Anda di halaman 1dari 25

FRAKTUR

1. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya
(Wijaya & Putri, 2013 : 235).
Fraktur tulang terjadi apabila resistensi tulang terhadap tekanan menghasilkan daya
untuk menekan. Ketika terjadi fraktur pada sebuah tulang , maka periosteum serta
pembuluh darah di dalam korteks, sumsum tulang, dan jaringan lunak di sekitarnya akan
mengalami disrupsi. hematoma akan terbentuk diantara kedua ujung patahan tulang
serta di bawah periosteum, dan akhirnya jaringan granulasi menggantikan hematoma
tersebut (Wong, 2009 : 1377).
Fraktur didefinisikan sebagai suatu kerusakan morfologi pada kontinuitas tulang atau
bagian tulang, seperti lempeng epifisisatau kartilago (Chang, 2010 : 371).
Beberapa proses penyembuhan tulang adalah sebagai berikut (Oryan, 2015) :
a. Berdasarkan
1) Penyembuhan primer atau langsung
Jenis penyembuhan ini melibatkan pembentukan tulang intramembran
dan remodeling kortikal langsung tanpa pembentukan jaringan eksternal
(kalus). Ini terjadi hanya ketika fiksasi internal yang kaku secara anatomi
mengurangi mobilitas fragmen fraktur, dengan demikian, mengurangi
ketegangan antar fragmen. Osteon (sistem Haversian) yang melakukan
perjalanan sepanjang tulang mampu melintasi jaringan fraktur dan
menjembatani celah, meletakkan silinder tulang dan secara progresif, fraktur
disembuhkan dengan pembentukan banyak osteon. Penyembuhan primer atau
penyembuhan kortikal primer, melibatkan upaya langsung oleh korteks untuk
membangun kembali dirinya sendiri setelah terputus (Oryan, 2015)
2) Penyembuhan sekunder atau tidak langsung
Nama lain dari penyembuhan fraktur tidak langsung adalah osifikasi
endokhondral, penyembuhan sekunder, dan penyembuhan kalus.
Penyembuhan tulang tidak langsung adalah proses memerintahkan perbaikan
dan reorganisasi tulang. Tahapan penyembuhan tidak langsung termasuk
impaksi, peradangan, pembentukan kalus lunak primer, mineralisasi kalus, dan
remodeling kalus. Jenis penyembuhan fraktur ini umumnya ditingkatkan
dengan gerakan dan dihambat oleh fiksasi kaku (Oryan, 2015).
b. Berasarkan
1) Fase Inflamatori
Fase pertama yang terjadi setelah fraktur adalah pembentukan
hematoma pada tulang yang mengalami cedera akibat dari perdarahan oleh
tulang yang pecah dan pembuluh periosteal yang terbentuk di dalam kanal
meduler dan di bawah periosteum. Sistem koagulasi yang diaktifkan
melepaskan mediator vasoaktif dari trombosit yang terdegranulasi dalam
hematoma. Beberapa mediator inflamasi yang dilepas sampai beberapa hari
post trauma yaitu sitokin dan tumor necrosis factor-α yang memiliki efek
kemotaksis pada sel-sel inflamasi lainnya lalu agregasi trombosit dan
angiogenesis (Oryan, 2015).
Setelah trauma vaskular, jaringan fraktur menjadi hipoksia dan osteosit
di ujung fraktur menjadi kekurangan nutrisi dan mengalami perubahan
degeneratif bahkan nekrotik. Makrofag memfagositasikan area nekrotik dan
memfasilitasi tahap regenerasi dengan melepaskan beberapa factor penting
seperti faktor pertumbuhan seperti protein morfogenik tulang (mis. BMP-2, -5,
-7), faktor pertumbuhan turunan trombosit (PDGF), dan faktor pertumbuhan
mirip insulin (IGF). Faktor-faktor pertumbuhan ini berguna untuk migrasi,
rekrutmen, dan proliferasi sel punca mesenkim dan diferensiasinya terhadap
angioblas, chondroblas, fibroblas, dan osteoblas (Oryan, 2015).
Sel-sel endotel, fibroblas, dan osteoblas berfungsi dalam mengisi celah
fraktur dengan pembentukan jaringan granulasi. Selama fase inflamasi, kalus
primitif berkembang dan mengurangi mobilitas yang tidak terkendali di lokasi
fraktur. Dalam kondisi normal, tahap inflamasi cepat dan berlangsung hingga
seminggu setelah fraktur. Limfosit tidak diperlukan untuk memulai
penyembuhan luka, tetapi respons imun seluler yang utuh sangat penting
untuk hasil perbaikan jaringan yang normal (Oryan, 2015).
2) Fase Proliferasi
Ketika fase fibroplasia dimulai, resorpsi tulang nekrotik dilakukan oleh
osteoklas yang berasal dari monosit yang bersirkulasi dalam darah dan oleh
sel-sel prekursor monoblastik yang berasal dari sumsum tulang lokal. Fase
fibroplasia ditandai oleh pembentukan kalus dan dimulai dengan pertumbuhan
pembuluh darah yang berlanjut, sekresi osteoid, dan adanya serat kolagen.
Fase ini melibatkan respons periosteal dengan angiogenesis dan pembentukan
jaringan ikat dan kalus lunak, yang secara bertahap digantikan oleh tulang
anyaman yang belum matang yang dibentuk melalui pembentukan tulang
intramembran atau endokhondral. Sel punca mesenkim berdiferensiasi
menjadi kondrosit (sel pembentuk tulang rawan) di daerah fraktur sentral
hipoksia di mana kalus lunak secara bertahap akan tampak seperti tulang
rawan dan secara mekanis menstabilkan zona fraktur (Oryan, 2015).
3) Fase Remodeling
Fase ketiga melibatkan pembentukan dan mineralisasi kalus dan
penggantian kalus termineralisasi dengan tulang termineralisasi dan
pembentukan tulang kembali ke bentuk aslinya, ukuran, dan kompetensi
biomekanik melalui pemodelan dan renovasi. Fase ini juga dapat disebut
sebagai pembentukan tulang sekunder dan melibatkan konversi anyaman kalus
tulang yang tidak teratur ke dalam tulang pipih.
dalam fase ini osteoklas menyerap tulang yang baru dan osteoblas
menggantikan matriks ini dengan tulang pipih. Hasil fungsional penting dari
fase remodeling penyembuhan fraktur selama remodeling homeostatik adalah
pemulihan kekuatan dan stabilitas mekanik (Oryan, 2015).
Osteoklas menjadi terpolarisasi dan melekat pada permukaan mineral
dan melanjutkan remodeling tulang. Mereka membentuk perbatasan acak-
acakan, yang disegel dan asam dan proteinase dipompa ke dalam domain
resorpsi, dan resorpsi tulang oleh osteoklas membuat lubang erosif pada
permukaan tulang yang dikenal sebagai 'kekosongan Howship.' Setelah
selesai, osteoblas dapat merebahkan baru tulang di permukaan yang terkikis
(Oryan, 2015).
2. ETIOLOGI
Jenis fraktur dibedakan menjadi :
a. Cedera Traumatik Cedera traumatic pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
seacara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali atau progresif.
2) Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D.
4) Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran
3. KLASIFIKASI
a) Klasifikasi Klinis
Klasifikasi fraktur menurut Sjamsuhidayat (2010) dalam Wijaya,dkk (2013 :
237) yaitu :
a. Fraktur Tertutup (simple Fraktur), adalah fraktur dengan kulit yang tidak
tembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh
lingkungan.
b. Fraktur Terbuka (compound Fraktur), adalah frktur dengan kulit ekstremitas
yang terlibat telah ditembus, dan terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar. Karena adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibagi atas 3
derajat, yaitu :
1) Grade 1 : sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit.
 Luka < 1 cm
 Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
 Fraktur sederhana, transversal, atau kominutif ringan
 Kontaminasi minimal.
2) Grade II : Fraktur terbuka dan sedikit kerusakan kulit.
 Laserasi < 1cm
 Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap atau avulse.
 Fraktur kominutif sedang
 Kontaminasi sedang
3) Grade III : Banyak sekali jejas kerusakan kulit, otot jaringan saraf dan
pembuluh darah serta luka sebesar 6-8 cm.
b) Klasifikasi Radiologis
Klasifikasi fraktur menurut International Comprehensive Classification of
Fractures and Dislocations Committee (2018) yaitu :
a. Fraktur berdasarkan luas kerusakan diafisis :
1) Fraktur sederhana tipe A, memiliki disrupsi diafisis tulang berbentuk
memutar dan tunggal.
2) Fraktur baji tipe B, memiliki irisan terhadap fragmen utama
3) Fraktur Multiple, terdiri dari banyak garis fraktur dan fragmen fraktur.
b. Fraktur berdasarkan ekstensi ke permukaan artikular :
1) Extraarticular tipe A, garis fraktur dapat berupa metafisis atau epifisis,
tetapi fraktur ini selalu menyisakan permukaan artikular.
2) Artikular parsial tipe B, fraktur melibatkan bagian dari permukaan artikular
sementara sisa sendi tetap utuh dan terhubung dengan kuat ke metafisis dan
diafisis pendukung.
3) Artikular lengkap tipe C, gangguan pada permukaan artikular dan
permukaan artikular benar-benar terpisah dari diafisis.
4. MANIFESTASI KLINIS
Beberapa tanda dan gejala terjadinya fraktur (Kusuma, 2015) adalah sebagai berikut :
a. Nyeri, akibat dari pelepasan mediator nyeri oleh terputusnya kontinuitas jaringan
otot, tulang dan pembuluh darah.
b. Deformitas akibat kehilangan kelurusan (alignment) yang dialami.
c. Pembengkakan akibat vasodilatasi dalam infiltrasi leukosit serta selsel mast.
d. Repitasi, saat ekstremitas diperiksa di tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. tanda ini terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
b. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
c. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan : peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
e. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau
cedera hati (Wijaya & Putri, 2013 : 241).
6. KONDISI KEGAWATDARURATAN
A. Close Fraktur
1. Epidural Hematoma
Merupakan kumpulan darah diantara durameter dan tubula interna akibat trauma.
Hal ini dikarnakan robeknya arteri meningea media atau cabang-cabagnya
namun juga bias berasal dari vena perdarahan tersebut akan menimbulkan
menekan jaringan – jaringan sekitarnya, sehingga vaskularisasi akan terjadi
penghambatan.
2. Flat Emboli
Saat terjadi fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karna tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan katekolamin dilepaskan memobilisasi
asam lemak ke dalam aliran darah. Globula lemak kemudian bergabung dengan
trombosit membentuk emboli yang dapat menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok darah ke otak, paru-paru, ginjal dan organ lainnya.
B. Open Fraktur
1. Pendarahan Arteri Besar
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat arteri
mampu menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan
besar pada luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak. Ekstrimitas
yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan
gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat,
menunjukkan adanya trauma vaskular. Cedera ini menjadi berbahaya apabila
kondisi hemodinamik pasien tidak stabil. Jika dicurigai adanya trauma arteri
besar maka harus dikonsultasikan segera ke dokter spesialis bedah. Pengelolaan
pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang
agresif. Syok dapat terjadi akibat kurangnya volume darah akibat pendarahan
yang masif. Beberapa hal yang dapat dilakukan saat ditemukannya tanda-tanda
syok (nadi meningkat dan melemah, tekanan darah menurun, akral dingin,
penurunan kesadaran) adalah :
a) Amankan Airway dan Breathing dengan pemasangan alat bantu jalan nafas
jika perlu dan pemberian oksigen
b) Amankan Circulation dengan cara membebat lokasi pendarahan,
pemasangan akses vaskuler, dan terapi cairan awal. Untuk akses vaskuler,
dipasang dua kateter IV ukuran besar (minimum no 16). Tempat terbaik
untuk memasang akses vena adalah di vena lengan bawah dan di kubiti,
tetapi pemasangan kateter vena sentral juga diindikasikan apabila terdapat
fasilitas. Untuk terapi cairan awal, bolus cairan hangat diberikan
secepatnya. Dosis umumnya 1 hingga 2 liter untuk dewasa dan 20 ml/kg
untuk anak anak. Untuk pemilihan cairan awal digunakan cairan kristaloid
seperti RL atau NS. Respon pasien kemudian diobservasi selama pemberian
cairan awal. Perhitungannya adalah pemberian 3 L kristaloid untuk
mengganti 1 L darah. Pemberian Koloid dapat dipertimbangkan apabila
dengan pemberian kristaloid masih belum cukup memperbaiki perfusi ke
jaringan.
c) Penilaian respon pasien dapat dilakukan dengan memantau beberapa
kondisi seperti:
a. Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, saturasi oksigen)
b. Produksi urin dipantau dengan memasang kateter urin. Target dari
produksi urin adalah 130,5 ml/kg/jam untuk dewasa, 1 ml/kg/jam untuk
anak-anak.
c. keseimbangan asam basa.
d) Saat kondisi pasien stabil, harus dilakukan pemeriksaan atau rujukan untuk
menterapi secara definitif penyebab pendarahan tersebut.
2. Crush Syndrome
Crush Syndrome atau Rhabdomyolysis adalah keadaan klinis yang disebabkan
oleh kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan
ginjal akut. Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot, yang
tersering adalah paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi
otot, iskemia, dan pelepasan mioglobin. Patofisiologi crush syndrome dimulai
dari adanya trauma ataupun etiologi lain yang menyebabkan iskemia pada otot.
Trauma otot yang luas seperti pada paha dan tungkai oleh trauma tumpul
merupakan salah satu penyebab tersering pada crush syndrome. Crush syndrome
biasanya sering terjadi saat bencana seperti gempa bumi, teror bom dan lain-lain
dimana otot dan bagian tubuh remuk tertimpa oleh benda yang berat. Pada
keadaan normalnya kadar myoglobin plasma adalah sangat rendah (0 to 0.003mg
per dl). Apabila lebih dari 100 gram otot skeletal telah rusak, kadar myoglobin
melebihi kemampuan pengikatan myoglobin dan akan mengganggu filtrasi
glomerulus, menimbulkan obstruksi pada tubulus ginjal dan menyebabkan gagal
ginjal.
Gejala yang timbul oleh crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram, dan
pembengkakan pada otot yang terkena, diikuti oleh kelemahan serta kehilangan
fungsi otot tersebut. Urin yang berwarna seperti teh adalah gejala yang cukup
khas karena dalam urin terdapat myoglobin. Mendiagnosis crush syndrome sering
terlewatkan saat penyakit ini tidak dicurigai dari awal14. Adapun komplikasinya
adalah hipovolemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, gagal ginjal akut, dan DIC
(Disseminated Intravaskular Coagulation). Diperlukan Manajemen
kegawatdaruratan yang tepat dan cepat dalam penanganan crush syndrome dan
pencegahan komplikasinya. Pada Instalasi Rawat Darurat yang dapat dilakukan
adalah :
a) Evaluasi ABC
b) Pemberian cairan IV. Resusitasi cairan sangat dibutuhkan mengingat sering
terjadi hipovolemia. Pemberian normal saline dengan kecepatan 1,5 liter
perjam dan targetnya adalah produksi urin 200 – 300 ml per jam. Pemberian
cairan yang mengandung potassium dan laktat sebaiknya dihindari karena
akan memperburuk hiperkalemia dan acidosis. Investigasi mendalam terhadap
trauma dan memonitor keadaan pasien.
c) Pemberian bikarbonat untuk mengobati asidosis
d) Setelah keadaan hemodinamik stabil, maka dapat dilakukan terapi definitive
untuk kausa seperti trauma
3. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot dibatasi
oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi
sebagai lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah,
lengan bawah, kaki, tangan, region glutea, dan paha. Iskemia dapat terjadi karena
peningkatan isi kompartemen akibat edema yang timbul akibat revaskularisasi
sekunder dari ekstrimitas yang iskemi atau karena penyusutan isi kompartemen
yang disebabkan tekanan dari luar misalkan balutan yang menekan. Gejala dan
tanda-tanda sindroma kompartemen adalah :
a) Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang
meregangkan otot bersangkutan
b) Paraaesthesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya
sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut
c) Asimetris pada daerah kompartemen
Kelumpuhan atau parese otot dan hilangnya pulsasi (disebabkan tekanan
kompartemen melebihi tekanan sistolik) merupakan tingkat lanjut dari sindroma
kompartemen. Diagnosis klinik didasari oleh riwayat trauma dan pemeriksaan
fisik. Tekanan intra kompartemen melebihi 35 – 45 mmHg menyebabkan
penurunan aliran kapiler dan menimbulkankerusakan otot dan saraf karena
anoksia .
Pengelolaan sindroma kompartemen meliputi pembukaan semua balutan
yang menekan, gips, dan bidai. Pasien harus diawasi dan diperiksa setiap 30 -60
menit. Jika tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan fasciotomi
7. KONSEP LIFTING DAN MOVING Pre-Hospital
A. MOVING
1. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam
posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada
daerah fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk
meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi.
pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan,
mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut.
Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint.
Traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui
kulit. Di proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring
yang menekan bokong, perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana
dalam membidai tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya.
pada cedera lutut pemakaianlong leg splint atau gips dapat membantu
kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam
ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan
cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat dipasang gips
dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki.
2. Pemeriksaan Radiologi
umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian
dari survey sekunder. jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan
dilakukan ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan
hemodinamik, serta mekanisme trauma. foto pelvis AP perlu dilakukan
sedini mungkin pada pasien multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan
pada pasien dengan sumber pendarahan yang belum dapat ditentukan.
B. LIFTING
1. Immobilisasi

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian


atau kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah
immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal. dengan
menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).
Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat atau
alas yang keras. Pasien diangkat atau dibawa dengan cara 4 men lift atau
menggunakan Robinson’s orthopaedic stretche (Hanafiah, Hafas. 2010)
Pasien yang mengalami kecelakaan dan diduga mengalami trauma
haruslah di mobilisasi pada arah serviks menggunakan papan yang
diletakkan di tulang belakang. Hindari fleksi tulang belakang yaitu pada
leher karena lingkar kepala ke dada lebih tinggi. Lakukan pemeriksaan
neurologis dan pantau adanya tanda-tanda penurunan fungsional. Pantau
adanya tanda henti nafas. Batasi aktifitas fisik. (Fournier, Joseph. 2016)
Dalam melakukan Imobilisasi tulang belakang diperlukan papan
tulang belakang, splints vakum, pengikat perut dan dada yang
memberikan pengurangan dalam pergerakan tulang belakang. Dalam
imobilisasi tulang belakang dapat berefek pada kesulitan dalam bernafas,
iskemia pada kulit, nyeri dan ketidaknyamanan. (Hood Natalie. 2015)
Dipasang cervical collar apabila terjadi trauma akibat kecelakaan,
baik jatuh dari ketinggian, atau cedera saat olahraga, atau jatuh karena
tabrakan kendaraan. Apa bila pasien ditemukan tergeletak di lapangan,
adanya tanda-tanda benturan pada tengkorak kepala, atau ada tanda
memar pada area kepala dan leher, maka petugas kesehatan melakukan
pertolongan pertama dengan memposisikan tulang belakang sangat hati-
hati, kemudian memasang servikal collar. Tujuan dari servikal collar
Mengurangipergerakan leher yang berlebihanselama proses pemulihan
strain atau sprain, Mencegah pergerakan tulang servik yang patah (lebih
maksimal dengan cervical collar philadelpia), Mencegah bertambahnya
cedera tulang belakang, Mengurangi rasa sakit.
Jika pasien perlu dipindahkan maka perlu menggunakan tekhnik
fiereman’s carry atau log roll yang membutuhkan 4 penolong dimana
yang satu memimpin gerakan sekaligus mempertahankan posisi kepala
dengan traksi aksial secara gentle (4-7 kg) menggunakan satu tangan pada
dagu dan tangan laiinya pada oksiput.

2. Stabilisasi Medis
Stabilisasi medis atau upaya medis Terutama sekali pada penderita
tetraparesis atau tetraplegia (Jika keempat anggota badan dipengaruhi
oleh kelumpuhan). Lakukan tindakan Pemeriksaan vital signs, Pasang
nasogastric tube, Pasang kateter urin , Segera normalkan vital signs,
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik,
Berikan oksigen, monitor produksi urin, Bila perlu monitor AGDA
(analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock, Pemberian
megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6
jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield
tong atau Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi
dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban
ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila
realignment dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan open
reduction dan stabilisasi dengan approach anterior atau posterior
5. Rehabilitasi
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk
dalam program ini adalah bladder training, bowel training, latihan otot
pernafasan, pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan program
kursi roda bagi penderita paraparesis atau paraplegia

8. PENATALAKSANAAN
A. PADA FRAKTUR TERTUTUP
a) Metode Perkin
Pasien tidur terlentang. Satu jari dibawah tuberositas tibiadibor
dengan steinman pin, lalu ditarik dengan tali. Paha ditopang dengan
3-4 bantal. Tarikan pertama 12 mgg lebih sampai terbentuk kalus
yang cukup kuat. Sementara itu tungkai bawah dapat dilatih untuk
gerakan ekstensi dan fleksi.
b) Metode Balance Skeletal Traction
Pasien tidur terlentang. Satu jari dibawah tuberositas tibiadibor
dengan steinman pin. Paha ditopang dengan Thomas spint, sedang
tungkai bawah lebih sampai tulangnya membentuk kalus yang cukup.
Kadang-kadang untuk mempersingkat waktu rawat, setelah di traksi 8
minggu dipasang gips hemispica.
c) Traksi Kulit Bryant
Anak tidur terlentang di tempat tidur. Kedua tungkai dipasang traksi
kulit kemudian ditegakkan ke atas, ditarik dengan tali yang diberi
beban 1-2 kg sampai kedua bokong anak tersebut terangkat dari
tempat tidur.
d) Traksi Russel
Anak tidur terlentang, dipasang plester dari batas lutut. Dipasang
sling di daerah poplitea, sling dihubungkan dengan tali yang
dihubungkan dengan beban penarik. Untuk persingkat waktu rawat,
setelah 4 minggu di traksi, dipasang gips hemispica karena kalus
yang terbentuk kuat benar.
Penanganan awal fraktur terbuka tetap mengedepankan keadaan umum (life –
threatening) pasien terlebih dahulu yaitu : memasang cairan intravena dua jalur, pemeriksaan
klinis dan radiologi terhadap toraks, abdomen, cervical dan lain-lain, pemeriksaan
laboratorium seperti darah rutin dan urinalisa dan pemeriksaan lain sesuai indikasi. Hal yang
paling penting dalam penangan fraktur terbuka adalah untuk mengurangi atau mencegah
terjadinya infeksi.
Debridement
Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati sehingga luka
menjadi bersih. Untuk melakukan debridement yang adekuat, luka lama dapat diperluas,
Debridement yang adekuat merupakan tahapan yang sanagat penting untuk pengelolaan
fraktur terbuka. Debridement harus dilakukan sistematis, komplit serta berulang. Untuk.
fraktur terbuka tipe I diperlukan cairan normal
saline yang bejumlah 1-2 liter , sedangkan tipe II dan tipe III diperlukan cairan sebanyak 5-10
liter.
Stabilisasi fraktur
Pada fraktur terbuka, stabilisasi fraktur berguna untuk memberikan perlindungan
terhadap kerusakan jaringan yang lebih parah, mempermudah akses dalam melakukan
perawatan luka, mempermudah pasien dalam melakukan mobilisasi, dan pasien dapat
melakukan isometric muscle exercise serta melakukan gerakan sendi di atas ataupun dibawah
garis fraktur baik secara aktif ataupun pasif.
Stabilisasi pada fraktur terbuka di bagi dua cara yaitu dengan menggunakan fiksasi
internal (intramedullary nails atau plate and screw) dan fiksasi eksternal. Pemilihan implant
didasarkan dari lokasi cedera, konfigurasi fraktur, tipe fraktur terbuka, cedera lain yang
menyertai fraktur terbuka dan kemampuan dari ahli bedah.
DISLOKASI SENDI
1. DEFINISI
Dislokasi ialah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya. Dislokasi
merupakan suatu kedaruratan yang memerlukan pertolongan segera (Kapita Selecta
Kedokteran, 2012).
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi
ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh
komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang
tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena
sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah
mengalami dislokasi. (Muttaqin, 2008).
Dislokasi sendi atau luksasio adalah tergesernya permukaan tulang yang membentuk
persendian terhadap tulang lain (Sjamsuhidajat, 2011).
Dislokasi sendi adalah fragmen frakrtur saling terpisah dan menimbulkan deformitas
(Kowalak, 2011)
2. ETIOLOGI
Dislokasi disebabkan oleh (Muttaqin.A. , 2008) :
a. Cedera olah raga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki,
serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam,
volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada
tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
b. Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga
c. Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
d. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
Patologis : terjadinya ‘tear’ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen
vital penghubung tulang.
3. KLASIFIKASI
Klasifikasi dislokasi secara umum dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu
(Muttaqin, 2008) :
a. Berdasarkan sumber
1. Dislokasi congenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2. Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi.
misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan
tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatic : Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan
mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena
mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat
mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak
struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada
orang dewasa.
b. Berdasarkan tipe klinis
1. Dislokasi Akut Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri
akut dan pembengkakan di sekitar sendi.
2. Dislokasi Kronik
3. Dislokasi Berulang Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi
dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi
berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint
c. Berdasarkan lokasi
1. Dislokasi Sendi Rahang
Dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena :
a) Menguap atau terlalu lebar.
b) Terkena pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita
tidak dapat menutup mulutnya kembali.
Tindakan Pertolongan :
Rahang ditekan ke bawah dengan kedua ibu jari sudah dilindungi balutan
tadi. Ibu jari tersebut diletakkan di graham yang paling belakang. Tekanan itu
harus mantap tapi pelan – pelan. Bersamaan dengan penekanan itu jari – jari yang
lain mengangkat dagu penderita ke atas. Apabila berhasil rahang itu akan menutup
dengan cepat dan keras. Setelah selesai untuk beberapa saat pasien tidak
diperbolehkan terlalu sering membuka mulutnya.
2. Dislokasi Sendi Jari.
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong dengan
segera sendi tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat mengalami
dislokasi ke arah telapak tangan atau punggung tangan. Tindakan Pertolongan :
Jari yang cedera dengan tarikan yang cukup kuat tapi tidak disentakkan.
Sambil menarik, sendi yang terpeleset ditekan dengan ibu jari dan telunjuk. Akan
terasa bahwa sendi itu kembali ke tempat asalnya. Setelah diperbaiki sebaiknya
untuk sementara waktu ibu jari yang sakit itu dibidai. Untuk membidai dalam
kedudukan setengah melingkar seolah – olah membentuk huruf O dengan ibu jari.
3. Dislokasi Sendi Bahu
Dislokasi yang sering ke depan. Yaitu kepala lengan atas terpeleset ke arah
dada. tetapi kemampuan arah dislokasi tersebut ia akan menyebabkan gerakan yang
terbatas dan rasa nyeri yang hebat bila bahu digerakkan. Tanda – tanda lainnya :
Lengan menjadi kaku dan siku agak terdorong menjauhi sumbu tubuh.
Ujung tulang bahu akan nampak menonjol ke luar. Sedang di bagian depan tulang
bahu nampak ada cekungan ke dalam. Tindakan Pertolongan :
Usaha memperbaiki letak sendi yang terpeleset itu harus dikerjakan secepat
mungkin, tetapi harus dengan tenang dan hati – hati. Jangan sampai itu justru
merusak jaringan – jaringan penting lainnya. Apabila usaha itu tidak berhasil,
sebaiknya jangan diulang lagi. Kirim saja klien ke Rumah sakit segera.
Apabila tidak ada patah tulang, dislokasi sendi bahu dapat diperbaiki
dengan cara sebagai berikut :
Ketiak yang cedera ditekan dengan telapak kaki (tanpa sepatu) sementara
itu lengan penderita ditarik sesuai dengan arah letak kedudukannya ketiak
itu.Tarikan itu harus dilakukan dengan pelan dan semakin lama semakin kuat, hal
itu untuk menghidarkan rasa nyeri yang hebat yang dapat mengakibatkan
terjadinya shock. Selain tarikan yang mendadak merusak jaringan – jaringan yang
ada di sekitar sendi. Setelah ditarik dengan kekuatan yang tetap beberapa menit,
dengan hati – hati lengan atas diputar ke luar (arah menjauhi tubuh). Hal ini
sebaiknya dilakukan dengan siku terlipat dengan cara ini diharapkan ujung tulang
lengan atas menggeser kembali ke tempat semula.
4. Dislokasi Sendi Siku
Jatuh pada tangan dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior.
Reposisi dilanjutkan dengan membatasi gerakan dalam sling atau gips selama tiga
minggu untuk memberikan kesembuhan pada sumpai sendi.
5. Dislokasi Sendi Metacarpophalangeal Dan Inter Phalangeal
Dislokasi disebabkan oleh hiperekstensi – ekstensi persendian direposisi
secara hati – hati dengan tindakan manipulasi tetapi pembedahan terbuka mungkin
diperlukan untuk mengeluarkan jaringan lunak yang terjepit di antara permukaan
sendi.
6. Dislokasi Sendi Pangkal Paha
Diperlukan gaya yang kuat untuk menimbulkan dislokasi sendi ini dan
umumnya dislokasi ini terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (tabrakan mobil).
Dalam posisi duduk benturan dash board pada lutut pengemudi diteruskan
sepanjang tulang femur dan mendorong caput femuris ke arah poterior ke luar dati
acetabulum yaitu bagian yang paling pangkal. Tindakannya adalah reposisi dengan
anestesi umum dan pemasangan gips selama enam minggu atau tirah baring dengan
traksi yang ringan untuk mengistirahatkan persendian dan memberikan
kesembuhan bagi ligamentum. Dislokasi sendi lutut dan eksremitas bawah sangat
jarang terjadi kecuali peda pergelangan kaki di mana dislokasi disertai fraktur.
4. MANIFESTASI KLINIS
Tanda gejala dislokasi oleh (Muttaqin.A. , 2008).
a) Deformitas pada persendiaan
Kalau sebuah tulang diraba secara sering akan terdapat suatu celah.
b) Gangguan gerakan
Otot – otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.
c) Pembengkakan
Pembengkakan ini dapat parah pada kasus trauma dan dapat menutupi
deformitas.
Rasa nyeri terdapat sering terjadi pada dislokasi Sendi bahu, sendi siku,
metakarpal phalangeal dan sendi pangkal paha servikal
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Sinar-X (Rontgen)
Pemeriksaan rontgen merupakan pemeriksaan diagnostik noninvasif untuk
membantu menegakkan diagnosa medis. Pada pasien dislokasi sendi ditemukan
adanya pergeseran sendi dari mangkuk sendi dimana tulang dan sendi berwarna
putih.
B. CT Scan
CT-Scan yaitu pemeriksaan sinar-X yang lebih canggih dengan bantuan komputer,
sehingga memperoleh gambar yang lebih detail dan dapat dibuat gambaran secara
3 dimensi. Pada psien dislokasi ditemukan gambar 3 dimensi dimana sendi tidak
berada pada tempatnya.
C. MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang magnet dan frekuensi
radio tanpa menggunakan sinar-X atau bahan radio aktif, sehingga dapat diperoleh
gambaran tubuh (terutama jaringan lunak) dengan lebih detail. Seperti halnya CT-
Scan, pada pemeriksaan MRI ditemukan adanya pergeseran sendi dari mangkuk
sendi.
D. KONDISI KEGAWATDARURATAN
Pada keadaan normal cartilage mendapat nutrisi dari cairan synovial yang
berasal dari darah yang sudah tersaring eritrositnya, terjadi diffusi masuk ke joint
space bila terjadi mekanisme gerak sendi. Saat dislokasi nutrisi terhenti. Cartilage
yang mati sulit regenerasi. Penanganan dislokasi adalah segera reposisi dan
stabilisasi 2-3 minggu (Brunner and Suddarth, 2005).
Sendi yang terkena harus di imobilisasi saat pasien dipindahkan.Pada saat
Dislokasi sendi ini harus segera dilakukan reposisi atau dislokasi reduksi yaitu
dikembalikan ke tempat semula dengan menggunakan anestesi, misalnya bagian
yang bergeser dikembalikan ke tempat semula yang normal.Dislokasi sendi kecil
dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi.Kaput tulang yang mengalami
Dislokasi harus dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi.Sendi kemudian di
imobilisasi dengan pembalut, bidai, gips, atau traksi dan dijaga tetap dalam posisi
stabil. Beberapa hari sampai satu minggu setelah reduksi, dilakukan mobilisasi
dengan gerakan aktif lembut 3 – 4 x sehari yang berguna untuk mengembalikan
kisaran gerak sendi. Sendi tetap harus disangga diantara dua saat
latihan.Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa
penyembuhan.Untuk Dislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anestesi
local dan obat-obat penenang misalnya Valium.Sedangkan untuk Dislokasi sendi
besar memerlukan anestesi umum (Brunner and Suddarth, 2005).
PENATALAKSANAAN HOSPITAL
AMPUTASI , SPRAIN & STRAIN
A. DEFINISI
Amputasi diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian
seperti kaki, tanggan, lutut, atau seluruh bagian ekstremitas (Wright, 2014), Amputasi
dilakukan ketika ekstremitas sudah tidak dapat diperbaiki dengan menggunakan
teknik lain atau terdapatnya kondisi yang dapat membahayakan keselamatan tubuh
atau merusak organ tubuh yang lain sehingga menimbulkan komplikasi infeksi,
perdarahan dan pertumbuhan stump yang abnormal (McArdle et al, 2015; Payne &
Pruent, 2015; Mei et al, 2014; Daryadi, 2012; Mark et al, 2016).

B. Etiologi
1) Amputasi minor
Terdapat 3 faktor yang dapat dipandang sebagai predisposisi kerusakan jaringan
pada kaki diabetes menyebabkan amputasi, yaitu peripheral vascular diseaes
(PVD), neuropati, dan infeksi (Dorfman, 2014; Kolossváry, 2015; Lipsky et al,
2011; Lazzarini et al, 2012; Sadasiva, 2012).
2) Mayor
Penderita DM yang telah memiliki riwayat amputasi minor akan beresiko 30%
mengalami reamputasi karena pada amputasi minor, sebagian semua amputasi
minor dilakukanya operasi dengan teknik open amputasi dan adanya stump
sehingga beresiko terjadinya infeksi maka perlu di lakukannya revakularisasi dan
amputasi mayor yang terdiri dari amputasi bawah lutut dan amputasi atas lutut
(Kolossváry, 2015; Lipsky et al, 2011).

C. INDIKASI dan KONTRAINDIKASI


Indikasi dilakukannya amputasi tersebut adalah
1) akibat penyakit vaskular perifer yang tidak dapat direkonstruksi dengan
nyeri iskemik atau infeksi yang tak dapat ditoleransi lagi akibat stump
yang terinfeksi akibat atau terjadinya osteomilitis direct
2) nyeri atau infeksi yang tidak dapat ditoleransi lagi pada pasien yang tak
dapat bergerak dengan penyakit vascular perifer
3) infeksi yang menyebar secara luas dan tidak responsif terhadap terapi
konservatif (Senra et al, 2011). Secara mekanisme terjadinya ulkus pada
pasien yang mengalami amputasi mayor akibat perubahan gaya berjalan
dan perubahan keseimbangan yang menyebabkan tekanan tumit, tekanan
pertengahan kaki, dan tekanan kaki (Handaya, 2016). Faktor lain yang
berperan yaitu PVD, neuropati, nekrotik fasciitis, deformitas tulang, dan
gangguan patologi kuku berat (Handaya, 2016; Aziz et al, 2011)

D. KOMPLIKASI
Komplikasi pasca operasi
Komplikasi khusus untuk operasi amputasi meliputi komplikasi lokal seperti
hematoma tunggul, nekrosis flap, atau infeksi. Masalah psikologis dan depresi sering
terjadi setelah amputasi, sebagai bagian dari adaptasi emosional terhadap kehilangan
anggota tubuh. Komplikasi lanjut termasuk pembentukan neuroma, osteomielitis,
erosi tulang, ulserasi, dan iskemia yang berkelanjutan. (Guest F et al, 2018)
STRAIN DAN SPRAIN
A. DEFINSI
Sprain adalah cedera yang terjaadi karena regangan berlebihan atau terjadi
robekan pada ligament dan kapsul sendi yang memberika stabilitas sendi. Sprine
terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi yang normal,seperti
melingkar atau memutar pergelangan kaki (Wahid, 2013, hal.61)

Strain adalah bentuk cidera berupa kerobekan pada struktur muskulo


tendinous (otot dan tendon). Strain akut pada struktur muskulo tendinous terjadi pada
persambungan antara otot dan tendon. Biasanya strain terjadi karena adanya otot
yang terulur dan berkontraksi secara mendadak (Wahid, 2013 hal.61)

B. ETIOLOGI
Beberapa faktor sebagai penyebab sprain (Wahid, 2013 hal.61) :
1. Terjatuh atau kecelakan
Sprain dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga jaringan
ligamen mengalami sprain.
2. Pukulan
Sprain dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian sendi dan
menyebabkan sprain.
3. Tidak melakukan pemanasan
Pada atlet olahraga sering terjadi sprain karena kurangnya pemanasan.
Dengan melakukan pemanasan otot-otot akan menjadi lebih lentur.
Etiologi dari strain (Wahid, 2013 hal.61) :
1. Pada strain akut, ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak.
2. Pada strain kronis, terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang
berlebihan atau tekanan berulang-ulang, menghasilkan tendonitis (peradangan
pada tendon).
C. KLASIFIKASI
Sprain dan strain dikategorikan berdasarkan berat ringannya cidera (Wahid,
2013 hal.62) :
1. Derajat I (ringan)
Berupa beberapa stretching atau kerobekan ringan pada otot atau ligament.
Cidera derajat I biasanya sembuh dengan cepat dengan pemberian istirahat, es,
kompresi dan elevasi (RICE). Terapi latihan dapat membantu mengembalikan
kekuatan dan fleksibilitas.
2. Derajat II (sedang)
Berupa kerobekan parsial tetapi masih menyambung. Cidera derajat II
terapinya sama hanya saja ditambah dengan immobilisasi pada daerah yang
cidera.
3. Derajat III (berat)
Berupa kerobekan penuh pada otot dan ligament, yang menghasilkan
ketidakstabilan sendi. Terapi derajat III biasanya dilakukan immobilisasi dan
kemungkinan pembedahan untuk mengembalikan fungsinya.
D. PATOFISIOLOGI
Sprain adalah kekoyakan (avulsion) seluruh atau sebagian dari dan
disekeliling sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran
atau mendorong / mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan
keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada
trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-
sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan Jaya tekanan atau tarikan yang tidak
semestinya tanpa diselingi peredaan (Wahid, 2013 hal.62)
Sedangkan Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung
(impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada
arah yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot
belum siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring (otot
paha bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa
menghindarkan daerah sekitar cedera memar dan membengkak (Wahid, 2013 hal.63)
Moscule strain atau tarikan otot atau robekan otot yang dapat menyebabkan
kerusakan otot atau tendo bisa disebabkan aktivitas harian, Wujud kerusakan otot
dapat berupa robekan sebagian atau keseluruhan otot atau tendo serta kerusakan pada
pembuluh darah kecil,akan menyebabkan perdarahan local (memar) dan rasa nyeri
akibat ujung saraf di lokasi trauma (Wahid, 2013 hal.63)
E. PENATALAKSANAAN
Langkah yang paling tepat sebagai penatalaksanaan tahap awal (24-48 jam)
adalah prinsip RICE (rest, ice, compression, elevation), yaitu (Wahid, 2013 hal.65) :
1. Rest (istirahat)
Kurangi aktifitas sehari-hari sebisa mungkin.Jangan menaruh beban pada
tempat yang cedera selama 48 jam. Dapat digunakan alat bantu seperti crutch
(penopang/penyangga tubuh yang terbuat dari kayu atau besi) untuk mengurangi
beban pada tempat yang cedera.
2. Ice (es)
Letakkan es yang sudah dihancurkan kedalam kantung plastik atau
semacamnya.Kemudian letakkan pada tempat yang cedera selama maksimal 2
menit guna menghindari cedera karena dingin.
3. Compression (penekanan)
Untuk mengurangi terjadinya pembengkakan lebih lanjut, dapat dilakukan
penekanan pada daerah yang cedera.Penekanan dapat dilakukan dengan perban
elastik.Balutan dilakukan dengan arah dari daerah yang paling jauh dari jantung
ke arah jantung.
4. Elevation (peninggian)
Jika memungkinkan, pertahankan agar daerah yang cedera berada lebih tinggi
daripada jantung.Sebagai contoh jika daerah pergelangan keki yang terkena, dapat
diletakkan bantal atau guling dibawahnya supaya pergelangan kaki lebih tinggi
daripada jantung.Tujuan daripada tindakan ini adalah agar pembengkakan yang
terjadi dapat dikurangi.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi Sprain meliputi (Wahid, 2013 hal.67) :
1. Dislokasi berulang akibat ligamen yang ruptur tersebut tidak sembuh dengan
sempurna sehingga diperlukan pembedahan untuk memperbaikinya (jika
diperlukan).
2. Gangguan fungsi ligamen (jika terjadi tarikan otot yang kuat sebelum sembuh
dan tarikan tersebut menyebabkan regangan pada ligamen yang ruptur, maka
ligamen ini dapat sembuh dengan bentuk memanjang,yang disertai
pembentukan jaringan parut secara berlebihan).
Komplikasi strain yang mungkin terdapat meliputi (Wahid, 2013 hal.67) :
1. Ruptura total otot yang memerlukan perbaikan melalui pembedahan.
2. Miositis osifikan (inflamasi kronis dengan endapan menyerupai tulang) akibat
klasifikasi jaringan parut (koplikasi lanjut).

Anda mungkin juga menyukai