JKPTHJ Is s2 2015 2111010309 5 Peraturan Pernikahan Chapter2
JKPTHJ Is s2 2015 2111010309 5 Peraturan Pernikahan Chapter2
1. Pendahuluan
prinsip dasar untuk mengembangkan sebuah hukum gereja yang fungsional. Tiga
prinsip itu adalah; pertama, hukum gereja harus berlandaskan Firman Tuhan
sebagai “hukum dasar” bagi hukum gereja; kedua, hukum gereja harus
memperhitungkan secara penuh latar belakang dari gereja atau gereja-gereja yang
bersangkutan; dan ketiga, hukum gereja harus secara kontekstual berakar pada
situasi di mana gereja atau gereja-gereja itu berada (Purwanto t.t., 2). Mengacu pada
ketiga prinsip dasar inilah, penulis menguraikan satu persatu prinsip tersebut.
biblis mengenai pernikahan dan disiplin gerejawi, maka pada bab kedua ini penulis
akan menguraikan latar belakang historis GTM dan sejarah peraturan gereja GTM.
Melalui uraian ini, kita diharapkan dapat mengetahui sejarah GTM dan sejarah
Adapun latar belakang historis yang penulis akan uraikan terdiri dari dua
bagian, yakni pertama, sejarah GTM dan kedua, sejarah peraturan gereja GTM.
Untuk menggali latar belakang historis GTM ini, selain penelitian kepustakaan,
penulis juga melakukan wawancara tertulis dengan lima orang pendeta GTM.
Penulis memilih kelima informan ini karena beberapa alasan. Pertama, mereka
53
54
mereka terlibat dalam revisi peraturan gereja GTM; dan ketiga, dari kelima informan
ini terdapat dua orang pernah menjabat sebagai pengurus sinode GTM (Pdt.Papa
Pangloli dan Pdt.U.S.K.Wijaya Putra), dua orang yang sedang menjabat sebagai
BPMS dan staf BPMS GTM (Pdt.Yusuf Arta dan Pdt.Marthen Manggeng), dan satu
orang pendeta GTM yang pernah melayani GTM Jemaat Efrata, GTM Jemaat
mengangkat dua hal yang berkaitan dengan karya tulis penulis, yakni perihal tertib
oleh pasangan nikah yang telah hidup sebagai pasangan suami-istri sebelum mereka
2. Sejarah GTM
Tanggal 12 Oktober 2013 merupakan puncak acara 100 tahun Injil masuk
Lingkungan Hidup Ciptaan Allah” (PGI website 2014). Hal ini menjelaskan kepada
kita, bahwa pelita Injil telah menerangi Mamasa selama 100 tahun lamanya.
tulisan Th.van den End berjudul “Sumber-sumber Penting Zending tentang Sejarah
55
tulisan W.A.van der Klis yang berjudul “Datanglah Kerajaan-Mu: Lima puluh Tahun
kepada masyarakat Mamasa dan melakukan baptisan pertama kali di Mamasa dan
Messawa kepada delapan puluh orang (Van der Klis 2007, 22). Sebelumnya pada
tahun 1912, Kyftenbelt mengutus empat orang guru untuk melakukan pekabaran
Injil di Toraja Barat.18 Mereka adalah Daud Raranta, Azarja Sahetapy, Markus
Sahuleka, dan Abraham Sahulata (Van der Klis 2007, 13). Dalam melakukan PI,
Belanda disebut Protestantse Kerk in Nederlands-Indië atau biasa disingkat Indische Kerk
(Van der Klis 2007, 13). Jadi GPI-lah yang pertama kali melakukan Pekabaran Injil
(PI) di Mamasa.
Oleh karena relasi yang sangat erat antara Kyftenbelt dan pemerintah, sejak 3
Januari 1913 dibuka sekolah-sekolah di Mamasa, dan pada Maret 1913 sekolah-
sekolah itu kemudian memperoleh subsidi dari pemerintah (Van der Klis 2007, 22).
18 Istilah Toraja Barat tidak menunjuk pada nama resmi daerah atau suku bangsa.
Istilah ini adalah wilayah yang meliputi lembah Mamasa, Tandalangngan, Tandasau’, Pitu
Ulunna Salu (PUS), dan Galumpang (=Kalumpang). Sebagian besar istilah ini juga sering
disebut Kondosapata’ atau Mamasa namun Galumpang bukan bagian dari Kondosapata’.
Wilayah PI Toraja Barat meliputi baik wilayah Kondosapata’ maupun wilayah Galumpang
(Van der Klis 2007, v).
56
pendeta bantu19). Adapun pendeta bantu yang pernah bertugas di Mamasa sejak
Selain pendeta bantu, ada pula guru-guru sekolah yang merangkap guru
jemaat, salah satunya adalah Sem Bombong. Sem Bombong adalah orang Toraja
Barat yang pertama mengaku Kristen secara terbuka dan tegas. Disebut terbuka dan
tegas karena ia berani menentang tradisi dalam agama suku (aluk toyolo20) di
Mamasa. Tradisi itu adalah larangan makan nasi jika berlangsung upacara orang
mati (rambu solo’). Meskipun ada larangan tersebut, Sem Bombong justru berani
melanggar larangan itu dengan makan nasi pada upacara rambu solo’ untuk
Keberanian Sem membuat bapaknya mengutuk Sem. Ia lalu lari kepada guru di
Tawalian dan melalui pendeta bantu di Mamasa dan pendeta GPI di Makassar, ia
diutus untuk sekolah di STOVIL Kupang. Tahun 1927, ia lulus ujian STOVIL dan
lingkungan GPI. Sebagian besar dari mereka telah menamatkan pendidikan di lembaga
pendidikan calon utusan Injil atau pernah menjadi utusan Injil (Van der Klis 2007, 24).
20Kee Buijs menuliskan pendapat Nooy-Palm dan A.Mandadung untuk menjelaskan
tentang aluk toyolo. Nooy-Palm menginterpretasikan aluk toyolo sebagai kepercayaan
masyarakat pada zaman dahulu. A. Mandadung pun mendeskripsikan aluk toyolo sebagai
orang-orang yang percaya pada keberadaan para dewa, dewata, di atas di surga dan di bumi.
Mereka adalah penguasa yang menerima persembahan dan juga harus dihormati melalui
kepatuhan pada adat, dan yang berkaitan dengan seluruh bagian hidup sehari-hari (Buijs
1994, 36-37).
57
kembali ke Toraja Barat lalu menjadi guru di sana (Van der Klis 2007, 25). Keputusan
yang diambil Sem Bombong untuk masuk Kristen ditiru oleh banyak orang,
Meskipun makin banyak orang Mamasa yang menjadi Kristen, tugas pendeta
bantu tetap sangat berat. Van Dalen, pendeta bantu yang terakhir, sampai jatuh sakit
tantangan yang sangat berat. Tantangan itu berupa medan pelayanan yang sulit,
tidak baik, dan motivasi yang keliru dari orang–orang di Toraja Barat untuk menjadi
Kristen. Sebagian dari mereka beranggapan, bahwa tujuan mereka masuk agama
adat. Namun setelah mereka mengetahui, bahwa hal itu bukanlah kehendak
pemerintah dan pemuka adat, mereka pun kembali ke aluk toyolo (Van der Klis 2007,
24-26). Berkenaan dengan hal tersebut, Komisi Visi, Misi, dan Pokok-Pokok
sehingga Injil harus di-“steril”-kan dari kekafiran (Keputusan SSA XVIII GTM 2011,
144). Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa orang Toraja Barat
berkeputusan untuk meninggalkan agama Kristen dan kembali menganut aluk toyolo.
Mereka sulit meninggalkan agamanya karena kebiasaan, adat istiadat, dan budaya
58
mereka yang sangat kuat dan telah diwariskan secara turun-temurun. Melihat
izin daerah Mamasa sebagai hulppredikersafdeling (Van der Klis 2007, 24-26). Th.van
den End memberi informasi tambahan, bahwa sebetulnya ada rencana dari GPI
Balanipa dalam Afdeling Mandar, kepada GZB21 setelah GZB memiliki daya dan dana
yang cukup untuk menempati daerah-daerah tersebut namun pada akhirnya tahun
1928 ketiga Onderafdeeling itu justru diserahkan GPI kepada zending Christelijke
(calvinis) yang berdiri sejak 1834. CGK merupakan pecahan dari Nederlandse
Hervormde Kerk (NHK). Alasan terjadinya perpecahan itu antara lain; pertama, NHK
pemakaian nyanyian rohani dalam setiap ibadah jemaat (Van der Klis 2007, 27).
Salah seorang pendeta NHK (Hendrick de Cock) diskors pada tahun 1834 karena
tidak menggunakan nyanyian rohani dalam ibadah jemaat (Van der Klis 2007, 27).
Akibat dari peraturan NHK yang sangat kaku ini, banyak orang yang meninggalkan
NHK dan membentuk gereja baru yang bernama Christelijke Gereformeerde Kerk/CGK
(Van der Klis 2007, 27). Van den End menuliskan, bahwa CGK adalah kelompok
samping mazmur di dalam ibadah gereja (Van den End 2004, 5).
Generale Zendingkas (Kas Umum PI) dan Zendingscommissie (Komisi PI). Salah satu
Datanglah Kerajaan-Mu). Pada tahun 1919, komisi PI diambil alih oleh Deputaten
luar negeri. Deputaten ZCGK inilah yang mengambil alih daerah Mamasa dari GPI.
Meskipun awalnya GPI tidak setuju, pada akhirnya Badan Pengurus GPI
pada Desember 1927, Badan Pengurus GPI justru mengambil keputusan definitif
Deputaten ZCGK pada 26 Desember 1927 (Van der Klis 2007, 31).
Mamasa dan serah terima dengan GPI. Bikker dengan mengendarai kuda
menempuh perjalanan ke Mamasa dan tiba di Mamasa pada 21 Januari 1928. Selain
ZCGK, Badan Pengurus GPI juga mengutus G.C.A.A.van den Wijngaard, pendeta
60
GPI di Makassar, untuk menyelesaikan semua urusan serah terima dari GPI ke CGK
yang diwakili oleh ZCGK. Serah terima itu disebut “Memori Serah Terima.” Adapun
penyerahan tersebut meliputi daerah pelayanan (Afdeling Mandar dan Afdeling Pare-
pare), 30 sekolah, dan guru-guru. Semua tenaga GPI pindah ke CGK kecuali satu
pendeta pribumi yakni Z.Satumalei yang tetap bertahan dalam lingkup GPI (Van der
Selama masa kerja ZCGK di Mamasa, metode PI yang digunakan antara lain
pelayanan dan pembinaan (konferensi dan kursus) para guru, PI melalui khotbah,
percakapan dan diskusi, sekolah minggu dan katekisasi, buku dan majalah, paduan
suara dan musik bambu, kesehatan, dan lain sebagainya (Van der Klis 2007, 34-35).
relasi GPI dengan pemerintah sangat erat. Pemerintah sangat membantu pekerjaan
PI dalam bentuk dukungan dan subsidi kepada pendeta bantu, para guru, dan
tidak melihat adanya perbedaan antara gereja dan pemerintah (Van der Klis 2007,
diimplementasikan dalam hal pemberian izin kepada pendeta dan guru untuk
bekerja di PI, subsidi kepada para guru, dan sekolah-sekolah. Namun karena CGK
membawa misi calvinis, relasi gereja dan pemerintah berubah. Menurut CGK,
memiliki wewenang dan panggilan masing-masing (Van der Klis 2007, 50-51).
setelah itu mereka berdua menjelajahi seluruh daerah Mamasa. Selanjutnya Bikker
dan Geleijnse melakukan PI di dua resor yang berbeda menurut keputusan Sinode
Am CGK 1932. Bikker melayani resor atau pos Mamasa yang terdiri dari Mamasa,
Tandalangngan, dan Tandasau’ kemudian Geleijnse melayani resor atau pos PUS
yang terdiri dari Pitu Ulunna Salu (PUS), Galumpang, dan lembang-lembang22 di
dipindahkan dari resor PUS ke resor Mamasa (Van der Klis 2007, 52).
dihadiri oleh Bikker, dan dalam konferensi tersebut diusulkan pemberian nama bagi
jemaat-jemaat di Tana Toraja dan Toraja Barat yakni “Jemaat-jemaat Toraja Kristen
Protestan” (Van der Klis 2007, 68; band. van den End 2004, 606) namun nama
tersebut tidak disetujui oleh CGK. Menurut Sinode Am CGK tahun 1932, jemaat di
Toraja Barat adalah “anak dari CGK” karena lahir dari pekerjaan ZCGK (Van der
Klis 2007, 68). Bikker sangat menentang pendapat itu dan ia pun berkata:
“Gereja di Toraja Barat bukanlah bagian dari CGK di Belanda. CGK bukanlah ibu dari
Gereja di Toraja Barat. Bapa dan ibu dari gereja di Toraja Barat adalah Allah Tritunggal
sendiri. Saya tidak pernah mendengar tentang seorang yang mendapat nama
walinya!” (Van der Klis 2007, 68).
“Gereja Kristen di…(nama tempat),” tetapi CGK tidak menyetujui usulan Bikker
sehingga sekian lama nama untuk gereja Toraja Barat tidak jelas (Van der Klis 2007,
68).
gereja dan 19 tempat yang sedang dikerjakan. Gedung gereja yang pertama didirikan
terletak di Tawalian di mana Bikker melakukan peletakan batu pertama pada 16 Juni
1929 lalu ditahbiskan pada 7 Desember 1932 (Van der Klis 2007, 65-66). Demikian
Leraar (pendeta pribumi) tahun 1931 dengan alasan keuangan dan idealistis. Tenaga
pribumi lebih murah daripada tenaga pendeta utusan (alasan keuangan) dan ZCGK
terkendala pada soal kurikulum, pengajar, tempat kursus, dan soal gaji pendeta
pribumi yang harus dibayar oleh jemaat atau klasis pemanggil (Van der Klis 2007,
68-69).
jemaat-jemaat dimotivasi untuk dapat berdiri sendiri dan pendeta PI bersama guru-
guru mencari beberapa orang yang dianggap cocok untuk menjadi majelis jemaat
(penatua dan syamas). Sangat patriakhal karena mereka yang diusulkan menjadi
majelis jemaat hanya laki-laki. Sebelum dipilih menjadi majelis jemat, mereka
membahas tentang kemungkinan perempuan menjadi pejabat gereja. Hal ini menjadi
salah satu agenda pembahasan karena pertimbangan bahwa ada pula perempuan
dalam aluk toyolo. Sayangnya, Bikker bersikeras menolak usulan itu dengan
klasis seperti Sidang Klasis Mamasa di Mamasa (November 1931) dan Sidang Klasis
64
Galumpang (Desember 1937). Sedangkan klasis-klasis yang baru didirikan, ada tiga
yakni Klasis Pitu Ulunna Salu/PUS (1932), Klasis Tandalangngan (1935), dan Klasis
Tandasau’ (Oktober 1937) (Van der Klis 2007, 67). Dengan demikian, hingga tahun
1938 di Mamasa telah ada enam klasis yakni Klasis Osango, Klasis Mamasa, Klasis
Galumpang, Klasis PUS, Klasis Tandalangngan, dan Klasis Tandasau’ (Van der Klis
2007, 67).
Hubungan ZCGK dengan GZB sangat erat dan hal itu terbukti dengan
mempunyai keterkaitan yang sangat erat, keduanya setuju untuk membentuk satu
Gereja dari jemaat-jemaat di Tana Toraja dan di Toraja Barat dengan satu sinode,
satu tata gereja, satu sekolah teologia, dan lain-lain, kecuali satu terjemahan Alkitab
yang tidak dapat terpenuhi karena keduanya mempunyai bahasa yang berbeda (Van
der Klis 2007, 70). Pendapat van der Klis ini senada dengan van den End. Van den
End mengatakan, bahwa relasi yang dekat secara rohani terjalin antara GZB dan
mendirikan satu Gereja di kedua lapangan PI mereka, namun usaha ini tidak
Salah satu hasil perundingan penting antara GZB dan ZCGK adalah
peraturan perkawinan untuk orang Kristen pada 2 Oktober 1935. Peraturan itu
ditujukan bagi orang-orang Kristen yang berada di wilayah PI ZCGK dan GZB.
Peraturan itu terdiri dari tiga bab yaitu perihal peresmian pernikahan (bab 1);
tentang pemutusan ikatan perkawinan (bab 2); dan ketentuan peralihan (bab 3) (Van
65
den End 2004, 343-348). Dalam peraturan tersebut, tampak gambaran dominasi
pemerintah (zending) dalam peresmian pernikahan. Hal itu ditemukan dalam bab 1
di mana peresmian pernikahan dilakukan oleh kepala distrik dan bukan oleh
kendala. Hal itu terjadi ketika berlangsung musyawarah antara pengurus besar GZB
dengan Deputaten Zending CGK dan pekerja zending23 yang membahas tentang
jemaat untuk maju dan terlibat aktif. Namun Ds.Geleijnse (ZCGK) berkomentar,
belum saatnya peraturan gereja disusun karena jemaat-jemaat masih terlalu muda
dan tidak bisa dipaksakan untuk pakaian dewasa. Menanggapi perbedaan pendapat
antara lain akan diciptakan satu peraturan gereja untuk kedua daerah zending,
pengakuan iman gereja-gereja (yang dapat ditemukan dalam ketiga pasal keesaan),
23 Deputaten CGK yang dimaksud adalah Prof J.J. van der Schuit, ds. K. Zuidersma,
ds. J. Hovius, ds. J. Jongeleen, dan ds. M.Holtrop. Sedangkan pekerja zending yaitu J.Dan
Belksma dari Rantepao-Makale dan M.Geleijnse dari Mamasa (Van den End 1994, 419-422).
66
Dalam suratnya kepada badan zending tertanggal 26 Mei 1939, Kraemer mengatakan
“ Perangkat dogma-dogma dan hukum gereja kita, betapapun unggulnya sebagai asas
dan untuk sesuatu yang nyata, bukan dengan sendirinya merupakan perangkat
perlengkapan yang tepat untuk persekutuan orang Kristen, yang situasinya yang
nyata berbeda dengan situasi kita” (Van den End 2004, 457)
Lebih lanjut Kraemer mengutarakan tiga asas yang dapat digunakan untuk
1. Dalam seluruh susunannya harus jelas bahwa Kristuslah Kepala satu-satunya gereja
yang berkuasa mutlak, Tuhan Gereja yang tak ada duanya, yakni monos despotès (Yud
ayat 5)
2. Peraturan harus cocok dengan kebutuhan dan latar belakang orang. Artinya warisan-
warisan dari Tanah Belanda yang kita bawa hanya akan punya arti jika warisan itu
benar-benar dapat menjadi bentuk-bentuk ungkapan yang subur untuk persekutuan
Kristen di negeri ini.
3. Pada saat penyusunan peraturan gereja kita tidak boleh lupa bahwa suatu gereja yang
muda sedang berkembang di Hindia, di mana kini sedang didirikan berbagai gereja
mandiri. Mengingat agama Kristen di Hindia tumbuh di tengah-tengah msayarakat
yang mayoritas Islam dan gereja Katolik Roma yang sangat aktif di sampingnya, maka
kita mutlak perlu berupaya agar jalan menuju satu Gereja Protestan di Hindia Belanda
atau suatu federasi gereja-gereja Protestan tetap terbuka (Van den End 1994, 457-460).
Purwanto tentang tiga prinsip dasar yang harus dipenuhi untuk mengembangkan
setiap hukum gereja yang fungsional, sebagaimana yang dituliskan dalam bagian
pendahuluan dari karya tulis ini, yakni pertama, Firman Tuhan sebagai dasar
hukum gereja; kedua, latar belakang sejarah; dan ketiga, konteks yang dihadapi oleh
gereja.
67
tentara Jerman. Akibatnya, terputus hubungan antara Toraja Barat dan Belanda
termasuk putusnya pengiriman uang oleh CGK. Pendeta PI dan guru-guru yang
mengajar di sekolah yang tidak bersubsidi tidak lagi mendapatkan uang dari ZCGK.
Saat itu warga CGK yang tinggal di Indonesia dan Afrika Selatan mengumpulkan
bantuan dari luar negeri dan dari Indonesia sendiri untuk membantu utusan Injil
Sinode) yang pertama di Mala’bo’. Sinode itu dihadiri utusan dari enam klasis yakni
Tandasau’, dan ada pula utusan dari Palopo, Rantepao, dan Makale (Notulen
Foorlopig Sijnode 1940). Saat itu Ds.A.Bikker menjabat sebagai penasihat (Advisiur),
itu disebut sinode, tidak usah menggunakan Voorlopige Synode, namun Geleijnse
yang juga dibahas dalam sinode ini antara lain mengenai perkawinan dan tertib
68
dalam butir 1 mengenai perkawinan, butir 4 mengenai “Taadib Djoemat 24,” butir 14
mengenai orang Kristen yang kawin dengan orang kafir, dan butir 15 mengenai
peneguhan nikah bagi pasangan yang sudah lama hidup sebagai suami-istri
perceraian, dan peneguhan nikah bagi pasangan yang sebelumnya telah hidup
bersama sebagai pasangan suami-istri (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 3). Bikker
sebagai penasehat mengatakan, bahwa komisi dari Limbong Kalua’ dan PUS akan
bersama-sama membuat suatu peraturan yang baik mengenai perkawinan dari adat
negeri (adat istiadat), dari peraturan pemerintah, dan dari peraturan jemaat
Foorlopig Sijnode 1940, 3). Geleijnse menambahkan, bahwa putusan dari komisi itu
harus disahkan juga oleh parengnge’ (pemuka adat) sebagai wakil suara rakyat ke
pemerintah, juga Geleijnse menegaskan larangan bagi orang Kristen yang bercerai.
Jika perceraian terjadi, menurut Geleijnse, mereka harus dikenai tatib jemaat
(Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 6). Sehubungan dengan perkawinan menurut adat
komisi, yang bertugas untuk membuat peraturan itu, diambil dari setiap klasis
Foorlopig Sijnode 1940, 4). Berdasarkan usulan-usulan itu, diputuskan tiga hal yakni:
pertama, komisi yang mengurus peraturan perkawinan akan dibentuk; kedua, tertib
jemaat akan dikenakan kepada pasangan yang bercerai; dan ketiga, komisi dipilih
dari setiap klasis dan peraturan itu akan dibuat lalu diputuskan dalam sinode
berikutnya (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 4). Berkenaan dengan usulan mengenai
perkawinan antara orang Kristen dan orang kafir (aluk toyolo), Geleijnse mengatakan,
“Djadi dalam hal itoe hanja kami dapat memberi nasihat sadja dan pengadjaran menoeroet
kewadjiban kami” (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 9). Bikker pun menambahkan
“Kami haroes memandang hal itoe dari kedoea pihak itoe; kalau jang satoe pihak tidak
melawan jang lain, dalam agama masing-masing atau yang kafir soeka masoek agama
Christian itoe baik. Tetapi kalau yang kafir melawan agama Christian patoet kami
mendjalankan taadib Djoemat (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 9)
Jemaat) di setiap jemaat di mana mereka akan mengajar dan menasehati pasangan
tersebut sehingga dapat mengikuti kewajiban di dalam jemaat, jika perlu tertib
Agenda pembahasan tentang tertib gerejawi pun diangkat dalam sinode ini.
Ada pandangan dari peserta sinode yang memahami tertib gerejawi sebagai
hukuman kepada anggota jemaat yang melangkahi syariat agama Kristen sama
seperti hukum pemerintahan. Untuk itu Bikker menjelaskan, bahwa tertib gerejawi
adalah suatu jalan untuk mengobati anggota jemaat yang bermasalah dan
70
memperbaiki kelakuan anggota jemaat yang salah (Notulen Foorlopig Sijnode 1940, 5).
Menurut Bikker, tertib gerejawi berkenaan dengan tiga hal yaitu menasihati,
Sijnode 1940, 5). Oleh karena itu, putusan proto sinode I ini menetapkan tugas dari
Kerkeraad adalah untuk melaksanakan tertib gerejawi kepada warga jemaat yang
Pearl Harbour dan selanjutnya berencana menyerang Hindia Belanda. Para sekutu
Amerika yaitu Inggris, Australia, dan Belanda tidak mampu menahan tentara Jepang
untuk masuk ke Hindia Barat. Tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Hindia Belanda
Tanggal 16 Maret 1942 pukul 03.30 rombongan orang Belanda diangkut sebagai
tawanan Jepang. Sebelumnya, pukul tiga tengah malam terjadi suasana yang sangat
Tuhan jua, Serahkan jalanmu”, dan nyanyian Mazmur 42:5. Setelah itu mereka
berdoa bersama dan akhirnya mereka berpisah. Bikker dan tawanan lainnya
ditahan di tangsi, mereka masih dapat mendiskusikan tentang masa depan gereja di
71
anggota perserikatan Jepang (Seinan Dan untuk pemuda dan Seinan Boi untuk
pemudi) di mana mereka harus mengikuti latihan atau tugas lain pada hari minggu
(Van der Klis 2007, 96). Kendati demikian, pemuda pemudi Kristen tetap bertahan
dilepaskan dan pada September 1945, Bikker, Geleijnse serta tawanan lain dibawa ke
Makassar dan berjumpa dengan istri dan anak mereka. Bikker diberi tugas sebagai
pendeta tentara sementara di Sulawesi Selatan, meski demikian ia masih tetap dapat
sana karena ia dan istrinya sakit. Selama di Belanda, ia menjadi dosen di Amsterdam
Pada 4-7 Juni 1947 dilaksanakan Voorlopige Synode (Proto Sinode) yang
25Menurut van der Klis, sinode ini lebih tepat disebut sebagai sinode wilayah karena
muncul lagi rencana penyatuan GTM dan GTR menjadi satu Gereja dan adanya rencana
sinode Am dilakukan secara berturut-turut di Rantepao-Makale atau Mamasa-Mala’bo’ (Van
der Klis 2007, 102).
72
Makale (Van der Klis 2007, 102). Dalam persidangan itu, Geleijnse dipilih sebagai
ketua, guru Injil B.Mangoli sebagai sekretaris, Pilon Pattikayhatu dan Bombong serta
enam guru Injil yang lain dipilih menjadi penasihat (Van der Klis 2007, 102).
Adapun pokok bahasan dalam sinode itu, antara lain adalah rencana sinode
berikutnya tahun 1949 di Mamasa dan pemilihan ketua sinode yang berkebangsaan
Indonesia pada sinode berikutnya. Selain itu, hal lain yang juga dibahas adalah
rencana penggabungan Gereja Toraja Mamasa (GTM) dan Gereja Toraja Rantepao
(GTR), namun rencana ini tidak dapat terealisasi. Tahun 1963 dilaksanakan Sinode
Gereja Kristen Toraja di Rantepao dan salah satu agenda yang dibahas adalah
kembali mengusulkan rencana kedua gereja tersebut untuk menyatukan GTM dan
GTR, namun usulan ini juga tidak dapat terlaksana karena pertimbangan situasi
geografis dan perasaan regional (hubungan antar daerah terlalu sulit). Alhasil,
gerejawi dalam proto-sinode II ini, uraiannya dapat ditemukan dalam bagian ketiga
dari notulen rapat Voorlopig Sijnode yakni dalam voorstel-voorstel (Notulen Voorlopig
Sijnode 1947, 1-18). Uraian mengenai perkawinan, sebagian besar masih sama dengan
keputusan pada proto-sinode I, yakni menunggu hasil peraturan yang dibuat oleh
komisi peraturan perkawinan yang telah dibentuk. Tambahan yang terdapat dalam
sinode ini adalah adanya penjelasan tentang bahaya bagi pasangan yang menikah di
73
usia muda dan himbauan untuk melakukan perkawinan monogami dari dr. J.Pilon
Mengenai tertib gerejawi dalam sinode ini, tidak banyak perubahan yang
berarti dari proto sinode I kecuali tambahan mengenai istilah tatib jemaat dan tujuan
pelaksanaan tatib jemaat (Notulen Voorlopig Sijnode 1947, 11). Istilah tatib jemaat
disamakan dengan siasat jemaat yang mana tujuan pelaksanaannya adalah supaya
dengan CGK tetap terjalin. Jika dahulu hubungan antara CGK dan gereja-gereja di
Mamasa adalah hubungan antara ibu dan anak, setelah GTM terbentuk
hubungannya dengan CGK adalah sebagai “gereja mitra”. Beberapa kali ZCGK
masih mengirim tenaga PI ke Mamasa seperti Pdt.J.van Dalen beserta istri, ibu
Klomp sebagai pekerja sosial bagi kaum ibu dan pemuda-pemudi, Pdt.G.H.Polman
dan istri, dan guru H.J.Wiltink dan istri. Selain utusan tenaga PI, ZCGK juga masih
tetap memberikan bantuan materiil kepada GTM (Van der Klis 2007, 107-111).
masih sempat mengunjungi Toraja Barat di tahun 1970-an dan akhirnya meninggal
Menurut Komisi Visi, Misi, dan Pokok-pokok Panggilan GTM, misi yang
dibawa oleh zending, baik itu GPI maupun ZCGK berfokus pada kristenisasi. Orang
Kristen Toraja Barat dibentuk melalui opini teologi dan eklesiologi Barat di mana
transendensi Allah melalui budaya dan agama lokal yang telah dinyatakan Allah
sebelum berita Injil tiba dianggap sebagai sesuatu yang harus digantikan oleh model
penyembahan ala Kristen Barat (Keputusan SSA XVIII GTM 2011-2016, 145).
kalangan warga Kristen Mamasa. Hal itu tampak jelas pada karakter keberagamaan
saja. Hal ini mengingatkan kita pada ucapan Cyprianus “extra ecclesiam nulla sallus”.
Teologia misi GTM saat itu sangat kontras dengan interpretasi amanat agung dalam
dijalankan GTM terkadang sangat radikal terhadap budaya dan kepercayaan lokal
dan arti kasih karunia Tuhan diinterpretasikan secara sempit dalam lingkup
Sinode) yang kedua di Mala’bo’ pada 4-7 Juni 1947 dijadikan sebagai tahun
berdirinya Gereja Toraja Mamasa. Itu berarti sinode tersebut merupakan Sidang
75
SSA GTM, penulis menggunakan tulisan Marthen Manggeng yang berjudul “Upaya
Papa Pangloli yang berjudul “Catatan Penyelenggaraan Sidang Sinode dan Ketua-
(Sinode Wilayah) tanggal 15 dan 16 Agustus 1949 di Mamasa. Dalam sinode ini
dipilih Pdt.J.van Dalen sebagai ketua I, Pdt.G.H.Polman sebagai ketua II, J.Piris
sebagai sekretaris, serta Pdt.M.Tupa’langi’ dan dr. J.J.Pilon sebagai penasihat (Van
der Klis 2007, 103-104). Dalam sinode ini, diputuskan untuk membentuk komisi yang
bertugas untuk membicarakan tentang pelaksanaan sidang sinode yang lalu antara
lain mengenai pengelolaan keuangan gereja, liturgi, dan lain-lain sebagai upaya
Mamasa sebagai pusat kegiatan GTM pada aras sinodal (Manggeng 2007, 31). SSA II
GTM (1953) hingga SSA IV GTM (1960) memilih Pdt.R.M.Thumonglo sebagai ketua
sinode. SSA V GTM (1965) memilih Pdt.E.Pampang sebagai ketua sinode. SSA VI
GTM (1969), SSA VII GTM (1971), SSA VIII GTM (1974), SSA IX GTM (1977) , SSA X
GTM (1981), dan SSA XI GTM (1984) secara berutur-turut memilih Pdt.P.Podo
Dalam SSA XII GTM (1986) di Mamasa, salah satu keputusan yang signifikan
pendeta). Keputusan ini merupakan titik awal kemandirian di bidang teologi sebab
CGK sendiri sebagai gereja mitra (induk) di Belanda belum dapat menerima
perempuan untuk memegang jabatan gerejawi (Manggeng 2007, 31). Dalam sidang
Sinode XIII GTM (Ujung Pandang 6-12 Juli 1986) kembali memilih
Pdt.J.Buttulangi sebagai ketua sinode. Dalam persidangan ini ada satu keputusan
penting yakni perubahan masa SSA dari empat tahun ke lima tahun. Perubahan ini
berdampak pada periode kerja Badan Pekerja Sinode dan periodisasi masa kerja
SSA XIV GTM (Nosu wilayah Tandalangan 27 Juni–4 Juli 1991) pertama kali
Pdt.Zakaria Sude S.Th dipilih sebagai ketua sinode. Dalam sinode ini, terdapat
pemerintahan gereja, perubahan nama dari GTM ke Gereja Kristen Mamasa, dan
gugatan gereja mitra tentang perempuan yang dipilih sebagai pejabat gerejawi.
gerejawi tetap dipertahankan bahkan semakin ditekankan. Hal tersebut dapat dilihat
GTM tidak lama setelah pelaksanaan SSA XIV (Manggeng 2007, 33-34).
77
SSA XV GTM (Mambi 20-27 Juni 1996) kembali memilih Pdt.Zakaria Sude
S.Th sebagai ketua sinode. Beberapa agenda penting yang dibahas dalam
persidangan ini adalah penataan ulang hubungan GTM dan CGK, usul penghapusan
rekomendasi untuk Gereja Protestan Sulawesi Selatan (GPSS), dan pendeta yang
beralih tugas. Dalam hal penataan ulang hubungan GTM dan gereja mitra, GTM
diminta untuk tidak terlalu bergantung pada gereja mitra. Adapun bantuan
keuangan dalam bentuk bantuan biaya rutin diubah menjadi bantuan biaya
Iman Gereformeerd dalam pasal “Pengakuan” pada PD GTM, tetapi tidak diindahkan
dengan pertimbangan GTM harus memelihara hubungan baik dengan gereja mitra
dan dengan gereja-gereja yang seasas dengan gereja mitra di luar negeri (Manggeng
2007, 34).
Pdt.Adam Doda S.Th sebagai ketua sinode. Adapun keputusan yang diambil adalah
GTM adalah sinode yang dibagi dalam wilayah, klasis, dan jemaat, namun dalam
GTM. Jika sebelumnya, peserta SSA adalah wakil dari wilayah maka persidangan ini
peserta lebih banyak karena yang hadir adalah peserta dari klasis-klasis se GTM.
Persidangan sinode GTM yang terakhir dilaksanakan adalah SSA XVIII GTM
pada 20-26 Juli 2011 di Le’beng Mamuju dan memilih Pdt.Hengky Gunawan sebagai
Pada bagian ini, penulis akan mengemukakan sejarah peraturan gereja GTM.
GTM. Kemudian, penulis akan menguraikan beberapa peraturan gereja GTM yakni
peraturan/tata gereja tahun 1986, 1991, 1996, 2001, dan 2011, khususnya mengenai
GTM, penulis melakukan wawancara tertulis kepada lima orang pendeta GTM yaitu
79
Pdt.Yusuf Arta.31
mengikuti SSA minimal tiga kali. Namun sebagian besar dari mereka tidak tahu
kapan pastinya GTM memutuskan peraturan gereja GTM yang pertama. Pdt.Papa
Pangloli mengatakan, ia tidak tahu pasti kapan diputuskan peraturan gereja GTM
yang pertama, namun ia menduga nama peraturan gereja GTM yang pertama adalah
hukum gereja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena zending CGK yang melakukan
PI di Mamasa menggunakan tata gereja Dordrecht di Belanda. Tata gereja ini sangat
sesuatu yang urgen untuk membuat sebuah tata gereja yang definitif. Setiap
Papa Pangloli diurapi menjadi Pendeta GTM pada 9 Juli 1972 di GTM jemaat
27
Ebenhaezer. Meskipun telah diemeritasi, ia tetap mengabdi di STT Mamasa sebagai dosen. Ia
mulai menghadiri SSA VII GTM tahun 1971 dan ketika itu ia berstatus sebagai
proponen/vikaris GTM.
28U.S.K.Wijayaputra diurapi menjadi Pendeta GTM pada 5 Desember 1985 di GTM
jemaat Muzafir Lantora. Saat ini melayani sebagai pendeta tenaga utusan gerejawi di PGIW
SulSelBaRa sebagai ketua umum. Ia mulai menghadiri SSA XII GTM tahun 1986 di klasis
Makassar.
29 Marthen Manggeng diurapi menjadi Pendeta GTM pada 21 April 2001. Saat ini
melayani sebagai Staf bidang Pusat Penelitian, Pengembangan dan Pelatihan di BPMS GTM.
Ia mulai menghadiri SSA XIV GTM tahun 1991 di Nosu sebagai notulis.
30Yosphina Lita diurapi menjadi Pendeta GTM pada 31 Oktober 1995. Saat ini
melayani sebagai Pendeta GTM yang melayani jemaat Jordan klasis Makassar. Ia mulai
menghadiri SSA XV GTM tahun 1996 di Mambi.
31 Yusuf Arta diurapi menjadi Pendeta GTM pada 27 Oktober 1997. Saat ini melayani
sebagai Sekretaris Umum GTM 2011-2016. Ia mulai menghadiri SSA XV GTM tahun 1996 di
Mambi.
80
keputusan yang diambil selalu disusun dalam usulan-usulan, bukan peraturan yang
definitif.
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga GTM, tahun 2011 sampai sekarang
menggunakan istilah Peraturan Gereja yang terdiri dari Anggaran Dasar dan
kemungkinan besar GTM pertama kali menggunakan nama Peraturan Dasar, tahun
2001 istilah tersebut diubah menjadi Tata Dasar. Menurut Pdt.Yosphina Lita, tahun
1991-2001 istilah yang digunakan adalah Tata Gereja, dan tahun 2001-2011 istilah
tahun 1996 istilah Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga berubah menjadi Peraturan
Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM. Tahun 2011 Peraturan Dasar dan
Peraturan Rumah Tangga berubah kembali menjadi Tata Dasar dan Tata Rumah
SSA GTM dari 1996 hingga 2011, penulis menyimpulkan bahwa pendapat Pdt.Yusuf
(Pdt.P.Pangloli), ada yang mengatakan dulu buku-buku itu ada tetapi setelah
81
mengalami perpindahan tempat tinggal, penempatan buku-buku itu tidak jelas lagi
GTM 2011, dan Pdt.Marthen Manggeng serta Pdt.Yusuf Arta memiliki dua buku
peraturan yakni tahun 2001 dan tahun 2011. Dari uraian di atas, penulis menemukan
tiga pokok penting yakni pertama, peraturan gereja yang diputuskan dalam sinode
awalnya termasuk dalam keputusan-keputusan yang terikat satu sama lain dan
tidak menjadi sebuah peraturan yang definitif; kedua, informan tidak memiliki
pandangan yang sama tentang peraturan gereja GTM; dan ketiga, informan tidak
melihat peraturan gereja GTM sebagai buku penunjang yang signifikan dalam
khususnya pernikahan juga beragam. Dua orang pendeta (Pdt.Papa Pangloli dan
pernikahan tidak mengalami perubahan prinsipil, yang berubah hanyalah soal tata
tentang peran majelis jemaat yang menentukan bermasalah tidaknya suatu calon
pasangan yang akan menikah. Sebelum keputusan SSA ini, wewenang ini
sebelum SSA 2011, jika seseorang yang cerai bukan karena alasan zinah, pelayanan
yang diberikan kepadanya hanya peneguhan nikah saja tanpa pemberkatan. Setelah
SSA tahun 2011 setiap pasangan nikah yang selesai masalahnya, termasuk seseorang
82
yang menceraikan suami atau istrinya, dapat menerima pelayanan peneguhan dan
pemberkatan nikah.
khususnya tertib gereja juga beragam. Tiga orang pendeta sama sekali tidak tahu
tahun 1980-an tertib gerejawi lebih banyak dipahami sebagai siasat. Siasat dianggap
sebagai hukuman kepada seseorang atas pelanggaran yang dibuatnya. Satu orang
lagi mengatakan, bahwa sampai tahun 2001 istilah yang digunakan adalah siasat
pernikahan, dua orang pendeta menjawab tidak tahu. Satu orang yang menjawab,
bahwa sebelumnya peraturan sangat ketat diberlakukan kepada orang yang jatuh
dalam dosa (terutama dosa seksual) yakni ia akan dikenakan tertib gerejawi (pernah
disebut siasat). Ketika orang tersebut bertobat, ia akan diorakkan melalui pengakuan
dosa dalam ibadah jemaat. Sekarang teknis pengakuan dosa diserahkan kepada
pengaturan majelis jemaat setempat. Ada pula seorang pendeta yang berpandangan,
bahwa periode sebelum tahun 2001, pengakuan dosa terkait soal nikah dan dosa lain
dilakukan oleh orang yang melakukan pelanggaran dengan cara berdiri di depan
warga jemaat saat kebaktian hari minggu. Setelah tahun 2001, pengakuan dosa dapat
dilakukan di depan warga jemaat atau di hadapan majelis jemaat. Pendapat dari
masing-masing. Warga jemaat yang berasal dari wilayah lembang Mamasa sangat
Berbeda dengan warga jemaat dari wilayah Pitu Ulunna Salu yang justru meminta
kepada majelis jemaat agar mereka diberi kesempatan oleh majelis jemaat untuk
GTM sendiri memiliki pemahaman yang beragam tentang peraturan gereja GTM
Tentu saja hal ini berimbas pada pemahaman warga jemaat yang juga bervariasi
tanggal 6–12 Juli 1986, salah satu hal yang diputuskan adalah mengenai “Tata Dasar
dan Tata Rumah Tangga tahun 1986” (Keputusan SSA XIII GTM 1986, 1).
TRT GTM yang mengatur tentang pernikahan diatur dalam bab II tentang
pendeta di dalam ibadah jemaat, yakni anggota jemaat yang dilayani adalah anggota
84
sidi/baptis dewasa, belum pernah menikah, atau diceraikan karena suami atau
istrinya berzinah; atau suami atau istrinya meninggal dunia. Pernikahan dilakukan
setelah catatan sipil berdasarkan UU Pernikahan (Keputusan SSA XIII GTM 1986,
15).
TRT GTM yang mengatur tentang tertib gerejawi ditemukan dalam bab
terpisah yakni bab IX mengenai “Tertib Gerejawi”. Pada bab ini terdapat enam pasal
yang mengatur tentang tertib gerejawi yakni perlunya tertib gerejawi (pasal 23),
hakikat dan tujuan tertib gerejawi (pasal 24), dosa-dosa yang membuat warga jemaat
dikenai tertib gerejawi (pasal 25), cara-cara pelaksanaan tertib gerejawi (pasal 26),
pengucilan (pasal 27), penerimaan anggota yang dikucilkan (pasal 28), dan pejabat
gerejawi yang dikenakan tertib gerejawi (pasal 29) (Keputusan SSA XIII GTM 1986,
22-23).
Juli 1991. Keputusan tentang Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga GTM tahun 1991
1991,1-2).
TD TRT GTM 1991 tidak mengalami perubahan yang prinsipil dari TD TRT GTM
sebelumnya yakni tahun 1986 (Keputusan SSA XIV GTM 1991,1-2). Demikian pula
85
aturan mengenai tertib gerejawi yang diatur dalam bab IX pasal 23-29 juga tidak
mengalami perubahan yang mendasar atau masih sama seperti aturan dalam TD
Peraturan gereja GTM tahun 1996 diputuskan dalam SSA XV GTM di Mambi
“Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM tahun 1996.” Dalam
konsideran diketahui, bahwa komisi yang membahas peraturan ini adalah komisi
tata dasar dan tata rumah tangga SSA XV GTM. Selain itu juga, dalam konsideran
dikemukakan, bahwa TD dan TRT GTM XIV di Nosu tahun 1991 tidak berlaku lagi.
Terjadi perubahan nama dari “Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga GTM” tahun
1991 menjadi “Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM tahun 1996.”
Adapun alasan perubahan nama tersebut tidak dicantumkan secara eksplisit dalam
keputusan tersebut kecuali atas pertimbangan dan usul-usul yang masuk dari
dalam TRT GTM tahun 1996 bab I yang berjudul “Membangun Persekutuan.”
Di dalam pasal 1 butir 5 tentang pemberkatan nikah dimuat dua hal yaitu
pertama, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pasangan yang akan diberkati
nikahnya; dan kedua, prosedur yang harus ditempuh hingga pemberkatan nikah
dapat berlangsung.
Syarat-syarat itu adalah anggota sidi atau baptis dewasa yang tidak dikenai
tertib gerejawi, baru pertama kali menikah, suami atau istri sebelumnya telah
meninggal dunia, dan karena diceraikan oleh suami atau istrinya yang berzinah
dasar pernikahan Kristen, dan masalah-masalah lain yang dianggap perlu. Bagi
pasangan yang baru masuk Kristen, percakapan pastoral mereka lebih panjang dan
iman Kristen (Keputusan SSA XV GTM 1996, 65). Ada pula satu butir tambahan
yang ditulis dalam pasal ini yaitu kedua calon mempelai sekeyakinan sebagai orang
yang percaya kepada Yesus Kristus. Menurut penjelasan PRT GTM tahun 1996,
sekeyakinan berarti berasal dari gereja yang sepengakuan (Keputusan SSA XV GTM
1996, 98).
32 Percakapan pastoral diarahkan kepada sasaran yakni agar rumah tangga itu
nantinya akan utuh dan kekal sesuai pemahaman iman Kristen (Keputusan SSA XV GTM
1996, 97)
33 Data-data pribadi yang dimaksud meliputi nama, tempat tanggal lahir, surat
keterangan dari majelis asal, surat keterangan komandan bagi yang berasal dari ABRI, surat
imunisasi, dan surat keterangan lainnya (Keputusan SSA XV GTM 1996, 97).
87
sebagaimana yang diatur dalam pasal ini, adalah mereka mengajukan permohonan
kepada majelis gereja, setelah itu rencana pemberkatan nikah diumumkan dua hari
minggu berturut-turut, dan jika tidak ada keberatan yang sah, maka majelis gereja
dapat melaksanakan pemberkatan nikah sesuai dengan liturgi dan formulir nikah
yang telah ditetapkan oleh SSA GTM XV (Keputusan SSA XV GTM 1996, 65).
Yang menarik dari peraturan ini adalah mengenai tertib gerejawi. Berbeda
dengan TD dan TRT sebelumnya di mana tertib gerejawi diatur terpisah dari bab
yang mengatur tentang penggembalaan, dalam PD dan PRT GTM ini dituliskan,
terdiri dari penggembalaan bagi calon baptis, calon sidi, calon nikah, orang sakit,
orang jompo, dan calon pejabat gereja (Keputusan SSA XV GTM 1996, 66). Tertib
gerejawi juga dijelaskan dalam butir ini di mana dikatakan, bahwa atas perintah
Kristus Kepala Gereja, majelis gereja dengan penuh kasih sayang melaksanakan
tertib gerejawi yang bersifat rohani mengenai kepercayaan dan hidup anggota-
anggota jemaat (Keputusan SSA XV GTM 1996, 66). Hal itu menegaskan, bahwa
tertib gerejawi bukanlah hukuman tetapi tertib gerejawi merupakan bagian dari
kesucian firman Tuhan dan pengajaran gereja yang telah diketahui oleh beberapa
orang atau pelanggaran yang telah diketahui oleh umum sehingga menjadi batu
sandungan dalam gereja dan masyarakat (Keputusan SSA XV GTM 1996, 67).
Selanjutnya tertib gerejawi ini memuat tentang hakikat dan tujuan tertib gerejawi,
anggota yang dikucilkan, pejabat gereja yang diberhentikan dari jabatannya, dan
pejabat gereja yang dikenai tertib gerejawi (Keputusan SSA XV GTM 1996, 67-68).
Secara khusus pengakuan dosa dalam tertib gerejawi dibagi dalam dua cara, yakni
pertama, jika dosa seseorang hanya diketahui oleh majelis gereja maka
pengakuannya hanya disaksikan oleh majelis gereja; dan kedua, jika dosanya telah
SSA XV GTM 1996, 98). Adapun alasan pengakuan dosa yang dibagi dalam kedua
peraturan resmi yang berlaku dalam GTM melalui Keputusan SSA XVI GTM
no:14/SS-GTM-XVI/2001 (PD dan PRT GTM 2001, 1). Peraturan itu disebut Peraturan
Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM 2001. Di dalam buku ini, terdapat tiga
bahagian besar yaitu Peraturan GTM (Pembukaan), Peraturan Dasar yang terdiri
dari 8 bab 14 pasal, Peraturan Rumah Tangga terdiri dari 9 bab dan 45 pasal. Di
bagian lain buku ini terdapat pula penjelasan PD dan PRT GTM dan penjelasan
mengenai pembukaan termasuk di dalam penjelasan PD (PD dan PRT GTM 2001, 2-
56).
Dari keenam butir ini tidak ada rujukan dalam penjelasan yang dapat
menjelaskan kalimat-kalimat yang terdapat dalam pasal di atas. Hal ini dapat
berakibat pada munculnya sejumlah pertanyaan dari para pembaca peraturan ini.
pelayanan khusus sesuai keputusan majelis jemaat.” Kalimat ini tidak mendapat
90
Tertib gerejawi diatur dalam bab IV. Ada lima pasal yang mengatur tentang
pokok ini yaitu hakikat tertib gerejawi (pasal 22), tujuan tertib gerejawi (pasal 23),
bentuk tertib gerejawi (pasal 24), pelaksanaan tertib gerejawi (pasal 25), dan tertib
gerejawi bagi pejabat gereja (pasal 26) (PD dan PRT GTM 2001, 30-33).
dalam SSA XVII GTM di Lantora (11-16 Juli 2006) melalui keputusan
hingga SSA XVIII GTM 2011 memutuskan peraturan gereja GTM yang baru
Salah satu keputusan yang diambil oleh GTM dalam SSA XVIII 20-26 Juli
2011 di Le’beng klasis Pesisir Mamuju Propinsi Sulawesi Barat adalah “Perubahan
Naskah Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga GTM periode 2006-2011”
menjadi “Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga Gereja Toraja Mamasa 2011-2016”
(Keputusan SSA XVIII GTM 2011, 51). Meskipun terjadi perubahan nama namun
91
TRT GTM tahun 2011 dengan PD dan PRT GTM tahun 2006.34 Keputusan tersebut
yaitu pernikahan, tertib gerejawi, dan kependetaan dalam TD dan TRT GTM 2006-
2011, maka pelaksanaan pelayanan di jemaat, klasis, dan sinode GTM masih
mengacu pada PD dan PRT GTM 2006-2011 (Keputusan SSA XVIII GTM 2011, 52).
TRT GTM tahun 2011 terdiri dari 12 bab dan pernikahan termasuk dalam bab
selengkapnya meliputi kebaktian (pasal 1), hari raya gerejawi (pasal 2), hari raya
gerejawi (pasal 3), hari raya khusus gerejawi (pasal 4), penggembalaan (pasal 5),
sakramen baptisan dan perjamuan kudus (pasal 6), peneguhan sidi (pasal 7),
pernikahan (pasal 8), pengurapan dan peneguhan pendeta (pasal 9), peneguhan
penatua dan syamas (pasal 10), persembahan (pasal 11), kesaksian dan pelayanan
kasih (pasal 12) (TD dan TRT GTM 2011, 19-29). Jika kita memperhatikan 12 pasal
dalam TRT GTM tahun 2011 ini, tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang
tertib gerejawi dalam bab ini. Pasal yang mengatur tentang tertib gerejawi justru
Tertib gerejawi justru diatur terpisah dalam bab VI. Bab VI dibagi dalam enam pasal
yaitu hakikat tertib gerejawi (pasal 21), tujuan tertib gerejawi (pasal 22), bentuk tertib
gerejawi (pasal 23), pelaksanaan tertib gerejawi (pasal 24), tertib gerejawi bagi
anggota baptis (pasal 25), dan tertib gerejawi bagi pejabat gerejawi (pasal 26) (TD
dilengkapi menjadi “Peneguhan dan Pemberkatan Nikah.” Dalam pasal ini juga
dikemukakan definisi dari pernikahan Kristen yaitu perjanjian yang kudus dan
bersifat permanen antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah sidi
untuk hidup bersama sebagai suami-istri. Juga terdapat prosedur yang harus dilalui
pemberkatan nikah. Dalam pasal ini terdapat penjelasan dari “selesainya masalah”
bagi calon itu yakni jika identitas calon terjamin secara hukum, tidak dikenai tertib
gerejawi, dan telah mendapat restu orangtua. Hal baru dalam pasal ini yang
tumpang tindih dengan uraian sebelumnya adalah “bagi calon pasangan nikah yang
sudah hidup bersama sebagai suami-istri sebelum nikah dapat diberkati setelah
Namun demikian, uraian secara terperinci dari pasal ini tidak akan diuraikan dalam
Hal ini tentu saja berbeda dengan PD PRT GTM tahun 1996 di mana tertib gerejawi
35
bab ini namun akan diuraikan dalam bab selanjutnya dari karya tulis ini. Penulis
lebih dalam akan melakukan analisis hukum gerejawi khususnya pembukaan dan
bahwa perubahan istilah dari TD dan TRT GTM menjadi PD dan PRT GTM terjadi
dua kali. Pada tahun 1986 dan 1991, GTM masih menggunakan TD dan TRT GTM
namun pada tahun 1996 hingga 2006, TD dan TRT GTM diubah kembali menjadi PD
dan PRT GTM. Tahun 2011, PD dan PRT GTM berubah lagi menjadi TD dan TRT
kecuali pelayanan pastoral bagi pasangan nikah menjadi hal yang sangat penting
4. Kesimpulan
Badan zending ZCGK dan GZB berupaya untuk menyatukan gereja di Tana
Toraja dengan gereja di Toraja Barat namun gagal karena wilayah geografis dan
dasar sejarah berdirinya Gereja Toraja Mamasa sebagai gereja mandiri. Meskipun
memiliki tata gereja yang definitif. GTM masih mengadopsi peraturan dari
Christelijke Gereformeerde Kerk (CGK) di mana CGK masih menggunakan tata gereja
Dordrecht.
lebih kepada peraturan pelayanan yang operasional sehingga hakikat dari tata gereja
pada 20-26 Juli 2011 di Le’beng klasis Pesisir Mamuju Kab.Mamuju Propinsi
Sulawesi Barat.
orang pendeta GTM. Hal ini berimplikasi pada pemahaman beragam pada anggota
pentingnya pastoral bagi calon pasangan nikah dan peneguhan dan pemberkatan
Hal yang baru ditemukan dalam pasal 8 TRT GTM tahun 2011 mengenai
pernikahan di mana pasangan nikah yang sebelumnya telah hidup sebagai suami-
istri harus mengaku dosa terlebih dulu sebelum diberkati. Hal ini kontraproduktif
dengan pasal yang sama dalam TRT GTM ini karena sebelumnya telah dikemukakan
bahwa pasangan nikah dapat dinikahkan jka tidak dikenai tertib gerejawi.
penggembalaan pernah diatur dalam PRT GTM tahun 1996. Namun setelah itu,
tertib gerejawi kemudian diatur terpisah, tidak lagi masuk dalam bentuk-bentuk
penggembalaan dan juga tidak termasuk dalam salah satu bentuk pelayanan gereja.