Anda di halaman 1dari 43

Bab Dua

Sejarah Gereja Toraja Mamasa dan Sejarah Peraturan


Gereja GTM

1. Pendahuluan

Dalam tulisan Purwanto yang berjudul “Asas-asas untuk Mengembangkan

Hukum Gereja Kontekstual bagi Gereja-gereja di Indonesia”, ia mengemukakan tiga

prinsip dasar untuk mengembangkan sebuah hukum gereja yang fungsional. Tiga

prinsip itu adalah; pertama, hukum gereja harus berlandaskan Firman Tuhan

sebagai “hukum dasar” bagi hukum gereja; kedua, hukum gereja harus

memperhitungkan secara penuh latar belakang dari gereja atau gereja-gereja yang

bersangkutan; dan ketiga, hukum gereja harus secara kontekstual berakar pada

situasi di mana gereja atau gereja-gereja itu berada (Purwanto t.t., 2). Mengacu pada

ketiga prinsip dasar inilah, penulis menguraikan satu persatu prinsip tersebut.

Jika dalam bab sebelumnya, penulis mengutarakan tentang prinsip-prinsip

biblis mengenai pernikahan dan disiplin gerejawi, maka pada bab kedua ini penulis

akan menguraikan latar belakang historis GTM dan sejarah peraturan gereja GTM.

Melalui uraian ini, kita diharapkan dapat mengetahui sejarah GTM dan sejarah

peraturan gereja GTM.

Adapun latar belakang historis yang penulis akan uraikan terdiri dari dua

bagian, yakni pertama, sejarah GTM dan kedua, sejarah peraturan gereja GTM.

Untuk menggali latar belakang historis GTM ini, selain penelitian kepustakaan,

penulis juga melakukan wawancara tertulis dengan lima orang pendeta GTM.

Penulis memilih kelima informan ini karena beberapa alasan. Pertama, mereka

53
54

pernah mengikuti beberapa kali persidangan gerejawi di tingkat sinodal; kedua,

mereka terlibat dalam revisi peraturan gereja GTM; dan ketiga, dari kelima informan

ini terdapat dua orang pernah menjabat sebagai pengurus sinode GTM (Pdt.Papa

Pangloli dan Pdt.U.S.K.Wijaya Putra), dua orang yang sedang menjabat sebagai

BPMS dan staf BPMS GTM (Pdt.Yusuf Arta dan Pdt.Marthen Manggeng), dan satu

orang pendeta GTM yang pernah melayani GTM Jemaat Efrata, GTM Jemaat

Lantora, dan GTM Jemaat Jordan (Pdt.Yosphina Lita).

Secara khusus dalam sejarah peraturan gereja GTM, penulis akan

mengangkat dua hal yang berkaitan dengan karya tulis penulis, yakni perihal tertib

gerejawi dan pernikahan, termasuk di dalamnya pengakuan dosa yang dilakukan

oleh pasangan nikah yang telah hidup sebagai pasangan suami-istri sebelum mereka

memperoleh pelayanan pemberkatan dan peneguhan nikah.

2. Sejarah GTM

2.1. Sejarah terbentuknya GTM

2.1.1. Pekabaran Injil oleh Protestantse Kerk in Nederlands-Indië (Indische Kerk)

Tanggal 12 Oktober 2013 merupakan puncak acara 100 tahun Injil masuk

Mamasa di mana dilaksanakan ibadah yang dipimpin oleh Pdt.Dr.Robert Borrong

dengan tema “Datanglah Kerajaan-Mu,” dan subtema “Gereja Memelihara

Lingkungan Hidup Ciptaan Allah” (PGI website 2014). Hal ini menjelaskan kepada

kita, bahwa pelita Injil telah menerangi Mamasa selama 100 tahun lamanya.

Untuk menguraikan lebih lanjut tentang sejarah GTM, penulis menggunakan

tulisan Th.van den End berjudul “Sumber-sumber Penting Zending tentang Sejarah
55

Gereja Toraja 1901-1961; Seri Sumber-sumber Sejarah Gereja di Indonesia”, dan

tulisan W.A.van der Klis yang berjudul “Datanglah Kerajaan-Mu: Lima puluh Tahun

Pekabaran Injil di Toraja Barat” (1913-1963).

Berawal pada 12 Oktober 1913, R.W.F.Kyftenbelt menyampaikan kabar baik

kepada masyarakat Mamasa dan melakukan baptisan pertama kali di Mamasa dan

Messawa kepada delapan puluh orang (Van der Klis 2007, 22). Sebelumnya pada

tahun 1912, Kyftenbelt mengutus empat orang guru untuk melakukan pekabaran

Injil di Toraja Barat.18 Mereka adalah Daud Raranta, Azarja Sahetapy, Markus

Sahuleka, dan Abraham Sahulata (Van der Klis 2007, 13). Dalam melakukan PI,

Kyftenbelt didukung sepenuhnya oleh Gouverneur Celebes en Onderhorigheden

(Gubernur Sulawesi) yang bernama W.J.Coenen (Van der Klis 2007,14).

Siapakah R.W.F.Kyftenbelt? Kyftenbelt adalah seorang pendeta Gereja

Protestan di Indonesia (GPI) di Makassar tahun 1911-1915. GPI dalam bahasa

Belanda disebut Protestantse Kerk in Nederlands-Indië atau biasa disingkat Indische Kerk

(Van der Klis 2007, 13). Jadi GPI-lah yang pertama kali melakukan Pekabaran Injil

(PI) di Mamasa.

Oleh karena relasi yang sangat erat antara Kyftenbelt dan pemerintah, sejak 3

Januari 1913 dibuka sekolah-sekolah di Mamasa, dan pada Maret 1913 sekolah-

sekolah itu kemudian memperoleh subsidi dari pemerintah (Van der Klis 2007, 22).

18 Istilah Toraja Barat tidak menunjuk pada nama resmi daerah atau suku bangsa.
Istilah ini adalah wilayah yang meliputi lembah Mamasa, Tandalangngan, Tandasau’, Pitu
Ulunna Salu (PUS), dan Galumpang (=Kalumpang). Sebagian besar istilah ini juga sering
disebut Kondosapata’ atau Mamasa namun Galumpang bukan bagian dari Kondosapata’.
Wilayah PI Toraja Barat meliputi baik wilayah Kondosapata’ maupun wilayah Galumpang
(Van der Klis 2007, v).
56

Pada tahun 1914, pemerintah memberikan izin kepada GPI untuk

menjadikan Mamasa sebagai hulppredikersafdeling (daerah pelayanan seorang

pendeta bantu19). Adapun pendeta bantu yang pernah bertugas di Mamasa sejak

1915 hingga 1927 adalah J.Hessing (1915-1917), van Leeuwen (1917-1919),

S.Tumbelaka (1919-1921), W.Akkerman (1921-1924), dan A.A.van Dalen (1925-1927)

(Van der Klis 2007, 24).

Selain pendeta bantu, ada pula guru-guru sekolah yang merangkap guru

jemaat, salah satunya adalah Sem Bombong. Sem Bombong adalah orang Toraja

Barat yang pertama mengaku Kristen secara terbuka dan tegas. Disebut terbuka dan

tegas karena ia berani menentang tradisi dalam agama suku (aluk toyolo20) di

Mamasa. Tradisi itu adalah larangan makan nasi jika berlangsung upacara orang

mati (rambu solo’). Meskipun ada larangan tersebut, Sem Bombong justru berani

melanggar larangan itu dengan makan nasi pada upacara rambu solo’ untuk

menjelaskan kepada orang banyak, bahwa ia telah menjadi seorang Kristen.

Keberanian Sem membuat bapaknya mengutuk Sem. Ia lalu lari kepada guru di

Tawalian dan melalui pendeta bantu di Mamasa dan pendeta GPI di Makassar, ia

diutus untuk sekolah di STOVIL Kupang. Tahun 1927, ia lulus ujian STOVIL dan

Pendeta bantu (hulpprediker) adalah pangkat yang terdapat hanya dalam


19

lingkungan GPI. Sebagian besar dari mereka telah menamatkan pendidikan di lembaga
pendidikan calon utusan Injil atau pernah menjadi utusan Injil (Van der Klis 2007, 24).
20Kee Buijs menuliskan pendapat Nooy-Palm dan A.Mandadung untuk menjelaskan
tentang aluk toyolo. Nooy-Palm menginterpretasikan aluk toyolo sebagai kepercayaan
masyarakat pada zaman dahulu. A. Mandadung pun mendeskripsikan aluk toyolo sebagai
orang-orang yang percaya pada keberadaan para dewa, dewata, di atas di surga dan di bumi.
Mereka adalah penguasa yang menerima persembahan dan juga harus dihormati melalui
kepatuhan pada adat, dan yang berkaitan dengan seluruh bagian hidup sehari-hari (Buijs
1994, 36-37).
57

kembali ke Toraja Barat lalu menjadi guru di sana (Van der Klis 2007, 25). Keputusan

yang diambil Sem Bombong untuk masuk Kristen ditiru oleh banyak orang,

contohnya parengnge’ (kepala distrik) Buntukaraeng. Beberapa tahun kemudian,

jumlah orang Kristen semakin bertambah sehingga didirikanlah jemaat pertama di

Tawalian (Van der Klis 2007, 26).

Meskipun makin banyak orang Mamasa yang menjadi Kristen, tugas pendeta

bantu tetap sangat berat. Van Dalen, pendeta bantu yang terakhir, sampai jatuh sakit

karena selain beratnya pekerjaan yang harus dikerjakan, ia harus menghadapi

tantangan yang sangat berat. Tantangan itu berupa medan pelayanan yang sulit,

komunikasi yang tidak lancar, kepribadian sebagian guru-guru yang berperilaku

tidak baik, dan motivasi yang keliru dari orang–orang di Toraja Barat untuk menjadi

Kristen. Sebagian dari mereka beranggapan, bahwa tujuan mereka masuk agama

Kristen adalah untuk mematuhi kehendak pemerintah dan pemimpin-pemimpin

adat. Namun setelah mereka mengetahui, bahwa hal itu bukanlah kehendak

pemerintah dan pemuka adat, mereka pun kembali ke aluk toyolo (Van der Klis 2007,

24-26). Berkenaan dengan hal tersebut, Komisi Visi, Misi, dan Pokok-Pokok

Panggilan GTM 2011-2016 yang menguraikan sejarah singkat GTM mengatakan,

bahwa zending menganggap budaya/adat istiadat sangat dekat dengan kekafiran

sehingga Injil harus di-“steril”-kan dari kekafiran (Keputusan SSA XVIII GTM 2011,

144). Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa orang Toraja Barat

berkeputusan untuk meninggalkan agama Kristen dan kembali menganut aluk toyolo.

Mereka sulit meninggalkan agamanya karena kebiasaan, adat istiadat, dan budaya
58

mereka yang sangat kuat dan telah diwariskan secara turun-temurun. Melihat

masalah-masalah yang terjadi di Mamasa, badan pengurus GPI akhirnya mencabut

izin daerah Mamasa sebagai hulppredikersafdeling (Van der Klis 2007, 24-26). Th.van

den End memberi informasi tambahan, bahwa sebetulnya ada rencana dari GPI

untuk menyerahkan daerah-daerah asuh, yakni Onderafdeling Majene, Binuang, dan

Balanipa dalam Afdeling Mandar, kepada GZB21 setelah GZB memiliki daya dan dana

yang cukup untuk menempati daerah-daerah tersebut namun pada akhirnya tahun

1928 ketiga Onderafdeeling itu justru diserahkan GPI kepada zending Christelijke

Gereformeerd Kerk/CGK (Van den End 2004, 11-12).

2.1.2. Pekabaran Injil oleh Christelijke Gereformeerde Kerk (CGK)

Christelijke Gereformeerde Kerk (CGK) adalah Gereja Kristen Gereformeerd

(calvinis) yang berdiri sejak 1834. CGK merupakan pecahan dari Nederlandse

Hervormde Kerk (NHK). Alasan terjadinya perpecahan itu antara lain; pertama, NHK

tidak memakai pengakuan gereformeerd (Katekismus Heidelberg, Pengakuan Iman

Belanda, dan pasal-pasal ajaran Dordrecht); kedua, NHK melarang untuk

menggunakan ibadah yang bersifat gereformeerd; dan ketiga, NHK mewajibkan

pemakaian nyanyian rohani dalam setiap ibadah jemaat (Van der Klis 2007, 27).

Salah seorang pendeta NHK (Hendrick de Cock) diskors pada tahun 1834 karena

tidak menggunakan nyanyian rohani dalam ibadah jemaat (Van der Klis 2007, 27).

Akibat dari peraturan NHK yang sangat kaku ini, banyak orang yang meninggalkan

21GZB (Gereformeerde Zendings Bond) adalah organisasi PI calvinis di NHK. GZB


melakukan misi PI di daerah Tana Toraja (Van der Klis 2007, 68-69).
59

NHK dan membentuk gereja baru yang bernama Christelijke Gereformeerde Kerk/CGK

(Van der Klis 2007, 27). Van den End menuliskan, bahwa CGK adalah kelompok

penganut paham gereformeerd yang menekankan pemberitaan Firman yang

menyentuh hati para pendengar dan menolak pemakaian nyanyian rohani di

samping mazmur di dalam ibadah gereja (Van den End 2004, 5).

Dalam Sidang Sinode tahun 1906, CGK memutuskan untuk membentuk

Generale Zendingkas (Kas Umum PI) dan Zendingscommissie (Komisi PI). Salah satu

kegiatan komisi PI adalah menerbitkan majalah Uw Koninkrijk Kome (UKK :

Datanglah Kerajaan-Mu). Pada tahun 1919, komisi PI diambil alih oleh Deputaten

voor de Buitenlandse Zending (Deputaten ZCGK) yang bertugas untuk mengurus PI di

luar negeri. Deputaten ZCGK inilah yang mengambil alih daerah Mamasa dari GPI.

Meskipun awalnya GPI tidak setuju, pada akhirnya Badan Pengurus GPI

menyerahkan sebagian resor Mamasa ke CGK tanggal 1 November 1927. Bahkan

pada Desember 1927, Badan Pengurus GPI justru mengambil keputusan definitif

untuk menyerahkan daerah Mamasa sepenuhnya ke ZCGK. Mereka bahkan

menasihati pemerintah untuk mendukung pelayanan CGK ke daerah Mamasa dan

hal tersebut dilegitimasi dengan dikirimkannya telegram keputusan pemerintah ke

Deputaten ZCGK pada 26 Desember 1927 (Van der Klis 2007, 31).

Pada 19 Januari 1928, ZCGK mengutus A.Bikker untuk melakukan PI ke

Mamasa dan serah terima dengan GPI. Bikker dengan mengendarai kuda

menempuh perjalanan ke Mamasa dan tiba di Mamasa pada 21 Januari 1928. Selain

ZCGK, Badan Pengurus GPI juga mengutus G.C.A.A.van den Wijngaard, pendeta
60

GPI di Makassar, untuk menyelesaikan semua urusan serah terima dari GPI ke CGK

yang diwakili oleh ZCGK. Serah terima itu disebut “Memori Serah Terima.” Adapun

penyerahan tersebut meliputi daerah pelayanan (Afdeling Mandar dan Afdeling Pare-

pare), 30 sekolah, dan guru-guru. Semua tenaga GPI pindah ke CGK kecuali satu

pendeta pribumi yakni Z.Satumalei yang tetap bertahan dalam lingkup GPI (Van der

Klis 2007, 31-33).

Bikker kemudian melanjutkan PI yang telah dirintis sebelumnya oleh GPI.

Selama masa kerja ZCGK di Mamasa, metode PI yang digunakan antara lain

pelayanan dan pembinaan (konferensi dan kursus) para guru, PI melalui khotbah,

percakapan dan diskusi, sekolah minggu dan katekisasi, buku dan majalah, paduan

suara dan musik bambu, kesehatan, dan lain sebagainya (Van der Klis 2007, 34-35).

Dalam hubungan dengan pemerintah, ZCGK berbeda dengan GPI. Sebelumnya,

relasi GPI dengan pemerintah sangat erat. Pemerintah sangat membantu pekerjaan

PI dalam bentuk dukungan dan subsidi kepada pendeta bantu, para guru, dan

sekolah-sekolah. Menurut sebagian besar orang Toraja Barat, mereka seolah-olah

tidak melihat adanya perbedaan antara gereja dan pemerintah (Van der Klis 2007,

50-51). Berbeda dengan GPI, relasi ZCGK dengan pemerintah yang

diimplementasikan dalam hal pemberian izin kepada pendeta dan guru untuk

bekerja di PI, subsidi kepada para guru, dan sekolah-sekolah. Namun karena CGK

membawa misi calvinis, relasi gereja dan pemerintah berubah. Menurut CGK,

pemerintah perlu dihormati namun pemerintah bukanlah atasan gereja. Gereja

malah bertanggung jawab mengkritisi kinerja dan kapabilitas pemerintah yang


61

salah. Sebaliknya, gereja juga bukan atasan pemerintah sehingga kedua-duanya

memiliki wewenang dan panggilan masing-masing (Van der Klis 2007, 50-51).

Oleh karena pekerjaan Bikker semakin padat dan menumpuk, ia mendesak

Deputaten ZCGK untuk mengutus sesegera mungkin tenaga PI ke Mamasa yang

akan membantu dia selanjutnya. Permintaan Bikker dipenuhi. Pada 11 November

1930, M.Geleijnse diurapi menjadi Pendeta PI di Hoogeven dan selanjutnya tanggal

15 Januari 1931, ia dan keluarganya tiba di Mamasa untuk membantu pekerjaan

Bikker (Van der Klis 2007, 51-52).

Awalnya Geleijnse membantu Bikker dengan melakukan pekerjaan kantor,

setelah itu mereka berdua menjelajahi seluruh daerah Mamasa. Selanjutnya Bikker

dan Geleijnse melakukan PI di dua resor yang berbeda menurut keputusan Sinode

Am CGK 1932. Bikker melayani resor atau pos Mamasa yang terdiri dari Mamasa,

Tandalangngan, dan Tandasau’ kemudian Geleijnse melayani resor atau pos PUS

yang terdiri dari Pitu Ulunna Salu (PUS), Galumpang, dan lembang-lembang22 di

Onderafdeling Pinrang. Namun pada 1 Januari 1935, lembang-lembang (desa-desa, Ind)

dipindahkan dari resor PUS ke resor Mamasa (Van der Klis 2007, 52).

Pada tahun 1930 dilaksanakan Konferensi tenaga utusan PI yang juga

dihadiri oleh Bikker, dan dalam konferensi tersebut diusulkan pemberian nama bagi

jemaat-jemaat di Tana Toraja dan Toraja Barat yakni “Jemaat-jemaat Toraja Kristen

Protestan” (Van der Klis 2007, 68; band. van den End 2004, 606) namun nama

tersebut tidak disetujui oleh CGK. Menurut Sinode Am CGK tahun 1932, jemaat di

22 Lembang-lembang dalam bahasa Indonesia berarti desa-desa.


62

Toraja Barat harus disebut Christelijke Gereformeerde Gemeente te …. yang artinya

“Jemaat Christelijk Gereformeerd di .… (nama tempat),” dengan alasan gereja di

Toraja Barat adalah “anak dari CGK” karena lahir dari pekerjaan ZCGK (Van der

Klis 2007, 68). Bikker sangat menentang pendapat itu dan ia pun berkata:

“Gereja di Toraja Barat bukanlah bagian dari CGK di Belanda. CGK bukanlah ibu dari
Gereja di Toraja Barat. Bapa dan ibu dari gereja di Toraja Barat adalah Allah Tritunggal
sendiri. Saya tidak pernah mendengar tentang seorang yang mendapat nama
walinya!” (Van der Klis 2007, 68).

Sebaliknya Bikker mengusulkan sebutan untuk gereja di Toraja Barat yaitu

“Gereja Kristen di…(nama tempat),” tetapi CGK tidak menyetujui usulan Bikker

sehingga sekian lama nama untuk gereja Toraja Barat tidak jelas (Van der Klis 2007,

68).

Tahun 1931, Bikker menyampaikan laporannya kepada ZCGK. Laporannya

antara lain mengenai berdirinya 10 jemaat di Mamasa yang mempunyai majelis

gereja dan 19 tempat yang sedang dikerjakan. Gedung gereja yang pertama didirikan

terletak di Tawalian di mana Bikker melakukan peletakan batu pertama pada 16 Juni

1929 lalu ditahbiskan pada 7 Desember 1932 (Van der Klis 2007, 65-66). Demikian

pula di tempat-tempat lain dibangun gedung gereja, namun pada umumnya

berbentuk sederhana (Van der Klis 2007, 65-66).

Bikker juga mengusulkan kepada Deputaten ZCGK agar mengangkat Inlands

Leraar (pendeta pribumi) tahun 1931 dengan alasan keuangan dan idealistis. Tenaga

pribumi lebih murah daripada tenaga pendeta utusan (alasan keuangan) dan ZCGK

perlu mendidik dan mengangkat tenaga pribumi untuk mendewasakan gereja

(alasan idealistis). Di tahun 1934 Sidang Am CGK memutuskan, bahwa pada


63

prinsipnya pendeta pribumi dapat diangkat dengan memenuhi beberapa

persyaratan. Namun keputusan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena

terkendala pada soal kurikulum, pengajar, tempat kursus, dan soal gaji pendeta

pribumi yang harus dibayar oleh jemaat atau klasis pemanggil (Van der Klis 2007,

68-69).

Mengenai organisasi gereja, CGK dan pendeta PI menghendaki gereja

bersifat presbiterial namun, menurut penulis, sangat patriarkhis. Presbiterial karena

jemaat-jemaat dimotivasi untuk dapat berdiri sendiri dan pendeta PI bersama guru-

guru mencari beberapa orang yang dianggap cocok untuk menjadi majelis jemaat

(penatua dan syamas). Sangat patriakhal karena mereka yang diusulkan menjadi

majelis jemaat hanya laki-laki. Sebelum dipilih menjadi majelis jemat, mereka

diikutsertakan dalam pekerjaan guru. Yang dianggap baik, kemudian diteguhkan

menjadi penatua atau syamas (Van der Klis 2007, 66-67).

Pada 13 Desember 1938 diselenggarakan Sidang Klasis Limbong Kalua yang

membahas tentang kemungkinan perempuan menjadi pejabat gereja. Hal ini menjadi

salah satu agenda pembahasan karena pertimbangan bahwa ada pula perempuan

yang berperan dalam lingkungan masyarakat (seperti parengnge’/kepala distrik) dan

dalam aluk toyolo. Sayangnya, Bikker bersikeras menolak usulan itu dengan

menegaskan, bahwa Firman Allah tidak mengizinkan perempuan menjadi pejabat

gerejawi (Van der Klis 2007, 67).

Sebelum di Osango, di daerah-daerah lain juga telah melaksanakan sidang

klasis seperti Sidang Klasis Mamasa di Mamasa (November 1931) dan Sidang Klasis
64

Galumpang (Desember 1937). Sedangkan klasis-klasis yang baru didirikan, ada tiga

yakni Klasis Pitu Ulunna Salu/PUS (1932), Klasis Tandalangngan (1935), dan Klasis

Tandasau’ (Oktober 1937) (Van der Klis 2007, 67). Dengan demikian, hingga tahun

1938 di Mamasa telah ada enam klasis yakni Klasis Osango, Klasis Mamasa, Klasis

Galumpang, Klasis PUS, Klasis Tandalangngan, dan Klasis Tandasau’ (Van der Klis

2007, 67).

Hubungan ZCGK dengan GZB sangat erat dan hal itu terbukti dengan

kerjasama yang terbentuk baik di Indonesia maupun di Belanda. Oleh karena

mempunyai keterkaitan yang sangat erat, keduanya setuju untuk membentuk satu

Gereja dari jemaat-jemaat di Tana Toraja dan di Toraja Barat dengan satu sinode,

satu tata gereja, satu sekolah teologia, dan lain-lain, kecuali satu terjemahan Alkitab

yang tidak dapat terpenuhi karena keduanya mempunyai bahasa yang berbeda (Van

der Klis 2007, 70). Pendapat van der Klis ini senada dengan van den End. Van den

End mengatakan, bahwa relasi yang dekat secara rohani terjalin antara GZB dan

ZCGK. Kedua-duanya berusaha untuk melakukan koordinasi atau bahkan berupaya

mendirikan satu Gereja di kedua lapangan PI mereka, namun usaha ini tidak

membawa hasil yang diharapkan (Van den End 2004, 29-30).

Salah satu hasil perundingan penting antara GZB dan ZCGK adalah

peraturan perkawinan untuk orang Kristen pada 2 Oktober 1935. Peraturan itu

ditujukan bagi orang-orang Kristen yang berada di wilayah PI ZCGK dan GZB.

Peraturan itu terdiri dari tiga bab yaitu perihal peresmian pernikahan (bab 1);

tentang pemutusan ikatan perkawinan (bab 2); dan ketentuan peralihan (bab 3) (Van
65

den End 2004, 343-348). Dalam peraturan tersebut, tampak gambaran dominasi

pemerintah (zending) dalam peresmian pernikahan. Hal itu ditemukan dalam bab 1

di mana peresmian pernikahan dilakukan oleh kepala distrik dan bukan oleh

pendeta PI (Van den End 2004, 347-348).

Dalam perkembangannya, hubungan ZCGK dan GZB pernah mengalami

kendala. Hal itu terjadi ketika berlangsung musyawarah antara pengurus besar GZB

dengan Deputaten Zending CGK dan pekerja zending23 yang membahas tentang

rencana penyusunan peraturan gereja. Belksma Sr (GZB) berpendapat, bahwa sudah

saatnya peraturan disusun dengan tujuan mendorong dan membimbing warga

jemaat untuk maju dan terlibat aktif. Namun Ds.Geleijnse (ZCGK) berkomentar,

belum saatnya peraturan gereja disusun karena jemaat-jemaat masih terlalu muda

dan tidak bisa dipaksakan untuk pakaian dewasa. Menanggapi perbedaan pendapat

antara Belksma Sr dan Ds.Geleijnse, Ds.Remme berkata

Kedua zendeling mempunyai pendapat sendiri-sendiri tentang apakah sudah waktunya


atau belum untuk menyusun peraturan itu. Bisa jadi perbedaan pendapat kedua
zendeling ini disebabkan CGK yang baru sepuluh tahun melakukan zending di Mamasa
sedangkan GZB sudah hampir 25 tahun (Van den End 2004, 419-422)

Meskipun musyawarah itu sedikit memanas akhirnya dicapai kesepakatan

antara lain akan diciptakan satu peraturan gereja untuk kedua daerah zending,

pengakuan iman gereja-gereja (yang dapat ditemukan dalam ketiga pasal keesaan),

dan kumpulan gereja menggunakan nyanyian sesuai ketentuan sinode Dordrecht

(Van den End 2004, 419-422).

23 Deputaten CGK yang dimaksud adalah Prof J.J. van der Schuit, ds. K. Zuidersma,
ds. J. Hovius, ds. J. Jongeleen, dan ds. M.Holtrop. Sedangkan pekerja zending yaitu J.Dan
Belksma dari Rantepao-Makale dan M.Geleijnse dari Mamasa (Van den End 1994, 419-422).
66

Kesepakatan yang diambil tersebut mengisyaratkan tentang kecenderungan

zending memaksakan peraturan gereja Dordrecht untuk dijadikan sebagai patokan

di daerah penginjilan masing-masing. Hal ini sangat disesalkan oleh H.Kraemer.

Dalam suratnya kepada badan zending tertanggal 26 Mei 1939, Kraemer mengatakan

“ Perangkat dogma-dogma dan hukum gereja kita, betapapun unggulnya sebagai asas
dan untuk sesuatu yang nyata, bukan dengan sendirinya merupakan perangkat
perlengkapan yang tepat untuk persekutuan orang Kristen, yang situasinya yang
nyata berbeda dengan situasi kita” (Van den End 2004, 457)

Lebih lanjut Kraemer mengutarakan tiga asas yang dapat digunakan untuk

membuat rumusan peraturan gereja yang cocok yakni :

1. Dalam seluruh susunannya harus jelas bahwa Kristuslah Kepala satu-satunya gereja
yang berkuasa mutlak, Tuhan Gereja yang tak ada duanya, yakni monos despotès (Yud
ayat 5)

2. Peraturan harus cocok dengan kebutuhan dan latar belakang orang. Artinya warisan-
warisan dari Tanah Belanda yang kita bawa hanya akan punya arti jika warisan itu
benar-benar dapat menjadi bentuk-bentuk ungkapan yang subur untuk persekutuan
Kristen di negeri ini.

3. Pada saat penyusunan peraturan gereja kita tidak boleh lupa bahwa suatu gereja yang
muda sedang berkembang di Hindia, di mana kini sedang didirikan berbagai gereja
mandiri. Mengingat agama Kristen di Hindia tumbuh di tengah-tengah msayarakat
yang mayoritas Islam dan gereja Katolik Roma yang sangat aktif di sampingnya, maka
kita mutlak perlu berupaya agar jalan menuju satu Gereja Protestan di Hindia Belanda
atau suatu federasi gereja-gereja Protestan tetap terbuka (Van den End 1994, 457-460).

Pendapat yang dikemukakan oleh Kraemer ini senada dengan uraian

Purwanto tentang tiga prinsip dasar yang harus dipenuhi untuk mengembangkan

setiap hukum gereja yang fungsional, sebagaimana yang dituliskan dalam bagian

pendahuluan dari karya tulis ini, yakni pertama, Firman Tuhan sebagai dasar

hukum gereja; kedua, latar belakang sejarah; dan ketiga, konteks yang dihadapi oleh

gereja.
67

Selanjutnya pada 10 Mei 1940, Belanda terlibat dalam peperangan melawan

tentara Jerman. Akibatnya, terputus hubungan antara Toraja Barat dan Belanda

termasuk putusnya pengiriman uang oleh CGK. Pendeta PI dan guru-guru yang

mengajar di sekolah yang tidak bersubsidi tidak lagi mendapatkan uang dari ZCGK.

Saat itu warga CGK yang tinggal di Indonesia dan Afrika Selatan mengumpulkan

uang untuk membantu mereka. Selain itu, dibentuk juga Zendingsnoodbestuur

(Panitia Darurat untuk badan-badan PI) yang bertugas untuk mengumpulkan

bantuan dari luar negeri dan dari Indonesia sendiri untuk membantu utusan Injil

(Van der Klis 2007, 89).

Di tahun yang sama, 29 Oktober 1940 berlangsung Voorlopige Synode (Proto-

Sinode) yang pertama di Mala’bo’. Sinode itu dihadiri utusan dari enam klasis yakni

Mala’bo’, Kayuberang, Kalumpang, Limbong Kalua’, Tandalangngan, dan

Tandasau’, dan ada pula utusan dari Palopo, Rantepao, dan Makale (Notulen

Foorlopig Sijnode 1940). Saat itu Ds.A.Bikker menjabat sebagai penasihat (Advisiur),

sedangkan ketua sinode (Voorzitter) adalah Ds.M.Geleijnse, dan sekretaris (Secretaris)

adalah L.Soselisa. Dalam persidangan ini Bikker mengusulkan supaya persidangan

itu disebut sinode, tidak usah menggunakan Voorlopige Synode, namun Geleijnse

bersikeras untuk tetap menggunakan Voorlopige Synode dengan alasan biarkanlah

istilah tersebut tetap dipakai sambil menunggu komunikasi dengan Deputaten

kembali lancar (Van der Klis 2007, 90).

Selain agenda pembahasan yang dikemukakan di atas, beberapa hal penting

yang juga dibahas dalam sinode ini antara lain mengenai perkawinan dan tertib
68

gerejawi. Keduanya diatur dalam pasal 5 “voorstel-voorstel” (usulan-usulan) yakni

dalam butir 1 mengenai perkawinan, butir 4 mengenai “Taadib Djoemat 24,” butir 14

mengenai orang Kristen yang kawin dengan orang kafir, dan butir 15 mengenai

peneguhan nikah bagi pasangan yang sudah lama hidup sebagai suami-istri

(Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 3-9).

Mengenai perkawinan, utusan-utusan klasis mengusulkan suatu peraturan

yang am mengenai pertunangan, perkawinan Kristen, perkawinan orang Kristen

dengan orang kafir (aluk toyolo), perkawinan Kristen di hadapan pemerintah,

perceraian, dan peneguhan nikah bagi pasangan yang sebelumnya telah hidup

bersama sebagai pasangan suami-istri (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 3). Bikker

sebagai penasehat mengatakan, bahwa komisi dari Limbong Kalua’ dan PUS akan

bersama-sama membuat suatu peraturan yang baik mengenai perkawinan dari adat

negeri (adat istiadat), dari peraturan pemerintah, dan dari peraturan jemaat

kemudian peraturan itu akan diputuskan dalam sinode berikutnya (Notulen

Foorlopig Sijnode 1940, 3). Geleijnse menambahkan, bahwa putusan dari komisi itu

harus disahkan juga oleh parengnge’ (pemuka adat) sebagai wakil suara rakyat ke

pemerintah, juga Geleijnse menegaskan larangan bagi orang Kristen yang bercerai.

Jika perceraian terjadi, menurut Geleijnse, mereka harus dikenai tatib jemaat

(Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 6). Sehubungan dengan perkawinan menurut adat

istiadat, utusan klasis Kalumpang (R.M.Tumo’/guru jemaat) mengusulkan supaya

24Penulis berpendapat, istilah Taadib Djoemat (tatib jemaat) digunakan dalam


notulen proto sinode I dan proto sinode II, di kemudian hari istilah ini berubah menjadi tertib
gerejawi.
69

komisi, yang bertugas untuk membuat peraturan itu, diambil dari setiap klasis

karena mempertimbangkan perbedaan adat istiadat di setiap klasis (Notulen

Foorlopig Sijnode 1940, 4). Berdasarkan usulan-usulan itu, diputuskan tiga hal yakni:

pertama, komisi yang mengurus peraturan perkawinan akan dibentuk; kedua, tertib

jemaat akan dikenakan kepada pasangan yang bercerai; dan ketiga, komisi dipilih

dari setiap klasis dan peraturan itu akan dibuat lalu diputuskan dalam sinode

berikutnya (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 4). Berkenaan dengan usulan mengenai

perkawinan antara orang Kristen dan orang kafir (aluk toyolo), Geleijnse mengatakan,

“Djadi dalam hal itoe hanja kami dapat memberi nasihat sadja dan pengadjaran menoeroet

kewadjiban kami” (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 9). Bikker pun menambahkan

“Kami haroes memandang hal itoe dari kedoea pihak itoe; kalau jang satoe pihak tidak
melawan jang lain, dalam agama masing-masing atau yang kafir soeka masoek agama
Christian itoe baik. Tetapi kalau yang kafir melawan agama Christian patoet kami
mendjalankan taadib Djoemat (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 9)

Dari pertimbangan yang dikemukakan oleh dua pendeta zending itu

diputuskanlah, bahwa masalah tersebut diserahkan kepada Kerkeraad (Majelis

Jemaat) di setiap jemaat di mana mereka akan mengajar dan menasehati pasangan

tersebut sehingga dapat mengikuti kewajiban di dalam jemaat, jika perlu tertib

gerejawi akan dilaksanakan (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 9).

Agenda pembahasan tentang tertib gerejawi pun diangkat dalam sinode ini.

Ada pandangan dari peserta sinode yang memahami tertib gerejawi sebagai

hukuman kepada anggota jemaat yang melangkahi syariat agama Kristen sama

seperti hukum pemerintahan. Untuk itu Bikker menjelaskan, bahwa tertib gerejawi

adalah suatu jalan untuk mengobati anggota jemaat yang bermasalah dan
70

memperbaiki kelakuan anggota jemaat yang salah (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 5).

Menurut Bikker, tertib gerejawi berkenaan dengan tiga hal yaitu menasihati,

menghindarkan dari sakramen, dan mengucilkan dari jemaat (Notulen Foorlopig

Sijnode 1940, 5). Oleh karena itu, putusan proto sinode I ini menetapkan tugas dari

Kerkeraad adalah untuk melaksanakan tertib gerejawi kepada warga jemaat yang

melanggar ajaran Firman Tuhan (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 6).

Tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang Angkatan Laut Amerika di

Pearl Harbour dan selanjutnya berencana menyerang Hindia Belanda. Para sekutu

Amerika yaitu Inggris, Australia, dan Belanda tidak mampu menahan tentara Jepang

untuk masuk ke Hindia Barat. Tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Hindia Belanda

menyerah kepada Jepang. Saat itu Bikker menahbiskan E.J.Latuihamallo menjadi

pendeta dan Geleijnse mengurapi guru Injil P.Pattykayhatu menjadi pendeta.

Tanggal 16 Maret 1942 pukul 03.30 rombongan orang Belanda diangkut sebagai

tawanan Jepang. Sebelumnya, pukul tiga tengah malam terjadi suasana yang sangat

mengharukan di rumah Bikker. Bikker dan jemaat Mamasa berkumpul untuk

melakukan perpisahan. Mereka menyanyikan lagu “Tuhan Gembalaku”, “Kepada

Tuhan jua, Serahkan jalanmu”, dan nyanyian Mazmur 42:5. Setelah itu mereka

berdoa bersama dan akhirnya mereka berpisah. Bikker dan tawanan lainnya

kemudian ditahan di tangsi di Makassar (Van der Klis 2007, 91).

Yang menarik adalah meskipun tenaga PI dari berbagai gereja sedang

ditahan di tangsi, mereka masih dapat mendiskusikan tentang masa depan gereja di
71

Sulawesi termasuk rencana untuk mendirikan sekolah Teologia di Makassar (Van

der Klis 2007, 92).

Dalam zaman penjajahan Jepang, orang Kristen di Toraja Barat mengalami

tantangan yang berat, khususnya pemuda-pemudi Kristen. Mereka wajib menjadi

anggota perserikatan Jepang (Seinan Dan untuk pemuda dan Seinan Boi untuk

pemudi) di mana mereka harus mengikuti latihan atau tugas lain pada hari minggu

(Van der Klis 2007, 96). Kendati demikian, pemuda pemudi Kristen tetap bertahan

dalam kekristenan mereka (Van der Klis 2007, 96).

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, tahanan kaum bapak

dilepaskan dan pada September 1945, Bikker, Geleijnse serta tawanan lain dibawa ke

Makassar dan berjumpa dengan istri dan anak mereka. Bikker diberi tugas sebagai

pendeta tentara sementara di Sulawesi Selatan, meski demikian ia masih tetap dapat

melakukan perkunjungan ke Mamasa (Van der Klis 2007, 96).

Selanjutnya, Bikker kembali ke Belanda pada Agustus 1946 dan menetap di

sana karena ia dan istrinya sakit. Selama di Belanda, ia menjadi dosen di Amsterdam

(1948-1954) dan sekretaris Deputaten ZCGK (1954-1956) (1960-1971). Bikker akhirnya

meninggal pada 16 Desember 1977 (Van der Klis 2007, 98).

Pada 4-7 Juni 1947 dilaksanakan Voorlopige Synode (Proto Sinode) yang

kedua25 di Mala’bo’ di mana pesertanya dari klasis Mala’bo’, Kayuberang,

Galumpang, Limbong Kalua, Tandalangngan, Tandasau, Palopo, Rantepao, dan

25Menurut van der Klis, sinode ini lebih tepat disebut sebagai sinode wilayah karena
muncul lagi rencana penyatuan GTM dan GTR menjadi satu Gereja dan adanya rencana
sinode Am dilakukan secara berturut-turut di Rantepao-Makale atau Mamasa-Mala’bo’ (Van
der Klis 2007, 102).
72

Makale (Van der Klis 2007, 102). Dalam persidangan itu, Geleijnse dipilih sebagai

ketua, guru Injil B.Mangoli sebagai sekretaris, Pilon Pattikayhatu dan Bombong serta

enam guru Injil yang lain dipilih menjadi penasihat (Van der Klis 2007, 102).

Adapun pokok bahasan dalam sinode itu, antara lain adalah rencana sinode

berikutnya tahun 1949 di Mamasa dan pemilihan ketua sinode yang berkebangsaan

Indonesia pada sinode berikutnya. Selain itu, hal lain yang juga dibahas adalah

rencana penggabungan Gereja Toraja Mamasa (GTM) dan Gereja Toraja Rantepao

(GTR), namun rencana ini tidak dapat terealisasi. Tahun 1963 dilaksanakan Sinode

Gereja Kristen Toraja di Rantepao dan salah satu agenda yang dibahas adalah

kembali mengusulkan rencana kedua gereja tersebut untuk menyatukan GTM dan

GTR, namun usulan ini juga tidak dapat terlaksana karena pertimbangan situasi

geografis dan perasaan regional (hubungan antar daerah terlalu sulit). Alhasil,

persidangan Voorlopige Synode II di Mala’bo’ inilah yang mendasari terbentuknya

Gereja Toraja Mamasa (Van der Klis 2007, 103).

Berkenaan dengan keputusan mengenai peraturan perkawinan dan tertib

gerejawi dalam proto-sinode II ini, uraiannya dapat ditemukan dalam bagian ketiga

dari notulen rapat Voorlopig Sijnode yakni dalam voorstel-voorstel (Notulen Voorlopig

Sijnode 1947, 1-18). Uraian mengenai perkawinan, sebagian besar masih sama dengan

keputusan pada proto-sinode I, yakni menunggu hasil peraturan yang dibuat oleh

komisi peraturan perkawinan yang telah dibentuk. Tambahan yang terdapat dalam

sinode ini adalah adanya penjelasan tentang bahaya bagi pasangan yang menikah di
73

usia muda dan himbauan untuk melakukan perkawinan monogami dari dr. J.Pilon

(Notulen Voorlopig Sijnode 1947, 15-16).

Mengenai tertib gerejawi dalam sinode ini, tidak banyak perubahan yang

berarti dari proto sinode I kecuali tambahan mengenai istilah tatib jemaat dan tujuan

pelaksanaan tatib jemaat (Notulen Voorlopig Sijnode 1947, 11). Istilah tatib jemaat

disamakan dengan siasat jemaat yang mana tujuan pelaksanaannya adalah supaya

orang-orang yang melakukan pelanggaran boleh datang kepada majelis gereja

dan/atau di hadapan anggota jemaat untuk bertobat (mengaku dan menyesali

perbuatannya) (Notulen Voorlopig Sijnode 1947, 11).

Meskipun GTM telah menjadi gereja yang mandiri, hubungan kerjasama

dengan CGK tetap terjalin. Jika dahulu hubungan antara CGK dan gereja-gereja di

Mamasa adalah hubungan antara ibu dan anak, setelah GTM terbentuk

hubungannya dengan CGK adalah sebagai “gereja mitra”. Beberapa kali ZCGK

masih mengirim tenaga PI ke Mamasa seperti Pdt.J.van Dalen beserta istri, ibu

Klomp sebagai pekerja sosial bagi kaum ibu dan pemuda-pemudi, Pdt.G.H.Polman

dan istri, dan guru H.J.Wiltink dan istri. Selain utusan tenaga PI, ZCGK juga masih

tetap memberikan bantuan materiil kepada GTM (Van der Klis 2007, 107-111).

Pdt.M.Geleijnse beserta keluarga tetap melanjutkan pekerjaan PI di Malabo’.

Tanggal 27 November 1962, ia dan keluarganya kembali ke Belanda. Setelah itu ia

masih sempat mengunjungi Toraja Barat di tahun 1970-an dan akhirnya meninggal

pada 29 Agustus 1985 (Van der Klis 2007, 107-117).


74

Menurut Komisi Visi, Misi, dan Pokok-pokok Panggilan GTM, misi yang

dibawa oleh zending, baik itu GPI maupun ZCGK berfokus pada kristenisasi. Orang

Kristen Toraja Barat dibentuk melalui opini teologi dan eklesiologi Barat di mana

transendensi Allah melalui budaya dan agama lokal yang telah dinyatakan Allah

sebelum berita Injil tiba dianggap sebagai sesuatu yang harus digantikan oleh model

penyembahan ala Kristen Barat (Keputusan SSA XVIII GTM 2011-2016, 145).

Akibatnya masyarakat Kristen Mamasa dibatasi untuk mengalami perjumpaan yang

utuh dengan Yesus Kristus.

Setelah pembentukan GTM, misi kristenisasi masih tumbuh subur di

kalangan warga Kristen Mamasa. Hal itu tampak jelas pada karakter keberagamaan

yang statis dan konfrontatif di kalangan masyarakat Kristen Mamasa. Mereka

kadang beranggapan, bahwa keselamatan hanya diberikan kepada orang Kristen

saja. Hal ini mengingatkan kita pada ucapan Cyprianus “extra ecclesiam nulla sallus”.

Teologia misi GTM saat itu sangat kontras dengan interpretasi amanat agung dalam

Matius 28:18-20 yakni “…jadikanlah semua bangsa milik-Ku…”. Misi yang

dijalankan GTM terkadang sangat radikal terhadap budaya dan kepercayaan lokal

dan arti kasih karunia Tuhan diinterpretasikan secara sempit dalam lingkup

kekristenan saja (Keputusan SSA XVIII GTM 2011-2016, 150-151).

2.2. Sidang Sinode GTM

Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, Voorlopige Synode (Proto

Sinode) yang kedua di Mala’bo’ pada 4-7 Juni 1947 dijadikan sebagai tahun

berdirinya Gereja Toraja Mamasa. Itu berarti sinode tersebut merupakan Sidang
75

Sinode Am26 I di GTM. Untuk memaparkan uraian selanjutnya mengenai sejarah

SSA GTM, penulis menggunakan tulisan Marthen Manggeng yang berjudul “Upaya

Menggereja dalam Konteks; Refleksi Historis-Teologis 60 tahun GTM” dan tulisan

Papa Pangloli yang berjudul “Catatan Penyelenggaraan Sidang Sinode dan Ketua-

ketua BPS GTM.”

Sebelum SSA II berlangsung, diselenggarakan sidang Sinode Partikulir

(Sinode Wilayah) tanggal 15 dan 16 Agustus 1949 di Mamasa. Dalam sinode ini

dipilih Pdt.J.van Dalen sebagai ketua I, Pdt.G.H.Polman sebagai ketua II, J.Piris

sebagai sekretaris, serta Pdt.M.Tupa’langi’ dan dr. J.J.Pilon sebagai penasihat (Van

der Klis 2007, 103-104). Dalam sinode ini, diputuskan untuk membentuk komisi yang

bertugas untuk membicarakan tentang pelaksanaan sidang sinode yang lalu antara

lain mengenai pengelolaan keuangan gereja, liturgi, dan lain-lain sebagai upaya

untuk mewujudkan kemandirian gereja (Van der Klis 2007, 103-104).

Menurut Manggeng, SSA I hingga XII GTM, semuanya dilaksanakan di

Mamasa sebagai pusat kegiatan GTM pada aras sinodal (Manggeng 2007, 31). SSA II

GTM (1953) hingga SSA IV GTM (1960) memilih Pdt.R.M.Thumonglo sebagai ketua

sinode. SSA V GTM (1965) memilih Pdt.E.Pampang sebagai ketua sinode. SSA VI

GTM (1969), SSA VII GTM (1971), SSA VIII GTM (1974), SSA IX GTM (1977) , SSA X

GTM (1981), dan SSA XI GTM (1984) secara berutur-turut memilih Pdt.P.Podo

sebagai ketua sinode (Pangloli t.t., 1).

26 Selanjutnya frasa “Sidang Sinode Am” akan dipersingkat menjadi SSA.


76

Dalam SSA XII GTM (1986) di Mamasa, salah satu keputusan yang signifikan

adalah perempuan dapat memegang jabatan gerejawi (Syamas, penatua, dan

pendeta). Keputusan ini merupakan titik awal kemandirian di bidang teologi sebab

CGK sendiri sebagai gereja mitra (induk) di Belanda belum dapat menerima

perempuan untuk memegang jabatan gerejawi (Manggeng 2007, 31). Dalam sidang

tersebut pertama kali Pdt.J.Buttulangi dipilih sebagai ketua sinode.

Sinode XIII GTM (Ujung Pandang 6-12 Juli 1986) kembali memilih

Pdt.J.Buttulangi sebagai ketua sinode. Dalam persidangan ini ada satu keputusan

penting yakni perubahan masa SSA dari empat tahun ke lima tahun. Perubahan ini

berdampak pada periode kerja Badan Pekerja Sinode dan periodisasi masa kerja

pendeta GTM di suatu jemaat atau klasis (Manggeng 2007, 31-32).

SSA XIV GTM (Nosu wilayah Tandalangan 27 Juni–4 Juli 1991) pertama kali

Pdt.Zakaria Sude S.Th dipilih sebagai ketua sinode. Dalam sinode ini, terdapat

beberapa agenda pembahasan yakni masalah eklesiologi, perubahan sistem

pemerintahan gereja, perubahan nama dari GTM ke Gereja Kristen Mamasa, dan

gugatan gereja mitra tentang perempuan yang dipilih sebagai pejabat gerejawi.

Adapun masalah eklesiologi, yakni pengembalian sistem pemerintahan gereja dari

presbiterial-sinodal ke presbiterial, dan perubahan nama dari GTM ke GKM namun

ditolak. Selanjutnya, keputusan tentang perempuan yang dipilih sebagai pejabat

gerejawi tetap dipertahankan bahkan semakin ditekankan. Hal tersebut dapat dilihat

pada pengurapan Ester Sumandak, Sm.Th menjadi pendeta perempuan pertama di

GTM tidak lama setelah pelaksanaan SSA XIV (Manggeng 2007, 33-34).
77

SSA XV GTM (Mambi 20-27 Juni 1996) kembali memilih Pdt.Zakaria Sude

S.Th sebagai ketua sinode. Beberapa agenda penting yang dibahas dalam

persidangan ini adalah penataan ulang hubungan GTM dan CGK, usul penghapusan

37 pengakuan iman Gereformeerd, perubahan komposisi (Badan Pekerja Harian

Sinode (BPHS), larangan pendeta tidak boleh menjabat bendahara sinode,

rekomendasi untuk Gereja Protestan Sulawesi Selatan (GPSS), dan pendeta yang

beralih tugas. Dalam hal penataan ulang hubungan GTM dan gereja mitra, GTM

diminta untuk tidak terlalu bergantung pada gereja mitra. Adapun bantuan

keuangan dalam bentuk bantuan biaya rutin diubah menjadi bantuan biaya

program. Selanjutnya, usulan untuk menghapus pencantuman 37 pasal Pengakuan

Iman Gereformeerd dalam pasal “Pengakuan” pada PD GTM, tetapi tidak diindahkan

dengan pertimbangan GTM harus memelihara hubungan baik dengan gereja mitra

dan dengan gereja-gereja yang seasas dengan gereja mitra di luar negeri (Manggeng

2007, 34).

Persidangan SSA XVI GTM (Sumarorong, 20-27 Juni 2001) memilih

Pdt.Adam Doda S.Th sebagai ketua sinode. Adapun keputusan yang diambil adalah

pertama, penghapusan wilayah dari kelembagaan GTM. Sebelumnya kelembagaan

GTM adalah sinode yang dibagi dalam wilayah, klasis, dan jemaat, namun dalam

persidangan ini lingkup wilayah dihapuskan. Kedua, penghapusan 37 pasal

Pengakuan Iman Gereformerd dalam pasal “Pengakuan” pada TD GTM. Ketiga,

perubahan mekanisme dari pemanggilan pendeta menjadi pengurapan dan

pengutusan pendeta (Manggeng 2007, 34).


78

Persidangan SSA XVII GTM (Polewali 11–16 Juli 2006) memilih

Pdt.U.S.K.Wijayaputra,S.Th sebagai ketua sinode. Salah satu agenda pembahasan

yang signifikan adalah tindaklanjut dari penghapusan wilayah dari kelembagaan

GTM. Jika sebelumnya, peserta SSA adalah wakil dari wilayah maka persidangan ini

peserta lebih banyak karena yang hadir adalah peserta dari klasis-klasis se GTM.

(Manggeng 2007, 36).

Persidangan sinode GTM yang terakhir dilaksanakan adalah SSA XVIII GTM

pada 20-26 Juli 2011 di Le’beng Mamuju dan memilih Pdt.Hengky Gunawan sebagai

ketua BPMS GTM (Pangloli t.t., 1).

3. Sejarah Peraturan Gereja GTM

Pada bagian ini, penulis akan mengemukakan sejarah peraturan gereja GTM.

Pertama-tama, penulis melakukan wawancara tertulis dengan lima orang pendeta

GTM. Kemudian, penulis akan menguraikan beberapa peraturan gereja GTM yakni

peraturan/tata gereja tahun 1986, 1991, 1996, 2001, dan 2011, khususnya mengenai

pernikahan dan tertib gerejawi.

3.1. Informasi tentang Perkembangan Peraturan Gereja


GTM

Untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan peraturan gereja

GTM, penulis melakukan wawancara tertulis kepada lima orang pendeta GTM yaitu
79

Pdt.Papa Pangloli27, Pdt.Untung Sudarsono Karta Wijayaputra28 (disingkat

Pdt.U.S.K. Wijayaputra), Pdt.Marthen Manggeng29, Pdt.Yosphina Lita30, dan

Pdt.Yusuf Arta.31

Dari wawancara ini penulis memperoleh informasi, bahwa mereka telah

mengikuti SSA minimal tiga kali. Namun sebagian besar dari mereka tidak tahu

kapan pastinya GTM memutuskan peraturan gereja GTM yang pertama. Pdt.Papa

Pangloli mengatakan, ia tidak tahu pasti kapan diputuskan peraturan gereja GTM

yang pertama, namun ia menduga nama peraturan gereja GTM yang pertama adalah

hukum gereja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena zending CGK yang melakukan

PI di Mamasa menggunakan tata gereja Dordrecht di Belanda. Tata gereja ini sangat

singkat dan sederhana serta hanya memuat aturan-aturan operasional dalam

melaksanakan tanggung jawab pelayanan di Mamasa sehingga tidak menjadi

sesuatu yang urgen untuk membuat sebuah tata gereja yang definitif. Setiap

Papa Pangloli diurapi menjadi Pendeta GTM pada 9 Juli 1972 di GTM jemaat
27

Ebenhaezer. Meskipun telah diemeritasi, ia tetap mengabdi di STT Mamasa sebagai dosen. Ia
mulai menghadiri SSA VII GTM tahun 1971 dan ketika itu ia berstatus sebagai
proponen/vikaris GTM.
28U.S.K.Wijayaputra diurapi menjadi Pendeta GTM pada 5 Desember 1985 di GTM
jemaat Muzafir Lantora. Saat ini melayani sebagai pendeta tenaga utusan gerejawi di PGIW
SulSelBaRa sebagai ketua umum. Ia mulai menghadiri SSA XII GTM tahun 1986 di klasis
Makassar.
29 Marthen Manggeng diurapi menjadi Pendeta GTM pada 21 April 2001. Saat ini
melayani sebagai Staf bidang Pusat Penelitian, Pengembangan dan Pelatihan di BPMS GTM.
Ia mulai menghadiri SSA XIV GTM tahun 1991 di Nosu sebagai notulis.
30Yosphina Lita diurapi menjadi Pendeta GTM pada 31 Oktober 1995. Saat ini
melayani sebagai Pendeta GTM yang melayani jemaat Jordan klasis Makassar. Ia mulai
menghadiri SSA XV GTM tahun 1996 di Mambi.
31 Yusuf Arta diurapi menjadi Pendeta GTM pada 27 Oktober 1997. Saat ini melayani
sebagai Sekretaris Umum GTM 2011-2016. Ia mulai menghadiri SSA XV GTM tahun 1996 di
Mambi.
80

keputusan yang diambil selalu disusun dalam usulan-usulan, bukan peraturan yang

definitif.

Informasi tentang perubahan/pembaruan peraturan gereja GTM bervariasi.

Menurut Pdt.U.S.K.Wijayaputra, sampai SSA XV tahun 2001 GTM menggunakan

istilah Peraturan Gereja GTM, tahun 2001-2011 menggunakan istilah Anggaran

Dasar dan Anggaran Rumah Tangga GTM, tahun 2011 sampai sekarang

menggunakan istilah Peraturan Gereja yang terdiri dari Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga. Menurut Pdt.Marthen Manggeng, tahun 1986

kemungkinan besar GTM pertama kali menggunakan nama Peraturan Dasar, tahun

2001 istilah tersebut diubah menjadi Tata Dasar. Menurut Pdt.Yosphina Lita, tahun

1991-2001 istilah yang digunakan adalah Tata Gereja, dan tahun 2001-2011 istilah

yang digunakan adalah Peraturan Gereja. Sedangkan pendapat Pdt.Yusuf Arta,

tahun 1996 istilah Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga berubah menjadi Peraturan

Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM. Tahun 2011 Peraturan Dasar dan

Peraturan Rumah Tangga berubah kembali menjadi Tata Dasar dan Tata Rumah

Tangga GTM. Setelah penulis melakukan penelusuran atas keputusan-keputusan

SSA GTM dari 1996 hingga 2011, penulis menyimpulkan bahwa pendapat Pdt.Yusuf

Arta-lah yang sesuai dengan keputusan-keputusan tersebut.

Mengenai kepemilikan buku peraturan gereja GTM, para informan juga

mempunyai jawaban yang beragam. Ada yang mengatakan, buku peraturan

miliknya belum ditemukan karena sibuk menjadi dosen di STT Mamasa

(Pdt.P.Pangloli), ada yang mengatakan dulu buku-buku itu ada tetapi setelah
81

mengalami perpindahan tempat tinggal, penempatan buku-buku itu tidak jelas lagi

(Pdt.Yosphina Lita). Pdt. U.S.K.Wijayaputra hanya memegang buku peraturan gereja

GTM 2011, dan Pdt.Marthen Manggeng serta Pdt.Yusuf Arta memiliki dua buku

peraturan yakni tahun 2001 dan tahun 2011. Dari uraian di atas, penulis menemukan

tiga pokok penting yakni pertama, peraturan gereja yang diputuskan dalam sinode

awalnya termasuk dalam keputusan-keputusan yang terikat satu sama lain dan

tidak menjadi sebuah peraturan yang definitif; kedua, informan tidak memiliki

pandangan yang sama tentang peraturan gereja GTM; dan ketiga, informan tidak

melihat peraturan gereja GTM sebagai buku penunjang yang signifikan dalam

menunjang pelayanan di GTM.

Pendapat para informan mengenai perkembangan peraturan GTM

khususnya pernikahan juga beragam. Dua orang pendeta (Pdt.Papa Pangloli dan

Pdt.Yosphina Lita) tidak mengetahui tentang perkembangan tersebut.

Pdt.U.S.K.Wijayaputra mengatakan, bahwa prinsip dasar (doktrin) tentang

pernikahan tidak mengalami perubahan prinsipil, yang berubah hanyalah soal tata

cara. Pdt.Marthen Manggeng berpendapat, keputusan SSA tahun 2001 menguraikan

tentang peran majelis jemaat yang menentukan bermasalah tidaknya suatu calon

pasangan yang akan menikah. Sebelum keputusan SSA ini, wewenang ini

sepenuhnya diserahkan kepada pendeta jemaat. Pdt.Yusuf Arta mengatakan

sebelum SSA 2011, jika seseorang yang cerai bukan karena alasan zinah, pelayanan

yang diberikan kepadanya hanya peneguhan nikah saja tanpa pemberkatan. Setelah

SSA tahun 2011 setiap pasangan nikah yang selesai masalahnya, termasuk seseorang
82

yang menceraikan suami atau istrinya, dapat menerima pelayanan peneguhan dan

pemberkatan nikah.

Pendapat para informan mengenai perkembangan peraturan GTM

khususnya tertib gereja juga beragam. Tiga orang pendeta sama sekali tidak tahu

tentang perkembangan tersebut. Satu orang yang mengatakan, bahwa di bawah

tahun 1980-an tertib gerejawi lebih banyak dipahami sebagai siasat. Siasat dianggap

sebagai hukuman kepada seseorang atas pelanggaran yang dibuatnya. Satu orang

lagi mengatakan, bahwa sampai tahun 2001 istilah yang digunakan adalah siasat

gerejawi, setelah itu istilahnya diganti dengan tertib gerejawi.

Ketika penulis menanyakan tentang pengetahuan kelima pendeta ini tentang

perkembangan peraturan GTM mengenai pengakuan dosa dalam peraturan

pernikahan, dua orang pendeta menjawab tidak tahu. Satu orang yang menjawab,

bahwa sebelumnya peraturan sangat ketat diberlakukan kepada orang yang jatuh

dalam dosa (terutama dosa seksual) yakni ia akan dikenakan tertib gerejawi (pernah

disebut siasat). Ketika orang tersebut bertobat, ia akan diorakkan melalui pengakuan

dosa dalam ibadah jemaat. Sekarang teknis pengakuan dosa diserahkan kepada

pengaturan majelis jemaat setempat. Ada pula seorang pendeta yang berpandangan,

bahwa periode sebelum tahun 2001, pengakuan dosa terkait soal nikah dan dosa lain

dilakukan oleh orang yang melakukan pelanggaran dengan cara berdiri di depan

warga jemaat saat kebaktian hari minggu. Setelah tahun 2001, pengakuan dosa dapat

dilakukan di depan warga jemaat atau di hadapan majelis jemaat. Pendapat dari

Pdt.Yusuf Arta berbeda dengan pendapat informan sebelumnya. Ia menyatakan,


83

bahwa keberagaman pemberlakuan akta pengakuan dosa ditentukan oleh wilayah

masing-masing. Warga jemaat yang berasal dari wilayah lembang Mamasa sangat

jarang yang mau menyampaikan pengakuan dosanya di hadapan warga jemaat.

Berbeda dengan warga jemaat dari wilayah Pitu Ulunna Salu yang justru meminta

kepada majelis jemaat agar mereka diberi kesempatan oleh majelis jemaat untuk

mengaku dosanya di hadapan warga jemaat.

Dari informasi beberapa pendeta, penulis menyimpulkan bahwa pendeta

GTM sendiri memiliki pemahaman yang beragam tentang peraturan gereja GTM

khususnya peraturan tentang pernikahan dan peraturan tentang tertib gerejawi.

Tentu saja hal ini berimbas pada pemahaman warga jemaat yang juga bervariasi

terhadap perkembangan dari peraturan gereja GTM itu.

3.2. Peraturan Gereja GTM Tahun 1986, 1991, 1996,


2001, dan 2011

3.2.1. Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga Tahun 1986

Dalam keputusan SSA XIII no:7 di Ujung Pandang (sekarang Makassar)

tanggal 6–12 Juli 1986, salah satu hal yang diputuskan adalah mengenai “Tata Dasar

dan Tata Rumah Tangga tahun 1986” (Keputusan SSA XIII GTM 1986, 1).

TRT GTM yang mengatur tentang pernikahan diatur dalam bab II tentang

“Pelaksanaan Tugas dan Panggilan Jemaat” khususnya pasal 3 “Membangun

Persekutuan.” Peraturan mengenai pernikahan dalam TRT masih sangat sederhana

karena pengaturannya hanya berisi syarat-syarat pelaksanaan pernikahan oleh

pendeta di dalam ibadah jemaat, yakni anggota jemaat yang dilayani adalah anggota
84

sidi/baptis dewasa, belum pernah menikah, atau diceraikan karena suami atau

istrinya berzinah; atau suami atau istrinya meninggal dunia. Pernikahan dilakukan

setelah catatan sipil berdasarkan UU Pernikahan (Keputusan SSA XIII GTM 1986,

15).

TRT GTM yang mengatur tentang tertib gerejawi ditemukan dalam bab

terpisah yakni bab IX mengenai “Tertib Gerejawi”. Pada bab ini terdapat enam pasal

yang mengatur tentang tertib gerejawi yakni perlunya tertib gerejawi (pasal 23),

hakikat dan tujuan tertib gerejawi (pasal 24), dosa-dosa yang membuat warga jemaat

dikenai tertib gerejawi (pasal 25), cara-cara pelaksanaan tertib gerejawi (pasal 26),

pengucilan (pasal 27), penerimaan anggota yang dikucilkan (pasal 28), dan pejabat

gerejawi yang dikenakan tertib gerejawi (pasal 29) (Keputusan SSA XIII GTM 1986,

22-23).

3.2.1. Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga Tahun 1991

SSA XIV GTM dilaksanakan di Nosu wilayah Tandalangan pada 27 Juni–4

Juli 1991. Keputusan tentang Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga GTM tahun 1991

ditetapkan dalam Keputusan no:12/Sid.Am/GTM/1991 (Keputusan SSA XIV GTM

1991,1-2).

Aturan tentang pernikahan diatur dalam bab II yaitu “Pelaksanaan Tugas

dan Panggilan Jemaat” khususnya pasal 3 yakni “Membangun Persekutuan” dalam

butir 3 mengenai “Pernikahan.” Pada dasarnya, aturan tentang pernikahan dalam

TD TRT GTM 1991 tidak mengalami perubahan yang prinsipil dari TD TRT GTM

sebelumnya yakni tahun 1986 (Keputusan SSA XIV GTM 1991,1-2). Demikian pula
85

aturan mengenai tertib gerejawi yang diatur dalam bab IX pasal 23-29 juga tidak

mengalami perubahan yang mendasar atau masih sama seperti aturan dalam TD

TRT GTM 1986 (Keputusan SSA XIV GTM 1991,11-12).

3.2.3. Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga Tahun 1996

Peraturan gereja GTM tahun 1996 diputuskan dalam SSA XV GTM di Mambi

(20-27 Juni 1996) melalui SK no : 11/Sid.Am/XV/GTM/1996 dengan sebutan

“Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM tahun 1996.” Dalam

konsideran diketahui, bahwa komisi yang membahas peraturan ini adalah komisi

tata dasar dan tata rumah tangga SSA XV GTM. Selain itu juga, dalam konsideran

dikemukakan, bahwa TD dan TRT GTM XIV di Nosu tahun 1991 tidak berlaku lagi.

Terjadi perubahan nama dari “Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga GTM” tahun

1991 menjadi “Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM tahun 1996.”

Adapun alasan perubahan nama tersebut tidak dicantumkan secara eksplisit dalam

keputusan tersebut kecuali atas pertimbangan dan usul-usul yang masuk dari

wilayah-wilayah GTM (Keputusan SSA XV GTM 1996, 39).

Berkenaan dengan pemberkatan nikah dan tertib gerejawi, keduanya diatur

dalam TRT GTM tahun 1996 bab I yang berjudul “Membangun Persekutuan.”

Khusus pernikahan ditemukan dalam pasal 1 “Membangun Persekutuan” butir 5

yaitu “menyelenggarakan pemberkatan nikah,” sedangkan tertib gerejawi

ditemukan dalam pasal 1 butir 8 mengenai “Menyelenggarakan Penggembalaan”

(Keputusan SSA XV GTM 1996, 64-68).


86

Di dalam pasal 1 butir 5 tentang pemberkatan nikah dimuat dua hal yaitu

pertama, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pasangan yang akan diberkati

nikahnya; dan kedua, prosedur yang harus ditempuh hingga pemberkatan nikah

dapat berlangsung.

Syarat-syarat itu adalah anggota sidi atau baptis dewasa yang tidak dikenai

tertib gerejawi, baru pertama kali menikah, suami atau istri sebelumnya telah

meninggal dunia, dan karena diceraikan oleh suami atau istrinya yang berzinah

(Keputusan SSA XV GTM 1996, 64). Sebelum dilaksanakan pemberkatan nikah,

pasangan nikah melakukan percakapan pastoral32 dengan majelis gereja. Percakapan

itu meliputi kelengkapan data-data pribadi33 pasangan, pemahaman tentang prinsip

dasar pernikahan Kristen, dan masalah-masalah lain yang dianggap perlu. Bagi

pasangan yang baru masuk Kristen, percakapan pastoral mereka lebih panjang dan

mendalam karena membahas juga mengenai pemahaman tentang prinsip-prinsip

iman Kristen (Keputusan SSA XV GTM 1996, 65). Ada pula satu butir tambahan

yang ditulis dalam pasal ini yaitu kedua calon mempelai sekeyakinan sebagai orang

yang percaya kepada Yesus Kristus. Menurut penjelasan PRT GTM tahun 1996,

sekeyakinan berarti berasal dari gereja yang sepengakuan (Keputusan SSA XV GTM

1996, 98).

32 Percakapan pastoral diarahkan kepada sasaran yakni agar rumah tangga itu
nantinya akan utuh dan kekal sesuai pemahaman iman Kristen (Keputusan SSA XV GTM
1996, 97)
33 Data-data pribadi yang dimaksud meliputi nama, tempat tanggal lahir, surat
keterangan dari majelis asal, surat keterangan komandan bagi yang berasal dari ABRI, surat
imunisasi, dan surat keterangan lainnya (Keputusan SSA XV GTM 1996, 97).
87

Pelaksanaan atau prosedur yang harus ditempuh oleh pasangan nikah,

sebagaimana yang diatur dalam pasal ini, adalah mereka mengajukan permohonan

kepada majelis gereja, setelah itu rencana pemberkatan nikah diumumkan dua hari

minggu berturut-turut, dan jika tidak ada keberatan yang sah, maka majelis gereja

dapat melaksanakan pemberkatan nikah sesuai dengan liturgi dan formulir nikah

yang telah ditetapkan oleh SSA GTM XV (Keputusan SSA XV GTM 1996, 65).

Yang menarik dari peraturan ini adalah mengenai tertib gerejawi. Berbeda

dengan TD dan TRT sebelumnya di mana tertib gerejawi diatur terpisah dari bab

yang mengatur tentang penggembalaan, dalam PD dan PRT GTM ini dituliskan,

bahwa tertib gerejawi termasuk dalam bentuk-bentuk penggembalaan dan

penggembalaan termasuk dalam bab I mengenai “Membangun Persekutuan”. Dalam

butir ini, yang berjudul “Menyelenggarakan Penggembalaan,” diatur tentang dua

hal yakni definisi penggembalaan dan bentuk-bentuk penggembalaan (Keputusan

SSA XV GTM 1996, 66).

Penggembalaan didefinisikan sebagai tugas panggilan gereja yang dilakukan

dalam kasih untuk membimbing, menghibur, mengingatkan, dan menguatkan

anggota-anggotanya agar mereka sebagai orang beriman mewujudkan kehidupan

yang sesuai Firman Tuhan (Keputusan SSA XV GTM 1996, 66).

Bentuk-bentuk penggembalaan terdiri dari tiga bagian yakni penggembalaan

umum, penggembalaan khusus, dan tertib gerejawi. Penggembalaan umum

dilakukan oleh majelis gereja melalui khotbah, perkunjungan, percakapan pastoral,

dan pertemuan-pertemuan lainnya, agar anggota jemaat dapat mewujudkan


88

kehidupan sehari-hari (Keputusan SSA XV GTM 1996, 66). Penggembalaan khusus

terdiri dari penggembalaan bagi calon baptis, calon sidi, calon nikah, orang sakit,

orang jompo, dan calon pejabat gereja (Keputusan SSA XV GTM 1996, 66). Tertib

gerejawi juga dijelaskan dalam butir ini di mana dikatakan, bahwa atas perintah

Kristus Kepala Gereja, majelis gereja dengan penuh kasih sayang melaksanakan

tertib gerejawi yang bersifat rohani mengenai kepercayaan dan hidup anggota-

anggota jemaat (Keputusan SSA XV GTM 1996, 66). Hal itu menegaskan, bahwa

tertib gerejawi bukanlah hukuman tetapi tertib gerejawi merupakan bagian dari

penggembalaan. Tertib gerejawi dikenakan kepada orang-orang yang melawan

kesucian firman Tuhan dan pengajaran gereja yang telah diketahui oleh beberapa

orang atau pelanggaran yang telah diketahui oleh umum sehingga menjadi batu

sandungan dalam gereja dan masyarakat (Keputusan SSA XV GTM 1996, 67).

Selanjutnya tertib gerejawi ini memuat tentang hakikat dan tujuan tertib gerejawi,

pelaksanaan tertib gerejawi sesuai Matius 18:15-19, pengucilan, penerimaan kembali

anggota yang dikucilkan, pejabat gereja yang diberhentikan dari jabatannya, dan

pejabat gereja yang dikenai tertib gerejawi (Keputusan SSA XV GTM 1996, 67-68).

Secara khusus pengakuan dosa dalam tertib gerejawi dibagi dalam dua cara, yakni

pertama, jika dosa seseorang hanya diketahui oleh majelis gereja maka

pengakuannya hanya disaksikan oleh majelis gereja; dan kedua, jika dosanya telah

diketahui umum, pengakuannya perlu disaksikan oleh warga jemaat (Keputusan

SSA XV GTM 1996, 98). Adapun alasan pengakuan dosa yang dibagi dalam kedua

cara ini tidak dikemukakan secara terperinci.


89

3.2.4. Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga Tahun 2001

Dalam SSA XVI GTM yang berlangsung di Sumarorong diputuskan tentang

peraturan resmi yang berlaku dalam GTM melalui Keputusan SSA XVI GTM

no:14/SS-GTM-XVI/2001 (PD dan PRT GTM 2001, 1). Peraturan itu disebut Peraturan

Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM 2001. Di dalam buku ini, terdapat tiga

bahagian besar yaitu Peraturan GTM (Pembukaan), Peraturan Dasar yang terdiri

dari 8 bab 14 pasal, Peraturan Rumah Tangga terdiri dari 9 bab dan 45 pasal. Di

bagian lain buku ini terdapat pula penjelasan PD dan PRT GTM dan penjelasan

mengenai pembukaan termasuk di dalam penjelasan PD (PD dan PRT GTM 2001, 2-

56).

Bab I “Bentuk Pelayanan” pasal 7 memuat tentang pemberkatan nikah. Ada

enam butir mengenai pemberkatan nikah yakni :

1. Pemberkatan nikah adalah bentuk pelayanan gereja untuk meneguhkan warga


jemaat secara rohani (Kej 1:28)
2. Pemberkatan nikah dilakukan terhadap perkawinan yang tidak bermasalah
3. Pemberkatan nikah dilaksanakan dalam kebaktian jemaat yang dilayani oleh Pendeta
berdasarkan formulir yang dirumuskan dalam pedoman pelaksanaan jemaat
4. Bagi perkawinan yang bermasalah dilakukan pelayanan khusus sesuai keputusan
majelis jemaat
5. Sebuah perkawinan dianggap bermasalah atau tidak tergantung pada penilaian
majelis jemaat
6. Sebelum perkawinan dilayani, majelis jemaat terlebih dahulu melaksanakan
pelayanan pastoral kepada calon pengantin (PD dan PRT GTM 2001, 16).

Dari keenam butir ini tidak ada rujukan dalam penjelasan yang dapat

menjelaskan kalimat-kalimat yang terdapat dalam pasal di atas. Hal ini dapat

berakibat pada munculnya sejumlah pertanyaan dari para pembaca peraturan ini.

Contohnya, butir 4 dikatakan, ”Bagi perkawinan yang bermasalah dilakukan

pelayanan khusus sesuai keputusan majelis jemaat.” Kalimat ini tidak mendapat
90

penjelasan tentang apakah yang dimaksud dengan perkawinan bermasalah dan

apakah yang dimaksud dengan pelayanan khusus; bagaimanakah bentuk-bentuk

dari pelayanan khusus itu? Apakah pelayanan khusus berbeda dengan

penggembalaan khusus? Hal ini perlu mendapat penjelasan. Sayangnya, penjelasan

tentang butir tersebut tidak ditemukan dalam PD dan PRT ini.

Tertib gerejawi diatur dalam bab IV. Ada lima pasal yang mengatur tentang

pokok ini yaitu hakikat tertib gerejawi (pasal 22), tujuan tertib gerejawi (pasal 23),

bentuk tertib gerejawi (pasal 24), pelaksanaan tertib gerejawi (pasal 25), dan tertib

gerejawi bagi pejabat gereja (pasal 26) (PD dan PRT GTM 2001, 30-33).

Secara keseluruhan PD dan PRT GTM tahun 2001-2006 ini, meskipun di

dalamnya terdapat banyak kekurangan yang harus diperbaiki, tetap dipertahankan

dalam SSA XVII GTM di Lantora (11-16 Juli 2006) melalui keputusan

no:11/SSA.XVII-GTM/2006. Keputusan itu menetapkan, bahwa PD PRT GTM tahun

2001 tetap dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan untuk tahun 2006-2011

hingga SSA XVIII GTM 2011 memutuskan peraturan gereja GTM yang baru

(Keputusan SSA XVII GTM 2006, 36).

3.2.5. Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga Tahun 2011

Salah satu keputusan yang diambil oleh GTM dalam SSA XVIII 20-26 Juli

2011 di Le’beng klasis Pesisir Mamuju Propinsi Sulawesi Barat adalah “Perubahan

Naskah Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM periode 2006-2011”

menjadi “Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga Gereja Toraja Mamasa 2011-2016”

(Keputusan SSA XVIII GTM 2011, 51). Meskipun terjadi perubahan nama namun
91

dalam konsideran ini, terdapat keputusan tambahan yang menghubungkan TD dan

TRT GTM tahun 2011 dengan PD dan PRT GTM tahun 2006.34 Keputusan tersebut

mencakup ketetapan-ketetapan terkait pokok-pokok yang masih disempurnakan

yaitu pernikahan, tertib gerejawi, dan kependetaan dalam TD dan TRT GTM 2006-

2011, maka pelaksanaan pelayanan di jemaat, klasis, dan sinode GTM masih

mengacu pada PD dan PRT GTM 2006-2011 (Keputusan SSA XVIII GTM 2011, 52).

Ketetapan tersebut dapat menimbulkan polemik. Bagaimana jika peraturan

mengenai pernikahan, tertib gerejawi, dan kependetaan di PD PRT 2006-2011

berbeda atau bertolak belakang dengan TD TRT GTM 2011-2016? Peraturan

manakah yang akan lebih diprioritaskan?

TRT GTM tahun 2011 terdiri dari 12 bab dan pernikahan termasuk dalam bab

I mengenai penyelenggaraan tugas panggilan. Penyelenggaraan tugas panggilan

selengkapnya meliputi kebaktian (pasal 1), hari raya gerejawi (pasal 2), hari raya

gerejawi (pasal 3), hari raya khusus gerejawi (pasal 4), penggembalaan (pasal 5),

sakramen baptisan dan perjamuan kudus (pasal 6), peneguhan sidi (pasal 7),

pernikahan (pasal 8), pengurapan dan peneguhan pendeta (pasal 9), peneguhan

penatua dan syamas (pasal 10), persembahan (pasal 11), kesaksian dan pelayanan

kasih (pasal 12) (TD dan TRT GTM 2011, 19-29). Jika kita memperhatikan 12 pasal

dalam TRT GTM tahun 2011 ini, tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang

tertib gerejawi dalam bab ini. Pasal yang mengatur tentang tertib gerejawi justru

34Telah dikemukakan di bagian sebelumnya bahwa PD PRT GTM tahun 2006-2011


merupakan produk lama yang masih tetap dipertahankan yakni PD dan PRT GTM produk
SSA XVI GTM tahun 2001 di Sumarorong.
92

diletakkan terpisah dari bab I. Tertib gerejawi tidak termasuk dalam

penyelenggaraan tugas panggilan dan juga tidak termasuk dalam penggembalaan.35

Tertib gerejawi justru diatur terpisah dalam bab VI. Bab VI dibagi dalam enam pasal

yaitu hakikat tertib gerejawi (pasal 21), tujuan tertib gerejawi (pasal 22), bentuk tertib

gerejawi (pasal 23), pelaksanaan tertib gerejawi (pasal 24), tertib gerejawi bagi

anggota baptis (pasal 25), dan tertib gerejawi bagi pejabat gerejawi (pasal 26) (TD

dan TRT GTM 2011, 43-47).

Dalam bab I pada pasal 8 mengenai “Pernikahan” terdiri dari 10 butir.

Terdapat istilah baru yang dimunculkan, yaitu istilah “Pemberkatan Nikah”

dilengkapi menjadi “Peneguhan dan Pemberkatan Nikah.” Dalam pasal ini juga

dikemukakan definisi dari pernikahan Kristen yaitu perjanjian yang kudus dan

bersifat permanen antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah sidi

untuk hidup bersama sebagai suami-istri. Juga terdapat prosedur yang harus dilalui

oleh calon pasangan yang meminta untuk mendapatkan pelayanan dan

pemberkatan nikah. Dalam pasal ini terdapat penjelasan dari “selesainya masalah”

bagi calon itu yakni jika identitas calon terjamin secara hukum, tidak dikenai tertib

gerejawi, dan telah mendapat restu orangtua. Hal baru dalam pasal ini yang

tumpang tindih dengan uraian sebelumnya adalah “bagi calon pasangan nikah yang

sudah hidup bersama sebagai suami-istri sebelum nikah dapat diberkati setelah

melalui proses pastoral dan yang bersangkutan melakukan pengakuan dosa”.

Namun demikian, uraian secara terperinci dari pasal ini tidak akan diuraikan dalam

Hal ini tentu saja berbeda dengan PD PRT GTM tahun 1996 di mana tertib gerejawi
35

dimasukkan dalam penggembalaan (Keputusan SSA XV GTM 1996, 66).


93

bab ini namun akan diuraikan dalam bab selanjutnya dari karya tulis ini. Penulis

lebih dalam akan melakukan analisis hukum gerejawi khususnya pembukaan dan

pasal-pasal yang mengatur tentang pernikahan dan tentang tertib gerejawi.

Setelah menelusuri kelima peraturan/tata gereja GTM dapat disimpulkan,

bahwa perubahan istilah dari TD dan TRT GTM menjadi PD dan PRT GTM terjadi

dua kali. Pada tahun 1986 dan 1991, GTM masih menggunakan TD dan TRT GTM

namun pada tahun 1996 hingga 2006, TD dan TRT GTM diubah kembali menjadi PD

dan PRT GTM. Tahun 2011, PD dan PRT GTM berubah lagi menjadi TD dan TRT

GTM. Sayangnya, alasan perubahan ini tidak dikemukakan secara terperinci.

Masalah pernikahan pada dasarnya tidak mengalami perubahan prinsipil

kecuali pelayanan pastoral bagi pasangan nikah menjadi hal yang sangat penting

untuk dilakukan. Demikian pula peneguhan dan pemberkatan nikah merupakan

dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Peraturan mengenai tertib gerejawi belum dipahami sebagai bagian dari

penggembalaan karena diatur terpisah dari pasal yang mengatur tentang

penggembalaan itu sendiri.

4. Kesimpulan

Sejarah berdirinya GTM diawali dengan usaha pekabaran Injil oleh

Protestantse Kerk in Nederlands-Indië disingkat Indische Kerk dan dilanjutkan oleh

Christelijke Gereformeerde Kerk (CGK) dengan membentuk komisi Pekabaran Injil

(Zendingscommissie) yang selanjutnya diambil alih oleh Deputaten voor de Buitenladse

Zending (Deputaten ZCGK).


94

Badan zending ZCGK dan GZB berupaya untuk menyatukan gereja di Tana

Toraja dengan gereja di Toraja Barat namun gagal karena wilayah geografis dan

regional serta bahasa yang berbeda.

Voorlopige Synode (Proto Sinode) II tanggal 7 Juni 1947 menjadi peletakan

dasar sejarah berdirinya Gereja Toraja Mamasa sebagai gereja mandiri. Meskipun

demikian, dalam melaksanakan tugas panggilan dan pelayanannya, GTM belum

memiliki tata gereja yang definitif. GTM masih mengadopsi peraturan dari

Christelijke Gereformeerde Kerk (CGK) di mana CGK masih menggunakan tata gereja

Dordrecht.

Dalam sidang proto sinode I dan II, keputusan-keputusan yang dihasilkan

lebih kepada peraturan pelayanan yang operasional sehingga hakikat dari tata gereja

GTM yang memuat uraian teologis-eklesiologis tentang keberadaan GTM dan

misinya yang kontekstual tidak terpenuhi.

GTM telah melakukan sinode sebanyak 28 kali dan terakhir dilaksanakan

pada 20-26 Juli 2011 di Le’beng klasis Pesisir Mamuju Kab.Mamuju Propinsi

Sulawesi Barat.

Perkembangan peraturan gereja GTM dipahami secara beragam oleh

pendeta-pendeta GTM. Informasi ini diperoleh penulis saat mewawancarai lima

orang pendeta GTM. Hal ini berimplikasi pada pemahaman beragam pada anggota

jemaat biasa bahkan para pejabat gerejawi itu sendiri.

Peraturan-peraturan gereja GTM dari masa ke masa menunjukkan

perkembangan yang berarti. Contohnya dalam hal pernikahan. GTM memandang


95

pentingnya pastoral bagi calon pasangan nikah dan peneguhan dan pemberkatan

nikah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Hal yang baru ditemukan dalam pasal 8 TRT GTM tahun 2011 mengenai

pernikahan di mana pasangan nikah yang sebelumnya telah hidup sebagai suami-

istri harus mengaku dosa terlebih dulu sebelum diberkati. Hal ini kontraproduktif

dengan pasal yang sama dalam TRT GTM ini karena sebelumnya telah dikemukakan

bahwa pasangan nikah dapat dinikahkan jka tidak dikenai tertib gerejawi.

Pemahaman tentang tertib gerejawi sebagai salah satu bentuk

penggembalaan pernah diatur dalam PRT GTM tahun 1996. Namun setelah itu,

tertib gerejawi kemudian diatur terpisah, tidak lagi masuk dalam bentuk-bentuk

penggembalaan dan juga tidak termasuk dalam salah satu bentuk pelayanan gereja.

Anda mungkin juga menyukai