Anda di halaman 1dari 30

ENSEFALITIS Virus

Wa Ode Nurul Rezki, Hasniah Bombang

A. PENDAHULUAN

Ensefalitis adalah penyakit akibat proses inflamasi parenkim otak yang

menyebabkan disfungsi otak.[1,2,3] Walaupun secara primer penyakit ini

menyerang otak, namun kadang-kadang menings juga dapat terlibat sehingga

disebut sebagai meningoensefalitis.[3] Sebagian besar kasus tidak dapat

ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35-50%

dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20-40%). Penyebab

tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai macam virus dapat

menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas.[1]

Saat ini, epidemiologi ensefalitis belum diketahui dengan jelas karena

perbedaan definisi kasus standar dan berbagai kriteria diagnostik. Selain itu, hal

ini terjadi karena perbedaan lokasi geografi dan populasi studi. Insiden

penyakit ini di Amerika Serikat adalah 1: 200.000 populasi. Angka kematian

masih tinggi, berkisar 35%-50% dengan gejala sisa pada pasien yang hidup

cukup tinggi (20%-40%).[1]

B. DEFISINI

Ensefalitis merupakan suatu penyakit akibat proses radang pada

parenkim otak yang biasanya merupakan proses akut, yang ditandai dengan

demam tinggi mendadak, penurunan kesadaran (letargi, stupor, bahkan koma),

1
[7]
nyeri kepala, encefalopati, kejang. Ensefalits paling sering disebabkan

infeksi virus.[8]

C. EPIDEMIOLOGI
Peradangan otak merupakan penyakit yang jarang. Angka kejadiannya

yaitu 0,5 per 100.000 individu. Yang paling banyak menyerang anak-anak,

orang tua dan pada orang-orang dengan sistem imun yang lemah, seperti pada

penderita HIV/ AIDS, kanker dan anak gizi buruk. Di Inggris insidensi

ensefalitis pertahun nya mencapai 4 orang per 100.000 penduduk. 1

Ensefalitis virus lebih sering terjadi pada anak ( 16 dari 100.000 per

orang per tahun di bandingkan 3.5-7.4 dari 100.000 per orang per tahun pada

dewasa. Penyebab tersering ensefalitis virus anak adalah enterovirus (hingga

80%) diikuti virus herpes simpleks (10-20%).(4) Sebagian besar kasus tidak

dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35%-

50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20%-40%).

Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai macam virus dapat

menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan

tetapi hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.[6]

Infeksi susunan saraf pusat, merupakan penyebab tersering dari

ensefalitis akut. virus herpes simpleks (HSV), virus varicella zoster (VZV),

virus Epstein-Barr (EBV), gondok, campak, dan enterovirus bertanggung

jawab atas sebagian besar kasus ensefalitis virus akut pada individu yang

mengalami imunokompeten di Inggris.(5) Endemisitas Jappanese Ensefalitis

2
(JE) ditemukan di hampir seluruh provinsi di Indonesia, dimana umumnya

masyarakat hidup berdekatan dengan hewan ternak mereka. Data dari

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemkes RI) tahun 1993-2000

menunjukkan spesimen positif Japanese Ensefalitis ditemukan di 14 Provinsi

(Bali, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi

Selatan dan Papua).Survei di Rumah Sakit (RS) Sanglah Bali pada tahun 1990

hingga tahun 1992 pada 47 kasus ensefalitis ditemukan 19 kasus (40,4%)

serologi positif terhadap penyakit Japanese Ensefalitis. Survei di RS yang sama

pada tahun 2001 hingga tahun 2002 pada 262 kasus ensefalitis, ditemukan 112

kasus (42,8%) positif dengan angka kematian (mortality rate) sebanyak 16%

dan angka kecacatan (sequelae rate) sebanyak 53,1%. Virus japanese termasuk

dalam famili flavivirus. Penyakit ini pertama kali dikenal pada tahun 1871 di

Jepang dan diketahui menginfeksi sekitar 6.000 orang pada tahun 1924. Negara

yang termasuk daerah endemis penyakit JE ialah Malaysia, Burma, Filipina,

Indonesia, China, Taiwan, Rusia (Siberia maritim), Bangladesh, Laos,

Kamboja, Thailand, Vietnam, India, Nepal (terutama daerah Terai), Srilanka,

Korea, Jepang, Australia (pulau-pulau di Semenanjung Torres), Brunei,

Pakistan, Papua Nugini dan Kepulauan Pasifik.[8]

Pada negara industri, ensefalitis yang paling banyak didiagnosis

disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV), dengan insiden 1: 250.000-

500.000 populasi. Puncak insiden adalah pada anak-anak dan lansia.

Ensefalitis HSV paling banyak disebabkan oleh HSV tipe 1, dan sekitar 10%

3
disebabkan oleh HSV tipe 2. Virus varisela-zoster relatif sering menjadi

penyebab ensefalitis pada pasien imunokompromise.[2]

Ensefalitis akibat arbovirus dan enterovirus memiliki karakteristik timbul

sebagai kelompok kejadian atau sebagai epidemi pada pertengahan musim

panas sampai awal musim gugur, walaupun beberapa kasus ensefalitis

enterovirus dapat timbul secara sporadik sepanjang tahun. Herpes virus dan

agen infeksius lainnya juga dapat menyebabkan terjadinya kasus ensefalitis

sporadis sepanjang tahun.[1]

Insidens terjadinya ensefalitis arbovirus cenderung terbatas pada wilayah

geografis tertentu, hal ini merefleksikan reservoir dan vektor nyamuk. Virus

ensefalitis St. Louis tersebar di Amerika Serikat pada burung-burung. Virus

ensefalitis California yang umum timbul dibagian barat Amerika Serikat

dibawa oleh hewan pengerat serta disebarkan oleh nyamuk. Virus ensefalitis

eastern equine tersebar pada burung-burung, terbatas di wilayah pantai timur.

Virus ensefalitis weastern equine terdapat pada burung-burung di daerah barat

dan barat tengah. Infeksi virus West Nile tersebar di seluruh dunia dan

menyebabkan wabah ensefalitis musim panas di Amerika Utara. Vektor utama

virus West Nile adalah nyamuk Culex pipiens, tetapi virus tersebut dapat

diisolasi pada berbagai varian nyamuk Culex dan Aedes. Berbagai jenis burung

juga berperan sebagai reservoir virus West Nile. [1]

D. ETIOLOGI

4
Ensefalitis disebabkan antara lain karena virus, bakteri, jamur, ricketsia

(masuk melalui gigitan kutu), dan parasit. Kelimanya dapat diklasifikasikan

sebagai berikut[11] :

1. Ensefalitis Virus

a. Virus RNA

1) Paramikso virus : virus yang menyebabkan parotitis, morbili

2) Rabdovirus : virus rabies

3) Tugavirus : virus rubella flavivirus (virus Ensefalitis Jepang B, virus

dengue)

4) Picornavirus : enterovirus (virus polio, cockscakie A dan B,

echovirus)

5) Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoriab

b. Virus DNA

1) Herpes virus : herpes zoster - varisella, herpes simpleks, sitomegali

virus, virus Epstein - barr

2) Poxvirus : variola, vaksinia

3) Retrovirus : AIDS

Manifestasi klinis dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo,

nyeri badan, nausea, penurunan kesadaran, timbul serangan kejang-kejang

kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis bulbaris.

2. Ensefalitis Supurativa

Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : Staphylococcus aureus,

Streptociccus, E. Coli, dan M. Tuberculosis. Secara umum gejala berupa

5
trias ensefalitis : demam, kejang, dan penurunan kesadaran. Bila

berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum,

tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala yang

kronik dan progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran

menurun, pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda

defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses.

3. Ensefalitis Sifilis

Disebabkan oleh Treponema pallidum. Gejala Ensefalitis sifilis terdiri

dari dua bagian :

a. Gejala-gejala neurologis, kejang-kejang yang datang dalam serangan-

serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, penurunan kesadaran, sering

dijumpai pupil Agryll- Robertson, nervus opticus dapat mengalami

atrofi. Pada stadium akhir timbul gangguan-gangguan motorik yang

progresif.

b. Gejala-gejala mental, timbulnya proses dimensia yang progresif,

intelgensia yang mundur perlahan-lahan yang mula-mula tampak pada

kurang efektifnya kerja, daya konsentrasi mundur, daya ingat

berkurang, daya pengkajian terganggu.

4. Ensefalitis karena Parasit

a. Malaria Serebral

Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gejala-

gejala yang timbul seperti demam tinggi.kesadaran menurun hingga

koma. Kelainan neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan.

6
b. Toxoplasmosis

Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan

gejala- gejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun.

Didalam tubuh manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista

terutama di otot dan jaringan otak.

c. Amebiasis

Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika

berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan Meningo-

Ensefalitis akut. Gejala gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah,

nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.

d. Sistiserkosis

Gejala-gejala neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan.

5. Ensefalitis karena Fungus

Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans,

Cryptococcus neoformans, Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor

mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat

ialah Meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya

infeksi adalah daya imunitas yang menurun.

6. Riketsiosis Serebri

Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat

menyebabkan Ensefalitis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula

7
-mula sukar tidur, kemudian kesadaran menurun. Gejala-gejala neurologik

menunjukan lesi yang tersebar.

E. PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Ensefalitis merupakan proses inflamasi pada parenkim otak yang

menyebabkan disfungsi serebral. Ensefalitis umumnya merupakan proses

akut, Ensefalitis dapat bersifat difus ataupun terlokalisir. Terdapat 2 macam

mekanisme bagaimana organisme menyebabkan ensefalitis, yaitu (1) infeksi

secara langsung ke parenkim otak atau (2) merupakan respons yang dimediasi

sistem imun di sistem saraf pusat yang biasanya terjadi beberapa hari setelah

manifestasi ekstraneural muncul.[1]

Metode penularan setiap virus berbeda-beda. Enterovirus menyebar

melalui kontak dengan mukus, saliva atau feses yang mengandung virus.

Periode inkubasi 4-6 hari. HSV tipe 1 menular lewat kontak langsung,

sementara HSV tipe 2 menular lewat kontak seksual. Pada neonatus biasanya

tertular dari jalan lahir ibu. Infeksi virus ke SSP biasanya berasal dari fokus

infeksi di tempat lain, seperti di saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau

kulit. Virus lalu mencapai SSP melalui salah satu atau secara simultan, lewat

jalur penyebaran berikut :[4]

1. Infeksi Lokal

Infeksi langsung selaput atau permukaan SSP.

2. Penyebaran Hematogen

Metode penyebaran tersering virus ke SSP. Terbagi menjadi dua :

a. Hematogen Primer

8
Infeksi berasal dari fokus infeksi di tempat yang jauh, masuk ke dalam

darah dan mencapai SSP, kemudian bereplikasi di SSP. Misalnya

golongan enterevirus ( coxsackievirus dan echovirus).

b. Hematogen Sekunder

Infeksi berasal dari fokus infeksi di tempat yang jauh dan bereplikasi

terlebih dahulu di tempat tersebut, baru kemudian masuk ke dalam

darah, dan mencapai SSP. Misalnya poliovirus yang bereplikasi di

usus, virus herpes simpleks bereplikasi di traktus respiratorius, dan

arbovirus di epitel vaskular.

3. Penyebaran melalui saraf

Beberapa jenis virus dapat menyebar ke SSP melalui saraf perifer dan saraf

kranial. Misalnya rabies, herpes simpleks, dan polio.

Kerusakan parenkim otak terjadi akibat berbagai proses, yaitu :[4]

1. Invasi dan destruksi langsung virus ke neuron (ensefalitis primer/akut)

2. Respon imun tubuh melalui pelepasan berbagai sitokin dan perekrutan

sel-sel inflamasi menyebabkan demielinisasi juga kerusakan vaskular

dan perivaskular yang dapat terus berlanjut setelah virus hilang.

3. Destruksi oleh virus neutropik yang dapat bersifat laten (pada

ensefalitis sekunder/ensefalitis pasca infeksi).

Tanpa memandang rute awal masuknya, virus neutropik mengalami

stadium replikasi ditempat inokulasi dan replikasi regional pada kelenjar

getah bening yang berdekatan. Begitu masusk ke SSP, virus neutropik dapat

menyebar ke seluruh SSP melalui transmisi sel-sel secara bebas di seluruh

9
SSP, seperti virus rabies. Kemungkinan bahwa beberapa virus menyebar dari

satu regio SSP ke regio lain oleh transpor aksonal. Kemampuan virus

menginfeksi populasi sel tertentu dalam SSP bergantung pada adanya reseptor

spesifik virus pada permukaan sel dan memulai sikuls replikasinya.[11]

Ketika virus mengambil alih mesin molekuler dalam sel, fungsi sel

diubah dan akhirnya sel dapat mati. Respon imun pejamu terhadap infeksi

juga dapat menganggu disfungsi neurologi dan menyebabkan cedera jaringan.

Interaksi awal virus dengan fagosit pejamu dan komponen lain sistem imun

dapat merangsang dan meningkatkan peradangan. Sitokin yang diepaskan

dari sel meradang dapat berinteraksi dengan pembuluh darah serebral dan sel

parenkim SSP untuk menimbulkan peradangan, menyebabkan edema,

mengubah alirah darah serebral, dan menyebabkan cedera neuronal

tambahan.[11]

Setelah mikroorganisme masuk ke tubuh manusia yang rentan, melalui

kulit, saluran pernapasan dan saluluran cerna. Virus menuju sistem getah

bening dan berkembangbiak. Virus akan menyebar melalui aliran darah dan

menimbulkan viremia pertama. Melalui aliran darah virus akan menyebar ke

sistem saraf pusat dan organ eksterneural. Kemudian virus dilepaskan dan

masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia ke dua yang

bersamaan dengan penyebaran infeksi penyakit sistemik.[10]

Setelah terjadinya viremia, vius menembus dan berkembangbiak pada

endotel vaskular dengan cara endositosis. Sehingga, dapat menembus sawan

otak. Setelah mencapai susunan saraf pusat virus bekembangbiak dalam sel

10
dengan cepat pada retikulum endoplasma serta badan golgi yang

menghancurkan mereka. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel

neuron, ganglia dan endotel meningkat. Sehingga cairan di luar sel masuk ke

dalam dan timbullah edema sistoksik. Adanya edema dan kerusakan pada

susunan saraf pusat ini memberikan manifestasi berupa Ensefalitis. Dengan

masa prodmoral berlangsung 1-4 hari. [11]

Virus-virus yang menyebabkan parotitis, morbili, varisela masuk ke

dalam tubuh melalui saluran pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui

mulut, VHS melalui mulut atau mukosa kelamin, virus yang lain masuk ke

tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi

dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubella atau

CMV. Virus memperbanyak diri secara lokal, terjadi viremia yang menyerang

SSP melalui kapilaris di pleksus koroideus. [11]

Salah satu penyebab ensefalitis adalah Virus japanese. Mekanisme virus

japanese menyebabkan ensefalits, awalnya memperbanyak diri di daerah

gigitan dan nodus limfe regional. Dua karakteristik seluler yang penting

dalam patogenesis yaitu protein M yang mengandung domain hidrofobik

yang membantu untuk penempelan virus ke dalam sel inang dan protein E

yang memiliki fitur imunogenik utama dan diekspresikan ke dalam membran

sel yang terinfeksi. Protein E memediasi fusi membran antara envelope virus

dengan membran sel sehingga virus dapat masuk ke dalam sel inang.[8]

Siklus replikasi virus Japanes Ensefalitis (JE) dimulai dari interaksi virus

JE dengan reseptor sel inang, kemudian endositosis yang diperantarai oleh

11
reseptor, fusi dari membran virus dan sel inang, pelepasan genom virus

sitoplasmik dan dilanjutkan oleh proses transkripsi dan pre-translasi. Maturasi

partikel virus terjadi di dalam kompleks Golgi, diikuti oleh pelepasan virus JE

Pada tingkat sel, setelah virus JE menempel dengan sel inang, terjadi

kerusakan membran lokal sehingga menyebabkan masuknya virus JE ke

dalam sel. [8]

Kemudian terjadi viremia pertama yang umumnya berlangsung sebentar

dan sangat ringan. Bila viremia pertama tetap berlangsung maka akan terjadi

penyebaran melalui aliran darah dan menimbulkan perubahan inflamatorik

pada jantung, paru, hati, sistem retikuloendotelial dan SSP yang dapat

menimbulkan penyakit subklinis. Di dalam organ-organ tersebut virus JE

akan berkembang biak kemudian akan dilepaskan, masuk kedalam peredaran

darah, dan menimbulkan gejala penyakit sistemik. Bentuk subklinis atau

ringan dari penyakit JE menghilang dalam beberapa hari, jika tidak

melibatkan SSP. Semakin tinggi level sitokin tertentu seperti interferon (IFN)

alfa, interleukin (IL) 6 dan IL 8, maka semakin tinggi tingkat mortalitasnya. [8]

Virus JE dapat meningkatkan terjadinya patologi sistem saraf pusat

karena efek neurotoksik langsung ke sel-sel otak dan kemampuannya untuk

mencegah perkembangan sel-sel baru dari sel neuron (neural stem/progenitor

cells) sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Bagaimana cara

virus dapat menembus sawar darah otak tidak diketahui dengan pasti, namun

diduga setelah terjadinya viremia, maka virus akan menembus sawar darah

otak dan berkembang biak pada sel endotel dengan cara endositosis Setelah

12
mencapai jaringan SSP, virus berkembang biak di dalam sel dengan cepat

pada retikulum endoplasma yang kasar serta badan Golgi dan setelah itu

menghancurkannya. [8]

Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel neuron, glia dan

endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel mudah masuk ke dalam

sel dan timbullah edema sitotoksik. Adanya edema dan kerusakan SSP ini

memberikan manifestasi klinis berupa ensefalitis. Area otak yang terkena

dapat pada talamus, ganglia basal, batang otak, serebelum, hipokampus dan

korteks serebral. [8]

F. MANIFESTASI KLINIS

Infeksi akut ensefalitis umumnya didahului oleh gejala prodromal yang

tidak spesifik, seperti batuk, sakit tenggorokan, demam, sakit kepala, dan

keluhan abdominal, yang diikuti oleh gejala yang lebih khas yaitu letargia

yang proresif, perubahan perilaku, dan defisit neurologis. Kejang merupakan

gejala yang umum terjadi.[1]

Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia. Penurunan

kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri kepala,

ensefalopati, kejang, dan kesadaran menurun. Kejang bersifat umum atau

fokal, dapat berupa status konvulsivus. Dapat ditemukan sejak awal ataupun

kemudian dalam perjalanan penyakitnya[7]. Nyeri kepala dan demam pada

ensefalitis dihubungkan dengan kebingungan, delirium, iritabilitas, halusinasi,

kehilangan ingatan, agresivitas, koma, kejang (kadang fokal), ataksia, dan

tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. [1]

13
G. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Memastikan diagnosis ensfalitis didasarkan atas, gambaran klinis,

pemeriksaan laboratprium, pemeriksaan virologis, dan pemeriksaan

penunjang lain seperti EEG, pencitraan, biopsi otak, dan PCR. Walaupun

tidak begitu membantu, gambaran cairan serebrospinal dapat pula

dipertimbangkan.

1. Anamnesis

Berikut adalah pertanyaan yang perlu dipertimbangkan saat menilai

pasien dengan suspek ensefalitis. Pertanyaan yang perlu dipertimbangkan

saat menilai pasien dengan suspek ensefalitis (dimodifikasi dari Solomon,

Hart et al., 2007) :[3,13]

a. Riwayat demam atau sakit seperti influenza ?

b. Perubahan prilaku, kognitif, kepribadiaan atau kesadaran ?

c. Kejang onset akut ?

d. Gejala neurologis fokal ?

e. Ruam ? (Varisella zoster, roseola, enterovirus)

f. Riwayat berpergian? (riwayat profilaksis dan terpapar malaria, arbovirus,

rabies, tripanosoma)

g. Riwayat imunisasi ? (ADEM )

h. Terpapar nyamuk atau serangga ? (Arbovirus, Lyme disease)

i. Pasien imunokompromise ?

j. Faktor risiko HIV ?

14
Penting untuk menanyakan beberapa pertanyaan spesifik dalam

mempertimbangkan etiologi ensefalitis pada anak

Tabel 1. Agen Penyebab berdasarkan Faktor Risiko dan Gambaran Klinis[5]

Faktor Risiko
Status imunisasi (tidak vaksin) Virus polio, measles, mumps, rubella
Kontak dengan hewan Virus rabies, cat scratch disease,
Hendravirus, Q Fever
Kontak dengan burung WNV, Japanese encephalitis, Cryptococcus
neoformans
Kontak dengan serangga Malaria, WNV, tifus, penyakit Lyme,
tripanosomiasis
Makan daging/ susu tidak matang Toxoplasmosis, listeria, Q Fever
Kontak seksual HIV, sifilis
Berenang Enterovirus, Naegleria fowleri
Berkemah Malaria, tick-borne encephalitis virus, tifus.

Gambaran Klinis
Abnormalitas saraf kranial HSV, EBV, listeria, meningitis tuberkulosa,

15
sifilis, penyakit Lyme, Cryptococcus
neoformans
Ataxia sereberal VZV, EBV, virus mumps, tripanosomiasis
Demensia HIV, virus measles
Poliomyelitis (paralisis flasid) JEV, virus polio, enterovirus, WNV
Lanjutan
Parkinsonism JEV, WNV, virus nipah
Retinitis CMV, WNV, cat-strach disease, sifilis
Ruam VZV, HHV-6, virus rubella, tifus, sifilis,
penyakit Lyme, WNV, HIV, enterovirus, M.
Pneumoniae
Gejala saluran respiratorius Virus flu, adenovirus, M. pneumoniae,
Mycobacterium tuberculosis, Q Fever
Parotitis Virus mumps
Limfadenopati HIV, EBV, CMV, virus measles, rubella,
WNV, sifilis, cat-strach disease
Hepatitis Q Fever

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan penting saat menilai pasien dengan suspek ensefalitis

(dimodifikasi dari Solomon, Hart et al., 2007) : [2]

a. Jalan napas, pernapasan dan sirkulasi

b. MMSE, fungsi kognitif, dan prilaku (jika memungkinkan)

c. Bukti adanya kejang (lidah tergigit, jejas)

d. Kejang motorik halus (mulut, jari, kedipan mata)

e. Gejala neurologis fokal

f. Papiloedema

g. Paralisis flasid

h. Ruam

i. Area injeksi penyalahgunaan obat

j. Gigitan hewan

k. Gangguan gerak, termaksud parkinsonisme

3. Pemeriksaan Penunjang

16
Diagnosis ensefalitis virus ditunjang oleh pemeriksaan cairan

serebrospinal (SS) yang menunjukkan pleositosis limfositik, sedikit

peningkatan kadar protein CSS, dan kadar glukosa CSS yang normal.

Terkadang hasil pemeriksaan CSS dapat menunjukkan hasil yang normal.

Peningkatan ekstrim pada protein CSS yang disertai penurunan kadar

glukosa menunjukkan infeksi tuberkulosis, infeksti kriptokokal, atau

karsinomatosis meningeal.[1]

a. Pemeriksaan Laboratorium

Temuan laboratorium rutin pada pasien dengan ensefalitis virus

tidak terlalu membantu. Pemeriksaan hematologik menunjukan


[1,2,13]
leukositosis atau leukopenia pada ensefalitis virus . Abnormalitas

non-spesifik lainnya termaksud disfungsi renal (hiponatremi akibat

dehidrasi atau tidak adekuatnya sekresi ADH), peningkatan enzim hati

(pada infeksi EBV, CMV, gangguan mitokondria, dan beberapa obat),

peningkatan amilase (pada mumps), abnormalitas koagulasi dan

hipoglikemik.[4]

b. Pungsi Lumbal

Baku emas untuk diagnosis ensefalitis adalah mengidentifikasi

agen infeksi pada jaringan otak (sudah jarang dilakukan) atau analisis

CSS (cairan serebrospinal)[11]. Spesimen CSS pada pasien dengan

ensefalitis akan di analisis pada:[2]

1) Laboratorium mikrobiologi untuk pemeriksaan mikroskopis, kultur

dan uji sensitivitas.

17
2) Laboratorium virologi untuk tes PCR HSV tipe 1 dan 2 dan VZV.

3) Laboratorium biokimia untuk menilai kadar glukosa, laktat, protein

dan oligonal band.

CSS harus diperiksa pada semua kasus yang dicurigai ensefalitis

virus. Apabila anamnesis atau temuan klinis mengisyaratkan peningkatan

tekanan intrakranium yang parah atau lesi massa fokal, harus terlebih

dahulu dilakukan pemeriksaan neuroimaging yang sesuai untuk

menyingkirkan penyakit dan pungsi lumbal akan memperparah

keadaan[2,12].

Beberapa kontaindikasi pungsi lumbal pada pasien dengan

ensefalitis adalah seperti pada tabel 7. Pada ensefalitis virus, evaluasi

CSS memperlihatkan pleositosis mononuklear ringan sampai sedang dan

peningkatan ringan sampai sedang konsentrasi protein, nilai hitung sel

darah merah meningkat. Ditemukannya eosinofil pada cairan CSS

menunjukkan adanya infeksi helmintes, namun dapat juga terlihat pada

infeksi infeksi toxoplasma, Rickettsia rickettsii dan Mycoplasma

pneumoniae. Penurunan kadar glukosa menunjukkan infeksi yang

disebabkan oleh bakteri, jamur atau protozoa [2].

Tabel 2. Kontraindikasi Pungsi Lumbal pada Pasien Suspek Ensefalitis


(dimodifikasi dari Kneen, Solomon, et al., 2002; Michael, Sidhu, et al., 2010;
Hasbun, Abraham, at al., 2002; NICE)[2]
Pemeriksaan imaging diperlukan sebelum melakukan pungsi lumba,
(untuk menyingkirkan shift otak, swelling, atau SOL)
– Penurunan kesadaran sedang-berat (GCS <13)*
– Gejala neurologis fokal (termaksud pupil anisokor, midriasis,
atau respon lambat)
– Postur abnormal

18
– Papiloedema
– Kejang
– Bradikardi relatif dengan hipertensi
– Fenomena doll’s eyes
– Imunokompromise
Kontraindikasi lainnya
 Syok sistemik
 Gangguan koagulasi
 Infeksi lokal pada daerah pungsi
 Gangguan pernapasan
 Suspek septikemia meningokokal.
*Pendapat lain: GCS < 12 dan GCS <9.

Pada tahap awal ensefalitis virus, analisis CSS menunjukkan nilai

yang normal[4]. Namun, temuan CSS yang sama sekali normal tidak

menyingkirkan ensefalitis virus [11] .

Tabel 3. Analisis cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal[6]


Kondisi Meningitis Meningitis Meningoensefalitis Normal
Bakterial
tuberkulosa virus
Warna Purulen, Xantokrom, Jernih (kecuali jumlah Jernih
keruh terdapat endapan sel >300ul)
benang-benang
fibrin
Tekanan 200-750+ 150-750+ Normal atau sedikit <160
(mmH2O)
meningkat
Jumlah sel/µ L Ribuan 250-500, terutama 50-300, terutama 0-5 limfosit;
(>1000 limfosit limfosit 1-3 PMN
sel/ul), pada bulan
terutama peratama,
PMN sampai 30
limfosit pada
neobatus,20-
50 eritrosit
Protein (mg/dL) Ratusan 45-1000, jumlah 20-125 (normal atau 15-35
hingga sel meningkat sedikit meningkat) (lumbal), 5-

19
ribuan seiring waktu. 15
(ventrikel)
Glukosa(mg/dL) Sangat Sangat menurun, Normal atau sedikit 50-80 (2/3
menurun Rasion CSS darah bekurang dari glukosa
CSS/darah ≤ 0.4 darah)
≤0.6 pada
neonatus; ≤
0.4 pada
anak besar

c. Neuroimaging
Prosedur pencitraan saraf dapat menyingkirkan penyakit lain (tumor,

hematoma, abses, atau hidrosefalus)[11]. CT scan dan MRI sering digunakan

untuk mengevaluasi pasien dengan ensefalitis[3]. CT scan biasanya dilakukan

sebelum pungsi lumbal jika terdapat gejala shift otak atau space-occupaying

lesions[12]. MRI secara signifikan lebih sensitif dibandingkan CT scan untuk

mendeteksi perubahan serebri tahap awal terutama pada ensefalitis virus.

Walaupun MRI sangat berguna untuk mendeteksi perubahan awal pada

ensefalitis, MRI tidak membantu menentukan etiologi spesifik[2].

Beberapa karaterisik pola neuroimaging pada pasien dengan

ensefalitis yang disebabkan oleh agen spesifik. Pada pasien dengan

ensefalitis HSV, terdapat edema dan perdarahan yang jelas pada pada lobus

temporal. Pada pasien dengan ensefalitis yang disebabkan oleh flavivirus

dan Eastern equine virus, gambaran MRI menunjukkan pola intensitas

campuran atau lesi hipodens pada gambar T1-weighted pada talamus,

ganglia basal dan midbrain. Pada pasien dengan dengan enterovitus

20
ensefalitis, MRI menunjukkan hipeintense T2 dan lesi FLAIR yang

berlokasi pada midbrain, pons, dan medulla[3].

d. EEG

EEG menunjukkan gambaran abnormal pada sebagian besar pasien

dengan ensefalopati, dan >80% pasien dengan ensefalitis virus akut. Ketika

pasien memiliki gejala yang minimal, EEG dapat membantu apakah

kelainan prilaku disebabkan oleh penyebab psikiatri atau gambaran awal

ensefalopati. EEG juga berperan untuk mementukan apakah seseorang

mempunyai kejang non-konvulsi atau kejang, dimana dapat ditemukan

pada ensefalitis atau ensefalopati lainnya[2].

e. Pemeriksaan serologis

Dilakukan untuk arbovirus (termasuk virus West Nile), virus

Epstein Barr, Myycoplasma pneumonia, dan penyakit Lyme. Pemeriksaan

serologis lain yang lebih jarang dilakukan sesuai indikasi berdasarkan

riwayat perjalanan, status sosial, atau riwayat medis tertentu. Selain

pemeriksaan serologis, pemeriksaan kultur virus dari CSS, tinja, serta

swab nasofaring juga perlu dilakukanWalaupun telah dilakukan

pemeriksaan ekstensif dan pemeriksaan PCR, sepertiga kasus ensefalitis

tetap tidak diketahui penyebabnya. [1]

f. Biopsi otak
Jarang dilakukan, namun berguna untuk mengetahui kelainan pada pasien

dengan kelainan neurologi fokal. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada

ensefalopati berat yang tidak menunjukkan adanya perbaikan klinis dan

21
diagnosis pasti tidak dapat ditegakkan. Ensefalitis akibat rabies dan

penyakit yang berkaitan dengan prion (penyakit Creutzfeldt-Jakob dan

kuru) secara rutin didiagnosis melalui pemeriksaan kultur atau

pemeriksaan patologi hasil biopsi jaringan otak. Biopsi otak dapat

membantu untuk mengidentifikasi infeksi arbovirus dan enterovirus,

tuberkulosis, infeksi jamur, dan penyakit non infeksius, terutama penyakit

akibat vaskulopati di sistem saraf pusat dan keganasan. [1]

H. DIAGNOSIS BANDING

1. Meningitis

Peradangan pada leptomeningens, dapat disebabkan oleh bakteri,

vrius, atau meski jarang, jamur. Bakteri yang sering menyebabkan

meningitis bakterialis sebelum tersedianya vaksin terkonjugasi adalah H.

Influenza, S. Pneumoniae, dan N. Meningitidis. Meningitis viral umunya

disebabkan oleh virus enterovirus, termasuk coxsackie virus, echovirus, dan

pada pasien yang tidak mendapatkan vaksinasi virus polio. Eksresi dan

transmisi melalui feses terjadi berkelanjutan dan bertahan beberapa minggu.

Virus lain yang dapat menyebabkan meningitis adalah virus herpes

simplex, virus Epstein Barr, sitomegalovirus, virus limfositik

koriomeningitis, dan human immunodeficiency virus (HIV). Virus mumps

adalah salah satu penyebab meningitis yang umum terjadi pada anak yang

belum divaksinasi. Adanya gejala saluran nafas atas yang mendahului

22
merupakan kondisi yang sering ditemukan. Awitan yang cepat merupakan

salah satu ciri S. Pneumonia dan N. Meningitidis.

Indikasi terjadinya inflamasi meningens adalah timbulnya sakit

kepala, iritabilitas, mual, kaku kuduk, letargia, fotofobia, dan muntah.

Umumnya juga timbul demam. Ditemukannya tanda Kernig dan Brudzinski

positif pada anak berusia 12 bulan merupakan bukti adanya iritasi

meningens. Pada bayi kecil, tanda peradangan meningeal umumnya tidak

terlihat jelas, misalnya hanya menjadi rewel, gelisah, penurunan kesadaran.

Gejala lain berupa artralgia, mialgia, petekie, ataupun lesi purpura, sepsis,

syok, dan koma. Peningkatan tekanan intrakranial ditunjukkan dengan

adanya keluhan sakit kepala, diplopia, dan muntah[1].

2. Tumor Otak
Tumor otak adalah pertumbuhan sel-sel otak yang abnormal di dalam

otak. Tumor otak primer apabila pertumbuhan sel abnormal terjadi pertama

kali di dalam otak bukan merupakan metasase dari tumor di organ lainnya.

Tumor otak mempunyai sifat yang berlainan dibandingkan tumor di tempat

lain. Walaupun secara histologis jinak, mungkin akan bersifat ganas karena

letaknya berdekatan atau di sekitar struktur vital dan dalam rongga tertutup

yang sukar dicapai[13].

Tumor otak merupakan keganasan kedua setelah leukemia yang sering

ditemui pada masa anak-anak sekitar 20% dari kasus keganasan. Angka

kejadian tumor otak pada masing masing populasi berbeda beda,

nampaknya angka kejadian tumor otak meningkat pada negara industri. Di

23
Eropa 3,14 per 100.000, di Asia pada populasi orang 1,31 per 100.000

penduduk. Kurang lebih 10% tumor terjadi pada anak usia kurang dari 2

tahun, 20% pada anak usia 2-5 tahun, 25% pada anak usia 5 sampai 10

tahun dan 45% pada anak di atas 10 tahun. Tumor otak merupakan suatu

proses desak ruang yang dapat mengganggu fungsi otak akibat desakan

tumor terhadap pelbagai bagian otak. Manifestasi klinis tumor otak meliputi

peninggian tekanan intra kranialdan manifestasi fokal yang diakibatkan oleh

tekanan terhadap jaringan disekitar tumor[13].

Manifestasi klinis peningkatan tekanan intrakranial meliputi sakit

kepala, muntah, perubahan kepribadian, iritabel, ngantuk, depresi , kaku

kuduk dan gejala lain tergantung pada bagian mana tumor ditemukan.

Manifestasi tumor otak di serebrum meliputi kejang, gangguan penglihatan,

gangguan bicara, kelumpuhan anggota gerak, bingung, gangguan

kepribadian dan gejala tekanan intrakranial lainnya[13].

Manifestasi klinis tumor batang otak kejang, gangguan hormonal,

penekanan pada infundibulum menyebabkan diabetes insipidus. Penekanan

hipothalamus dapat menyebabkan sindrom hipothalamus menyebabkan

pubertas prekok, gangguan penglihatan, pusing, kelumpuhan syaraf kranial

dan anggota gerak, gangguan pola pernafasan dan gejala tekanan intra

kranial lainnya. Manifestasi klinis tumor di serebellum meliputi muntah,

sakit kepala, gangguan koordinasi gerakan, gangguan berjalan (ataksia). [13]

3. Sindrom Reye

24
Sindroma Reye adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan

ensefalopati noninflamasi akut dan gagal hati. Pada tahun 1963, R. D. K.

Reye pertama kali menemukan sindroma ini di Australia, dan beberapa

bulan sesudahnya, G. M. Johnson menemukan sindroma ini di Amerika.

Meskipun penyebab Sindroma Reye belum diketahui, sindroma ini sering

terjadi setelah infeksi virus, umumnya infeksi saluran nafas atas, influenza,

varisela, atau gastroenteritis, dan berhubungan dengan penggunaan aspirin

selama sakit.[12]

Gejala dari sindroma Reye kadang tidak khas, tetapi dapat dilihat juga

dari kondisi lain dan juga tidak ada tes yang secara spesifik untuk sindroma

Reye, sehingga diagnosis sindroma ini biasanya adalah apabila diagnosis

banding lain telah disingkirkan. Kecurigaan yang tinggi sangat penting

dalam diagnosis sindroma Reye. Diagnosis ini harus dipikirkan pada anak

yang mengalami muntah dan terjadi perubahan status mental. [12]

Sindrom reye adalah sindrom kerusakan otak yang akut yang ditandai

dengan ensefalopati dan masalah fungsi hati dengan penyebab yang tidak

diketahui. Sindrom reye terutama menyerang anak walaupun bisa terjadi

pada semua umur. Sindrom ini disebabkan karena meningkatnya tekanan

dalam otak dengan akumulasi masif lemak pada hati dan organ lain.

Sindrom reye berhubungan dengan penyakit virus seperti cacar air dan

influenza, biasanya terjadi saat masa penyembuhan dari infeksi virus

tersebut. Sindrom ini sering diinterpretasikan sebagai ensefalitis, meningitis,

diabetes, overdosis obat, keracunan, dan penyakit kejiwaan.[13]

25
Penyakit ini ditemukan oleh R. Douglas Reye. Penyebab sindrom reye

masih belum diketahui pasti, diduga ada hubungannya dengan pemakaian

aspirin atau asam salisilat pada penyakit infeksi virus. Diduga juga ada

hubungannya dengan kelainan matabolik.[13]

Kriteria diagnosis untuk sindrom reye adalah adanya ensefalopati akut

non-inflamasi dengan perubahan kesadaran, disfungsi hati dengan biopsi

hati yang menunjukkan metamorfosis jaringan lemak atau peningkatan 3

kali lipat dari ALT, AST dan/atau level ammonis, tidak ada penjelasan

penyebab lain untuk adanya edema serebral atau kelainan hati, cairan

serebrospinal dengan >8 leukosit per milimeter kubik, biopsi otak

menunjukkan cerebral edema inflammation. [14]

I. TATALAKSANA

1. Terapi supportif

Pasien dengan ensefalitis biasa datang dengan keluhan kesadaran

menurun sehingga harus di berikan tatalaksana seperti

a. Airway

- Membebaskan jalan napas, harus dijaga tetap bebas, tidak ada

sumbatan dsn leher diatur agar lidah tidak jatuh kebelakang.

- Bila ada secret atau muntah dilakukan penghisapan

b. Breathing

- Segera memberikan bantuan napas dengan pemberian oksigen

- Bila ada sumbatan napas total segera lakukan intubasi

c. Circulation

26
- Bila nadi tidak teraba atau lemah, dilakukan pemberian cairan

intravena bias dengan kristaloid, lalu memantau nadi dan tekanan

darah.

2. Terapi simptomatis

a. Bila anak kejang diberikan Diazepam rektal adalah 0,5 mg –

0,75mg/kgBB atau Diazepam rektal 5mg untuk anak dengan berat

badan ≤ 12 kg dan 10 mg untuk berat badan > 12 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat

diulang lagi dengan cara dan dosia yang sama dengan interval waktu 5

menit.

Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,

maka diberikan diazepam 0,2-0,5mg/kg/iv dengan kecepatan

2mg/menit max 10 mg.

Bila kejang berlanjut 5-10 menit berikan Fenobarbital 20mg/kg/iv,

dengan kecepatan 10-20mg/menit dosis max 1000mg.

Bila kejang berlanjut 5-10 menit berikan Fenitoin 20mg/kg/iv

(diencerkan dalam 50 ml Nacl 0,9% selama 20 menit (2mg /kg/menit)

dosis max 1000mg.

Bila kejang berlanjut rawat ICU, diberiiiiikan midazolam bolus 100-

200nmcg/kg/iv (max 10mg).

27
Bila kejang berhenti dapat dipertimbangkan rumatan Fenitoin 5-

10mg/kg dibagi 2 dosis. Atau Fenobarbital 3-5 mg/kg/hari dibagi 2

dosis

b. Bila demam dapat diberikan antipiretik Paracetamol infus

10mg/kgBB/kali

c. Bila terdapat tanda peningkatan intrakranial dapat diberikan mannitol

0,5-1 Gram/kg/kali

3. Terapi Kausatif

- Bila Ensefalitis akibat virus herpes simpleks, dapat diberikan terapi

Asiklovir 10 mg/kgBB setiap 8 jam selama 10-14 hari, diberikan

dalam infus 100 ml - NaCl 0,9% minimum dalam 1 jam. Dosis untuk

neonatus 20 mg/kgBB setiap 8 jam selama 14-21 hari. Pada kasus

alergi terhadap asiklovir atau VHS resisten, dapat diberikan vidarabin

15 mg/kgBB/hari selama 14 hari. [7]

- Ensefalitis akibat virus varisela (VZV) dapat diberikan aciclovir.

Aciclovir juga efektif untuk VZV. Direkomendasikan Aciclovir dengan

dosis 10mg/kgBB per 8 jam selama 10-14 hari.

- Ensefalitis akibat virus influenza ditangani dengan oseltamivir selama

5 hari. 4].

4. Terapi Rehabilitatif

Pada penerita ensefalitis yang mengalami defisit neurologi maka

sebaiknya diberikan penilaian tes MMSE untuk peningkatan fungsi

28
kognitif, apabila terdapat parese bisa diberikan fisioterapi. Yang terpenting

hindari faktor pencetus seperti bila demam segera diberikan paracetamol.

L. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

Kebanyakan anak dengan ensefalitis sembuh tanpa sequele berat.

Konsekuensi ensefalitis virus baik tipe primer maupun tipe sekunder sering

serius, dan dapat menyebabkan kematian dan cacat neurologis permanen. Pada

sebagian orang, sistem saraf yang sedang berkembang memiliki kapasitas

yang luar biasa untuk pulih dari cedera imunoinfeksiosa. Namun, waktu yang

diperlukan untuk pemulihan dapat sangat lama. Apabila seorang anak dapat

selamat dari fase terparah penyakit akut (7-14 hari), pemulihan mungkin

memerlukan beberapa bulan atau bahkan tahun. Sekuele neurologik mayor

pada anak yang pernah terjangkit virus menimbulkan masalah serius pada 10-

30% kasus anak yang selamat. Cedera pada bagian otak yang penting dalam

fungsi kompleks seperti perhatian, inisiatif, daya ingat, atau aspek lain fungsi

kognitif yang lebih tinggi mungkin tidak mudah diketahui sampai beberapa

tahun kemudian pada anak yang awalnya tampak pulih sempurna dari

ensefalitis.[11]

J. PENCEGAHAN
Pencegahan terbaik untuk ensefalitis akibat arbovirus adalah dengan

menghindari gigitan nyamuk ataupun kutu, serta menyingkirkan kutu dengan

hati-hati. Belum ada vaksin yang dapat mencegah infeksi arbovirus atau

enterovirus, kecuali untuk penyakit poliomielitis. Tidak ada tindakan spesifik

29
untuk pencegahan ensefalitis HSV kecuali tindakan operasi bedah kaisar pada

ibu dengan lesi genital aktif. Rabies dapat dicegah dengan vaksinasi pra dan

pasca-paparan. Ensefalitis akibat virus influenza dapat dicegah dengan

pemberian vaksin influenza. Sindrom Reye dapat dicegah dengan menghindari

penggunaan aspirin atau obat yang mengandung aspirin pada anak dengan

demam, serta pemberian vaksinasi varisela dan influenza.[1

30

Anda mungkin juga menyukai