Anda di halaman 1dari 20

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Referat

Fakultas Kedokteran Juni 2018


Universitas Halu Oleo

ENSEFALITIS

Oleh :

Sabrina Julia La Sara, S.Ked

( K1 A1 13 053 )

Pembimbing

dr. Hasniah Bombang, M.Kes, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2018
ENSEFALITIS
Sabrina Julia La Sara, Hasniah Bombang

A. PENDAHULUAN
Ensefalitis adalah suatu peradangan akut dari jaringan parenkim otak
yang disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam mikroorganisme dan
ditandai dengan gejala-gejala umum dan manifestasi neurologis. Penyakit ini
dapat ditegakkan secara pasti dengan pemeriksaan mikroskopik dari biopsi
otak, tetapi dalam prakteknya di klinik, diagnosis ini sering dibuat
berdasarkan manifestasi neurologi, dan temuan epidemiologi, tanpa
pemeriksaan histopatologi. Apabila hanya manifestasi neurologisnya saja
yang memberikan kesan adanya ensefalitis, tetapi tidak ditemukan adanya
peradangan otak dari pemeriksaan patologi anatomi, maka keadaan ini
disebut sebagai ensefalopati.1
Jika terjadi ensefalitis, biasanya tidak hanya pada daerah otak saja yang
terkena, tapi daerah susunan saraf lainnya juga dapat terkena. Hal ini terbukti
dari istilah diagnostik yang mencerminkan keadaan tersebut, seperti meningo
ensefalitis. Mengingat bahwa ensefalitis lebih melibatkan susunan saraf pusat
dibandingkan meningitis yang hanya menimbulkan rangsangan meningeal,
seperti kaku kuduk, maka penanganan penyakit ini harus diketahui secara
benar. Karena gejala sisanya pada 20-40% penderita yang hidup adalah
kelainan atau gangguan pada kecerdasan, motoris, penglihatan, pendengaran
secara menetap. Angka kematian untuk ensefalitis masih relatif tinggi
berkisar 35-50% dari seluruh penderita. Sedangkan yang sembuh tanpa
kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih
mungkin menderita retardasi mental dan masalah tingkah laku.2

B. DEFINISI
Ensefalitis merupakan proses radang parenkim otak yang biasanya
merupakan proses akut, tetapi bisa juga merupakan ensefalomielitis pasca
infeksi, suatu penyakit degeneratif kronik, atau infeksi virus lambat.(3)
Ensefalitis juga dapat disertai dengan defisit neurologis yang nyata.
Ensefalitis paling sering disebabkan infeksi virus.(4)

C. EPIDEMIOLOGI
Peradangan otak merupakan penyakit yang jarang. Angka kejadiannya
yaitu 0,5 per 100.000 individu. Yang paling banyak menyerang anak-anak,
orang tua dan pada orang-orang dengan sistem imun yang lemah, seperti pada
penderita HIV/ AIDS, kanker dan anak gizi buruk. Di Inggris insidensi
ensefalitis pertahun nya mencapai 4 orang per 100.000 penduduk. 1
Ensefalitis virus lebih sering terjadi pada anak (16 dari 100.000 per
orang per tahun di bandingkan 3.5-7.4 dari 100.000 per orang per tahun pada
dewasa.(1) Angka kematian masih tinggi, berkisar 35%-50%, dengan gejala
sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20%-40%).(4) Penyakit Ensefalitis
Japanese (JE) pertama kali dikenal pada tahun 1871 di Jepang dan diketahui
menginfeksi sekitar 6.000 orang pada tahun 1924. Endemisitas JE ditemukan
di hampir seluruh provinsi di Indonesia, dimana umumnya masyarakat hidup
berdekatan dengan hewan ternak mereka. Data dari Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 1993-2000 menunjukkan spesimen
positif JE ditemukan di 14 Provinsi (Bali, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Papua).1
Pada studi yang dilakukan oleh Mendizabal, et al.(2013), indikator
prognosis meningitis bacterial pada penelitian dengan subjek penelitian usia
0-18 tahun, pasien meningitis bakterial dengan koma atau gangguan
kesadaran, memiliki risiko kematian 2 kali lebih besar, begitu pula pada
pasien dengan kejang, risiko kematian juga meningkat1
D. ETIOLOGI
Ensefalitis bisa disebabkan oleh virus, bakteria, parasit, fungus dan
riketsia. Agen virus, seperti virus HSV tipe 1 dan 2 (hampir secara eksklusif
pada neonatus), EBV, virus campak (PIE dan SSPE), virus gondok, dan virus
rubella, yang menyebar melalui kontak orang-ke-orang. Virus herpes manusia
juga dapat menjadi agen penyebab. CDC telah mengkonfirmasi bahwa virus
West Nile dapat ditularkan melalui transplantasi organ dan melalui transfusi
darah. Vektor hewan penting termasuk nyamuk, kutu (arbovirus), dan
mamalia seperti rabies.(5)
Etiologi ensefalitis virus yang tersering adalah enterovirus : poliovirus,
coxsackievirus, echovirus, dan Herpes simplex virus (tipe 1 dan 2).
Sedangkan penyebab lain, namun lebih jarang antara lain Rabies, Arbovirus :
Western Equine Encephalitis Virus, Eastern Equine Encephalitis Virus, St.
Louis Encephalitis Virus, California- La Crosse Virus, Mumps, Measles,
Varicella, Nipah Virus.(4) Ensefalitis biasanya disebabkan oleh infeksi virus
otak langsung melalui rute hematogen atau saraf (perifer atau kranial).
Selama musim epidemi (musim panas atau gugur), arbovirus dan enterovirus
merupakan patogen yang umum. Herpes simpleks, penyebab ensefalitis
sporadik paling sering, juga merupakan ensefalitis yang biasanya disebabkan
oleh pada neonatus. HIV merupakan penyebab ensefalitis yang makin sering
pada anak dan dapat muncul sebagai penyakit demam akut, tetapi lebih sering
onsetnya bersembunyi.(3)
Etiologi ensefalitis bakteri berdasarkan kelompok usia pada neonatus
antara lain Streptococcus grup B, E. coli, Klebsiella pneumoniae, Listeria
monocytogenes, Enterococcus sp, Salmonella sp. Pada usia 4-12 minggu
organisme patogen penyebab ensefalitis antara lain ; Streptococcus grup B, E.
Coli, Listeria monocytogenes, Haemophilus influenza, Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitidis. Usia 12 minggu dan lebih tua,
organisme patogen penyebab ensefalitis antara lain Haemop hilus influenza,
Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis.(6)
E. KLASIFIKASI

F. PATOGENESIS
1. GAMBARAN UMUM SUSUNAN SARAF PUSAT
Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medulla spinalis. Sebanyak 100
milyar neuron yang diperkirakan terdapat di otak tersusun membentuk
anyaman kompleks yang memungkinkan : 1) secara bawah sadar
mengatur lingkungan internal melalui system saraf, 2) mengalami emosi,
3) secara sadar mengontrol gerakan, 4) menyadari tubuh anda sendiri dan
lingkungan anda, 5) melakukan fungsi-fungsi kongitif yang lebih luhur
misalnya berpikir dan mengingat .
Sistem saraf pusat adalah sistem tubuh yang menerima dan
memproses semua informasi dari seluruh bagian tubuh. Ini terdiri dari
otak, sumsum tulang belakang, dan neuron. Hal ini bisa dibilang sistem
yang paling penting dari tubuh.

Cerebrum (Telecephalon) merupakan bagian terbesar otak dan


menempati fossa cranial tengah dan anterior. Cerebrum juga disebut
dengan cerebral cortex, forebrain atau otak depan. Cerebrum dibagi oleh
suatu celah yang dalam, fisura serebri longitudinal, menjadi hemisferkiri
dan kanan, dimana setiap hemisfer ini berisi satu ventrikel lateral. Di otak
bagian dalam, hemisfer dihubungkan oleh massa substansi albikan (serat
saraf) yang disebut korpus kalosum (corpus callosum). Bagian superfisial
cerebrum terdiri atas badan sel syaraf atau substansi grisea, yang
membentuk korteks serebri,dan lapisan dalam yang terdiri atas serat syaraf
atau substansi albikan.
Cerebellum (otak kecil) terletak di fossa cranii posterior dan bagian
superiornya ditutupi oleh tentorium cerebelli. Cerebellum dibagi menjadi
tiga lobus utama: lobus anterior (fungsi: regulasi tonus otot dan
mempertahankan sikap badan), lobus medius/lobus posterior (fungsi:
koordinasi berbagai gerakan lincah), dan lobus flocculonodularis (fungsi:
mempertahankan keseimbangan).
Batang otak merupakan struktur pada bagian posterior. Batang otak
mempunyai tiga fungsi utama:
1. Sebagai tempat lewatnya traktus asendens dan desendens keberbagai
pusat yang lebih tinggi diotak depan.
2. Pusat-pusat refleks penting yang mengatur sistem respirasi dan system
kardiovaskular serta pengendali kesadaran.
3. Melekatnya nuclei saraf kranial III sampai XII yang penting. Namun
batang otak juga memiliki fungsi lainnya, meliputi:
kewaspadaan,gairah,pernapasan, tekanan darah, pencernaan, tingkat
jantung, fungsi otonom lainnya, menyampaikan informasi antara saraf
perifer dan sumsum tulang belakang ke atas bagian otak
Menurunnya sistem imun merupakan faktor risiko utama, seperti
pasien HIV/AIDS, pengguna steroid jangka panjang, atau kemoterapi.(4)
Beberapa faktor yang mungkin meningkatkan risiko terinfeksi dengan
ensefalitis virus adalah usia muda atau orang tua, terekspos nyamuk atau
kutu, tidak divaksin campak, mumps, dan rubella, dan berpergian ke area
dimana ensefalitis virus sering terjadi.(7)
Gambar 4. Patofisiologi Ensefalitis
( Dikutip dari kepustakaan 6 )

Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral


meningitis, yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah
(hematogen) dan melalui saraf (neuronal spread)2. Penyebaran hematogen
terjadi karena penyebaran ke otak secara langsung melalui arteri
intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga dijumpai,
misalnya arteri meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri tersebut
itu kuman dapat tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi
melalui penerobosan dari pia mater. 6
Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran
melalui neuron, misalnya pada encephalitis karena herpes simpleks dan
rabies. Pada dua penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris
yang menginnervasi port d’entry dan bergerak secara retrograd mengikuti
axon-axon menuju ke nukleus dari ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf
tepi dapat digunakan sebagai jembatan bagi kuman untuk tiba di susunan
saraf pusat. 6

Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel


virus dihancurkan. Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan
rumah untuk membuat protein yang menghancurkan kapsel virus. Setelah
itu nucleic acid virus berkontak langsung dengan sitoplasma sel tuan
rumah. Karena kontak ini sitoplasma dan nukleus sel tuan rumah membuat
nucleic acid yang sejenis dengan nucleic acid virus. Proses ini dinamakan
replikasi6
Karena proses replikasi berjalan terus, maka sel tuan rumah dapat
dihancurkan. Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular.
Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah
manifestasi-manifestasi toksemia yang kemudian disususl oleh manifestasli
lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri dari sakit kepala, demam, dan
lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan
susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan motorik (gangguan
penglihatan, gangguan berbicara,gannguan pendengaran dan kelemahan
anggota gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang
mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan
berat badan.6

G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis ensefalitis, bergantung pada penyebab ensefalitis:(1)
1. Ensefalitis Bakteri
a. Ensefalitis Supurativa
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus
aureus, streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa. Manifestasi klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis ; Demam, kejang dan
kesadaran menurun. Bila berkembang menjadi abses serebri akan
timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan
intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,muntah,
penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan
mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologist
tergantung pada lokasi dan luas abses.
b. Ensefalitis Siphylis
Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian :
1) Gejala-gejala neurologis
Kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan, afasia,
apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun,sering dijumpai
pupil Agryll Robertson, nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada
stadium akhir timbul gangguanan-gangguan motorik yang progresif.
2) Gejala-gejala mental
Timbulnya proses dimensia yang progresif, intelgensia yang
mundur perlahan-lahan yang mula-mula tampak pada kurang
efektifnya kerja, daya konsentrasi mundur, daya ingat berkurang, daya
pengkajian terganggu.
2. Ensefalitis Virus
Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea,
kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk,
hemiparesis dan paralysis bulbaris.
Yang paling sering ditemukan ialah Japanese Encephalitis (JE)
dimana JE adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf pusat
(otak, medula spinalis,meningen), yang disebabkan oleh virus JE yang
ditularkan oleh binatang melalui gigitan nyamuk. Penyakit JE termasuk
Arbovirosis (arthropod borne viral disease) yaitu penyakit yang
disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh artopoda. Untuk dapat
berlangsungnya penyakit Arbovirosis diperlukan adanya resevoir (sumber
infeksi) dan vektor.
3. Ensefalitis karena Parasit
Gejala klinis yang muncul antara lain demam tinggi dapat juga
bersifat akut nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk, kesadaran
menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada lokasi
kerusakan-kerusakan. Yang biasa ditemukan disebabkan oleh Naegleria
fowleri.
4. Ensefalitis karena Fungus
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida
albicans, Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus
dan Mucor mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada
sistim saraf pusat ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang
memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.

5. Riketsiosis Serebri
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli
yang terdiri atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar
pembuluh darah di dalam jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang
terkena akan terjadi trombosis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala,
demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaran dapat
menurun. Gejala-gejala neurologik menunjukan lesi yang tersebar.

H. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis pada pasien dengan ensefalitis, dapat dilakukan
dengan anamnesis yang mencakup riwayat pasien : keadaan musim dan
geografi, riwayat perjalanan ke daerah endemis, riwayat kontak dengan
hewan, atau gigitan serangga, status imunisasi, dan pekerjaan. Tanda klinis
berupa : Kelainan kulit dan mukosa, serta gangguan pada kelenjar getah
bening. Pemeriksaan penunjang yang di gunakan dalam penegakkan
diganosis ensefalitis dapat berupa : Pemeriksaan darah, Electroensefalograpy,
CT scan, MRI, SPECT,CSF dan biposi otak.(5)
1. Anamnesis
Anamnesis pada ensefalitis dapat berupa :(8)
a. Menanyakan tentang keluhan berupa : demam, muntah, nafsu makan
buruk.
b. Menanyakan tentang tanda dan gejala neurologis berupa :nyeri kepala,
adanya kejang, Iritabilitas, ataksia, dan tanda neurologis fokal.
c. Perubahan prilaku berupa : agresivitas, atau apati.
d. Gangguan kesadaran: Disorientasi, kebingungan, somnolen dan koma.
e. Riwayat : berpergian, berkemah, pajanan nyamuk, kontak dengan
binatang (kuda,kucing,mencit,marmut),ruam,varisela.
Riwayat harus dicari tahu dari orang terdekat. Riwayat bepergian ke
daerah endemis, riwayat gigitan serangga atau binatang, dan kemungkinan
kontak dengan individu yang menderita penyakit menular. Kondisi medis
yang mendasari juga relevan karena individu yang mengalami
imunosupresi lebih rentan terhadap infeksi ensefalitis tertentu, misalnya,
listeriosis, kriptokokus, dan sitomegalovirus.Ensefalitis cytomegalovirus
biasanya terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV, terutama pada neonatus.
Onset dan perkembangan dari penyakit virus dapat memberikan petunjuk
berharga untuk etiologi, misalnya,infeksi enterovirus. Komplikasi
neurologis pada kasus demam berdarah sering disebabkan oleh meningitis
aseptik dan perdarahan intraserebral. Rabies adalah contoh dari ensefalitis
zoonosis yang menyajikan gejala klinis yang sangat khas berupa takut
pada air, serta kejadian yang jarang adalah asending paralisis yang
merupakan gejala neurologis awal Guillain-Barre.(5)

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda klinis
Pada pemeriksaan secara umum, dapat dilihat berupa adanya
ruam kulit dapat merupakan tanda yang umum varicella zoster. Adanya
pembengkakan pada kelenjar parotis merupakan tanda khas pada
Parotitis eritema nodosum dapat berhubungan dengan infeksi
granulomatosa (TBC dan histoplasmosis). Lesi selaput lendir
berhubungan dengan infeksi virus herpes.Adanya infeksi pada saluran
pernapasan adalah karakteristik dari virus influenza dan mycoplasma.(5)

b. Pemeriksaan neurologis
Tanda-tanda neurologis pada ensefalitis akut tidak bisa dijadikan
sebagai dasar untuk menyatakan etiologi dari ensefaltis. Meskipun ada
kecenderungan virus tertentu untuk mempengaruhi daerah fokus yang
spesifik dari sistem saraf pusat. Kelainan fokal yang paling sering
dilaporkan adalah hemiparesis, aphasia, ataksia, tanda-tanda piramidal
(Refleks yang meningkat),defisit saraf kranial (oculomotor dan wajah),
gerakan tak terkendali (mioklonus dan tremor), dan kejang parsial.
Evolusi tanda-tanda klinis akan tergantung pada virus, usia, dan status
kekebalan umum patient. Terjadi perbedaan manifestasi klinisa Pada
pasien muda dan sangat tua. Tanda-tanda gejala frontotemporal dengan
aphasia, perubahan kepribadian, dan kejang fokal adalah karakteristik
dari herpes simpleks ensefalitis . Adanya tanda-tanda Lower motor
neuron motorik dan deman pada pasien mungkin menunjukkan
poliomyelitis. Gejala disfungsi otonom atau hipotalamus juga dapat
dilihat di ensefalitis akut.(5)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus ensefalitis
pada anak antara lain :
a. Pemeriksaan Darah
Darah perifer lengkap, biakan darah, dan tes serologis lengkap dapat
dilakukan. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan jika ada
indikasi. Biasanya pemeriksaan laboratorium tidak membantu kecuali
untuk mengetahui proses infeksi virus yang sedang terjadi
(predominan limfosit pada infeksi virus, predominan sel PMN pada
infeksi bakteri. Tes serologi bergantung pada adanya titer antibodi.
Deteksi dini IgM mungkin membantu diagnosis awal.
b. Analisis cairan cerebrospinal dengan lumbal pungsi(4)
Pungsi lumbal CSS bisa normal atau menunjukkan abnormalitas
ringan sampai sedang: peningkatan jumlah sel 50-200/mm3, hitung
jenis didominasi limfosit. Protein meningkat tetapi tidak melebihi 200
mg/dl, glukosa normal. Tes Polymerase Chain Reaction dari CSS
dilakukan hanya pada kecurigaan adanya ensefalitis herpes simpleks.
c. EEG
EEG sangat dianjurkan dalam setiap kasus yang dicurigai ensefalitis
akut karena dapat membantu untuk membedakan ensefalitis fokal dan
encephalopathy umum. EEG menunjukkan bentuk gelombang yang
lambat pada kedua hempisper cerberi pada kasus encefalopathy
hepatikum. Pada kasus ensefalitis herpes simpleks, terdapat
abnormalitas gelombang yang bervariasi pada EEG, meskipun
sebelumnya perubahan yang terjadi non spesifk (perlambatan), dengan
banyak perubahan karakteristik (2-3 Hz lateralisasi periodik , dengan
pelepasan epileptiform yang berasal dari lobus temporal), Hal ini terjadi
hanya pada sebagian kasus yang berlanjut pada kasus herpes simpelks
ensefalitis.(5)
d. Neuroimaging
Gambaran computed tomography/CT-scan atau magnetic resonance
imaging/MRI kepala menunjukkan edema otak baik umum atau fokal.
MRI lebih sensitif daripada CT-scan dalam mendeteksi ensefalitis viral.
CT-scan dapat memperlihatkan komplikasi seperti perdarahan,
hidrosefalus, dan herniasi, serta dapat membantu menentukan perlu
tidaknya tindakan bedah. Pada ensefalitis herpes simpleks, CT-scan
memperlihatkan lesi dengan densitas rendah di lobus temporalis yang
belum terlihat sampai 3-4 hari setelah awitan.
e. Isolasi agen penyebab
Berdasarkan kasus yang paling sering dijumpai yaitu Japanese
encephalitis, Isolasi virus dari darah dapat dilakukan selama stadium
akut, isolasi dari LCS dapat dilakukan pada permulaan ensefalitis, dari
jaringan otak pada pasien yang telah meninggal dilakukan pada minggu
pertama sakit dapat terdeteksi banyak virus JE, namun sulit pada
manusis karena masa viremia yang pendek.

Glukosa: CSF glukosa biasanya sekitar dua-pertiga dari glukosa plasma


puasa. Sebuah tingkat glukosa di bawah 40 mg / dL adalah signifikan dan
terjadi pada meningitis bakteri dan jamur dan keganasan.

Protein: Tingkat total protein dalam CSF biasanya sangat rendah, dan
albumin membuat sampai sekitar twothirds dari total. Tinggi tingkat yang
terlihat dalam berbagai kondisi termasuk meningitis bakteri dan jamur,
multiple sclerosis, tumor, perdarahan subarachnoid, dan tap traumatis.

Laktat: CSF laktat digunakan terutama untuk membantu membedakan


meningitis bakteri dan jamur, yang menyebabkan laktat yang lebih besar,
meningitis virus, tidak ada.

Laktat dehidrogenase: Enzim ini meningkat pada meningitis bakteri dan


jamur, keganasan, dan perdarahan subarachnoid.

Sel darah putih (WBC count): Jumlah sel darah putih dalam CSF sangat
rendah, biasanya memerlukan jumlah pengguna WBC. Peningkatan leukosit
dapat terjadi dalam berbagai kondisi termasuk infeksi (virus, bakteri, jamur,
dan parasit), alergi, leukemia, multiple sclerosis, perdarahan, tekan traumatis,
ensefalitis, dan sindrom Guillain-Barré. Perbedaan WBC membantu untuk
membedakan banyak penyebab. Misalnya, infeksi virus biasanya
berhubungan dengan limfosit meningkat, sementara infeksi bakteri dan jamur
terkait dengan peningkatan leukosit polimorfonuklear (neutrofil). Diferensial
juga dapat mengungkapkan eosinofil berhubungan dengan alergi dan shunt
ventrikel; makrofag dengan bakteri yang tertelan (menunjukkan meningitis),
sel darah merah (menunjukkan perdarahan), atau lipid (menandakan infark
serebral mungkin); blasts (sel belum matang) yang mengindikasikan
leukemia, dan karakteristik sel-sel ganas dari jaringan asal. Sekitar 50%
kanker metastatik yang menyusup sistem saraf pusat dan sekitar 10% dari
tumor sistem saraf pusat akan menumpahkan sel ke dalam CSF.

Sel darah merah (RBC count): Meskipun tidak biasanya ditemukan dalam
CSF, sel darah merah akan muncul setiap kali perdarahan telah terjadi. Merah
sel dalam subarachnoid hemorrhage sinyal CSF, stroke, atau tekan traumatis.
Karena sel darah putih dapat masuk CSF dalam menanggapi infeksi lokal,
peradangan, atau perdarahan, jumlah RBC digunakan untuk memperbaiki
jumlah WBC sehingga mencerminkan kondisi selain perdarahan atau tekan
traumatis. Hal ini dilakukan dengan sel darah merah dan jumlah leukosit
dalam darah dan CSF. Rasio sel darah merah dalam CSF ke darah dikalikan
dengan jumlah darah WBC. Nilai ini dikurangi dari CSF WBC count untuk
menghilangkan leukosit berasal dari perdarahan atau tap traumatis.

Gram stain: Pewarnaan Gram dilakukan pada sedimen dari CSF dan positif
sekitar setidaknya 60% dari kasus meningitis bakteri.

Serologi sifilis: Hal ini melibatkan pengujian untuk antibodi yang


menunjukkan neurosifilis. Antibodi fluorescent treponemal penyerapan
(FTA-ABS) tes sering digunakan dan positif pada orang dengan sifilis aktif
dan diobati. Tes ini digunakan bersama dengan tes VDRL untuk antibodi
nontreponema, positif pada paling dengan sifilis aktif, tetapi negatif dalam
kasus dirawat.
Pengukuran kadar klorida dapat membantu dalam mendeteksi adanya
meningitis tuberkulosis.

I. DIAGNOSIS BANDING
Harus dibedakan dari ensefalitis pasca-infeksi, ensefalitis pasca imunisasi,
maupun ensefalomielitis (misalnya acute disseminated encephalomyelitis)
yang patogenesisnya disebabkan reaksi imun terhadap antigen virus yang
beredar. Antigen dapat berasal dari infeksi di tempat lain atau dari imunisasi.
Infeksi SSP juga dapat disebabkan bakteri, tuberculosis, maupun jamur,
yang dapat dibedakan berdasarkan gambaran klinis dan analisis CSS. Terapi
meningitis bkterialis yang tidak tuntas, abses otak, empyema subdural
maupun epidural, perjalanan lebih kronis dan secara klinis anak tampak lebih
baik.
Ensefalopati juga dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan deficit
neurologis, namun perlu dicari penyebabnya seperti syok, gangguan fungsi
ginjal, atau dehidrasi berat.(4)Abses otak, Meningitis, Toksoplasmosis, Status
Epileptikus, Perdarahan Subaraknoid, Hipoglikemia, Kejang demam,
Neoplasma otak .
J. PENATALAKSANAAN
Terapi suportif berupa tata laksana hiperpireksia, keseimbangan cairan
dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial, serta tata laksana kejang.
Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif.
Terapi kausatif berupa pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik,
cairan intravena, obat anti epilepsi, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk
mencegah kejang berulang dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai
standard terapi. Peningkatan tekanan intrakranial dapat diatasi dengan
pemberian diuretik osmotik manitol 0,5 – 1 gram/kg/kali atau furosemid 1
mg/kg/kali. Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi,
dan acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) dapat diberikan
kortikosteroid selama 2 minggu. Diberikan dosis tinggi metil-prednisolon 15
mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam selama 3 – 5 hari dan dilanjutkan prednison
oral 1 – 2 mg/kg/hari selama 7 – 10 hari.(2)
Peggunaan antibiotik, dan antiviral tergantung penyebab dari
ensefalitis. Ensefalitis akibat virus herpes simpleks, dapat diberikan terapi
Asiklovir 10 mg/kgBB setiap 8 jam selama 10-14 hari, diberikan dalam infus
100 ml - NaCl 0,9% minimum dalam 1 jam. Dosis untuk neonatus 20
mg/kgBB setiap 8 jam selama 14-21 hari. Pada kasus alergi terhadap
asiklovir atau VHS resisten, dapat diberikan vidarabin 15 mg/kgBB/hari
selama 14 hari.(2)
Terapi ensefalits yang di sebabkan oleh bakteri.(8)
Kelompok usia Bakteri patogen umum Regimen antibiotik oral

Neonatus Streptococcus grup B 1) < 0-7 hari, > 2 kg


E coli Ampicillin150mg/kg/hari IV/8
Klebsiella pneumoniae jam + Cefotaxime 100-150
Listeria monocytogenes mg/kg/hari IV/8-12 jam.
Enterococcus sp 2) > 7 hari, > 2 kg
Salmonella sp Ampicillin 200 mg/kg/hari IV/6
jam + cefotaxim 150-200
mg/kg/hari IV/ 6-8 jam

4-12 minggu Streptococcus grup B Ampicillin 200-400 mg/kg/hari


E coli IV/6 jam (maksimum 12 g/hari) +
Listeria monocytogenes cefotaxim 200 mg/kg/hari/6
Haemophilus influenza jam(maks 8 g/hari) +/-
Streptococcus pneumoniae Vancomycin.
Neisseria menigitidis

12 minggu dan lebih Haemophilus influenza Vancomycin 60 mg/kg/hari IV/6


tua Streptococcus pneumoniae jam + ceftriaxone 100
Neisseria menigitidis mg/kg/dosis: pada 0, 12, dan 24
jam diikuti dengan 100
mg/kg/dosis IV/24 jam (maks 2
g/dosis, 4 g/hari).

Jika kondisi pasien telah stabil dapat dilakukan konsultasi ke Departemen


Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas dan
mencegah kontraktur

K. KOMPLIKASI
Komplikasi akut seperti kejang, peningkatan tekanan intra kranial, dan
koma. Penderita juga dapat sembuh namun memiliki komplikasi jangka
Panjang seperti gangguan koordinasi motoric, serebral palsi, epilepsy,
gangguan pendengaran, perubahan perilaku, retardasi mental, dan gangguan
penglihatan.(4)
Pasien dengan ensefalitis yang sangat parah beresiko bagi komplikasi
sistemik termasuk shock, oksigen rendah, tekanan darah rendah, dan kadar
natrium rendah.
Komplikasi para infesiosa, komplikasi neurologi seperti ensefalitis,
meningitis, dan myelitis, dengan penularan secara langsung ke sistem saraf
pusat maupun tidak langsung seperti toxin-mediated. Pada ensefalitis viral
akut yang cukup banyak terjadi adalah peningkatan tekanan intrkranial, infark
serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion of
antidiuretic hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian
atas, infeksi saluran kemih dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele
dari ensefalitis viral akut bergantung pada usia, etiologi ensefalitis dan
keparahan gejala klinis. berupa defisit neurologik (paresis/paralisis,
pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering
terjadi.

L. PROGNOSIS
Kematian karena ensefalitis masih tinggi berkisar antara 35-50 %. Dari
penderita yang hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa.
Penderita yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam
perkembangan selanjutnya masih menderita retardasi mental, epilepsi dan
masalah tingkah laku.
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan.
Disamping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit
yang dapat muncul selama perawatan. Prognosis jangka pendek dan panjang
sedikit banyak bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita. Bayi
biasanya mengalami penyulit dan gejala sisa yang berat. Ensefalitis yang
disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih buruk daripada
prognosis virus entero.

Anda mungkin juga menyukai