Anda di halaman 1dari 3

BELAJAR CUEK

Julianto Simanjuntak

Saya memperhatikan beberapa orang yang saya kenal


dekat, mereka yang sibuk menilai, mengukur
dan merendahkan orang lain. Ternyata hidupnya tidak
bertumbuh, stagnan. Malahan kualitas orang tersebut tidak
lebih baik dari orang yang ia rendahkan. Menyedihkan.

Menilai dan mengukur hidup orang lain hanya


menghabiskan waktu dan energi kita. Menyedot emosi
negatif. Kita sibuk menahan rasa amarah dan kecewa yang
tak kunjung selesai.

Tak heran berkali-kali Yesus mengingatkan murid-


muridNya agar jangan menilai, mengukur dan menghakimi
orang lain. Sebab kita sendiri akan diukur dengan ukuran-
ukuran yang kita buat.

Saya sendiri pernah mengalami masalah ini satu tahun


lamanya, saat hati saya menyimpan kepahitan pada rekan
kuliah. Setiap hari energi saya habis untuk memperhatikan
dan mencari kelemahan rekan sekerja tadi. Minat saya
untuk membaca hilang. Konsentrasi saya mendengar
berkurang. Semangat belajar saya melemah. Akhirnya,
kualitas hidup saya tidak lebih baik dari teman yang tidak
saya sukai. Menghakimi dan mencari-cari kesalahan orang
lain ternyata melelahkan.
Belajar dari pengalaman itu saya berusaha lebih banyak
mengoreksi diri. Belajar berempati pada orang lain yang
pernah mengecewakan hidup saya. Sambil percaya bahwa
Tuhan bisa mengubah orang tersebut pada saatnya.

Selain itu saya Belajar CUEK dengan kekurangan atau


kesalahan orang tersebut. Sebab saya sadar setiap orang
akan mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Tuhan.
Saya tidak punya hak menghakimi, menilai apalagi
merendahkan orang lain.

Saya tidak mau lagi menghabiskan energi dan waktu untuk


itu. Capek.

Dari pada mengukur orang lain lebih baik waktu dan energi
emosi yang ada saya gunakan untuk meningkatkan kualitas
hidup, menikmati kesenangan yang membangun dan
melayani orang yang membutuhkan. Ternyata CUEK itu
enak dan perlu.

Hidup membutuhkan kebesaran hati untuk memaafkan.


Pikiran yang jernih untuk mengerti orang lain dan perasaan
yang lembut untuk berkomunikasi dengan mereka yang
menyebalkan.

Sebab kita tak berdaya mengubah orang lain. Kita hanya


perlu kedamaian dari Tuhan agar mampu menerima orang
lain apa adanya. Menerima mereka yang belum juga
berubah seperti yang kita mau. Kita hanya perlu keberanian
mengubah diri kita sendiri. Memperbaiki diri, sikap dan
perbuatan kita yang tidak berkenan pada Tuhan.
Mudah menuliskan ini, tapi tidak mudah saat menjalaninya.
Untuk itu kita perlu teman sharing untuk berbagi kesedihan
dan kekecewaan. Agar kemarahan kita tidak bertumpuk.

Sekali kekekecewaan dan kemarahan kita biarkan


menumpuk maka pikiran jernih kita hilang. Kelembutan kita
akan lenyap. Kesabaran kitapun runtuh.

Selain perlu teman berbagi, kita perlu mendoakan orang


yang menjengkelkan tadi. Kita meminta berkat Tuhan
untuknya. Mencari tahu latar belakang orang tersebut, agar
kita mengerti mengapa dia berbuat demikian.

Kita perlu mencari tahu apa yang disukainya, dan belajar


berbuat baik selagi kita bisa melakukannya. Mencari hal-hal
baik atau kelebihannya. Supaya kita tetap ada alasan
menghargai. Jangan fokus pada kelemahan atau
kesalahannya.

Tentu ini semua berlaku untuk orang-orang yang dekat


dengan kita, kerabat dan sahabat. Dimana kita kerap
bertemu dan berelasi satu dengan lainnya.

Julianto Simanjuntak
Catatan Konseling
Keluarga Kreatif, LK3

Anda mungkin juga menyukai