Anda di halaman 1dari 6

BARANG PUBLIK DAN EKSTERNALITAS

PADA ERA OTONOMI DAERAH

PUBLIC GOODS AND THE ERA OF REGIONAL


AUTONOMY EXTERNALITIES
Kristian Widya Wicaksono
Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan
Jalan Ciumbuleuit No. 94, Bandung
E-mail: widya_wicaksono@yahoo.com
Diterima: 10 September 2012, Direvisi: 2 Desember 2012, Disetujui: 10 Desember 2012

Abstrak
Era desentralisasi membuka peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola secara mandiri
urusan domestiknya mulai dari proses formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakan serta program
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam menjalankan kewenangannya
tersebut, Pemda diharapkan mampu mengelola secara efektif dan efesien sumber-sumber yang tersedia,
mengatasi masalah publik seperti dampak buruk eksternalitas yang ditimbulkan akibat aktivitas pasar,
mendiagnosa serta menangani kegagalan pasar (market flliure) dalam hal ini menyediakan barang publik
(public goods) guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu disediakan melalui mekanisme
pasar.
Kata kunci: kegagalan pasar, barang publik, eksternalitas, desentralisasi, pajak dan kesejahteraan
masyarakat

Abstract
Decentralization opportunities for local governments to manage their domestic affairs independently from
the process of formulation, implementation and evaluation of development policies and programs to suit
the needs of local communities. In exercising its authority, the government is expected to manage
effectively and efficiently resources are available, such as the public address adverse externalities caused
by market activity, diagnosing and addressing market failure in this case provides public goods to meet
the needs of people who can not afford provided through market mechanisms.
Keywords: market failures, public goods, externalities, decentralization, tax and welfare

PENDAHULUAN yang cukup konstruktif meskipun masih terdapat


berbagai kendala di dalamnya seperti tarik-menarik
Semenjak tahun 2001 Bangsa Indonesia mulai keuangan antara daerah dan pusat melalui penetapan
menghadapi era baru yakni desentralisasi melalui bagi hasil, penetapan pajak serta jenis retribusi. Secara
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun makro masyarakat dapat merasakan perubahan yang
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian cukup signifikan bila dibandingkan pada masa orde
diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32 baru dimana pengelolaan pembangunan masih sangat
Tahun 2004. Era desentralisasi membuka peluang bagi bergantung dengan kebijakan pemerintah pusat. Saat
Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola secara ini, desentralisasi memungkinkan Pemerintah Daerah
mandiri urusan domestiknya mulai dari proses untuk merespon setiap perkembangan yang terjadi di
formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakan tengah-tengah masyarakat. Apalagi dorongan
serta program pembangunan yang sesuai dengan demokratisasi menyebabkan masyarakat secara leluasa
kebutuhan masyarakat setempat. Dalam menjalankan dapat memilih kepala daerahnya sendiri sesuai dengan
kewenangannya tersebut, Pemda diharapkan mampu aspirasinya. Hal ini semakin membuka peluang yang
mengelola secara efektif dan efesien sumber-sumber lebih luas bagi masyarakat untuk menuntut kepada
yang tersedia, mengatasi masalah publik seperti pemerintah beserta aparaturnya untuk berperilaku
dampak buruk eksternalitas yang ditimbulkan akibat kondusif terhadap permintaan publik.
aktivitas pasar, mendiagnosa serta menangani Sebagaimana yang telah disinggung
kegagalan pasar (market failure) dalam hal ini sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi di
menyediakan barang publik (public goods) guna Indonesia membawa dampak bagi daerah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu menyediakan barang publik dan mengatasi implikasi
disediakan melalui mekanisme pasar. buruk dari eksternalitas yang ditimbulkan oleh
Hingga tahun 2008 ini pelaksanaan aktivitas pasar. Sebelum lebih jauh mengupas
desentralisasi di Indonesia terus berkembang ke arah mengenai kedua hal tersebut, maka terlebih dahulu

Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah – Kristian Widya Wicaksono | 281
kita perlu menelaah lebih dalam konsepsi barang konsep tersebut dikemukakan oleh Musgrave dalam
publik dan eksternalitas sehingga membantu kita bukunya yang berjudul The Theory of Public Finance
dalam memahami fenomena empirisnya pada (1959). Musgrave menyatakan bahwa apa yang
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. dinamakan “barang-barang yang bermanfaat” bisa jadi
sebagian tidak masuk kategori barang publik karena
PEMBAHASAN barang tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau
standar non-eksklusf.
Memahami Barang Publik dan Eksternalitas Studi lainnya mencoba untuk mengangkat
Salah satu penjelasan yang cukup awal penjelasan mengenai siklus barang Publik. Studi ini
mengenai barang publik dikemukakan oleh Paul A. dilakukan oleh Frey dalam bukunya Modern Political
Samuelson dalam tulisannya yang berjudul The Pure Economy (1978). Dalam karyanya tersebut Frey
Theory of Public Expenditure pada Review of mengatakan bahwa terdapat sebuah siklus dalam
Economic and Statistic (1954). Dalam tulisannya permintaan barang publik. Oleh karenanya, sektor
tersebut, Samuelson menyatakan bahwa ...(goods) publik atau privat akan berubah pada kurun waktu
which all enjoy in common in the sense that each tertentu untuk merespon interaksi dari para pemilih
individual's consumption of such a good leads to no (voters), pemerintah, civil servant, dan produsen.
subtractions from any other individual's consumption Siklus tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
of that good... Secara makro dapat dikemukakan bahwa
Secara sederhana penjelasan Samuleson barang publik (public goods) adalah barang atau jasa
tersebut mencoba menguraikan bahwa karakterisitik yang tersedia untuk semua orang. Pola penjelasan
utama barang publik adalah barang tersebut dapat seperti ini memang cukup mudah untuk dipahami,
dibagikan. Artinya, barang publik merupakan barang hanya saja tidak cukup membantu manakala kita
yang tersedia untuk semua orang dan bersifat non- diminta untuk menjelaskan secara detail bagaimana
eksklusif. Dengan kata lain tidak ada persaingan yang karakteristik barang publik itu sesungguhnya serta apa
terjadi diantara aktor-aktor yang mencoba untuk yang membedakannya dari barang privat.
mengakses barang publik tersebut. Lebih jauh dalam Pendekatan ekonomi memberikan kita
tulisannya tersebut diuraikan bahwa barang publik penjelasan yang lebih memadai mengenai barang
dibayar atau disediakan melaui hasil pungutan pajak publik. Dalam pendekatan tersebut dijelaskan bahwa
dan pinjaman yang dilakukan pemerintah. Selain itu barang publik memiliki dua karakteristik utama yakni
harganya bisa dinyatakan dalam tingkat pajak nonrivalry dan nonexcludability (Buchanan, 1967).
(taxation) yang diperlukan untuk membiayai produksi Konsepsi nonrivalry lebih mudah dipahami
barang-barang tersebut. Sedangkan barang privat dalam konteks ketika suatu barang sedang dinikmati
dibayar melalui sistem harga yang berlaku di pasar. atau dikonsumsi. Artinya, nonrivalry mengekspresi-
Sebuah barang publik mungkin saja merupakan kan bahwa sebuah barang dapat dikonsumsi secara
barang yang sesuai dengan jenis-jenis kriteria yang bersamaan (waktu dan tempat yang sama) oleh
ditetapkan oleh Samuelson tadi, tetapi mungkin pula beberapa pihak tanpa mengurangi atau menghilangkan
barang publik yang tersedia bagi semua orang tersebut jumlah yang tersedia untuk dikonsumsi bagi pihak
tergantung pada kriteria yang ditetapkan dalam suatu lainnya (Cowen, 1992). Misalnya, saat kita sedang
kebijakan misalnya manfaat yang dapat menikmati udara segar di sore hari maka di saat yang
didistribusikan kepada kelompok atau tipe individu bersamaan orang lain yang berada di sekitar kita yang
tertentu saja (beneficiary group). Hal inilah yang dapat turut merasakan udara segar tersebut tanpa harus
kemudian mempertegas pembedaan antara konsep saling berebutan atau saling menghilangkan hak antara
Public Goods dengan Publicly Provided Good. yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, dapat
Dukungan penjelasan mengenai pembedaan kedua dikatakan bahwa udara segar merupakan barang

BERTAMBAHNYA DISEKUILIBRIUM
Ketidakpuasan terhadap supply
barang-barang publik-privat

SUPPLY BARANG ARTIKULASI PERMINTAAN


Campuran barang-barang baru Permintaan distribusi yang baru

REAKSI TERHADAP PERMINTAAN


Pemerintah bereaksi terhadap permintaan

Sumber: diadaptasi dari Frey (1976: 116-21)

282 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 281 - 286
publik murni. bagi masyarakat melalui sebuah program yang
Berdasarkan penjelasan di atas kita dapat dinamakan Corporate Social Responsibilities (CSR).
menangkap bahwa secara tersirat nonrivalry merujuk
pada ketiadaan kompetisi (noncompetition) dalam Permasalahan Pemda dalam Penyediaan Barang
mengonsumsi suatu barang dan jasa. Publik dan Eksternalitas
Dimensi lainnya yang menjadi karakteritik Pada era desentralisasi tuntutan untuk
utama dari barang publik adalah nonexcludability. menyediakan barang publik yang lebih berkualitas
Hampir mirip dengan nonrivalry, konsepsi ini juga semakin membuncah pada level pemerintah daerah.
harus dilihat dalam konteks konsumsinya (Cowen dan Secara mendasar melalui desentralisasi, maka
Crampton, 2003). Artinya, tidak ada batasan atau penyediaan barang publik dapat mengikuti Perencanan
pelarangan untuk membatasi orang lain dalam yang spesifik menggunakan informasi yang detail dan
mengonsumsi suatu barang dan jasa meskipun mereka mutakhir dan hanya tersedia secara lokal. Oleh
tidak membayar sesuatu apapun dalam mengonsumsi karenanya, secara ideal barang publik yang disediakan
barang tersebut. Dengan kata lain, tidak ada satu pun oleh pemerintah daerah sedianya memang menjawab
pihak yang dapat melarang seseorang untuk kebutuhan masyarakat. Namun di tingkat praksis hal
menghirup udara segar dengan alasan orang tersebut ini belum dapat teruwjud sebab seringkali terjadi
tidak membayar sejumlah uang untuk dapat turut inkonsistensi kebijakan pengadaan barang publik di
merasakan udara segar tersebut mengalir di saluran tingkat pemerintah lokal yang dinilai bertentangan
pernafasannya. dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Kasus pengadaan
Berangkat dari penjelasan tersebut dapat alat berat di Provinsi Jawa Barat yang ditujukan untuk
dipahami bahwa tidak ada pengecualian atau memenuhi kebutuhan publik guna peningkatan
diskriminaisi terhadap pihak manapun dalam kualitas layanan pembangunan dan pemeliharaan
mengonsumsi barang publik. Artinya, setiap warga infrastuktur justru berujung pada penahanan Danny
negara diberikan kesempatan yang sama dalam Setiawan selaku Mantan Gubernur Jawa Barat oleh
mengakses barang publik. Komisi Pemberantasan Korupsi. Landasan yang
Sedangkan Eksternalitas atau yang lazim digunakan dalam penahanan mantan Gubernur Jawa
disebut sebagai spillover effects terjadi pada saat Barat tersebut adalah inkonsistensi kebijakan antara
tindakan seseorang memberikan efek kepada orang Perda tentang APBD 2004 dengan Keppres 80 Tahun
lain dan biaya serta keuntungan yang dimuncul- 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
kannya tidak dapat direfleksikan dalam harga pasar Barang dan Jasa.
(Ulbrich: 2003). Dalam pernyataan yang lebih Di sisi lain, permasalahan ruang otonomi bagi
sederhana dapat dikemukakan bahwa eksternalitas daerah untuk membentuk perencanaan bagi pengadaan
merupakan beban biaya atau keuntungan yang barang publik secara lokal juga dapat memicu
ditanggung oleh pihak ketiga yakni pihak yang berada ketidakadilan regional. Misalnya layanan pendidikan
di luar transaksi. Beban biaya yang menjadi dan kesehatan gratis di beberapa daerah di Tanah Air
tanggungan pihak ketiga tersebut tidak dapat dapat memicu perpindahan penduduk dari suatu
diklaimkan kepada pembuat efek atau pihak ketiga daerah yang tidak mampu menyelenggarakan layanan
juga tidak dapat dibebani suatu tagihan atas manfaat tersebut ke daerah yang mampu menyediakan layanan
atau keuntungan yang mereka peroleh atas spill over dasar tadi. Oleh karenanya, proses penyediaan barang
effect tersebut. publik juga perlu memperhatikan aspek keadilan bagi
Berbeda dengan konsep-konsep sebelumnya, daerah lainnya, buka saja bertumpu pada kemampuan
konsep eksternalitas tidak saja dilihat pada proses daerah itu sendiri. Pada posisi inilah peran Pemerintah
konsumsinya melainkan juga dapat ditinjau pada Pusat melalui Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
proses produksinya. Misalnya eksternalitas berupa Khusus menjadi penting bagi terwujudnya keadilan di
polusi udara yang ditimbulkan oleh suatu pabrik seluruh daerah di Tanah Air.
karena kebutuhan pembaran dalam proses produksi Dalam alam desentralisasi juga terbuka
suatu barang. Polusi udara tersebut kemudian masalah lainnya yakni mengenai pengelolaan asset
menyebabkan menurunnya kualitas udara yang daerah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama
dihirup oleh masyarakat di sekitar wilayah pabrik bahwa asset daerah merupakan segala kekayaan yang
tersebut sehingga mereka terkena gangguan kesehatan pengadaannya menggunakan anggaran publik
pernafasan. Beban ini tentunya akan sulit apabila (sehingga layak disebut sebagai barang publik) namun
diklaimkan secara langsung kepada pemilik pabrik, pemanfaatannya dapat sepenuhnya digunakan oleh
maka dari itu, pemerintah bisa menerbitkan perangkat publik tanpa harus bersaing (non-rivalry) dan ada
kebijakan yang mengatur mengenai beban tarif bagi pengecualian (non-excludability) tetapi juga untuk
pabrik yang mengeluarkan asap dan mencemari udara barang tertentu mungkin hanya dapat dimanfaatkan
selanjutnya beban tarif retribusi tersebut digunakan untuk kalangan tertentu saja sebagai akibat jabatan
untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi atau pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
masyarakat. Namun, dalam perkembangannya saat ini Karena pengadaan barang tersebut menggunakan
pelaku pasar seperti pemilik pabrik memiliki semacam anggaran publik dimana pajak dan pinjaman menjadi
obligasi untuk melakukan semacam kegiatan karitatif bagiannya maka asset pemerintah memiliki sistem

Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah – Kristian Widya Wicaksono | 283
standar nilai tukar tertentu meskipun asset tersebut pemeliharaan perlu dilakukan pengawasan terhadap
berfungsi untuk pelayanan dan dapat diakses berbagai asset dengan sistem pemuktahiran pencatatan yang
pihak. akurat mengenai perkembangan nilai asset serta
Saat ini kita dapat melihat betapa manajemen penggunaannya, misalnya dengan menggunakan
asset daerah kita masih bermasalah. Ada dua masalah analisis time series untuk menilai efektivitas
utama yang perlu untuk mendapat perhatian secara penggunaan asset. Selain itu sistem pengawasan dapat
khusus, pertama dari segi pemeliharaan dan kedua dari didekati dari paradigma penjaluran penggunaan asset
segi pembangunan, penguatan serta peningkatan artinya apabila terdapat aktivitas yang sekiranya dapat
sistem informasi asset daerah. menimbulkan kerugian sebagai inkonsistensi
Masalah pertama adalah pemeliharaan asset pemanfaatan asset maka perlu dilakukan
daerah. secara jernih kita terlebih dahulu mencoba pengembalian pada jalur yang semestinya. Untuk
untuk menyisihkan terlebih dahulu aspek-aspek yang mengoperasionalisasikan penyelesaian masalah
berkaiatan dengan pengadaan asset tersebut sebab akar tersebut maka perlu dibangun obligasi moral dimana
masalahnya justeru terletak pada pemeliharaan bukan pengawas asset bertindak independen dan tidak
pada pengadaan. Asumsi ini mejadi semakin bermalas-malasan untuk melakukan pemuktahiran
menemukan jati kebenarannya manakala pola data asset. Saat ini yang mendesak untuk dilakukan
penggunaan asset daerah dianggap sebagai barang pemerintah adalah membuang jauh-jauh rasa malas
habis-pakai semata atau bahkan yang lebih kronis kita tersebut dan dengan serius melakukan pendataan
menyatakannya sebagai tidak adanya rasa memiliki ulang terhadap asset yang ada termasuk menyelidiki
aparatur terhadap asset daerah sehingga secara tuntas asal-usul asset tersebut sehingga tidak
penggunaannya menjurus pada arah serampangan. Hal mengundang kontroversi seperti yang terjadi dengan
ini diakibatkan pemikiran bahwa suatu saat mereka dinas peternakan di Jalan Ir. H. Djuanda (Dago),
(pejabat pemerintah) akan meninggalkan jabatannya, Gedung Sate di Jalan Diponegoro atau kasus
maka tidak perlu ada obligasi moral untuk menjaga kepemilikan tanah SMA Negeri 22 Bandung.
dan memelihara asset tersebut. Meskipun demikian, Sehingga pertanggungjawaban kepemilikan dan
dari segi pengadaan pun nampak bahwa seringkali pemenfaatan secara efektif asset-asset tersebut dapat
asset disediakan tanpa perencanaan yang jelas sebab diselenggarakan sebagai bentuk obligasi moral
pertumbuhan dan penyusutan asset daerah tidak pemerintah yang telah menggunakan anggaran publik
dikalkulasikan secara matang sehingga masalah- dalam pengadaannya.
masalah yang kompleks justru muncul di belakang Aspek lainnya perlu dibahas dalam hal
hari dan semakin membebani anggaran pemerintah penyelenggaraan otonomi daerah adalah upaya-upaya
daerah. pemerintah dalam penanganan dampak buruk
Dalam konteks kekinian maka kita dapat eksternalitas. Dampak buruk eksternalitas akibat
melihatnya dalam bentuk praktek ketidakseriusan aktivitas pasar seringkali muncul di tengah-tengah
dalam memutakhirkan asset-asset tertentu yang terus masyarakat adalah pembuangan limbah pabrik yang
berubah sesuai dengan konteks kekinian atau mencemari lingkungan. Masalah ini dahulu diatasi
perubahan zaman misalnya teknologi infomasi. oleh pemerintah pusat, namun seiring dilaksanakannya
Padahal organisasi pemerintah seharusnya reponsif kebijakan desentralisasi maka Pemerintah Daerah
terhadap perkembangan situasi sebagaimana dimensi diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan
administrasi publik yang menuntut operasionalisasi pengendalian terhadap aktivitas pembuangan limbah
yang efektif dan efesien. Pemerintah harus menjadi tersebut. Salah satu permasalahan yang bisa dicermati
agen yang akomodatif terhadap konteks kekinian dari pelimpahan kewenangan seperti ini adalah
tersebut tanpa harus terjebak dalam penghamburan bagaimana aparatur pemerintah daerah kemudian
dana dalam anggaran publik tetapi tampil taktis dan meingkatkan kapabilitasnya sehingga proses
strategis. Operasionalisasi konsep ini hanya akan pengawasan dan pengendalian pencemaran
terwujud dalam pemerintahan yang digerakkan oleh lingkungan melalui buangan limbah pabrik dapat
misi bukan sekedar prosedural. Maka pengembangan berjalan dengan efektif dan efesien. Sebab, seringkali
organisasi kemudian menjadi tuntutan, dimana budaya proses pelimpahan kewenangan seperti ini tidak
yang dibangun tidak lagi mengacu pada paradigma diikuti dengan transfer of knowledge akibatnya
organisasi tipe abad pertengahan seperti esselonisasi dampak buruk eksternalitas tidak tertangani dengan
struktural tetapi membangun agen-agen fungsional baik sehingga masyarakat menjadi dirugikan. Kasus
sehingga birokrasi pemerintah menjadi kaya fungsi seperti ini bisa diamati di Kawasan Kabupaten
bukan kaya struktur. Hal inilah yang akan menjadi Bandung, memburuknya kualitas air dan degradasi
jawaban untuk konteks masyarakat berubah lahan pada Sungai Citarum hingga saat ini justeru
sebagaimana yang diuraikan oleh Max Weber sebagai menunjukkan perkembangan yang semakin
pembentuk masyarakat rasional atas dorongan memprihatinkan. Pemerintah Kabupaten Bandung dan
konsekuensi industrialisasi sehingga menuntut Pemerintah Jawa Barat mengalami kesulitan untuk
lahirnya birokrasi. melakukan pemulihan pada Daerah Aliran Sungai
Masalah kedua yang harus dipecahkan adalah Citarum. Salah satu program yang telah dilaksanakan
sistem informasi asset, artinya di luar konteks dan saat ini masih berjalan adalah Rehabilitasi Hutan

284 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 281 - 286
dan Lahan melalui SK Gubernur No 915.2/KEP.40- PENUTUP
DAL-PROG/2002 Tentang Citarum Bergeutar, akan
tetapi hasilnya masih kurang optimal sebab apalikasi Berangkat dari uraian yang disampaikan dalam
teknologi pengawasan dan pengendalian atas limbah makalah ini, maka yang penyediaan barang publik
buangan pabrik masih lemah sehingga tingkat hendaknya memperhatikan hal- hal, seperti pertama,
pencemaran air masih tinggi. Akibatnya masyarakat penyediaan barang publik hendaknya disedikan atas
dirugikan karena minimnya pasokan air bersih. Belum permintaan publik guna mengatasi masalah yang
lagi bila musim penghujan mulai tiba dan air sungai ditimbulkan akibat aktivitas pasar atau yang dikenal
meluap berbagai penyakit mulai mendera masyarakat dengan istilah kegagalan pasar (market failure).
karena luapan air citarum membanjiri pemukiman Kedua, ada konteks pelaksanaan desentralisasi,
penduduk. Pemerintah Daerah diharapkan mampu meningkatkan
Kasus kerusakan lingkungan yang diakibatkan kapabilitasnya dalam hal membaca situasi masalah
oleh aktivitas usaha pertambangan juga terjadi di publik yang disebabkan kegagalan pasar khususnya
beberapa daerah di Indonesia diantaranya PT. Freeport eksteralitas negatif yang sering kali membebani
Indonesia di Papua dan penambangan emas PT. masyarakat. Peningkatan kapailitas ini dimungkinkan
Newmont Minahasa Raya di perairan Buyat, Sulawesi melalui upaya pro-aktif pemerintah untuk mengatasi
utara. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup dampak buruk eksternalitas yang dirasakan oleh
Indonesia sepanjang tahun 1995 hingga 2000 PT masyarakat.
Freeport telah menghasilkan 420 juta ton sampah Ketiga, upaya untuk mengatasi dampak buruk
industri yang 95 persennya dibuang ke Lembah eksternalitas oleh Pemerintah Daerah hendaknya tidak
Wanangon di wilayah Grasberg, Papua. Berdasarkan hanya bertumpu pada penerbitan regulasi melainkan
laporan tersebut maka Walhi menyimpulkan bahwa pula ketepatan pemerintah dalam merancang agar
PT. Freeport berkontribusi terhadap kerusakan pihak ketiga yang dirugikan dapat memperoleh
lingkungan pada sungai-sungai di wilayah Papua kompensasi yang tepat. Permasalahannya pemberian
terutama danau Wanangon. Sempat pula terjadi kompensasi yang tepat ini bergantung pada
kebocoran pada tempat penampungan sampah insdutri pengetahuan serta informasi yang dimiliki oleh
milik PT. Freeport di Danau Wanangon. Banjir pemerintah atas penyebab dan akibat yang
sampah pun terjadi sehingga mengakibatkan empat ditimbulkan dari kegagalan pasar. Di sisi lain, perlu
orang pekerja Freeport hilang. Selain banjir sampah, dilakukan upaya pemberdayaan agar masyarakat juga
kebocoran ini juga menyebakakn banjir hingga radius menyuarakan keluhan mereka atas dampak buruk
16 kilometer. Banjir paling parah melanda Desa Banti. eksternalitas yang mereka alami seperti pada kasus
Hal yang sama terjadi PT. Newmont dimana Freeport di Papua atau PT Newmont di Minahasa.
kebocoran saluran penambangan menyebabkan Berdasarkan tingkat kerugian tersebut pemerintah
pencemaran terhadap air di sekitar kawasan dapat mengenakan Pigovian Tax yakni pajak yang
penambangan. Hal ini kemudian berimbas terhadap dipungut untuk mengoreksi eksteranlitas negatif yang
kualitas kesehatan masyarakat karena mereka disebabkan oleh aktivitas pasar.
menfaatkan air tersebut untuk keperluan sehari-hari. Pada akhirnya public goods hendaknya juga
Sayangnya upaya untuk mengani dampak eksternalitas mengutamakan kualitas sehingga memberikan
seperti ini masih kurang optimal. Kedua kasus di atas kepuasan kepada masyarakat di daerah
pernah dibawa ke pengadilan namun putusan hakim
atas perkara ini tidak begitu memuaskan bahkan DAFTAR PUSTAKA
sanksi yang diberikan pun cenderung abstrak.
Misalnya untuk kasus Freeport mereka hanya diminta Buchanan, James M. 1967. “Public Goods in Theory and
untuk memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti Practice: A Note on the Minasian-Samuelson
yang dianjurkan Bapedal. Padahal berdasarkan data Discussion.” Journal of Law and Economics 10:
Jaringan Advokasi Tambang dinyatakan bahwa 193–197.
operasi pertambangan menyumbang 10 persen Cowen, Tyler. (1992. Public Goods and Market Failures.
kerusakan hutan di Indonesia, tentunya sanksi yang New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers
diterapkan tidaklah sebanding dengan kerusakan yang Cowen, Tyler, and Eric Crampton. 2003. Market Failure
ada. Belum lagi bila dibandingkan dengan profit yang or Success: The New Debate. Cheltenham, U.K.:
Edward Elgar.
diperoleh PT. Freeport. Hal ini mengindikasikan
Frey, B.S. 1978. Modern Political Economy. Oxford:
bahwa proses penanganan dampak buruk eksternalitas Martin Robertson.
di daerah kurang mendapat porsi yang baik sehingga Musgrave, R. A. 1959. The Theory of Public Finance.
untuk berbicara ke arah yang lebih jauh seperti New York: McGraw-Hill.
penerapan kompensasi bagi pihak-pihak yang Samuelson, P.A. 1954. “The Pure Theory of Public
dirugikan pun masih sangat prematur untuk dibahas Expenditure.” Riview of Economic and Statistic.
secara mendetail. 37:35-46.
Ulbrich, Holley H. 2003. Public Finance: In Theory And
Practice. Ohio: Thomson South Western.

Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah – Kristian Widya Wicaksono | 285
286 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 281 - 286

Anda mungkin juga menyukai