D. Bioremediasi ...................................................................................................... 22
D.1. Pelaksanaan Proses Bioremediasi ................................................................. 22
D.2. Proses Bioremediasi Ex-Situ Tipe Land farming...............................................24
E. Biofilter .............................................................................................................. 28
i
F.2. Konsep Perencanaan Wetland ...................................................................... 30
G. Fitoremediasi .................................................................................................... 31
G.1. Tahapan Proses Fitoremediasi ..................................................................... 31
G.2. Jenis-Jenis Tanaman Yang Digunakan Dalam Fitoremediasi ........................ 32
ii
DAFTAR TABEL
Tabel L.1 - Aplikasi Metoda Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan Untuk
Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan .............. 9
Tabel L.2 - Debit Aliran Sebelum Dan Sesudah Pembangunan ………………………. 12
Tabel L.3 - Kebutuhan Tampungan Setempat (SSR) .......................................... 14
Tabel L.4 - Perhitungan Kehilangan Outflow Q ................................................. 16
Tabel L.5 - Perhitungan SSR Revisi .................................................................... 16
Tabel L.6 - Perhitungan Sistem Aliran Mayor ................................................... 17
Tabel L.7 - Komposisi Limbah Domestik ........................................................... 33
Tabel L.8 - Karakteristik Limbah Domestik ....................................................... 34
Tabel L.9 - Jenis Parameter Pencemar Kegiatan Pemanfaatan Lahan ............. 35
Tabel L.10 - Baku Mutu Air Limbah Domestik .................................................... 35
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
LAMPIRAN
Penjelasan terkait penampungan air hujan (PAH) dilakukan untuk skala persil dan
kawasan, yang diharapkan dapat memberi gambaran sistem penampungan dan
pemanfaatannya dalam mendukung penerapan ecodrain. Sesuai penjelasan pada Buku
Panduan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan Berwawasan Lingkungan (Ecodrain), lingkup
layanan ecodrain diklasifikasikan menjadi skala persil, lingkungan/komunal dan kawasan.
Tinjauan terhadap sarana ecodrain Penampung Air Hujan (PAH), akan dilakukan terhadap
pendekatan contoh perhitungan kapasitas dan pemanfaatan PAH, yang diharapkan dapat
memberi gambaran tentang kuantitas potensi pemanfaatan air hujan untuk mendukung
pemenuhan kebutuhan air.
Disamping tinjauan kuantitas penampungan air hujan, pada bagian ini akan
menjelaskan beberapa hal terkait kualitas air hujan di Indonesia serta aplikasi pemanfaatan
air hujan, berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan
Hidup, seperti yang telah dituangkan ke dalam buku Metoda Memanen dan Memanfaatkan
Air Hujan Untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan, tahun 2006.
Penjelasan sarana ecodrain Penampung Air Hujan (PAH) untuk skala persil, akan
dilakukan melalui pendekatan contoh perhitungan ketersediaan Bak Penampungan Air
Hujan, dengan ilustrasi sebagai berikut :
Diketahui :
Luas atap persil : A = 100 m2;
Intensitas hujan yang terjadi : I = 25 mm/jam;
Rentang waktu terjadinya hujan (lama hujan) : T = 1,5 jam/1 kali hujan.
Penyelesaian :
Volume air hujan yang jatuh di atap persil akan dialirkan ke Bak Penampung Air Hujan
sebesar :
V = α. β. I . A. T
V = 0,9 x 1 x 0,025 x 100 x 1,5
V = 3,375 m3 (dalam 1 hari hujan).
Dengan asumsi dalam 1 minggu terjadi 3 kali hujan, maka dapat diperhitungkan volume air
hujan untuk 3 hari hujan dalam 1 minggu akan dihasilkan :
Sisa air tampungan dapat digunakan untuk keperluan lain dalam menunjang
kebutuhan rumah tangga maupun lingkungan. Pendekatan tata cara perhitungan kapasitas
volume penampungan air hujan skala persil tersebut di atas, dapat digunakan sebagai dasar
dalam perhitungan sejenis untuk skala lingkungan/komunal, dengan pola dan pendekatan
perhitungan yang sama untuk beberapa persil yang digabungkan pada satu bak penampung.
Pada skala kawasan, contoh perhitungan ketersediaan Bak Penampung Air Hujan, akan
diambil pada kawasan industri, dengan gambaran sebagai berikut :
Penyelesaian :
Ukuran luas atap 2 (dua) bangunan industri adalah :
A = 2 x 100 m x 50 m
= 10.000 m2
Volume air hujan yang jatuh di atap persil akan dialirkan ke Bak Penampung Air Hujan
sebesar :
V = α. β. I . A. T
V = 0,9 x 1 x 0,025 x 10.000 x 1,5
V = 337,5 m3 (dalam 1 hari hujan).
Dengan asumsi dalam 1 minggu terjadi 3 kali hujan, maka dapat diperhitungkan volume air
hujan untuk 3 hari hujan dalam 1 minggu akan dihasilkan :
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 4
V = 337,5 X 3 hari
Dengan ilustrasi perhitungan volume air hujan yang dapat ditampung pada skala persil
dan kawasan, terlihat potensi pemanfaatan air hujan cukup signifikan dalam mendukung
pemenuhan kebutuhan air dan penunjang kegiatan lainnya.
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memiliki stasiun pemantauan kualitas air hujan
sebanyak 27 unit, yang tersebar di seluruh Indonesia. Parameter yang dipantau meliputi
komponen tingkat keasaman (pH), daya hantar listrik (conductivity), konsentrasi kation
meliputi Magnesium (Mg), Kalsium (Ca), Amonium (NH4), Natrium (Na), dan Kalium (K), serta
konsentrasi Anion meliputi Sulphat (SO4), Nitrat (NO3) dan Klorida (Cl).
1
Metoda Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan Untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan
Kekeringan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup,2006,Cetakan IV Tahun 2012, ISBN : 978-602-8358-42-
2, halaman 36
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 5
Berdasarkan hasil pemantauan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penurunan
kualitas air hujan. Hal ini dapat dilihat pada menurunnya nilai pH rata-rata pada tahun 1996
sebesar 5,46 dan pada tahun 1997 sebesar 4,97. Nilai pH air hujan pada bulan Januari 2005
(Gambar L.3), menunjukkan bahwa hampir semua daerah di Indonesia mempunyai air hujan
dengan pH kurang dari 5,6. Hal tersebut juga ditunjukkan pada hasil pemantauan BMG
tentang tingkat keasaman air hujan di Indonesia pada bulan Mei 2011 (Gambar L.4).
Dengan mengacu pada hasil pemantauan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kualitas
air hujan di Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan standar internasional sebagai air hujan
yang dapat dikonsumsi secara langsung, atau untuk dipakai membersihkan peralatan yang
bersifat korosif.
Lebih lanjut untuk pemakaian air hujan secara langsung bagi keperluan air minum,
khususnya pada daerah-daerah dengan pH air hujan jauh di bawah ambang batas, perlu
Pihak-pihak yang berwenang dan terkait dengan kualitas air dan kesehatan masyarakat
diharapkan dapat melakukan pemeriksanaan kualitas air hujan secara lebih detail dan
merata, serta mengembangkan metoda tepat guna untuk memperbaiki kualitas air hujan di
daerahnya masing-masing.
2
Metoda Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan Untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan
Kekeringan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup,2006,Cetakan IV Tahun 2012, ISBN : 978-602-8358-42-
2, halaman 38
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 8
Tabel L.1 – Aplikasi Metoda Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan Untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan
Masyarakat Masyarakat Suburban dan
Instansi Pemerintah/Swasta Industri
Perkotaan Pedesaan
Institusi Komplek Hutan kota, Komplek Areal Kawasan Ruang Kawasan Ruang Areal
Metode yang disarankan perkantoran, taman, pabrik, pertanian, permukiman publik permukiman publik pertanian
sarana kebun perkantoran, perkebunan, dan
pendidikan percobaan perumahan agro-industri tegalan
Dimana :
tc : waktu konsentrasi puncak dari bagian hulu DAS ke outlet yang didesain
atau titik yang ditinjau (menit)
tcs : waktu konsentrasi puncak aliran dari hulu DAS ke site yang
dibangun (menit)
Qa : Aliran puncak setelah pembangunan dari kawasan yang didesain banjir
dengan waktu sama dengan tc (lt/det)
Qp : aliran puncak sebelum pembangunan site untuk debit desain banjir
dengan durasi sama dengan tc (lt/det)
( )( )
√ √
√ √
Gambar L.7 - Beda Head Tampungan (OSD Storage) dengan Open Drain
Dihitung bahwa open drain akan beroperasi penuh ketika tampungan penuh. Misalnya
elevasi tampungan dan open drain adalah 1.55 m dan 1.2 m dihitung dari dasar open drain,
penurunan head pada mulut orifice adalah :
( )
Asumsikan tinggi bendung dibatasi hingga 50 mm dan CBCW = 1.70, nilai B adalah :
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 17
Dengan freeboard 50 mm, dimensi dari outlet sekunder pada bendung adalah :
1150 mm (lebar) x 100 mm (tinggi).
C.1 Pendekatan Analisa Jumlah Sampah Yang Masuk ke Badan Air (Sistem DAS)3
Sampah yang diproduksi oleh permukiman, daerah perkantoran dan perdagangan, dan
fasilitas umum (fasum) dan fasilitasi sosial (fasos) di perkotaan dan perdesaan, tidak semua
dapat terangkut ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA) atau tereduksi dengan kegiatan 3R dan
komposting ataupun di timbun/dibakar. Kondisi lapangan mengindikasikan bahwa masih ada
sebagian dari prosentase sampah tersebut yang dibuang ke perairan, baik saluran, sungai,
danau dan pantai/laut. Dari hasil penelitian di beberapa kota besar di Indonesia, seperti
Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya didapatkan jumlah prosentase sampah yang
cukup besar yang dibuang ke sungai dan saluran-saluran drainase, yang secara signifikan juga
menyebabkan kegagalan fungsi sarana prasarana drainase dan pengendalian banjir karena
dapat mengurangi kapasitas saluran serta mengganggu operasional fungsi pintu air dan
instalasi pompa banjir. Sudah diusahakan berbagai hal untuk mencegah sampah masuk ke
saluran tetapi masih saja ada sampah yang masuk, oleh karena itu dibutuhkan trash rack
agar sampah tidak mengganggu operasional sarana dan prasarana yang ada.
Jenis sampah yang sering dibuang ke sungai dan saluran-saluran drainase tersebut
diantaranya adalah sampah basah seperti sampah sisa-sisa makanan dan sayur-mayur, buah-
buahan; sampah kering seperti kayu, plastik, pakaian, kasur dan bantal, logam, kaca,
keramik; sampah balokan seperti batang pohon tumbang, balok kayu; sampah binatang
seperti bangkai kucing, bangkai ayam, bangkai anjing dan bangkai tikus; dan sampah industri
pertanian dan perkebunan seperti sisa-sisa pestisida dan herbisida.
Tempat-tempat yang potensial menjadi sumber sampah sungai antara lain :
3
Penyusunan Sistem Pengelolaan Sampah Sungai di DKI Jakarta, Proyek Peningkatan Prasarana
Permukiman DKI Jakarta, Ditjen Cipta Karya 1998/1999, Laporan Akhir. Halaman 4-1s.d. 4-3.
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 19
1) Pasar, tempat komersil di sepanjang aliran sungai (termasuk dalam DAS Sungai).
2) Pabrik-pabrik, bengkel dan industri (kecil, menengah, dan besar) di sepanjang aliran
sungai.
3) Rumah tinggal, permukiman sekolah dan bangunan-bangunan umum di sepanjang
aliran sungai yang tidak dilindungi pagar pengamanan sungai.
4) Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran sungai.
5) Jalan, lapangan serta pohon-pohon yang berada sepanjang aliran sungai.
Sampah-sampah tersebut ada yang kondisi terapung, melayang dan berada di dasar
saluran/sungai/waduk. Hal ini terjadi tergantung pada sifat-sifat fisik sampah (berat jenis,
permukaan, dsb), yang akan menentukan konsep penanganan pemeliharaan dan operasional
sarana (O&M) dan prasarana drainase. Sampah-sampah tersebut selain menyebabkan
dibutuhkannya kegiatan O&M seperti kegiatan pengerukan, pembuatan screen/floating
screen, juga menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan prasarana dan sarana drainase
dan pengendalian banjir.
C.2 Perhitungan Laju Timbulan Sampah Badan Air
Produksi sampah sungai dalam layanan pembersihan ini adalah sampah sungai yang
timbul di daerah perkotaan yang mempunyai jumlah yang lebih sedikit dari jumlah sampah
yang ada secara keseluruhan. Hanya sebagian kecil dari produksi sampah kota yang masuk ke
dalam sistem aliran sungai.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
Tempat-tempat yang menjadi sumber sampah di sepanjang sistem aliran sungai adalah :
E. Biofilter
Konsep utama biofilter adalah menggerakan aliran air dengan lambat melalui tumbuh-
tumbuhan. Dengan aliran lambat, aliran limpasan halus dapat dijaga dengan biofilter yang
dibangun dengan menjaga kemiringan kedua sisi (kemiringan maksimum 3 : 1, minimal
kemiringan memanjang (direkomendasikan 1 – 2%, dengan check dam untuk kemiringan
yang lebih curam), dan suatu flow path panjangnya sedikitnya 10 feet (minimal 3 meter).
Lapisan utama tanah penutup adalah tanah berumput, yang harus tetap dialiri pada
musim kemarau. Agar lapisan tanah berumput yang berfungsi sebagai biofilter dapat bekerja
efektif harus sering dipotong secara rutin dan dirapikan. Dimana kemiringan kurang dari 1%
atau dimana air tanah tinggi, tanaman rawa buatan dapat digunakan dalam biofilter.
Kondisi puncak hidrograf pada biofilter harus diatur kurang dari 8 cm dan percepatan
puncak kurang dari 0,3 m/detik. Limpasan hujan lebat dapat mem-by pass biofilter, atau
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 28
biofilter dapat didesain untuk dapat mengakomodasi debit banjir yang lebih besar tentunya
dengan kualitas air yang terjaga. Lebar alas dari parit adalah secara umum 60 cm sampai 2,5
meter, dengan tingginya rumput dari 10 cm sampai 15 cm dan kedalaman air yang
maksimum dari kurang dari 5 cm.
Agar pembersihan air limbah efektif, rawa buatan (sebagaimana juga rawa alami)
membutuhkan lima komponen (Hammer, 1989 dalam Khiatuddin Maulida, 2003), yakni :
1) Substrat (tanah, pasir, kerikil, dll) dengan berbagai tingkat konduktivitas hidrologis.
2) Tumbuhan yang dapat hidup dalam kondisi anaerob di media yang jenuh dengan air
atau tergenang air.
4
Fitoremediasi, Upaya Pengolahan Air Limbah Dengan Media Tanaman, Direktorat Perkotaan dan
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 30
Perdesaan Wilayah Barat, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 27 Oktober 2003.
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 31
G. Fitoremediasi
Proses dalam sistem fitoremediasi berlangsung secara alami dengan enam tahap
proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/pencemar yang
berada disekitarnya.
1) Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan
dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga
Hyperacumulation
2) Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan
oleh akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan
menanam bunga matahari pada kolam mengandung zat radioaktif di Chernobyl
Ukraina.
3) Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak
mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat zat tersebut menempel erat (stabil)
pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media.
4) Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, atau plented-
assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh
aktivitas mikroba yang berada disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan
bakteri.
5) Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan
untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks
menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih
sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini
dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan
5
Matthew Dempsey, Phytoremediation, December, 1997. http://www.rpi.edu/dept/chem-eng/Biotech-
Environ/MISC/webpage1.html
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 33
H. Kualitas Air
Konsentrasi
Parameter Pencemar Satuan
Rendah Sedang Tinggi
Padatan Total (TS) mg/L 350 720 1200
Padatan Terlarut (TDS) mg/L 250 500 850
Padatan Tersuspensi (TSS) mg/L 100 220 350
BOD mg/L 110 220 400
COD mg/L 250 500 1000
Nitrogen Total (N) mg/L 20 40 85
- Organik mg/L 8 15 35
- Amonia Bebas mg/L 12 25 50
- Nitrit mg/L 0 0 0
- Nitrat mg/L 0 0 0
Fosfor Total (N) mg/L 4 8 15
- Organik mg/L 1 3 5
- Anorganik mg/L 3 5 10
Klorida mg/L 30 50 100
Sulfat mg/L 20 30 50
Alkalinitas sebagai CaCO3 mg/L 50 100 200
Lemak mg/L 50 100 150
Koliform Total Jml/100 mL 106 - 107 107 – 108 108– 109
Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 01/2010, tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air
Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 01/2010, tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air
Baku Mutu Air Limbah Domestik mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 112 Tahun 2003, dengan ketentuan sebagai berikut.
Tabel L.10- Baku Mutu Air Limbah Domestik
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH -- 6–9
BOD mg/L 100
TSS mg/L 100
Minyak dan Lemak mg/L 10
Sub-Reservoir Air Hujan (S-RAH) sudah dikembangkan di Indonesia, dan telah dilakukan
penelitian oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum, sebagai upaya pengembangan sistem
drainase permukiman perkotaan ramah lingkungan.
Pada tahun 2011 telah dilaksanakan “Penyusunan Kriteria Teknis Desain sub-Reservoir
Air Pada RTH Perkotaan Untuk Drainase Berwawasan Lingkungan”, dan telah dihasilkan
rumusan kriteria teknis desain sub-Reservoir, dengan desain model atau teknologi sub-
Reservoir (S-R), Modul S-R5, S-R10, S-R25, S-R50 dan S-R65, untuk menampung air hujan
talang atap. Secara prinsip air hujan yang keluar dari sistem outlet (effluen) sub-Reservoir,
akan dialirkan ke dalam tangki eksplorasi (pemanfaatan), lalu ke dalam Sumur Resapan Air
Hujan (SRAH) sebagai konservasi air tanah. Dengan pola ini, air hujan dari atap rumah/persil,
lingkungan, dan kawasan dapat tertahan hingga mencapai 100% (zero run off), sehingga
dapat mereduksi genangan banjir dan konservasi air tanah.
Pada tahun 2012/2013 telah diterapkan S-R65 pada “Prototipe Drainase Ramah
Lingkungan”, lokasi di halaman/lapangan parkir dan taman, khususnya di Green Building,
Puslitbang Permukiman, Jalan Turangga No. 5 - 7 Bandung.
6
Disarikan dari paparan Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Penelitian Pengembagan, Kementerian Pekerjaan Umum,
dengan Judul “Penerapan Drainase Permukiman Perkotaan Ramah Lingkungan Zero Runoff”, Pengembangan Sistem Drainase
Permukiman Perkotaan Ramah Lingkungan, Jakarta 19 April 2013
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 37
Gambar L.13 - Contoh Tipe Sub-Reservoir Air Hujan
Penerapan Sub-Reservoir Air Hujan (s-RAH) pada areal permukiman, didasarkan dan
mengacu pada konsep neraca air dalam bidang tadah (catchment area), yang secara
matematika dapat disederhanakan dengan rumusan :
Dimana :
P = Presipitasi yang jatuh ke dalam, pada bidang tadah, seperti DAS, kawasan,
halaman, atap rumah/persil dan lain sebagainya;
= Aliran air yang keluar dari bidang tadah di outletnya (aliran kelebihan air hujan);
= Evapotranspirasi; dalam hal ini tidak diperhitungkan atau diabaikan;
∆S = Perubahan tampungan air dalam bidang tadah.
Curah hujan pada atap dan halaman bangunan (persil), diperhitungkan dengan
menggunakan Persamaan Rasional, yaitu :
Panduan Pengelolaan Terpadu Sistem Drainase Perkotaan
Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) Hal 38
Q atap dan Q halaman = C.I.A
Dimana :
C = koefisien pengaliran, untuk atap dan halaman;
I = intensitas hujan yang terjadi, (mm/jam);
Q = debit aliran, (m3/detik)
Dalam pemanfaat air hujan yang jatuh di atap serta halaman, terdapat arahan dan
asumsi dasar yaitu :
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penggunaan sub-Reservoir Air Hujan
dapat menahan air larian (run-off) hingga mencapai angka 100%, dan kondisi ini apabila
difungsikan di seluruh RTH kota, genangan dapat direduksi hingga 48%.
Pemanfaatan lain dari penggunaan sub-Reservoir Air Hujan ini adalah untuk
mendukung konservasi air tanah, penyediaan air baku, cadangan air pemadam kebakaran,
menyiram tanaman, flushing, hingga dikonsumsi langsung sebagai air minum, yang
memerlukan penanganan lanjut, salah satunya dengan Instalasi Pengolahan Air Minum Air
Hujan (IPAM AH).
Pada Gambar L.14 disajikan Tren reduksi genangan banjir pada penerapan sub-
Reservoir Air Hujan pada RTH Perkotaan, sebagai gambaran terjadinya penurunan genangan
pada suatu kawasan.
Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, metoda sub-Reservoir Air Hujan tipe S-R65
telah diterapkan sebagai “Prototipe Drainase Ramah Lingkungan”, di lokasi di
halaman/lapangan parkir dan taman, khususnya di Green Building, Puslitbang Permukiman,
Jalan Turangga No. 5 - 7 Bandung.
Lingkup pembangunan dilakukan dengan pemasangan 5 buah S-R65 FRP, pembuatan
24 buah Sumur Resapan Air Hujan (SRAH), pemasangan 2.167 m 2 paving block dan 1.452 m2
rumput gajah, 1 unit IPAM AH, dan 3 unit water tapping.
Gambar L.17 – Diagram Pemanfaat Air Hujan di Green Building, Puslitbang Permukiman
Gambar L.21 - Tampungan Air Hujan pada Kolam Resapan (Retensi) dan Saluran
1) Kinerja Prototipe Drainase Ramah Lingkungan yang diterapkan, memberi hasil sebagai
berikut :
a. Debit maksimun/rencana (Q) kawasan sebesar 0,216 m 3/dt;
b. Tampungan air atau persediaan air yang diperoleh, disajikan pada grafik (Gambar L.22);
c. Terjadi genangan air mulai dari menit ke - 1 dengan kedalaman ± 1 - 5 cm, dan akan
hilang setelah 30 sampai 60 menit setelah hujan reda (lama hujan < 2 jam);
d. Kawasan green building dapat mereduksi genangan air hingga mencapai 100% (zero
run off);
2) Berdasarkan pengamatan dan penelitian terhadap kejadian air hujan di kawasan green
building maupun kawasan keseluruhan, diperoleh gambaran tentang kejadian neraca
air kawasan, sesuai yang disajikan pada Gambar L.23. Hasil yang diperoleh dari
penelitian tersebut, adalah :
a. Pada kawasan green building telah terjadi reduksi run off sebesar 92%, dan dapat
dinaikkan hingga 100% dengan mengoptimalkan sistem yang ada;
b. Sedangkan untuk seluruh kawasan dapat direduksi run off sebesar 58%, yaitu pada
kondisi konvensional.
Gambar L.22 - Grafik Hasil Penelitian terhadap Pembangungan Sub-Reservoir Air Hujan (S-RAH)
3) Terkait aspek pembiayaan dan keuntungan lain yang diperoleh dari pembangunan Sub-
Reservoir Air Hujan (S-RAH) adalah :
a. Biaya konstruksi/investasi yang dikeluarkan sekitar Rp. 1.615.715.000,00 (satu milyar
enam ratus lima belas juta tujuh ratus lima belas ribu rupiah), dengan air genangan
yang dapat direduksi sebesar = 92% x 6.870,41 m 3/tahun. Dengan demikian untuk
mereduksi setiap m3 genangan air hujan, diperlukan pembiayaan atau investasi
sebesar : Rp. 255.620,00.
b. Sistem ini dapat digunakan untuk penyediaan konsumsi air minum dan dapat
menghemat (kompensasi) biaya air minum sebesar : Rp. 6.600.000,00/tahun;
c. Hasil uji kualitas air hujan, setelah melalui pengolahan, dapat disimpulkan bahwa air
dalam sistem drainase memenuhi syarat baku mutu air baku untuk air minum (pada
lokasi green building).
a. Prototipe drainase ramah lingkungan (Metoda Sub-Reservoir TMRA) pada lokasi green
building Puslitbang Permukiman, Bandung, dapat mereduksi air hujan (run off) hingga
92%, dan dapat ditingkatkan hingga 100% (zero run off) dengan mengoptimalkan fungsi
dari sistem yang ada;
b. Prototipe drainase ramah lingkungan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi konsumsi
air minum, sebagai kompensasi air PDAM dan dapat menghemat biaya air minum
sebesar Rp. 6.600.000,00 per tahun;
c. Secara keseluruhan prototipe drainase ramah lingkungan dapat mereduksi run off air
hujan hingga 58%, dan menghasilkan genangan 1 - 5 cm, dengan lama genangan
kurang dari 2 jam;
d. Biaya konstruksi sekitar RP. 1.615.715.000,00, dengan air genangan yang dapat
direduksi sebesar = 92% x 6.870,41 m3 = 6.320,78 m3/tahun. Dengan demikian untuk
mereduksi setiap m3 genangan air hujan, diperlukan biaya konstruksi (investasi)
sebesar Rp. 255.620,00.
TIM PERUMUS
Ir. Anggrahini S, MSc
Prof. Ir. Iwan Kridasantausa H, Ph.D
Ir. Sukrasno S, Dipl. HE
Dr. Ing. Ir. Agus Maryono
Ir. Yosef Bernardus Danang Tri H
TIM PENYUSUN
Ir. Dodi Krispratmadi, M.Env.E
Ir. R.G. Hari Susanto, CES
R. Nuzulina Ilmiaty Ismail, ST, MT
Albert Reinaldo, ST, MSi, MSc
Hotman Frian, ST, MSi, MSc
Alvan Fuaddy Putra, ST
Yulia Kusumastuty, ST
Friska Nur Afianti, ST
Roy Marthen, ST
Riris Grace K Simarmata, ST