Anda di halaman 1dari 5

TUGAS PENGANTAR TEKNOLOGI dan KEBUMIAN

“Sejarah Kelembagaan Pengukuran dan Pemetaan di Indonesia”

Oleh
Muhsin Nur Alamsyah
4122.3.18.13.0008

Pada abad 18 pengetahuan tentang pendalaman pulau jawa sangat kurang, terlebih daerah
diluar Jawa. Pada saat pemerintahan Gouverneur General Daendels, diletakan dasar untuk
pengukuran di pulau jawa. Pada tahun 1809 diangkat juru-juru ukur yang diambil sumpah untuk
mengisi personil dalam organisasi “Biro Zeni” dalam gerakan-gerakan militer. Semua pejabat
militer dan sipil mendapat instruksi untuk mengadakan pengukuran dan pemetaan, terutama
kepada para perwira Zeni diberi tugas pengukuran dan waterpassing dengan menggunakan peta-
peta laut sebagai dasar pembuatan peta.

Setelah selesai peperangan di Jawa (Perang diponegoro tahun 1825-1830) timbul


kebutuhan yang meningkat akan kebutuhan data geografi dan peta topografi yang lebih lengkap
dari wilayah Hindia Belanda terutama ditujukan untuk pembuatan peta pertahanan Pulau Jawa.
Pada awal abad ke-19 di Eropa terdapat anggapan bahwa pekerjaan pengukuran triangulasi harus
dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pekerjaan pemetaan. Anggapan ini baru dianut di
Indonesia pada akhir abad ke-19, walaupun antara tahun 1839 hingga tahun 1848 Junghuhn telah
membuat triangulasi pertama di Indonesia yang dijadikan dasar untuk pengukuran dan pemetaan
di Pulau Jawa. Dari hasil pengukuran yang dilakukan dapat dihasilkan tiga peta dengan skala peta
yang bervariasi. Peta-peta buatan Junghuhn tersebut tidak pernah dicetak, sebab disusul oleh
pembuatan peta dengan skala 1 : 70 000 oleh Vander Welde tahun 1845, dan peta buatan Leclerq
pada tahun 1850 dengan skala peta 1 : 100 000.

Pemerintah Hindia Belanda semula merencanakan pengukuran dan pemetaan detail sekitar
daerah Batavia (Jakarta) dan Buiterzorg (Bogor), namun segera diputuskan pemetaan topografi
pertama dimulai di daerah residensi Batavia (tahun 1849-1853) oleh Topografisch Bureau sebagai
bagian dari Corps Genie. Hasil pekerjaan pengukuran dan pemetaan dengan skala peta 1 : 10 000
dan 1: 50 000 (hasil perkecilan skala peta) telah memperjelas manfaat serta kegunaan peta. Setelah
selesai pemetaan di sekitar Batavia, proses pemetaan di Pulau Jawa diperluas lagi hingga ke
Keresidenan Cirebon.

Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Prof. Ir. J.H.G Schepers pada sidang umum
International Union of Geodesy and Geophysics (IUGG) pada tahun 1931, dapat dibaca tentang
sejarah pemetaan topografi di Indonesia pada masa lalu. Pada tahun 1850 dibentuklah Dinas
Geografi (Geografische Dients) sebagai bagian dari angkatan laut dengan tugas untuk menetapkan
posisi geografi dari berbagai stasiun di Indonesia dengan pengamatan bintang.

Pada tahun 1864 dibentuk Topografisch Bureau en der Militaire Verkeuningen di bawah
kesatuan Zeni dengan tugas pengukuran topografi di Pulau Jawa. Pada tahun 1874 Bureau ini
dialihkan menjadi Topografische Dients (Dinas Topografi) di bawah staf umum angkatan darat,
pada tahun 1907 dipisahkan lagi dari staf umum untuk menjadi bagian yang berdiri sendiri yang
dikenal dengan nama “IXde Afdeeling van let Department van Oorlog” (Afdeeling ke-9 dari
departemen peperangan) atau lazim disebut dinas topografi militer.

Pada tahun 1857, Dr. Oudemans (Guru besar Astronomi pada universitas Utrecth) datang
ke Indonesia dan meyakinkan perlunya triangulasi yang teratur untuk pemetaan topografi yang
sekaligus dapat dimanfaatkan untuk keperluan ilmiah didalam menentukan dimensi bumi. Pada
tahun 1862 triangulasi pulau jawa dimulai dibawah pimpinan Dr. Oudemans sendiri dan selesai
pada tahun 1880, sesudah dinas geografi dibubarkan. Pekerjaan triangulasi ini dikerjakan setelah
pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memulai pemetaan sistematik di Indonesia yang
dimulai dari pulau Jawa dan Madura, serta dilakukan oleh pemerintah sendiri (Governments
Besluit No 10 tanggal 25 Desember 1853).

Pada tahun 1883 dibentuk brigade triangulasi sebagai bagian dari dinas topografi militer
untuk meneruskan pekerjaan triangulasi di pulau Sumatera dan pulau-pulau lainnya. Brigade ini
dipimpin oleh Dr. J.J.A Mueller. Sejak tahun 1913 Brigade dipimpin oleh Prof. Ir. J.H.G. Schepers
dan diserahi tugas survey geodesi untuk seluruh Kepulauan Indonesia (triangulasi, pengamatan
astronomi, sipat datar teliti di Jawa ). Menjelang pecahnya perang Dunia II, pimpinan Brigade
Triangulasi adalah Prof. Ir. P.H. Poldevaart, sehingga praktis pimpinan dan staf Brigade ini
(merupakan bagian terpenting pada dinas topografi militer) adalah sarjana-sarjana yang berstatus
pegawai sipil (burgelijk ambtenaar). Selama perang Dunia II dimana pemerintah Hindia Belanda
menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. Kantor Topographische Dients dipindahkan dari
Jakarta ke Bandung dengan nama kantor diubah menjadi Sokuryo Kyoku yang berarti kantor
pengukuran.

Pada tanggal 28 September 1945 setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya,


Sokuryo Kyoku direbut dari tangan Jepang, dan diubah namanya menjadi Jawatan Topografi
Republik Indonesia dipimpin oleh Ir. Soetomo Wongsotjitro (kemudian dikenal sebagai Guru
Besar pada bagian geodesi, Fak. Teknik Universitas Indonesia) yang bernaung dibawah
Kementrian Pertahanan. Hal ini ditetapkan dengan ketetapan pemerintah Republik Indonesia No.
46 tanggal 26 April 1946, kedudukan Jawatan ini bermula ada di Malang kemudian pindah ke Solo
pada tahun 1947, dan akhirnya pindah ke Yogyakarta pada tahun 1949. Berdasrkan surat keputusan
KASAD No. Skep/691/VII/1986, tanggal 26 April 1946 ditetapkan sebagai hari lahir Corp
Topografi TNI-AD.

Pada saat yang sama pemerintah Belanda menduduki sebagaian daerah Republik Indonesia
membentuk kembali Topografische Dients KNIL (Tentara kerajaan Hindia Belanda) dengan balai
Geodesi di Bandung (1947), balai Geografi, dan balai Fotogrametri di Jakarta (1947). Balai
Geodesi ini melanjutkan pekerjaan-pekerjaan yang telah dilakukan oleh Brigade Triangulasi. Pada
tanggal 17 Juni 1950, Jawatan Topografi Republik Indonesia mengambil alih Topografische
Dients KNIL beserta semua lembaga-lembaga yang ada, sehingga di Indonesia hanya ada satu
lembaga pemetaan topografi dibawah Kementrian Pertahanan yang berkedudukan di Jakarta
(semula bernama Direktorat Topografi Angkatan Darat kemudian diganti menjadi Jawatan
Topografi Angkatan Darat). Sejak tahun 1950 praktis tidak ada pemetaan baru. Pekerjaan dengan
anggaran yang sangat terbatas hanya meliputi revisi peta-peta lama serta kompilasi peta-peta skala
kecil (1:250 000 dan 1:1 000 000). Pekerjaan triangulasi adalah melanjutkan triangulasi di Nusa
Tenggara Timur dan beberapa pengukuran Laplace. Pada tanggal 31 Maret 1951 dengan peraturan
pemerintah No. 23 Tahun 1951 tentang pejabat-pejabat hidrografi pelayaran sipil, memutuskan
bahwa di Indonesia terdapat dua pejabat Hidrografi yaitu pejabat hidrografi sipil yang bernama :

 Bagian Hidrografi dan menjadi bagian dari Jawatan Pelayaran, Kementerian Perhubungan.
 Bagian Hidrografi angkatan laut, yang menjadi bagian staf angkatan laut.

Selanjutnya melalui Kepres No. 164 Tahun 1960, bagian Hidrografi dari Jawatan Pelayaran
kementerian perhubungan digabungkan pada Jawatan Hidrografi Angkatan Laut.

Pada tanggal 23 November 1951, dengan peraturan pemerintah No. 71 Tahun 1951
(Lembar Negara Nr. 116, 1951) membubarkan “Raad en Directorium loor het meet en
kaarteerwezen” ( dibentuk berdasarkan ”Gouvermentsbesluit” tanggal 17 Januari 1948), dan
menetapkan pembentukan ”Dewan Pengukuran dan Penggambaran Peta (Dewan Atlas)” yang
bertugas mengkoordinasi segala pekerjaan pengukuran dan penggambaran peta diseluruh wilayah
Negara Republik Indonesia (pasal 2 dan 3). Peraturan pemerintah ini juga membentuk
”Direktorium Pengukuran dan Penggambaran Peta” yang bertugas menyelenggarakan koordinasi
dan menjalankan segala pekerjaan mengenai lapangan ilmu geodesi dan yang bersangkutan dengan
itu. Kepala staf angkatan perang dan para Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman,
Perekonomian, Pertanian, Pekerjaan Umum dan Tenaga, atau wakil-wakilnya, karena jabatannya
menjadi anggota Dewan. Kepala Jawatan Topografi dan Kepala Pendaftaran Tanah karena
jabatannya menjadi anggota direktorium yang hadir dalam rapat dewan (pasal 6 dan 8). Sebagai
ketua dewan adalah kepala staf Angkatan Perang.

Pada tahun 1964 pemerintah Indonesia mengadakan pekerjaan survey dan pemetaan yang
berhubungan dengan wilayah kekuasaan negara, yaitu dalam penertiban tapal batas internasional
antara Irian Barat dengan Papua Nugini. Pada tahun 1966 dan 1967 dilaksanakan Expedisi
Cendrawasih – II, yaitu pekerjaan mencari dan menandai meridian seperti yang disebutkan dalam
perjanjian tapal batas antara delegasi Indonesia dengan Australia. Tim Indonesia terdiri atas unsur
Dinas Geodesi dari Topografi AD yang dipimpin oleh Kolonel CZI Ir Pranoto Asmoro, dan ITB
dibawah pimpinan Dr –Ing, Ir. J. Soenarjo. Batas wilayah Indonesia ini ditandai dengan 14 tugu
perbatasan berupa piramida terpancung tinggi 160 cm memanjang dari utara ke selatan sampai Fly
River pada meridian 1410 00’ 00” BT dab dari Fly River ke selatan pada posisi 1410 01’ 01” BT.

Berdasarkan keputusan Presedium Kabinet Kerja Republik Indonesia No. Aa/D/37 1964
tanggal 28 April 1964, Pemerintah membubarkan panitia Atlas dengan membentuk Badan Atlas
Nasional (BATNAS). Pada tanggal 17 September 1965 dengan Keputusan Presiden RI No 263
menetapkan Dewan Survey dan Pemetaan Nasional (DESURTANAL) serta pembentukan
Komando Survey dan Pemetaan Nasional (KOSURTANAL) dengan tujuan agar diusahakan
seminimum mungkin duplikasi usaha-usaha, pemborosan keuangan dan personil, dan pemanfaatan
sebaik mungkin data teknis dan informasi yang dihimpun oleh berbagai instansi untuk kepentingan
instansi yang memerlukannya. Komando ini sedikit banyak telah memberikan pengertian kepada
pemerintah tentang artinya pemetaan nasional untuk kepentingan pembangunan dan pertahanan.

Adanya BATNAS, DESURTANAL serta KOSURTANAL mencerminkan tidak adanya


efisiensi dan penghematan dalam pengeluaran keuangan negara. Oleh karena itu dalam rangka
penertiban aparatur pemerintahan, pemerintah memandang perlu untuk meninjau kembali
kedudukan tugas dan fungsi badan-badan yang melakukan kegiatan dibidang survey dan
pemetaan. Berdasarkan Keputusan Presiden No 83 tahun 1969 tanggal 17 Oktober 1969, maka
dicabut Kepres RI No 263/1965 tentang pembentukan DESURTANAL dan KOSURTANAL,
serta Keputusan Presidium Kabinet Kerja RI No Aa/D/37/1964 tentang pembentukan BATNAS,
kemudian menetapkan pembentukan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional yang
disingkat BAKOSURTANAL sebagai lembaga Non Departemen di bawah Presiden. Tugas
BAKOSURTANAL adalah meneruskan usaha-usaha koordinasi guna mencapai effisiensi dan
pemanfaatan semaksimum mungkin potensi nasional dalam bidang survey dan pemetaan
disamping sebagai badan yang merencanakan dan melaksanakan program survey dasar sumber
alam serta pemetaan nasional. Untuk pertama kalinya diangkat sebagai ketua BAKOSURTANAL
adalah Ir.Pranoto Asmoro (Mayor Jenderal Purnawirawan TNI-AD).

Anda mungkin juga menyukai