untuk menjadikan Generasi muda

berkedudukan. Menurut Abu Ahmadi dalam Hendi Suhendi dan Ramdani Wahtu

(2001:4), penjelasan tentang orang tua dalam pendidikan sebagai berikut, Setelah

sebuah keluarga terbentuk, anggota keluarga yang ada didalamnya memiliki tugas

masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga

inilah yang disebut fungsi. Jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas

yang harus dilakukan didalam atau diluar keluarga. Fungsi disini mengacu pada

peranan individu dalam mengetahui, yang pada akhirnya mewujudkan hak dan

kewajiban.

Didalam lingkungan keluarga orang tualah yang bertanggung jawab dalam

suatu keluarga atau rumah tangga, dan sudah layaknya apabila orang tua

mencurahkan perhatian dan bimbingan untuk mendidik anak agar supaya anak

tersebut memperoleh dasar-dasar dan pola pergaulan hidup pendidikan yang baik dan

benar, melalui penanaman disiplin dan kebebasan secara serasi.

Seperti yang dikemukakan oleh Thamrin dan Nurhalijah Nasution (1985:8),

yakni “orang tua dan anak hendaklah selalu damai dengan demikian akan dapat

membangkitkan minat si anak untuk belajar.”


Menurut Miami dalam Zaldy Munir (2010:2) dikemukakan bahwa “Orang

tua adalah pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk

memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya”.

Sedangkan menurut Widnaningsih dalam Indah Pertiwi (2010:15) menyatakan bahwa

“orang tua merupakan seorang atau dua orang ayah-ibu yang bertanggung jawab pada

keturunannya semenjak terbentuknya hasil pembuahan atau zigot baik berupa tubuh

maupun sifat-sifat moral dan spiritual”.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua

mempunyai tanggung jawab yang berat dalam memberikan bimbingan kepada anak-

anaknya, tokoh ayah dan ibu sebagai pengisi hati nurani yang pertama harus

melakukan tugas yang pertama adalah membentuk kepribadian anak dengan penuh

tanggung jawab dalam suasana kasih saying antara orang tua dengan anak.

Pada keluarga anak pertama kali mengenal lingkungannya, kehidupan di luar

dirinya. Sebagai makhluk sosial ia menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama, dan

yang memperkenalkan semua itu adalah orang tua, sehingga perkembangan anak

ditentukan oleh situasi dan kondisi yang ada serta pengalaman-pengalaman yang

dimiliki oleh orang tuanya.

2.1.3. Pengertian Peran Orang Tua

Menurut Maulani dkk dalam Indah Pratiwi (2010:15) Peran orang tua adalah

seperangkat tingkah laku dua orang ayah- ibu dalam bekerja sama dan bertanggung
jawab berdasarkan keturunannya sebagai tokoh panutan anak semenjak terbentuknya

pembuahan atau zigot secara konsisten terhadap stimulus tertentu baik berupa bentuk

tubuh maupun sikap moral dan spiritual serta emosional anak yang mandiri.

Di dalam BKKBN dijelaskan bahwa peran orang tua terdiri dari:

a. Peran sebagai pendidik

Orang tua perlu menanamkan kepada anak-anak arti penting dari pendidikan dan

ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan dari sekolah. Selain itu nilai-nilai agama

dan moral, terutama nilai kejujuran perlu ditanamkan kepada anaknya sejak dini

sebagi bekal dan benteng untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.

b. Peran sebagai pendorong

Sebagai anak yang sedang menghadapi masa peralihan, anak membutuhkan

dorongan orang tua untuk menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri dalam

menghadapi masalah.

c. Peran sebagai panutan

Orang tua perlu memberikan contoh dan teladan bagi anak, baik dalam berkata

jujur maupun ataupun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan

bermasyarakat.
d. Peran sebagai teman.

Menghadapi anak yang sedang menghadapi masa peralihan. Orang tua perlu lebih

sabar dan mengerti tentang perubahan anak. Orang tua dapat menjadi informasi,

teman bicara atau teman bertukar pikiran tentang kesulitan atau masalah anak,

sehingga anak merasa nyaman dan terlindungi.

e. Peran sebagai pengawas

Kewajiban orang tua adalah melihat dan mengawasi sikap dan perilaku anak agar

tidak keluar jauh dari jati dirinya, terutama dari pengaruh lingkungan baik dari

lungkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat.

f. Peran sebagai konselor

Orang tua dapat memberikan gambaran dan pertimbangan nilai positif dan negatif

sehingga anak mampu mengambil keputusan yang terbaik.

Menurut Mutis. T (1995:80) keluarga dituntut untuk memenuhi syarat-syarat

antara lain :

1. Orang tua hendaknya mengenal arti dan ciri-ciri tanggung jawab.

2. Orang tua hendaknya mengenal garis besar perkembangan pribadi anak.

3. Orang tua hendaknya menciptakan situasi belajar cara bertanggung jawab

dilingkungan keluarga.
4. Orang tua hendaknya tahu bahwa titik berat pendidikan tata cara bertanggung

jawab dilingkungan adalah penempatan nilai nilai kepribadian.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud peranan orang tua adalah

pola tingkah laku dari ayah dan ibu berupa tanggung jawab untuk mendidik,

mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk 18 mencapai tahapan tertentu yang

menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat

2.1.4. Pengertian Bentuk Komunikasi Orang Tua

Menurut Suryo Subroto (dalam Ilyas: 2004) komunikasi orang tua dengan

anaknya sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Apabila komunikasi

orang tua berpengaruh baik kepada anaknya maka hal akan menyebabkan anak

berkembang baik pula. Suasana komunikasi orang tua di rumah mempunyai peranan

penting dalam menentukan kehidupan anak di sekolah. Orang tua harus menjadikan

rumah sebagai wadah untuk berkomunikasi secara intens dengan anaknya.

Menurut Soelaiman dan Shochib (2000: 17), keluarga adalah sekumpulan

orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal yang sama dan masing-masing

anggota merasakan adanya peratutan batin sehingga terjadi saling mempenagruhi,

saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Komunikasi orang tua adalah

proses penyampaian informasi anatara remaja dengan orang tua, sehingga

menmbulkan perhatian dan efek tertentu.


Menurut Rahmat (2007), komunikasi orang tua dengan anak dikatakan efektif

bila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai dan komunikasi diantara

keduanya merupakan hal yang menyenangkan dan adanya keterbukaan sehingga

tumbuh rasa percaya diri. Komunikasi yang efektif dilandasi adanya keterbukaan dan

dukungan yang positif pada anak agar anak dapat menerima dengan baik apa yang

disampaikan oleh orang tua.

Dari paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi orang tua itu

berpengaruh baik pada anaknya. Komunikasi pada orang tua adalah proses

penyampaian informasi anatara anak dengan orang tua, sehingga menibulkan

perhatian dan efek tertentu. Adapun tanda-tanda komunikasi yang efektif adalah 16

pengertian, kesenangan, mempengaruhi sikap, hubungan sosial yang baik, dan

tindakan. Apabila dalam komunikasi terdapat tanda-tanda tersebut maka bisa

dikatakan efektif.

2.1.5. Pengertian Bentuk Pengawasan Orang Tua

Pengawasan orang tua adalah sikap dari orang tua dalam mengamati dan

mengontrol apa yang dilakukan anaknya.Dengan adanya pengawasan orang tua, maka

diharapkan agar terciptanya lingkungan yang kondusif bagi remaja sehingga tidak

melakukan perilaku menyimpang. Bentuk pengawasan bisa dilakukan dengan cara

Orang tua dapat menanyakan perilaku anak kepada temannya, guru di sekolah, dan

masyarakat sekitar untuk mengetahui apa saja yang dilakukan anak di luar rumah
agar perilakunya dapat selalu terkontrol orang tua, Poltekes Depkes Jakarta I

(2012:61)

2.1.6. Pengertian Pola Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Keluarga

Menurut Clara Kriswanto S.Psi (170-172) Orang tua dapat menanyakan

perilaku anak kepada temannya, guru di sekolah, dan masyarakat sekitar untuk

mengetahui apa saja yang dilakukan anak di luar rumah agar perilakunya dapat selalu

terkontrol orang tua.

2.2.Tinjauan Remaja

2. 2.1. Definisi Remaja

Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa

ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak kemasa dewasa

yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial.

Disebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada

usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Soetjiningsih (2004) Masa remaja merupakan masa peralihan antara

masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11

atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda.

Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan terdapat definisi tentang

remaja yaitu:
1. Pada umumnya remaja adalah bila seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun

dan umur 12-20 tahun.

2. Menurut Undang-undang No.4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja

adalah yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah.

3. Menurut Undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah

mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikahan mempunyai tempat tinggal.

4. Menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1979, anak dianggap sudah

remaja apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun

untuk anak laki-laki.

5. Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah

berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.

6. Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.

(Soetjiningsih, 2004).

Dari berbagai defenisi mengenai remaja di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa remaja merupakan suatu periode perkembangan dari transisi antara masa

anakanak dan dewasa, yang diikuti oleh perubahan biologis, kognitif, dan

sosioemosional.
2.3.TINJAUAN PERILAKU SEKSUAL

2. 3.1. Pengertian Seksual

Pada umumnya orang menganggap bahwa pendidikan seks hanya berisi

tentang pemberian informasi alat kelamin dan berbagai macam posisi dalam

berhubungan kelamin. Hal ini tentunya akan membuat orang tua merasa khawatir,

sehinggaperlu diluruskan kembali pengertian seks.

Pendidikan seks berusaha menempatkan seks pada persefektif yang tepat dan

mengubah anggapan negatif tentang seks. Dengan pendidikan seks pada persefektif

yang tepat dan mengubah anggapan negatif tentang seks. Dengan pendidikan seks

kita dapat memberitahu remaja bahwa seks adalah sesuatu yang alamiah dan wajar

terjadi pada semua orang.

Seksualitas adalah istilah yang mencakup segala sesuatu yang

berhubungandengan seks. Menurut Sarwono (1983: 52), pengertian seks terbagi

menjadi dua:

a. Seks dalam arti sempit

Dalam arti sempit seks berarti kelamin, yaitu: alat kelamin itu sendiri;

anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah yang membedakan antara laki laki dan

wanita, misalnya: perbedaan suara, pertumbuhan kumis, pertumbuhan payudara,


kelenjar-kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya

alat kelamin (senggama, percumbuan, proses perubahan, kehamilan, kelahiran).

b. Seks dalam arti luas

Dalam pengertian ini, seks adalah sesuatu yang terjadi akibat dari adanya

perbedaan jenis kelamin, antara lain: perbedaan tingkah laku, lembut, kasar, genit,

dan lain-lain. Perbedaan atribut: pakaian, nama, dan lain-lain. Perbedaan peran dan

pekerjaan: hubungan antara pria dan wanita: tata krama pergaulan, percintaan,

pacaran, perkawinan atau pernikahan, dan lain-lain.

Menurut Larose (1987: 11), seks bukanlah urusan kelenjar saja adakalanya

seks diartikan sebagai pantulan rasa cinta. Oleh karena itu, hubungan seks sering

terjadi antara dua orang yang saling mencintai. Lambat laun akan disadari bahwa

seksualitas dalam arti luas adalah sesuatu yang luas dan amatlah kompleks. Seks

merupakan perpaduan antara perasaan yang membara.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat dinyatakan bahwa seks

tidak hanya menyangkut masalah alat kelamin saja, melainkan berhubungan masalah

psikis manusia yang timbul akibat adanya perbedaan jenis kelamin, yaitu antara laki-

laki dan perempuan yang keduanya merupakan suatu sistem yang memungkinkan

terjadinya kehamilan.

2. 3.2. Perilaku Seks Bebas


Menurut Akbar (dalam Amrillah, et al: 2006) perilaku seks bebas atau

premarital intercourse adalah segala bentuk perilaku atau aktivitas seksual yang

dilakukan tanpa adanya ikatan perkawinan.

Menurut Adikusuma, et al (2008) perilaku seks bebas adalah hubungan

seksual antara dua individu tanpa ikatan perkawinan. Bungin (2001) memberikan

batasan perilaku seksual bebas remaja yakni aktivitas seksual di kalangan remaja

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), yaitu aktivitas seksual yang dilakukan

sebelum pernikahan. Perilaku seksual dimaksud adalah perilaku seks yang dilakukan

bersamaan dengan orang lain, seperti: pegangan tangan dengan lawan jenis,

berciuman, berpelukan, petting dan senggama. Adapun bentuk-bentuk perilaku seks

bebas yang biasa dilakukan adalah kissing, atau perilaku berciuman, mulai dari

ciuman ringan sampai deep kissing, necking atau perilaku mencium daerah sekitar

leher pasangan, petting atau segala bentuk kontak fisik seksual berat tapi tidak

termasuk intercourse, baik itu light petting (meraba payudara dan alat kelamin

lainnya) atau hard petting (menggosok-gosokkan alat kelamin sendiri ke alat kelamin

pasangan, baik dengan berbusana ataupun tanpa busana), hingga intercourse atau

penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin wanita (Rahardjo, 2008).

Aspek-aspek perilaku seksual bebas menurut Sarwono & Samsidar (2004) ini

yaitu dalam tahapan-tahapan mulai dari rasa tertarik, berjalan berduaan,

bergandengan tangan, berpelukan, saling meraba bagian tubuh, berciuman,

bercumbu/ bermesraan dan bersenggama (berhubungan badan).


2.4. Tinjauan Tentang Upaya Perlindungan Kesehatan Reproduksi

2.4.1. Pengertian Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi yang ditetapkan dalam Koferensi Internasional

Kependudukan dan Pembangunan (International Coference on Population and

Development/ICPD adalah keadaan kesejahteraan secara fisik, mental, sosial yang

utuh, bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, tetapi dalam segala hal

yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta proses-prosesnya

reproduksi (1994:48)

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 (UU Kesehatan) Pasal 71 ayat (1)

menyebutkan kesehatan reproduksi sebagai keadaan sehat secara fisik, mental, dan

sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang

berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.

Pasal 73 menjelaskan lebih lanjut tentang hak-hak terkait kesehatan reproduksi. Hak

tersebut diantaranya adalah hak untuk menjalani dan menentukan kehidupan

reproduksi dan seksual yang sehat, aman, serta, bebas dari paksaan dan/atau

kekerasan serta memperoleh hak informasi, edukasi, dan konseling mengenai

kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

2.4.2. Pengertian Upaya Perlindungan Kesehatan Reproduksi


Upaya Perlindungan Kesehatan Reproduksi merupakan suatu hal yang harus

bersifat kooperatif dari berbagai aspek seperti diri sendiri, pihak orang tua, sekolah

dan lingkungan masyarakat yang harus diimbangi oleh norma agama dan sosial,

untuk melindungi kesehatan reproduksi pada anak.

Upaya perlindungan kesehatan reproduksi dapat dilakukan orang tua melalui

cara sebagai berikut:

1. Penanaman Nilai Budi Pekerti, yang mengandung nilai keagamaan, kesusilaan

dan kepribadian

2. Memfasilitasi perkembangan anak yaitu : memfasilitasi anak untuk berinterkasi

dalam kelompok sebaya; menganjurkan anak mengikuti organisasi yang

mempunyai kegiatan positif; orang tua berperan sebagai teman berbagi cerita bagi

anak; orang tua berperan sebagai contoh peran bagi anak dalam melakukan

interaksi sosial yang baik; memberikan lingkungan yang nyaman bagi anak dalam

melakukan aktivitasnya bersama kelompoknya; membimbing remaja dalam

menentukan rencana masa depannya. Poltekes Depkes Jakarta I (2012:73)

3. Mengenalkan perlindungan kesehatan reproduksi dengan cara sebagai berikut :

Mengubah cara berpikir anak, bahwa makna pendidikan perlindungan kesehatan

reproduksi itu sangat luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan

hubungan seksual, tapi didalamnya ada perkembangan manusia, hubungan antar

manusia, kemampuan personal (yang didalamnya terdapat tentang nilai,


komunikasi, negosiasi dan pengambilan keputusan, perilaku seksual, kesehatan

seksual, pencegahan infeksi menular, serta budaya dan masyarakat. Mengajarkan

tentang kesehatan reproduksi sejak dini. Gunakan istilah yang tepat sesuai dengan

usianya, misalnya anak yang beranjak remaja, maka gunkanlah bahasa yang biasa

digunakan remaja, sehingga anak tidak sungkan untuk menanggapi pembicaraan

anda. Monty P. Setiadarma (2001:146)


BAB III

METODE PENELITIAN

Anda mungkin juga menyukai