Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat


transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukan
merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit. 1 Akibat
adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas paru akan
berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-organ
mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi pernafasan dan
juga dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi darah. 2
Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negara
yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi
tuberkulosis.Efusi pleura akibat keganasan merupakan salah satu komplikasi yang
biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru
dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai
pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara
5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan
sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura.2
Diperlukan penatalaksanaan yang baik dalam menanggulangi efusi pleura ini,
yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap penyebabnya
sehingga hasilnya akan memuaskan. 2
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berkeinginan menyajikan
informasi mengenai efusi pleura agar dapat menjadi bahan masukan kepada diri
penulis dan kita semua dapat mendiagnosis serta memberikan terapi yang tepat pada
penderita efusi pleura.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi

2.2
Nama : Tn. KHB
Umur : 56 tahun
Alamat : JL. Abi Kusno Cokro Suyoso NO 1391
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
MRS : 18 Maret 2019 2018 Pukul 18:42 WIB
No. RM : 0001113667
Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari penderita (21 maret
2019)

Keluhan Utama:
Sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Sejak ± 3 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak nafas

Riwayat Penyakit Dahulu

2
 Riwayat Kencing Manis (+)
 Darah Tinggi (+)
 Asma (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal.

Riwayat Pengobatan

Riwayat sering batuk lama sebelumnya (± 5 bulan yang lalu) (+) . Pasien hanya
membeli obat warung sendiri (Obat batuk OBH) dan berasa baik setelah minum obat.

Status Sosial Ekonomi dan Gizi:


Penderita adalah seorang Buruh bangunan. Penderita makan 3-4 kali sehari
dengan variasi nasi, ikan, ayam, tempe, tahu, telur, dan buah-buahan. Penderita jarang
makan daging merah dan minum susu.
Riwayat merokok (+), 1 bungkus per hari sejak usia 20 tahun. Pasien
mengaku telah berhenti merokok sejak 6 bulan terakhir.
Kesan : sosial ekonomi sedang.

2.3 PemeriksaanFisik
Pemeriksaan Fisik Umum

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, isi/kualitas cukup, regular
Pernafasan : 30 x/menit, SpO2: 99%, reguler, tipe pernafasan
thorako abdominal
Suhu : 36,5oC

3
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 155 cm

Pemeriksaan Khusus

Kepala : Normochepali, warna rambut hitam kecoklatan, rambut licin, tidak


mudah dicabut, alopesia (-), nyeri tekan supra dan infra orbita (-),
deformitas tulang kepala (-), facies cooley (-)
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Deviasi septum nasal (-), sekret (-)
Mulut : Atrofi lidah (+), tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB colli (-)
Thoraks : Barrel chest (-), venektasi (-)

Pulmo
Inspeksi : Statis dan dinamis paru kanan tertinggal, paru kiri (+) normal,
retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Stemfremitus kanan menurun dibanding paru kiri setinggi ICS II
Perkusi : Redup mulai dari ICS II kebawah pada lapang paru kanan, sonor di
seluruh lapangan paru kiri, nyeri ketok (-/-).
Auskultasi : Vesikuler menurun pada paru kanan, paru kiri vesikuler (+) normal,
rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung atas ICS II LSD Batas jantung kanan sulit dinilai

4
Batas jantung kiri ICS IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 80 x/menit, reguler, BJ I dan II (+) normal, murmur (-), gallop
(-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

Ekstremitas
Atas : Palmar pucat (+), palmar eritema (-), clubbing finger (-),
koilonychia (-), edema (-), deformitas (-)
Bawah : Akral pucat (+), akral hangat (+), edema pretibia (-), deformitas (-),
ulkus (-)

2.4 PemeriksaanPenunjang
Laboratorium

Tanggal 22 Mei 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Darah Lengkap
Hemoglobin 13,6 g/dL* 13,48-17,40 g/dL
RBC 5,18x106/mm3* 4,40-6,30 x106/mm3
Leukosit 7,4 x103/mm3 4,73-10,89 x103/mm3
Hematokrit 20%* 41-51 %
Trombosit 337x103/µL 170-396x103/µL

5
Diffcount 0/1/72*/18*/9* 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8
Albumin 2.9 g/dl 3.5-5.0 g/dl
LDH 257 u/l 240-480 u/l
Protein 10 u/l 6.6-8.7 u/l

Tanggal 25 Mei 2018


Pemeriksaan Sputum Hasil
BTA
BTA I (sewaktu) Negatif

BTA II (pagi) Negatif

BTA III (sewaktu) Negatif

Analisa Cairan Hasil Nilai Normal


Pleura
1. Makroskopis
Volume -
Warna Kecoklatan Transudat: kekuningan

Eksudat: kuning s/d merah


Kejernihan Keruh Transudat: jernih

Eksudat: keruh
Bau Tidak berbau Transudat: tidak berbau

Eksudat: berbau busuk


Berat jenis 1.005 Transudat: <1.016

Eksudat: >1.016

6
Bekuan Negatif Transudat: negatif

Eksudat: positif
pH 7.0 Transudat: 7.4-7.6

Eksudat: <7.3
II. Makroskopis
Jumlah leukosit 496.0 Transudat: <500

Eksudat: >500
Hitung jenis sel
PMN sel 46% Transudat: lebih sedikit

Eksudat: lebih banyak


MN sel 54% Transudat: lebih banyak

Eksudat: lebih sedikit


III. Kimia
Rivalta Positif Transudat: negatif

Eksudat: positif
Protein 6.9 g/dl Transudat: <2.5

Eksudat: >3
LDH 1989 u/l Transudat: <200

Eksudat: >200

Pemeriksaan Patologi Anatomi (tanggal 15 Juni 2018)


Makroskopik : terima cairan volume 500 cc, warna merah kehitaman
Kesan : Mesotel reaktif pada sitologi cairan pleura

7
Pemeriksaan Foto Rotgen Thorax di RS Mohammad Hoesin (Tanggal 04
Juni 2018)

Kesan: Efusi pleura masif kanan

2.5 Diagnosis Sementara


- Efusi Pleura Dextra ec malignancy

2.6 Diagnosis Banding


- Efusi pleura dextra ec. Pleuritis TB paru
- Efusi pleura dextra ec. pleuropneumonia
- Tumor paru kanan

2.7 Tatalaksana
Non Farmakologi: Farmakologi:
 Bedrest  IVFD Nacl 0,9% 500cc gtt

8
 Edukasi XX/m (makro)
 O2 3l/m  Ceftriaxon 2x1 gr
 Aspirasi cairan pleura,  Paracetamol 500 mg p.o
didapatkan 1000cc, warna (bila suhu melebihi 38,5 ºC)
merah kecoklatan
 Diet TKTP

2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

2.9 Rencana Pemeriksaan


- Ro thorax ulang post aspirasi
- Sitologi cairan pleura, kultur cairan pleura
- Gene xpert sputum, sitologi sputum, kultur dan resistensi sputum
- Cek LDH, Protein total albumin

2.9 Follow Up
Follow Up: Tanggal 21 Juni 2018
S Sesak nafas berkurang, batuk (-), demam (-)
O
Keadaan umum Tampak sakit ringan
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/80 mmHg
Nadi 92 x/m, reguler, isi cukup, tegangan kuat
Pernapasan 24 x/m, SpO2: 99%
Temperatur 36,9 0C

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat ( -/-), sklera ikterik (-/-),
mata cekung (-/-), mukosa bibir basah

9
Leher JVP (5-2) cm H20, pembesaran KGB (-)
Thorax I:Statis dan dinamis: tertinggal pada bagian kanan,
retraksi dinding dada (-/-), Barrel chest (-), venektasi
(-), dan spidernaevi (-),
P: Stemfremitus kanan melemah, Nyerti tekan (-)
P: Redup mulai dari ICS II kebawah pada lapang paru
kanan, sonor di seluruh lapangan paru kiri, nyeri ketok
(-/-).
A: Vesikuler melemah pada lapang paru kanan, rhonki
(-), wheezing (-)
Cor I: Iktus kordis tidak terlihat
P: Iktus kordis tidak teraba, Thrill (-)
P: Batas jantung atas ICS II, Batas jantung kanan sulit
dinilai, Batas jantung kiri 1 cm lateral linea mid
clavicularis sinsitra ICS VI
A : HR 92x/menit, reguler, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen I : Datar, caput medusae (-), venektasi (-)
P : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotement (-).
P : Timpani, shifting dullness (-)
A : Bising usus (+) normal
Ekstremitas edema pretibial (-/-), pucat (-/-), akral sianosis (-), akral
hangat (+)
A Efusi Pleura Dextra ec. Malignancy
P Non Farmakologis
 Bedrest
 O2 3 l/m
 Edukasi
Farmakologis
 IVFD Nacl 0,9% 500cc gtt XX/m (makro)

10
 Ceftriaxon 2x1 gr
 Paracetamol 500 mg p.o (bila suhu melebihi
>38.5 ºC)

Follow Up tanggal 22 Juni 2018


S Sesak berkurang, batuk (-), demam (-)
O
Keadaan umum Tampak sakit ringan
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 92 x/m, reguler, isi cukup, tegangan kuat
Pernapasan 25 x/m, SpO2: 99%
Temperatur 36,6 0C

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat ( -/-), sklera ikterik (-/-),
mata cekung (-/-), mukosa bibir basah
Leher JVP (5-2) cm H20, pembesaran KGB (-)
Thorax I: Barrel chest (-), venektasi (-), dan spidernaevi (-),
Statis dan dinamis: tertinggal pada bagian kanan,
retraksi dinding dada (-/-)
P: Stemfremitus kanan menurun, Nyerti tekan (-)
P: Redup mulai dari ICS II kebawah pada lapang paru
kanan, sonor di seluruh lapangan paru kiri, nyeri
ketok (-/-).
A: Vesikuler melemah pada lapang paru kanan, rhonki
(-), wheezing (-)
Cor I: Iktus kordis tidak terlihat
P: Iktus kordis tidak teraba, Thrill (-)

11
P: Batas jantung atas ICS II Batas jantung kanan sulit
dinilai, Batas jantung kiri 1 cm lateral linea mid
clavicularis sinsitra ICS VI
A : HR 92x/menit, reguler, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen I : datar, caput medusae (-), venektasi (-)
P : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotement (-).
P : Timpani, shifting dullness (-)
A : Bising usus (+) normal
Ekstremitas edema pretibial (-/-), pucat (-/-), akral sianosis (-), akral
hangat (+)
A Efusi Pleura Dextra ec.malignancy
P Non Farmakologis
 Bedrest
 O2 3 l/m
 Edukasi
Farmakologis
 IVFD Nacl 0,9% 500cc gtt XX/m (makro)
 Ceftriaxon 2x1 gr
 Paracetamol 500 mg p.o (bila suhu melebihi
38,5 ºC)

Follow up Tanggal 23 Juni 2018


S Tidak ada keluhan
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/80 mmHg
Nadi 86 x/m, reguler, isi cukup, tegangan kuat
Pernapasan 24 x/m, SpO2: 98%

12
Temperatur 36,3 0C

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat ( -/-), sklera ikterik (-/-),
mata cekung (-/-), mukosa bibir basah
Leher JVP (5-2) cm H20, pembesaran KGB (-)
Thorax I: Barrel chest (-), venektasi (-), dan spidernaevi (-),
Statis dan dinamis: tertinggal pada bagian kanan,
retraksi dinding dada (-/-)
P: Stemfremitus kanan=kiri, Nyerti tekan (-)
P: sonor pada kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-)
A: Vesikuler normal, rhonki (-), wheezing (-)
Cor I: Iktus kordis tidak terlihat
P: Iktus kordis tidak teraba, Thrill (-)
P: Batas jantung atas ICS II Batas jantung kanan ICS V
lineasternalis dextra, Batas jantung kiri 1 cm lateral
linea mid clavicularis sinsitra ICS VI
A : HR 86x/menit, reguler, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen I : datar, caput medusae (-), venektasi (-)
P : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotement (-).
P : Timpani, shifting dullness (-)
A : Bising usus (+) normal
Ekstremitas edema pretibial (-/-), pucat (-/-), akral sianosis (-), akral
hangat (+)
A Efusi Pleura Dextra ec malignancy
P Non Farmakologis
 Bedrest
 Edukasi

13
Farmakologis
 IVFD Nacl 0,9% 500cc gtt XX/m (makro)
 Ceftriaxon 2x1 gr
 Paracetamol 500 mg p.o (bila suhu melebihi
38,5 ºC)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. EFUSI PLEURA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura

Pleura terletak dibagian terluar dari paru-paru dan mengelilingi paru. Pleura
disusun oleh jaringan ikat fibrosa yang didalamnya terdapat banyak kapiler limfa dan
kapiler darah serta serat saraf kecil. Pleura disusun juga oleh sel-sel (terutama
fibroblast dan makrofag). Pleura paru ini juga dilapisi oleh selapis mesotel. Pleura
merupakan membran tipis, halus, dan licin yang membungkus dinding anterior toraks
dan permukaan superior diafragma. Lapisan tipis ini mengandung kolagen dan
jaringan elastik.1
Pleura terbagi atas dua yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura
parietalis melapisi toraks atau rongga dada sedangkan pleura viseralis melapisi paru-
paru. Kedua pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam beberapa hal terdapat
perbedaan antara kedua pleura ini yaitu pleura viseralis bagian permukaan luarnya
terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis (tebalnya tidak lebih dari 30 μm).
Diantara celah - celah sel ini terdapat beberapa sel limfosit. Di bawah sel-sel
mesotelia ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit. Seterusnya
dibawah ini (dinamakan lapisan tengah) terdapat jaringan kolagen dan serat-serat
elastik. Pada lapisan terbawah terdapat jaringan intertitial subpleura yang sangat
banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari Arteri Pulmonalis dan Arteri
Brankialis serta pembuluh getah bening. Keseluruhan jaringan pleura viseralis ini
menempel dengan kuat pada jaringan parenkim paru. Pleura parietalis mempunyai

14
lapisan jaringan lebih tebal dan terdiri dari sel-sel mesotelial juga dan jaringan ikat
(jaringan kolagen dan serat-serat elastik). Dalam jaringan ikat, terdapat pembuluh
kapiler dari A. Interkostalis dan A. Mammaria interna, pembuluh getah bening dan
banyak reseptor saraf-saraf sensorik yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan
temperatur. Sistem persarafan ini berasal dari nervus intercostalis dinding dada.
Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini menempel dengan mudah, tapi juga mudah
dilepaskan dari dinding dada di atasnya. Di antara pleura terdapat ruangan yang
disebut spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan
permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser secara bebas pada saat ventilasi.
Cairan tersebut dinamakan cairan pleura. Cairan ini terletak antara paru dan thoraks.
Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan pleura parietalis dengan pleura
viseralis sehingga apa yang disebut sebagai rongga pleura atau kavitas pleura
hanyalah suatu ruangan potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah
daripada tekanan atmosfer sehingga mencegah kolaps paru. Jumlah normal cairan
pleura adalah 10-20 cc. 2
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura
parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang
akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu
dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan. Cairan pleura dalam keadaan
normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura
kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Hal ini disebabkan karena
perbedaan tekanan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong
cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung menahan
cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura
viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura
parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis
sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga
pleura.1

15
Gambar 3.1 Gambaran Anatomi Pleura3

3.2 Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan
transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung
cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma,
kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.4

3.3 Etiologi
3.3.1 Berdasarkan Jenis Cairan
a. Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang
mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami
perubahan.
b. Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura2.

Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
Kadar protein dalam efusi <0,5 >0,5

16
Kadar Protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (I.U) <200 >200
Kadar LDH dalam efusi < 0,6 >0,6
Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi <1.016 >1.016


Rivalta Negatif Positif
2
Tabel 3.1 Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria
berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga
kriteria ini 2:
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal didalam serum.

3.3.2 Efusi pleura berupa :


A. Eksudat, disebabkan oleh :
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara
100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala,
demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis.
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap
virus dalam cairan efusi.5
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli
oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar
secara hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob
maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,
Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan
pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan
cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.4

17
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi
melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening,
dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral.
Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari
jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada
didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya
unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien
pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan,
dyspneu, dan nyeri dada pleuritik. 2
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-
paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi
bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi
terjadinya efusi ini diduga karena :
a. Invasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi
kebocoran kapiler.
b. Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan
aliran balik sirkulasi.
c. Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan
negatif intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura
yang ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan
pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan
pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik
cairan pleura dan tindakan biopsi pleura yang menggunakan jarum
(needle biopsy).4
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah

18
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita
cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus
efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun
drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang
terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube
thoracostomy pada pasien dengan efusi para pneumonik:
a. Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
b. Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
c. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
d. Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri.
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam
waktu beberapa jam saja.4
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma.
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi
parapneumonik.4
B. Transudat, disebabkan oleh :
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava
superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan
vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi
peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan
tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi
pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening juga akan menurun
(terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura dan paru-paru
meningkat.5

19
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada
dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak
sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi
pada sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan
jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura
juga segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga
bila penderita amat sesak.6
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah
dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui
lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi
biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan
dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol
asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan
yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa
(peritoneal venous shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap
kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa dengan suntikan agen
yang menyebakan skelorasis.5
4. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-
penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat
menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma
dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya

20
metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh
tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk
ke pleura melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit
kronis.6
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini
terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan
dialisat.6
Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks.
Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam
darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa
menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan
fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera
membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding
dada.4

3.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura
berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling
bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan
ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler
dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan
pembentukannya .1
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan
proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara

21
patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya
efusi pleura yaitu 5;
1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
2. Penurunan tekanan kavum pleura
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.
Efusi pleura pada keganasan terjadi akibat peningkatan permeabiliti pembuluh
darah karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh infiltrasi sel kanker pada pleura
parietal dan/ atau viseral. Setelah meneliti 55 kasus postmortem tumor pleura.
Ditemukan tumor di pleura viseral pada 51 kasus sedangkan di pleura parietal pada
31 kasus. Hanya pada kasus tumor dengan perluasan langsung, tumor ditemukan pada
pleura parietal tetapi tidak pada viseral. Berdasarkan hasil itu disimpulkan bahwa
implikasi sel ganas di pleura viseral terjadi akibat emboli tumor ke paru sedangkan
pada pleura parietal adalah akibat kelanjutan proses yang terjadi di pleura viseral.
Mekanisme lain yang mungkin adalah invasi langsung tumor yang berdekatan dengan
pleura, obstruksi pada kelenjar limfe, penyebaran hematogen atau tumor primer
pleura (mesotelioma). Gangguan penyerapan cairan oleh pembuluh limfe pada pleura
parietal akibat deposit sel kanker itu menjadi penyebab akumulasi cairan di rongga
pleura.16
Teori lain menyebutkan terjadi peningkatan permeabiliti yang disebabkan oleh
gangguan fungsi beberapa sitokin antara lain tumor necrosing factor-α (TNF-α),
tumor growth factor-β (TGF-β) dan vascular endothelial growth factor(VEGF).
Penulis lain mengaitkan EPG dengan gangguan metabolisme, menyebabkan
hipoproteinemia dan penurunan tekanan osmotik yang memudahkan perembesan
cairan ke rongga pleura.16

PATHWAY
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,

22
sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura
dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena pecahnya
alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini
sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang
elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.4

Penghambatatan drainase Tekanan Osmotik Koloid


infeksi
limfatik Plasma

Peradangan permukaan Tekanan kapiler paru Transudasi cairan

pleura meningkat intravaskular


Permeabilitas Vascular Tekanan Hisdrostatik Edema

Transudasi Cavum Pleura

Efusi Pleura

Skema 3.1 : Efusi Pleura6


Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan
primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis

23
peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva,
keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.4
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial
berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga
pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa
Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif .4

3.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan
fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan
analisa cairan pleura.

3.6 Manifestasi Klinis


3.6.1 Gejala Utama.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak , berupa rasa
penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang
banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-
gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi),
banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea menjauhi tempat yang
sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan5
3.6.2 Pemeriksaan Fisik.
a. Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
b. Palpasi : Penurunan fremitus vocal atau taktil
c. Perkusi : Pekak pada perkusi,
d. Auskultasi : Penurunan bunyi napas

24
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas
bronkus.5

Gambar 3.2 : Garis melengkung (garis Ellis Damoiseu)7

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan


berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan
kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal),
pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan
cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).4
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup
timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu
daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada
auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada
permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.7

3.7 Pemeriksaan Penunjang.


3.7.1 Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat
dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan

25
permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak
sudut kostrofrenikus menumpu. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral
dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi.

Gambar 3.2 : Gambaran thoraks dengan efusi pleura8


3.7.2 Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior
dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura
sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk
diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan9:
a. Warna cairan.
Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).
b. Biokimia.
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat
dilihat pada tabel dibawah:
3.7.3 Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-
sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.8
a. Sel neutrofil: pada infeksi akut
b. Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma
maligna).

26
c. Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
d. Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
e. Sel giant: pada arthritis rheumatoid
f. Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
g. Sel maligna: pada paru/metastase.
3.7.4 Bakteriologi
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.
2.7.5 Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.4
3.8 DIAGNOSIS BANDING
Differential Diagnosis Effusi Pleura 2:
1. Tumor paru
- Sinus tidak terisi
- Permukaan tidak concaf tetapi sesuai bentuk tumor
- Bila tumor besar dapat mendorong jantung
2. Pneumonia
- Batas atas rata / tegas sesuai dgn bentuk lobus
- Sinus terisi paling akhir
- Tidak tampak tanda pendorongan organ
- Air bronchogram ( + )
3. Pneumothorak
4. fibrosis paru

3.9 Penatalaksanaan
Terapi penyakit dasarnya antibiotika dan terapi paliatif (Efusi pleura
haemorrhagic). Jika jumlah cairannya sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan
pengobatan terhadap penyebabnya. Jika jumlah cairannnya banyak, sehingga
menyebabkan penekanan maupun sesak nafas, maka perlu dilakukan tindakan
drainase (pengeluaran cairan yang terkumpul). Cairan bisa dialirkan melalui prosedur

27
torakosentesis, dimana sebuah jarum (atau selang) dimasukkan ke dalam rongga
pleura. Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pada
prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika jumlah cairan yang
harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah selang melalui dinding
dada. Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika
nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka
pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus diangkat
sehingga bias dipasang selang yang lebih besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan
untuk memotong lapisan terluar dari pleura (dekortikasi). Pada tuberkulosis atau
koksidioidomikosis diberikan terapi antibiotik jangka panjang. Pengumpulan cairan
karena tumor pada pleura sulit untuk diobati karena cairan cenderung untuk terbentuk
kembali dengan cepat. Pengaliran cairan dan pemberian obat antitumor kadang
mencegah terjadinya pengumpulan cairan lebih lanjut. Jika pengumpulan cairan terus
berlanjut, bisa dilakukan penutupan rongga pleura. Seluruh cairan dibuang melalui
sebuah selang, lalu dimasukkan bahan iritan (misalnya larutan atau serbuk
doxicycline) ke dalam rongga pleura. Bahan iritan ini akan menyatukan kedua lapisan
pleura sehingga tidak lagi terdapat ruang tempat pengumpulan cairan tambahan. Jika
darah memasuki rongga pleura biasanya dikeluarkan melalui sebuah selang. Melalui
selang tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk membantu memecahkan bekuan
darah (misalnya streptokinase dan streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut
atau jika darah tidak dapat dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan
pembedahan. 9

3.9.1 Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,
aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat
dilakukan sebagai berikut8:

28
1. penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat
dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.
2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di
daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di
bawah batas suara sonor dan redup.
3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan
jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya
disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai
diahfragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum
tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura
parietalis tebal.
4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada
setiap aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat
pengembangan paru secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan dalam
jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk,
bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.5
5. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga
ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serothoraks), berdarah
(hemothoraks), pus (piothoraks) atau kilus (kilothoraks), nanah (empiema).
Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (cairan putih jernih) atau
eksudat (cairan kekuningan). 9

29
Gambar 3.3: Metode torakosentesis8
Indikasi pungsi pleura9 :
1. Adanya gejala subyektif seperti sakit atau nyeri, dipsneu, rasa berat
dalam dada.
2. Cairan melewati sela iga ke-2, terutama bila dihemithoraks kanan,
karena dapat menekan vena cava superior.
3. Bila penyerapan cairan terlambat (lebih dari 6-8 minggu).

3.9.2 Pemasangan WSD


Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara
lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut7:
1. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea
aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
2. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar
kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
3. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
4. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai
mendapatkan pleura parietalis.
5. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar
ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
6. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat
dengan kasa dan plester.
7. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang

30
diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari
luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.
8. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.
Untuk memastikan dilakukan foto toraks8.
9. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan
paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

3.9.3 Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis,
merupakan penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang
digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-
fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat
dikeluarkan sbanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg)
diberikan selang waktu 710 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan
WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang
menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali
cairan dalam rongga tersebut.9

3.10 Prognosa
Tergantung penyakit yang mendasari, pada kasus tertentu, dapat sembuh
sendiri setelah diberi pengobatan adekuat terhadap penyakit dasarnya.4

B. KANKER PARU

4.1 Definisi

Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas
atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak
normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan
pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi

31
pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan
bentuk epitel dan menghilangnya silia.10

4.2 Etiologi

Penyebab pasti kanker paru belum diketahui, namun paparan atau


inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan
faktor penyebab utama, disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh,
genetic, dan lain-lain. Dari beberapa kepustakaan, telah dilaporkan bahwa
etiologi kanker paru sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok.
Lombard dan Doering (1928) melaporkan tingginya insiden kanker paru pada
perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara
rata-rata jumlah rokok yang dihisap per hari dengan tingginya insiden kanker
paru. Dikatakan bahwa 1 dari 9 perokok berat akan menderita kanker paru.
Laporan beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok pasif pun berisiko
terkena kanker paru. Diperkirakan 25% kanker paru dari pasien bukan
perokok berasal dari perokok pasif. Merokok merupakan penyebab utama dari
sekitar 90% kasus kanker paru-paru pada pria dan sekitar 70% pada wanita.
Semakin banyak rokok yang dihisap, semakin besar resiko untuk menderita
kanker paru-paru. Hanya sebagian kecil kanker paru-paru (sekitar 10%-15%
pada pria dan 5% pada wanita) yang disebabkan oleh zat yang ditemui atau
terhirup di tempat bekerja.
Terdapat perubahan/mutasi beberapa gen yang berperanan dalam kanker
paru, yakni proto oncogen, tumor supressor gene, dan gene encoding enzyme.
Etiologi lain dari kanker paru yang pernah dilaporkan adalah sebagai
berikut:
a. Paparan zat karsinogen, seperti :
• Asbestos, sering menimbulkan mesotelioma
• Radiasi ion pada pekerja tambang uranium
• Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, vinil klorida
b. Polusi udara
c. Penyakit paru seperti pneumonitis intersisial kronik
d. Riwayat paparan radiasi daerah torak

32
e. Genetik

Teori Onkogenesis
Terjadinya kanker paru akibat akumulasi bertahap kelainan genetik yang
menyebabkan transformasi epitel bronkus jinak menjadi jaringan neoplastik.
Rangkaian perubahan molekular tidak bersifat acak, tetapi mengikuti suatu
sekuensi yang sejajar dengan perkembangan histologik menjadi kanker.10
Perubahan genetik tertentu, seperti hilangnya bahan kromosom 3p (gen
penekan tumor), dapat ditemukan, bahkan pada epitel bronkus jinak pasien
kanker paru, serta di epitel pernapasan perokok yang tidak mengidap kanker
paru, yang mengisyaratkan bahwa pajanan ke karsinogen menyebabkan
mukosa pernapasan secara luas mengalami mutagenisasi. Dalam kaitannya
dengan pengaruh karsinogenik, terdapat bukti kuat bahwa merokok dan
gangguan lain dari lingkungan, merupakan penyebab perubahan genetic yang
menyebabkan kanker paru.10

Ga
mbar 4.1. Akumulasi dari perubahan progresif yang bertahap dari kanker

33
paru. Menunjukan adanya konsekuensi biologis yang dihasilkan dari
perubahan genetik dan epigenetik.

4.3 Patofisiologi

Sebab-sebab keganasan pada tumor masih belum jelas, tetapi virus,


lingkungan, hormonal dan semuanya berkaitan dengan risiko terjadi tumor.
Permulaan terjadinya tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat initiation yang
merangsang permulaan terjadinya perubahan sel. Diperlukan perangsangan yang lama
dan berkesinambungan untuk memicu timbulnya penyakit tumor. Inisiasi agen
biasanya bisa berupa kimia, fisik atau biologis yang berkemampuan beraksi langsung
dan merubah struktur dasar dari komponen (DNA). Keadaan selanjutnya akibat
keterpaparan yang lama ditandai dengan berkembangnya neoplasma dengan
terbentuknya formasi tumor. Hal ini dapat berlangsung lama, minggu bahkan sampai
tahunan.11

Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus


menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen.
Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia ,hyperplasia
dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan
displasia menembus ruang pleura, biasanya akan timbul efusi pleura, dan bisa diikuti
invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.11

Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang
terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan
supurasi di bagian distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis,
11.
dispneu, demam, dan dingin.Wheezing unilateral dapat terdengar pada auskultasi.
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase,
khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur – struktur terdekat
seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka.11

34
4.4 Manifestasi Klinis

Pada stadium awal, sebagian besar kanker paru tidak menunjukkan


gejala klinis. Gejala dan tanda kanker paru umumnya terjadi pada kasus
stadium lanjut, antara lain:10,12
 Lokal:
- Batuk baru atau batuk yang lebih hebat pada batuk kronis
- Hemoptisis
- Mengi/ stridor karena obstruksi saluran napas
- Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
- Atelektasis
 Invasi lokal:
- Nyeri dada
- Sesak napas karena efusi pleura
- Invasi ke perikardium yang menyebabkan tamponade atau aritmia
- Sindrom vena kava superior
- Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
- Suara serak, karena penekanan berulang pada N. Laringeal
- Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brachialis dan saraf
simpatis servikalis

 Gejala penyakit metastasis:


- Pada otak, tulang, hati, adrenal
- Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai
metastasis)

 Sindroma Paraneoplastik: Terdapat pada 10% pasien dengan kanker paru


- Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
- Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi

35
- Endokrin : sekresi berlebihan hormon paratiroid
- Dermatologik : eritema multiformis, hiperkeratosis, jari tabuh
- Renal : syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIADH)
- Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
- Neuromiopati
- Hipertrofi osteoartropati

 Asimtomatik dengan kelainan radiologis


- Sering terdapat pada perokok dengan PPOK yang terdeteksi secara
radiologis
- Kelainan berupa nodul soliter

Kanker bisa menyebabkan bunyi mengi karena terjadi penyempitan


saluran udara di dalam atau di sekitar tempat tumbuhnya kanker.
Penyumbatan bronkus bisa menyebabkan kolaps pada bagian paru-paru yang
merupakan percabangan dari bronkus tersebut, keadaan ini disebut atelektasis.
Akibat lainnya adalah pneumonia dengan gejala berupa batuk, demam, nyeri
dada dan sesak nafas. Jika tumor tumbuh ke dalam dinding dada, bisa
menyebabkan nyeri dada yang menetap.
Gejala yang timbul kemudian adalah hilangnya nafsu makan, penurunan
berat badan dan kelemahan. Kanker paru seringkali menyebabkan
penimbunan cairan di sekitar paru-paru (efusi pleura), sehingga penderita
mengalami sesak nafas. Jika kanker menyebar di dalam paru-paru, bisa terjadi
sesak nafas yang hebat, kadar oksigen darah yang rendah dan gagal jantung.
Kanker di puncak paru-paru bisa tumbuh ke dalam saraf yang menuju ke
lengan sehingga lengan terasa nyeri, mati rasa dan lemah. Kerusakan juga bisa
terjadi pada saraf pita suara sehingga suara penderita menjadi serak. Kanker
bisa tumbuh secara langsung ke dalam kerongkongan, atau tumbuh di dekat
kerongkongan dan menekannya, sehingga terjadi gangguan menelan. Kadang

36
terbentuk saluran abnormal (fistula) diantara kerongkongan dan bronki,
menyebabkan batuk hebat selama proses menelan berlangsung, karena
makanan dan cairan masuk ke dalamparu-paru.
Kanker paru-paru bisa tumbuh ke dalam jantung dan menyebabkan:
a. Irama jantung yang abnormal
b. Pembesaran jantung
c. Penimbunan cairan di kantong perikardial.
Kanker juga bisa tumbuh di sekitar vena kava superior. Penyumbatan
vena ini menyebabkan darah mengalir kembali ke atas, yaitu ke dalam vena
lainnya dari bagian tubuh sebelah atas:
a. Vena di dinding dada akan membesar
b. Wajah, leher dan dinding dada sebelah atas (termasuk payudara) akan
membengkak dan tampak berwarna keunguan.
Keadaan ini juga menyebabkan sesak nafas, sakit kepala, gangguan
penglihatan, pusing dan perasaan mengantuk. Gejala tersebut biasanya akan
memburuk jika penderita membungkuk ke depan atau berbaring.10,12
4.6 Klasifikasi

Diantara beberapa klasifikasi karsinoma paru, yang paling banyak diterima


adalah Klasifikasi WHO tahun 1999. Berdasarkan klasifikasi ini, terdapat empat jenis
histologi karsinoma paru; adenokarsinoma, karsinoma epidermoid (karsinoma sel
squamosa), karsinoma sel besar dan karsinoma sel kecil. Keempat tipe ini merupakan
95% dari keseluruhan kanker paru. Di luar keempat tipe tersebut, ditemukan pula
beberapa sub tipe lain, tetapi sebagian besar diantaranya tidak bernilai klinis maupun
radiologis yang siqnifikan. Karsinoma paru yang terdiri lebih dari 1 tipe
histopatologis diklasifikasikan sebagai tumor campuran.10
Klasifikasi histologi kanker paru menurut WHO tahun 1999 adalah sebagai
berikut:10
1. Squamous carcinoma ( epidermoid carcinoma )
2. Small cell carcinoma
3. Adenocarcinoma
4. Large cell carcinoma
5. Adenosquamous carcinoma

37
6. Carcinoma wirh pleomorphic, sarcomatoid atau sarcomatous with elements
7. Carcinoid tumours
8. Salivary gland type carcinoma
9. Unclassified carcinoma

4.7 Pemeriksaan Diagnostik

a. Radiologi
Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada
merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya
kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat
menyatakan massa udara pada bagian hilus, effusi pleural, atelektasis,
erosi tulang rusuk atau vertebra.13
b. Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
c. MRI, untuk menunjukkan keadaan mediastinum.
d. PET-Scan, modalitas pencitraan untuk membedakan jaringan tumor
dengan jaringan normal berdasarkan aktivitas biologi.13
e. Laboratorium
- Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe). Dilakukan untuk
mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
- Pemeriksaan fungsi paru dan GDA. Dapat dilakukan untuk mengkaji
kapasitas untuk memenuhi kebutuhan ventilasi.
f. Histopatologi.
g. Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian, dan pembersihan sitologi
lesi (besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
h. Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan
ukuran < 2 cm, sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
i. Torakoskopi.
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik dengan
cara torakoskopi.

38
j. Mediastinoskopi untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah
bening yang terlibat.
k. Torakotomi.
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila bermacam –
macam prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan
sel tumor.13
4.8 Tatalaksana14,15

Penentuan modalitas terapi yang akan diberikan pada penderita tergantung


pada:

1. Jenis histologi kanker paru


2. Stadium kanker
3. Status performance
4. Fasilitas dan pengalaman dokter
Pada kanker dikenal modalitas terapi, yaitu:

- Pembedahan

Pada kasus karsinoma bronkogenik, pembedahan dapat sebagai terapi kuratif


maupun paliatif. Setiap kasus dengan karsinoma bronkogenik yang akan dilakukan
pembedahan kuratif, harus ditentukan stadium pra bedah. Pembedahan hanya
dilakukan pada penderita kanker paru stadium I, II, dan III-a tanpa IV-2. Status faal
paru penderita, serta syarat-syarat operasi besar lainnya dikerjakan pada pra bedah.
Dari faal paru pra bedah, bila FEV1 penderita 60% nilai predicted dan VC 50% atau
diatas 1,7 L, umumnya penderita tahan terhadap tindakan pneumectomi. Bila FEV1
kurang dari 40% nilai predicted risiko terjadi gagal napas besar.

- Radiasi

Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat terapi kuratif atau paliatif. Pada terapi
kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoterapi neo adjuvan untuk stadium III A.

39
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk meringankan
keluhan penderita, seperti sindrom vena kava superior, nyeri tulang akibat invasi
tumor ke dinding dada & metastasis tumor di tulang atau otak. Dosis radiasi yang
diberikan secara umum adalah 5000-6000 cGy, dengan cara pemberian 200 cGy/kali,
5 hari seminggu.

- Kemoterapi

Kemoterapi dapat diberikan pada semua jenis kanker paru. Syarat utama harus
ditentukan jenis histologis dan tampilan (performance status) yang harus lebih dari
dosis skala Karnofsky atau mempunyai nilai 2 menurut skala WHO. Kemoterapi
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat anti kanker atau kombinasi beberapa
jenis obat dalam sebuah regimen kemoterapi. Berdasar konsensus PDPI yang telah
disepakati, prinsip pemilihan jenis panduan obat anti kanker adalah:

(1) Platinum based therapy (sisplatin atau karboplatin);

(2)Respon obyektif satu obat anti kanker > 15%;

(3) Toksisitas obat tidak lebih dari grade 3 skala WHO;

(4) Harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 siklus pada penilaian
terjadi tumor progresif.

Tabel 2. Tampilan menurut skala Karnofsky dan WHO.

Nilai Skala Nilai Skala Keterangan


Karnofsky WHO
90 – 100 0 aktivitas normal
70 – 80 1 ada keluhan tetapi masih aktif dan dapat mengurus diri
sendiri
50 – 60 2 cukup aktif, namun kadang memerlukan bantuan
30 – 40 3 kurang aktif, perlu rawatan
10 – 20 4 tidak dapat meninggalkan tempat tidur, perlu rawat di

40
rumah sakit
0 – 10 - tidak sadar

Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru karsinoma sel kecil
(SCLC) dan beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif untuk
kanker paru karsinoma bukan sel kecil (NSCLC) stage lanjut. Tujuan pemberian
kemoterapi paliatif adalah mengurangi atau menghilangkan gejala yang diakibatkan
oleh perkembangan sel kanker tersebut sehingga diharapkan akan dapat
meningkatkan kualitas hidup penderita. Tetapi akhir-akhir ini berbagai penelitian
telah memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk NSCLC sebagai upaya memperbaiki
prognosis, baik sebagai modaliti tunggal maupun bersama modaliti lain, yaitu
radioterapi dan/atau pembedahan.

Indikasi pemberian kemoterapi pada kanker paru ialah:

1. Penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) tanpa atau dengan gejala.

2. Penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) yang inoperabel
(stage IIIB & IV), jika memenuhi syarat dapat dikombinasi dengan radioterapi, secara
konkuren, sekuensial atau alternating kemoradioterapi.

3. Kemoterapi adjuvan yaitu kemoterapi pada penderita kanker paru jenis karsinoma
bukan sel kecil (KPKBSK) stage I, II dan III yang telah dibedah.

4. Kemoterapi neoadjuvan yaitu kemoterapi pada penderita stage IIIA dan beberapa
kasus stage IIIB yang akan menjalani pembedahan. Dalam hal ini kemoterapi
merupakan bagian terapi multimodaliti.

Sekali kemoterapi dimulai, maka perlu diberikan kesempatan yang cukup


kepada obat-obat itu untuk bekerja. Karena itu pengobatan perlu diberikan
setidaktidaknya dua kali, sebelum ditentukan lebih lanjut berapa lama keseluruhan
pengobatan akan berlangsung. Evaluasi dilakukan setelah 2 – 3 siklus kemoterapi.12

41
Pada umumnya kemoterapi dapat diberikan berturut-turut selama 4 – 6 siklus dengan
masa tenggang antara satu siklus ke siklus berikutnya 21 – 28 hari ( 3 – 4 minggu)
tergantung pada jenis obat yang digunakan. Perlu diperhatikan, apabila dosis
maksimal untuk setiap obat telah tercapai pengobatan harus dihentikan. Demikian
pula bila penyakit menjadi progresif atau performance status menjadi amat berkurang
dan tidak kembali ke keadaan sebelum kemoterapi.

Secara umum toksisiti akibat kemoterapi dikelompokkan pada toksisiti


hematologi dan non-hematologi. Masing-masing obat mempunyai efek samping yang
berbeda sesuai dengan farmakokinetik dan farmakodinamik obat itu. Semua obat
sitostatik mempunyai pengaruh depresi pada sumsum tulang. Beberapa obat
mempunyai efek samping yang berhubungan dengan dosis. Adriamisin mempunyai
efek samping pada miokard berupa miokardiopati, bila telah tercapai dosis maksimal.
Siklofosfamid dan ifosfamid dapat menimbulkan sistitis, sedangkan sisplatin dan
karboplatin mempunyai efek toksik pada ginjal dan saraf. Paklitaksel dan dosetaksel
mempunyai efek samping hipersensitiviti serta gangguan susunan saraf pusat.
Alopesia amat sering ditemukan. Gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah
disertai rasa lemah dan anoreksia hampir selalu dirasakan sesudah pemberian
kemoterapi. Gemsitabin termasuk obat sitostatik yang kurang menimbulkan gejala
gastrointestinal dan alopesia, walaupun masih menunjukkan depresi sumsum tulang.

- Hormonal

Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil
penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya.

- Imunoterapi

- Teknik Gen

Teknik dan manfaat pengobatan ini masih dalam penelitian

- Pengobatan Paliatif

42
Hal yang perlu ditekankan dalam terapi paliatif adalah tujuannya untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita sebaik mungkin. Gejala dan tanda
karsinoma bronkogenik dapat dikelompokkan pada gejalabronkopulmoner,
ekstrapulmoner intratorasik, ekstratoraksik non metastasis dan ekstratorasik
metastasis. Sedangkan keluhan yang sering dijumpai adalah batuk, batuk
darah, sesak napas dan nyeri dada. Pengobatan paliatif untuk kanker paru
meliputi radioterapi, kemoterapi, medikamentosa, fisioterapi, dan psikososial.
Pada beberapa keadaan intervensi bedah, pemasangan stent dan
cryotherapy dapatdilakukan.

- Rehabilitasi Medik

Pada penderita kanker paru dapat terjadi gangguan musculoskeletal terutama


akibat metastasis ke tulang.Manifestasinya dapat berupa inviltrasi ke vetebra
atau pendesakan syaraf. Gejala yang tirnbul berupa kesemutan, baal, nyeri dan
bahkan dapat terjadi paresis sampai paralisis otot, dengan akibat
akhirterjadinya gangguan mobilisasi/ambulasi. Upaya rehabilitasi medik
tergantung pada kasus, apakah operabel atau tidak.

1. Bila operabel tindakan rehabilitasi medik adalah preventif dan restoratif.

2. Bila non-operabel tindakan rehabilitasi medik adalah suportif dan paliatif.

Untuk penderita kanker paru yang akan dibedah perlu dilakukan rehabilitasi
medik prabedah danpascabedah, yang bertujuan membantu memperoleh hasil optimal
tindakan bedah, terutama untuk mencegah komplikasi pascabedah (misalnya: retensi
sputum, paru tidak mengembang) dan mempercepatmobilisasi. Tujuan program
rehabilitasi medik untuk kasus yang nonoperabel adalah untuk memperbaiki dan
mempertahankan kemampuan fungsional penderita yang dinilai berdasarkan skala
Karnofsky. Upaya ini juga termasuk penanganan paliatif penderita kanker paru dan
layanan hospis (dirumah sakit atau dirumah).

43
BAB IV
ANALISIS KASUS

44
Seorang laki-laki berininsial YBU, usia 49 tahun, sejak 2 minggu mengeluh
pasien mengeluh batuk terus menerus, pasien mengaku dahak batuk sebanyak ±
setengah gelas belimbing per hari batuk tidak berdahak (-), batuk tidak berdarah (-),
nyeri dada (-), pilek (-), demam (-), mual dan muntah (-), ada penurunan nafsu makan
(+), penurunan berat badan (+). Pasien belum pernah berobat dan belum dapat
pengobatan. Sejak ± 1 minggu SMRS pasien mengeluh sesak nafas yang semakin hari
semakin memberat tanpa dipengaruhi aktivitas, cuaca, dan emosi. Sesak nafas tidak
dipengaruhi posisi, tidak disertai mengi, nyeri dada (-). Pasien juga mengaku keluhan
batuk semakin memberat, dahak batuk sebanyak ± satu gelas belimbing perhari, batuk
berdahak (-), batuk berdarah (-), sembab pada seluruh tubuh (-), mual dan muntah (-),
nafsu makan menurun, penurunan berat badan 10 kg dari berat badan 50 kg dalam
satu bulan terakhir. Pasien merasakan dari celana pasien yang semakin longgar. BAK
dan BAB tidak ada keluhan. Pasien belum pernah berobat dan belum dapat
pengobatan. Sejak ± 5 jam SMRS pasien mengeluh sesak nafas semakin hebat
disertai batuk yang bertambah parah. Sesak nafas Sesak nafas tidak dipengaruhi
posisi, tidak disertai mengi, nyeri dada (-). Pasien juga mengaku keluhan batuk
semakin memberat, dahak batuk sebanyak ± satu gelas belimbing perhari, batuk
berdahak (-), batuk berdarah (-), pilek (-), demam (-), nyeri kepala (-), sembab pada
seluruh tubuh (-), mual dan muntah (-), nafsu makan menurun, penurunan berat badan
Pasien mengaku lemas, mata berkunang-kunang (+), sempoyongan (+). Pasien
dibawa ke RS Charitas Palembang dan dilakukan rongten thorax dengan hasil
pemeriksaan menunjukkan adanya kumpulan cairan pada lapisan paru. Pasien
kemudian dirujuk ke IGD Rs. Mohammad Hoesin Palembang.

Dari riwayat keluhan tersebut diketahui bahwa sesak nafas yang dialami
pasien merupakan sesak nafas kronik dan progresif. Keluhan sesak nafas yang kronik
dan progresif dapat berasal dari gangguan paru, jantung, dan ginjal. Sesak nafas yang
diakibatkan oleh gangguan paru seperti asma biasanya bersifat episodik, didahului

45
gejala lain seperti batuk, disertai bunyi nafas tambahan yaitu mengi, serta dipengaruhi
oleh cuaca dan emosi. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda dan gejala asma dan
tidak ada riwayat asma pada pasien.
Sesak nafas yang disebabkan gangguan ginjal dan jantung dicirikan dengan
sesak yang tidak dipengaruhi aktivitas. Sedangkan pada pasien ini menyangkal sesak
yang dipengaruhi oleh aktivitas, tidak ada riwayat darah tinggi pada pasien dan
keluarga pasien yang bisa menyingkirkan sesak nafas karena gangguan jantung.
Pasien mengeluh adanya keluhan batuk, keringat malam, dan penurunan berat badan,
yang merupakan ciri sesak nafas karena tuberkulosis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kepala dan leher tidak ditemukan adanya
kelainan (pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat). Pada pemeriksaan thorax
didapatkan statis dan dinamis tertinggal pada bagian kanan, Stem fremitus kanan
melemah pada palpasi, pada perkusi didapatkan redup pada lapang paru kanan, nyeri
ketok (-/-) dan Vesikuler melemah pada lapang paru kanan, rhonki (-), wheezing (-).
Berdasarkan teori pada tinjauan pustaka, Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat
disimpulkan untuk sementara terdapat efusi pleura di bagian kanan paru Tn.FP.
Untuk menegakkan diagnosis maka diperlukan pemeriksaan foto rontgen
thorax. Pada foto rontgen thorax didapatkan kesan efusi pleura. Pada pemeriksaan
sputum BTA negatif pada semua hasil sputum (BTA I, II, III). Maka dari itu untuk
menegakan diagnosis TB paru, dibutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lanjut yaitu
Gene Expert.
Batuk produktif yang dialami merupakan inhalasi droplet asing oleh penderita
menyebabkan adanya respon pada imun non spesifik dan merangsang terbentuknya
mukus karena adanya infeksi membrane mukosa karena basil tuberkel. Hipersekresi
mukus menyebabkan proses pembersihan tidak efektif lagi sehingga mukus tertimbun
dan membrane mukosa terangsan, mucus pun dibatukkan keluar dan mucus yang
dibatukkan keluar ini disebut sputum.
Terpapar infeksi bakteri menyebabkan aktivasi neutrofil & makrofag. Aktivasi
tersebut menyebabkan pelepasan mediator inflamasi ( TNF α, IL-1, IL-6, dan IL-12).

46
Dalam perjalanannya, TNF α masuk ke aliran darah lalu sampai ke otak, hipotalamus
sehingga menekan pusat makan, sedangkan IL-12 yang dihasilkan oleh makrofag
berubah menjadi IL-3 yang dapat mengaktivasi sel mast. Sel mast teraktivasi
melepaskan histamin yang akan menempel pada reseptornya di lambung. Terjadi
peningkatan asam lambung menyebabkan mual dan tentunya menurunkan nafsu
makan sehingga asupan untuk tubuh berkurang. Terjadi peningkatan katabolisme
produk cadangan tubuh, jika tubuh tidak mendapatkan input kembali menyebabkan
berat badan turun.
Penatalaksaan pada pasien ini adalah dengan mengurangi sesak yang dialami
dan pengobatan berdasarkan etiologinya.

DAFTAR PUSTAKA

47
1. Lorraine W. Penyakit Paru Restriktif. Dalam : Price, Sylvia A, Lorraine W, et
al. 2005. Editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Ed. 6.
Jilid.2. Jakarta: Kedokteran EGC.
2. Slamet H. Efusi Pleura. Dalam : Alsagaff H, Abdul Mukty H.2002. Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru.Surabaya: Airlangga University Press.
3. Sudoyo AW. Kelainan Paru. Dalam: Halim H. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Dalam Vol 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
4. Jeremy, et al. 2008. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. Jakarta :
EMS.
5. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009
6. Djojosubroto RD. 2009. Respirologi : penyakit parenkim paru. Jakarta : EGC
p 151-60
7. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Robbins Buku Ajar Patologi : Paru
dan Saluran Napas Atas. Jakarta : EGC p 544-60
8. B.K Mandal, E.G.L Wlkins, E.M. Dunbar. R.T.Mayon-White.2006. Lecture
Notes : Penyakit Infeksi. Jakarta : Erlangga.
9. Baron DN. Kapita Selekta Patologi Klinik, EGC, Jakarta, 2008 : 227.
10. Fauci, Braundwald, Kasper, Hauser, Longo, Jemeson, Loscalzo. Harrison’s
Principal Of Internal Medicine. 18thed. New York : Mc Graw Hill ; 2012
11. Price S.A, Wilson L.M., 2005. Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. EGC Jakarta.
Hal. 1049 – 1051
12. Sjamsuhidajat, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah.3rd ed. Jakarta : EGC ; 2010
13. Rasad S. Radiologi Diagnostik. 2nd ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2011
14. Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutandio
N.Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil . Pedoman nasional
untuk diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia 2005. PDPI dan POI,
Jakarta,2005.
15. Landis SH, Mliiray T, Bolden S, Wingo PA. Cancer 2010. Ca Cancer JClin
1998; 48:6-29.

48
16. Arief N, Hudoyo A, Syahruddin E. Efusi Pleura Ganas pada Kanker Paru.
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

49

Anda mungkin juga menyukai