Anda di halaman 1dari 30

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar lokasi normal endometrium.
Blastokis normalnya akan berimplantasi pada endometrium kavum uteri. Bila blastokis tidak
berimplantasi pada tempat tersebut, maka disebut kehamilan ektopik. Kehamilan Ektopik
tergangu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang disertai dengan gejala akut abdomen,
dengan trias gambaran klasik yaitu amenore, nyeri abdomen akut dan perdarahan
pervaginam. Implantasi hasil konsepsi dapat terjadi pada tuba fallopii, ovarium, dan kavum
abdomen atau pada uterus namun dengan posisi yang abnormal (kornu, serviks).1

Gambar 1. Anatomi Organ Reproduksi Wanita

Bentuk-bentuk kehamilan ektopik yaitu kehamilan tuba, kehamilan kornu uteri,


kehamilan interstisial tuba, kehamilan servikal, kehamilan ovarial, kehamilan abdominal,
kehamilan uterus rudimenter dan kehamilan ektopik rudimenter.1,3
Terbatasnya kemampuan tuba fallopi untuk mengembang menyebabkan kehamilan
ektopik mengalami ruptur tuba sehingga dapat timbul perdarahan ke dalam kavum abdomen,
keadaan ini biasa dikenal dengan kehamilan ektopik terganggu.2
Gambar 2. Lokasi Kehamilan Ektopik

2.2 Etiologi
Kehamilan ektopik telah banyak diselidiki untuk mengetahui penyebabnya.
Berdasarkan Meta analisis dari 233 artikel dari tahun 1978 sampai 1994, Ankum dkk
melaporkan wanita yang mempunyai risiko paling besar untuk mengalami kehamilan ektopik
adalah wanita yang memiliki riwayat operasi pada tuba sebelumnya, riwayat kehamilan
ektopik sebelumnya, adanya riwayat kelainan pada tuba, dan uterus yang terpapar
diethylstilbestrol. Sedangkan wanita yang memiliki risiko yang sedang untuk mengalami
kehamilan ektopik adalah wanita dengan riwayat infeksi saluran genital, dan berganti-ganti
pasangan seksual. Dan risiko rendah pada wanita yang merokok, dan riwayat koitus pada usia
muda. Penyebab yang paling sering adalah salpingitis yang terjadi sebelumnya akibat
penyakit menular seksual seperti infeksi gonokokal, klamidia, atau salpingitis yang mengikuti
abortus septik dan sepsis puerperium.3
Aktivitas mioelektrik bertanggung jawab terhadap aktivitas dalam tuba fallopi.
Aktivitas ini membantu pergerakan sperma dan ovum agar saling bertemu dan membantu
zigot menuju ke kavum uteri. Estrogen akan meningkatkan aktivitas otot polos dan
progesteron menurunkan aktivitas tersebut. Proses penuaan menyebabkan hilangnya aktivitas
mioelektrik tuba fallopi secara progresif, sehingga bisa dijelaskan terjadinya peningkatan
insiden kehamilan tuba pada wanita perimenopause. Adanya kontrol hormonal pada aktivitas
otot tuba falopii mungkin menjelaskan peningkatan insiden kehamilan ektopik yang
berhubungan dengan penggunaan mini pil, IUD, dan induksi ovulasi. 4
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kehamilan ektopik 4,5:
A. Faktor-faktor mekanis yang mencegah atau menghambat perjalanan ovum yang telah
dibuahi ke kavum uteri.
1. Salpingitis, khususnya endosalpingitis, yang menyebabkan aglutinasi lipatan
arboresen mukosa tuba dengan penyempitan lumen atau pembentukan kantong-
kantong buntu. Berkurangnya siliasi mukosa tuba akibat infeksi dapat turut
menyebabkan implantasi zigot dalam tuba fallopi. Wanita dengan riwayat salpingitis
(yang dikonfirmasi dengan laparoskopi) mempunyai risiko 4 kali lipat untuk
menderita kehamilan ektopik. Bukti infeksi Klamidia (antibodi dalam sirkulasi)
berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat risiko kehamilan ektopik.
2. Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus atau infeksi masa nifas, apendisitis
ataupun endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba dan penyempitan
lumennya.
3. Kelainan pertumbuhan tuba, khususnya divertikulum, ostium assesorius dan
hipoplasia. Kelainan semacam ini sangat jarang terjadi.
4. Kehamilan ektopik sebelumnya, dan sesudah sekali mengalami kehamilan ektopik,
insiden kehamilan ektopik berikutnya akan menjadi 7 hingga 15 persen.
Meningkatnya risiko ini kemungkinan disebabkan oleh salpingitis yang terjadi
sebelumnya.
5. Pembedahan sebelumnya pada tuba, entah dilakukan untuk memperbaiki patensi tuba
atau kadang-kadang dilakukan pada kegagalan sterilisasi. Wanita dengan kehamilan
ektopik yang dilakukan pembedahan konservatif mempunyai risiko 10 kali lipat untuk
mengalami kehamilan ektopik berikutnya.
6. Abortus induksi yang dilakukan lebih dari satu kali akan memperbesar risiko
terjadinya kehamilan ektopik. Risiko ini kemungkinan akibat peningkatan insiden
salpingitis.
7. Tumor yang mengubah bentuk tuba, seperti mioma uteri dan adanya benjolan pada
adneksa.
8. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang digalakkan akhir-akhir ini telah
meningkatkan insiden kehamilan ektopik. Tapi harus diingat bahwa penggunaan IUD
modern seperti Copper T tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik dan malahan
merupakan proteksi terhadap kehamilan. Studi yang lebih besar yang dilakukan oleh
WHO menyatakan bahwa pengguna IUD memiliki risiko kurang dari 50 % untuk
mengalami kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan
kontrasepsi. Tetapi apabila pemakai IUD menjadi hamil maka kehamilannya
kemungkinan besar merupakan kehamilan ektopik. Sekitar 3-4 % kehamilan pada
pemakai IUD adalah ektopik.

B. Faktor-faktor fungsional yang memperlambat perjalanan ovum yang telah dibuahi ke


dalam kavum uteri
1. Migrasi eksternal ovum mungkin bukan faktor yang penting kecuali pada kasus-
kasus perkembangan duktus mulleri yang abnormal, sehingga terjadi hemiuterus
dengan kornu uterina rudimenter dan tidak berhubungan. Risiko terjadinya
kehamilan ektopik dapat pula sedikit meningkat pada wanita dengan satu oviduk
kalau saja dia mengalami ovulasi dari ovarium sisi kontra lateralnya. Kelambatan
pengangkutan ovum yang telah dibuahi lewat saluran tuba atau oviduk akibat
migrasi eksternal akan meningkatkan sifat-sifat invasif blastokis sementara masih
berada di dalam oviduk.
2. Refluks menstrual pernah dikemukakan sebagai penyebab terjadinya kehamilan
ektopik. Kelambatan fertilisasi ovum dengan perdarahan menstruasi pada waktu
sebagaimana biasanya, secara teoritis dapat mencegah masuknya ovum ke dalam
uterus atau menyebabkan ovum tersebut berbalik ke dalam tuba.
3. Berubahnya motilitas tuba dapat terjadi mengikuti perubahan pada kadar estrogen
dan progesteron dalam serum. Perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik
dalam otot polos uterus serta tuba fallopi kemungkinan benar menjadi penyebabnya.
Segi praktisnya tampak pada peningkatan insiden kehamilan ektopik yang
dilaporkan setelah penggunaan preparat kontrasepsi oral yang hanya mengandung
progestin. Juga dilaporkan peningkatan insiden kehamilan ektopik sebesar 4 hingga
13 persen di antara para wanita yang pernah mendapatkan preparat dietilstilbestrol
(DES) intrauteri. Kejadian ini mungkin lebih disebabkan oleh berubahnya motilitas
tuba daripada oleh abnormalitas strukturnya.

2.3 Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan
di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Pada nidasi yang
kolumner, telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur
selanjutnya dipengaruhi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan
dengan mudah dapat diresorbsi total. Pada nidasi interkolumner, telur bernidasi antara dua
jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba
oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena
pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan mudah villi korialis menembus
endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan
pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor seperti
tempat implantasi dan tebalnya dinding tuba.2
Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan. Karena tuba
bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin bertumbuh secara utuh
seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan terganggu pada umur kehamilan antara 6-10
minggu.2

Gambar.4 Kehamilan Ektopik Tuba

Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan yang lebih
lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah penembusan villi korialis ke dalam
lapisan muskularis tuba terus ke peritonem. Ruptur dapat terjadi secara spontan namun dapat
pula karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal.2 Akibat dari ruptur ini
akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit namun dapat pula banyak
sampai menimbulkan syok dan kematian. 3,5
Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen
tuba.3,5 Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris.
Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan
kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Pada pelepasan hasil
konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-
sedikit oleh darah sehingga berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung
terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (hematosalping), dan selanjutnya darah
mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglas
dan akan membentuk hematokel retrouterina.2
Dibawah pengaruh hormon estrogen daan progesteron dari korpus luteum graviditatis
dan tropoblas uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat berubah pula menjadi
desidua. Dapat ditemukan perubahan-perubahan pada endometrium yang disebut Fenomena
Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan intinya hipertropik, hiperkromatik, lobuler, dan
berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-
kadang ditemukan mitosis. Perubahan tersebut hanya ditemukan pada sebagian kehamilan
ektopik.2
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian
dikeluarkan berkeping-keping, tetapi kadang-kadang dilepaskan secara utuh. Perdarahan yang
dijumpai pada KET berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang
degeneratif.2

Gambar.5 Ruptur Tuba pada Kehamilan Ektopik

2.4 Gambaran Klinis


Kehamilan ektopik terganggu yang khas ditandai dengan trias klasik yaitu amenore,
nyeri perut mendadak serta perdarahan pervaginam.2,6 Gejala ini umumnya terdapat hanya
pada 50% pasien, dan kebanyakan pada pasien yang telah mengalami ruptur. Gejala dan
tanda kehamilan ektopik sangat tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu,
abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat pendarahan yang terjadi dan keadaan
umum penderita sebelum hamil. Hal ini menyebabkan gambaran klinis kehamilan ektopik
sangat bervariasi, dari perdarahan yang banyak dan tiba-tiba dalam rongga perut sampai
terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosisnya.5,6
Adapun gejala dan tanda dari kehamilan ektopik terganggu yang sering dijumpai ialah
sebagai berikut 2,4,5
1. Nyeri perut
Merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu, yang terjadi pada
kira-kira 90-100% penderita. Nyeri bisa terjadi unilateral atau bilateral dan bisa terjadi
baik pada perut bagian bawah maupun atas. Nyeri juga bisa dirasakan sebagai nyeri
tajam, nyeri tumpul, atau kram serta bisa terus menerus atau hilang timbul. Pada ruptur
tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya sangat berat
disebabkan oleh darah yang mengalir ke dalam kavum peritoneum.
Biasanya pada abortus tuba, nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus menerus.
Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam
rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah
dalam rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu
dan bila membentuk hematokel retrouterina dapat ,menyebabkan nyeri saat defekasi.
2. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik
terganggu, kira-kira terjadi pada 60-80% penderita. Perdarahan biasanya mulai 7-14
hari setelah periode menstruasi yang terlewatkan/tidak terjadi. Selama fungsi endokrin
plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak ditemukan; namun bila
dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan
mengalami perdarahan. Hal ini menunjukkan sudah terjadi kematian janin dan berasal
dari kavum uteri karena pelepasan desidua.
Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya sedikit-sedikit, berwarna coklat tua,
dan dapat terputus-putus atau terus menerus . Perdarahan berarti gangguan
pembentukan human chorionic gonadotropin. Jika plasenta mati, desidua dapat
dikeluarkan seluruhnya.
3. Amenore
Tidak adanya riwayat terlambat haid bukan berarti kemungkinan kehamilan tuba
dapat disingkirkan. Lamanya amenore tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat
bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore karena kematian janin
sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi amenore yang dikemukakan
berbagai penulis berkisar antara 23-97%. Riwayat amenore tidak ditemukan pada
seperempat kasus atau lebih. Salah satu sebabnya adalah karena pasien menganggap
perdarahan pervaginam yang lazim terjadi pada kehamilan tuba sebagai periode haid
yang normal, dan dengan demikian memberikan tanggal haid terakhir yang keliru.
Sumber kesalahan diagnostik yang penting ini dapat diatasi pada banyak kasus
bila riwayat haid ditanyakan dengan teliti. Sifat haid terakhir harus ditanyakan secara
terinci berkenaan dengan waktu mulainya, lamanya serta banyaknya haid dan
dianjurkan pula untuk menanyakan apakah pasien merasa bahwa haidnya abnormal.
4. Tekanan darah dan denyut nadi
Sebelum terjadi ruptur, tanda vital umumnya normal. Respon awal terhadap
perdarahan bervariasi dari tanpa perubahan tanda vital sampai bradikardi dan
hipotensi. Tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi cepat dan lemah (> 110
kali/menit), pucat, berkeringat dingin, kulit lembab, nafas cepat (> 30 kali/menit),
cemas, kesadaran menurun atau tidak sadar bisa terjadi bila perdarahan berlangsung
terus dan terjadi hipovolemia yang signifikan. Stabile dan Grudzinskas (1990)
melaporkan dari 2400 wanita dengan kehamilan ektopik, hampir 1-4% dalam keadaan
syok.
5. Perubahan uterus
Pada kehamilan ektopik terganggu, uterus juga membesar karena pengaruh
hormon-hormon kehamilan, terutama selama 3 bulan pertama, dimana tetap terjadi
pertumbuhan uterus hingga mencapai ukuran yang hampir mendekati ukuran uterus
pada kehamilan intrauteri. Konsistensinya juga serupa selama janin masih dalam
keadaan hidup. Uterus pada kehamilan ektopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh
massa ektopik tersebut.
6. Tumor dalam rongga panggul (massa pelvis)
Pada sekitar 20% pasien ditemukan massa lunak kenyal pada rongga panggul.
Massa ini memiliki ukuran, konsistensi, serta posisi yang bervariasi. Biasanya massa
berukuran antara 5-15 cm, teraba lunak dan elastis. Akan tetapi, dengan terjadinya
infiltrasi tuba yang luas oleh karena darah, massa dapat teraba keras. Hampir selalu
massa pelvic ditemukan di sebelah posterior atau lateral uterus. Timbulnya massa
pelvis disebabkan kumpulan darah di tuba dan sekitarnya. Keluhan nyeri dan nyeri
tekan kerapkali mendahului gejala massa yang ditemukan dengan palpasi.
7. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh bisa tetap normal atau bahkan
menurun. Suhu yang sampai 38 0C dan mungkin berhubungan dengan hemoperitonium
dapat terjadi; namun suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa
adanya infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran yang penting untuk
membedakan antara kehamilan tuba yang mengalami ruptur dengan salpingitis akut;
pada salpingitis akut, suhu tubuh umumnya di atas 38 0C.
8. Pada pemeriksaan dalam
Nyeri goyang porsio, menonjol dan nyeri pada perabaan dengan jari, dijumpai
pada lebih dari tiga perempat kasus kehamilan tuba yang sudah atau sedang mengalami
ruptur, tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur terjadi.
9. Hematokel pelvis
Pada banyak kasus ruptur kehamilan tuba, terdapat kerusakan dinding tuba yang
terjadi bertahap, diikuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam lumen
tuba, kavum peritoneum atau keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat dan
bahkan keluhan yang ringan dapat mereda. Namun darah yang terus merembes akan
berkumpul dalam panggul, kurang lebih terbungkus dengan adanya perlengketan, dan
akhirnya membentuk hematokel pelvis. Pada sebagian kasus, hematokel pelvis akhirnya
akan terserap dan pasien dapat sembuh tanpa pembedahan.
Pada sebagian lainnya, hematokel dapat ruptur ke dalam kavum peritonei atau
mengalami infeksi dan membentuk abses. Kendati demikian, peristiwa yang paling
sering terjadi adalah rasa tidak enak terus menerus akibat adanya hematokel, dan
akhirnya pasien akan memeriksakan diri ke dokter beberapa minggu atau bahkan
beberapa bulan setelah ruptur yang asli terjadi. Kasus-kasus semacam ini merupakan
kasus yang tidak khas.3,5

Gejala KET sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak
dalam rongga perut dan ditandai adanya gejala akut abdomen sampai gejala-gejala yang
samar-samar sehingga sukar membuat diagnosa.3,5
a. Gambaran gangguan mendadak
Peristiwa ini jarang ditemukan. Biasanya setelah mengalami amenorea tiba-tiba
penderita akan merasa nyeri yang hebat di daerah perut bagian bawah dan sering
muntah-muntah. Nyeri yang hebat dapat membuat penderita pingsan, yang tak lama
kemudian akan masuk ke dalam keadaan syok akibat perdarahan. Selain itu juga
ditemukan seluruh perut agak membesar, nyeri tekan dan tanda-tanda cairan
intraperitoneal. Pada pemeriksaan vaginal ditemukan forniks posterior menonjol dan
nyeri goyang saat portio digerakkan, kadang-kadang uterus teraba sedikit membesar
disertai adanya suatu adneksa tumor di sebelahnya.
b. Gambaran gangguan tidak mendadak
Gambaran ini lebih sering ditemukan dan biasanya berhubungan dengan abortus
tuba atau yang terjadi perlahan-lahan. Setelah terlambat haid beberapa minggu,
penderita mengeluh rasa nyeri yang tidak terus menerus di perut bagian bawah. Tetapi
dengan adanya darah di dalam rongga peritoneal, rasa nyeri itu akan menetap. Tanda-
tanda anemia menjadi nyata. Mula-mula perut lembek, tetapi lama-lama dapat
menggembung karena terjadi ileus paralitik.
Terdapat tumor di sebelah uterus (hematosalping) yang kadang-kadang bersatu
dengan hematokel retrouterina sehingga kavum Douglas sangat menonjol dan nyeri
raba, pergerakan serviks juga menyebabkan rasa nyeri. Penderita juga mengeluh rasa
penuh di daerah rektum dan merasa tenesmus, setelah seminggu merasa nyeri
biasanya terjadi perdarahan dari uterus dengan kadang-kadang disertai oleh
pengeluaran jaringan desidua.
c. Gambaran gangguan atipik
Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik terganggu jenis
atipik atau menahun. Keterlambatan haid tidak jelas, tanda dan gejala kehamilan
muda tidak jelas, demikian pula nyeri perut tidak nyata dan sering penderita tampak
tidak terlalu pucat. Hal ini dapat terjadi apabila perdarahan berlangsung lambat.
Dalam keadaan demikian, alat bantu diagnosis amat diperlukan untuk memastikan
diagnosis.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis kehamilan
ektopik ialah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Hb dan jumlah sel darah merah
Dapat diduga bahwa kadar hemoglobin turun pada kehamilan tuba yang
terganggu, karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut. Adanya
perdarahan didasarkan atas penurunan kadar Hb pada pemeriksaan kadar Hb yang
berturut-turut. Pada kasus jenis tidak mendadak, biasanya ditemukan anemia tetapi
harus diingat bahwa penurunan Hb baru terlihat setelah 24 jam 3,5
b. Perhitungan leukosit
Perdarahan juga menimbulkan naiknya leukosit, sedangkan pada perdarahan
sedikit demi sedikit, leukosit normal atau sedikit meningkat. Ini berguna dalam
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda
perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan kehamilan ektopik dan infeksi
pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit, jika > 20.000 biasanya menunjukkan
adanya infeksi pelvic. 3,5
c. Tes kehamilan
Jaringan tropoblas pada kehamilan ektopik menghasilkan hCG dalam kadar
yang lebih rendah daripada kehamilan intrauterin normal, oleh sebab itu dibutuhkan
tes yang mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih tinggi 1. Akan tetapi tes negatif
tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian
hasil konsepsi dan degenerasi tropoblas menyebabkan produksi hCG menurun dan
menyebabkan hasil tes negatif. Permasalahan yang timbul kemudian adalah
bagaimana mendeteksi penanda kehamilan ini dengan cara klinik yang terefektif.4,5
Tes kehamilan melalui urin merupakan slide test inhibisi aglutinasi lateks yang
paling sering dikerjakan, karena memiliki kepekaan terhadap korionik gonadotropin
yang berkisar dari 500 hingga 800 mIU per mL. Kemudahan penggunaannya dan
kecepatannya diimbangi dengan persentase kemungkinan hasil positif yang besarnya
hanya sekitar 50 hingga 60 persen pada wanita dengan kehamilan ektopik. 4,5
Doubling time untuk serum beta-hCG pada kehamilan intrauterine adalah 48
jam hingga mencapai 10.000-20.000 mIU/mL.3 Berdasarkan penelitian tentang
doubling time, serum level beta-hCG akan meningkat paling kurang 66 % dalam 48
jam pada 85 % kehamilan normal. Doubling time hanya bisa digunakan pada awal
kehamilan hingga kurang dari 41 hari kehamilan. 3

2. Ultrasonografi (USG)
USG yang digunakan meliputi USG transabdominal dan USG transvaginal.
Diagnosis dari kehamilan ektopik dapat dibuat 1 minggu lebih cepat dengan USG
transvaginal dibandingkan dengan USG transabdominal. Pada USG transabdominal
biasanya ditemukan kavum uteri yang tidak berisi kantong gestasi, gambaran cairan
bebas serta massa abnormal di daerah pelvis. Sedangkan pada USG transvaginal
digunakan setelah satu minggu telat haid yang dikombinasi dengan pemeriksaan kadar
ß-hCG serum.4,5 Sebuah kantung gestasi merupakan tanda pada USG, yang berlokasi
pada permukaan endometrial dan tampak dengan USG transvaginal 30-35 hari setelah
menstruasi terakhir. Terlihat daerah sonolusen di tengah yang dikelilingi dengan lapisan
ekogenik tebal, yang dibentuk oleh reaksi desidual di sekeliling kantong korionik. Yolk
sac sebagai struktur yang pertama kali terlihat dalam kantong gestasi, tampak pada 5
minggu setelah menstruasi terakhir.
Gerakan jantung janin pertama kali terlihat saat umur kehamilan 5-6 minggu.
Kegagalan untuk dapat melihat kantong gestasi sampai 24 hari atau lebih setelah
konsepsi (38 hari atau lebih) biasanya menunjukkan adanya kehamilan ektopik.4
Saat beta-hCG mencapai 2000 mIU/mL, gestasional sac harus bisa dilihat
didalam uterus pada USG transvaginal, ketika sudah mencapai 6000 mIU/mL harus
sudah bisa dilihat dengan USG abdominal.
USG transvaginal dapat membedakan kehamilan dalam uterus atau di luar antara
lain sebagai berikut :
a. Kehamilan intrauterine (IUP) : sebuah gestational sac dengan sebuah sonolusent
center (diameter >5mm) dikelillingi oleh cincin yang tebal, konsentris dan
echogenic, terletak didalam endometrium dan mengandung fetal pole, yolk sac,
atau keduanya.
b. Kemungkinan IUP abnormal : gestational sac dengan diameter lebih besar dari 10
mm tanpa fetal pole atau dengan fetal pole tanpa aktivitas kardiak.
c. Kehamilan ektopik : sebuah struktur seperti cincin tebal, echogenik terletak diluar
uterus, dengan gestational sac yang mengandung fetal pole, yolk sac atau
keduanya.

USG Doppler memiliki sensitivitas yang lebih baik dan secara tehnik lebih cepat.
Meskipun USG tradisional dapat menunjukkan massa adneksa, Doppler dapat menunjukkan
bahwa massa tersebut adalah massa ektopik dengan menunjukkan adanya aktivitas vaskular
abnormal pada massa tersebut dan juga gambaran vaskular uterin yang tenang. Perbedaan
USG Doppler dan USG standar ini sangat berarti pada awal kehamilan, dan hal ini dapat
mengarah kepada pengobatan medisinalis seawal mungkin.4
Gambar 6a. Gambaran USG menunjukkan Gambar 6b. Garis merah - bagian luar
kehamilan intrauterin dan kehamilan tuba uterus, hijau - uterus, kuning - kehamilan
ektopik. Cairan dalam uterus yang dilingkari
] warna biru disebut dengan “pseudosac"

3. Kombinasi USG dengan pengukuran serum ß-hCG

Gambar 6c. Gambaran detail kehamilan Gambar 6d. Kehamilan tuba dilingkari oleh
ektopik garis merah, fetal pole berukuran 4,5 mm
(diantara kursor), hijau, yolk sac-biru.

Bila pada USG transvaginal ditemukan uterus yang kosong, dan kadar ß-hCG serum
1500 mIU/ml atau lebih, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat dipastikan dengan tingkat
akurasi hampir 100 %.4 Kadar dkk (1981) mengemukakan empat kemungkinan klinik
berdasarkan nilai kuantitatif ß-hCG: 5
a. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kantong kehamilan
terlihat di dalam uterus lewat pemeriksaan USG abdomen, maka diagnosis
kehamilan normal pada dasarnya bisa dipastikan.
b. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kavum uteri tampak
kosong, maka kemungkinan adanya kehamilan ektopik sangat besar. Keadaan ini
jarang dijumpai dalam praktek klinik sebenarnya.
c. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan cincin kehamilan
intrauteri jelas terlihat, maka abortus spontan mungkin tengah terjadi atau segera
akan terjadi. Kehamilan ektopik masih menjadi suatu kemungkinan karena derajat
ultrasonik yang ada. Diagnosis keliru mengenai kantong kehamilan dalam uterus
dapat saja dibuat kalau ada bekuan darah atau silinder desidua.
d. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan terlihat uterus yang
kosong, tidak ada diagnosis pasti yang dapat ditegakkan. Kegagalan untuk melihat
kantong kehamilan di dalam uterus sering terjadi pada pemeriksaan USG abdomen
yang dikerjakan sebelum usia kehamilan 5 minggu. Sayangnya usia kehamilan
yang tepat acapkali tidak diketahui pada wanita dengan suspek kehamilan ektopik.
Pada kasus-kasus ini, wanita tersebut dapat mengalami abortus atau bisa
mempertahankan kehamilannya dan kemudian terbentuk kantong kehamilan, atau
dapat pula memperlihatkan bukti yang menunjukkan adanya kehamilan ektopik.
4. Kuldosintesis
Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada
darah atau cairan lain. Serviks ditarik ke arah simfisis dengan tenakulum, kemudian sebuah
jarum panjang ukuran 16 atau 18 dimasukkan lewat forniks posterior vagina ke dalam kavum
Douglas dan kemudian dilakukan aspirasi cairan yang ada di dalamnya. Jika darah yang
diaspirasi kemudian membeku, darah ini mungkin berasal dari pembuluh darah yang
mengalami perforasi bukan dari kehamilan ektopik yang mengalami perdarahan kecuali
terjadi perdarahan cepat dari tempat ruptur dan darah dapat diaspirasi dari kavum Douglas
sebelum sempat membeku.
Kuldosintesis mungkin tidak memberikan hasil yang memuaskan pada wanita dengan
riwayat salpingitis dan peritonitis pelvik, mengingat kavum Douglas kemungkinan sudah
mengalami obliterasi. Jadi, kegagalan untuk mendapatkan darah dari kavum Douglas tidak
meniadakan kemungkinan diagnosis hemoperitonium dan tentu saja bukan merupakan bukti
yang menentang adanya kehamilan ektopik dengan atau tanpa ruptur.5
5. Pada umumnya kadar serum progesterone pada pasien dengan kehamilan
ektopik lebih rendah dibandingkan kehamilan normal. Pada suatu penelitian yang melibatkan
lebih dari 5000 pasien dengan kehamilan trimester I , diketahui bahwa 70% dari penderita
dengan kehamilan normal mempunyai kadar progesterone lebih dari 25 ng/mL, dimana hanya
1,5% dari penderita kehamilan ektopik yang mempunyai kadar progesterone serum lebih dari
25 ng/mL.
Kadar progesterone serum dapat dipergunakan untuk skrining tes baik pada kehamilan
ektopik maupun pada kehamilan normal terutama apabila tidak tersedia pemeriksaan hCG
dan USG. Kadar progesterone serum yang kurang dari 5 ng/mL mempunyai sensivitas yang
tinggi adanya kehamilan yang abnormal, tetapi tidak sampai 100%. Resiko terjadinya
kehamilan normal dengan kadar progesterone serum kurang dari 5 ng/mL kira-kira 1:1500.
Karena itu pengukuran progesterone serum saja tidak bisa dipergunakan untuk menegakkan
diagnosa.
6. Kuretase uterus
Manfaat kuretase uterus adalah untuk menentukan ada atau tidaknya vili yang
menandakan adanya kehamilan intrauterin yang non viabel. Pada sebagian besar kasus,
kuretase sangat menolong jika serum progesteron kurang dari 5 ng/mL dan titer HCG yang
tidak meningkat dan kurang dari 1000 IU/L. Kuretase dan pemeriksaan hasilnya dapat
digunakan untuk mencegah laparoskopi yang tidak perlu pada pasien yang mengalami
keguguran. Dengan melarutkan hasil kuretase pada larutan salin, biasanya menunjukkan
adanya vili, tetapi tidak selalu. Hasil kuretase dalam larutan salin dapat mengalami kesalahan
sebesar 6,6 % dari pasien yang mengalami kehamilan ektopik dan kesalahan sebesar 11,3 %
pada pasien dengan kehamilan intrauterine. Karena ketidakakuratan ini, pemeriksaan patologi
dan pemantauan titer HCG sangat diperlukan untuk konfirmasi.4,5
7. Laparoskopi
Tehnik pemeriksaan ini memberikan sarana untuk mendiagnosis penyakit pada organ
pelvis, termasuk kehamilan ektopik. Sistem optis dan elektronik yang disempurnakan telah
mengatasi sebagian besar keberatan yang timbul dalam upaya untuk menggunakan sonde
transabdominal intraperitoneal yang dilengkapi dengan cahaya untuk melihat organ-organ
dalam panggul. Meskipun demikian, laparoskopi yang aman dan berhasil memerlukan
peralatan yang sempurna, operator yang berpengalaman, ruang operasi dan biasanya tindakan
anestesi seperti pada pembedahan. Inspeksi lengkap rongga panggul mungkin tidak dapat
dilakukan bila terdapat inflamasi pelvik atau perdarahan yang baru atau sudah lama terjadi.
Kadang-kadang, pengenalan kehamilan tuba dini tanpa terjadinya ruptur sulit dilakukan
dengan laparoskopi, meskipun tuba bisa dilihat seluruhnya.4,5 Laparoskopi merupakan
diagnosis definitif pada kebanyakan kasus. Selain itu laparoskopi operatif juga digunakan
sebagai jalan untuk memindahkan massa ektopik dan sekaligus sebagai saluran untuk
menyuntikkan kemoterapi.5
8. Laparotomi
Jika masih terdapat keraguan, laparotomi harus dilakukan, karena kematian akibat
kelambatan atau ketidakmampuan dalam mengambil keputusan jauh lebih tragis daripada
pembedahan yang tidak diperlukan. Angka kematian yang berkaitan dengan pembedahan
yang terbatas pada insisi suprapubik yang dilakukan secara hati-hati dan diperbaiki kembali,
adalah sangat kecil. Di samping itu, diagnosis sering dipermudah dengan inspeksi langsung
dan palpasi organ pelvis yang dimungkinkan lewat laparotomi. Hal yang mengesankan adalah
bahwa laparotomi jangan ditunda meskipun dilakukan laparoskopi pada wanita dengan
kelainan serius dalam panggul atau abdomen yang memerlukan tindakan pasti dan segera.4,5
Laparotomi dikerjakan bila penderita secara hemodinamik tidak stabil, dan membutuhkan
terapi definitif secepatnya.5

Bagan 1. Algoritma Diagnosis Kehamilan Ektopik Berdasarkan Kadar Progesteron Serum dan ß-Hcg

2.6 Diagnosis
Diagnosis KET ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang1- 5, 7
Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan trias KET klasik yaitu: amenorea, nyeri perut
yang biasanya bersifat unilateral serta perdarahan pervaginam. Gejala tak spesifik lainnya
seperti perasaan enek, muntah dan rasa tegang pada payudara serta kadang-kadang gangguan
defekasi.
1. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda syok : tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi
cepat dan lemah (> 110 kali permenit), pucat, berkeringat dingin, kulit yang
lembab, nafas cepat (> 30 kali permenit), cemas, kesadaran berkurang atau tidak
sadar.
b. Gejala akut abdomen : perut tegang pada bagian bawah, nyeri tekan,
nyeri ketok dan nyeri lepas dari dinding perut.
c. Pemeriksaan ginekologi: biasanya didapatkan servik teraba lunak,
nyeri tekan dan nyeri goyang, korpus uteri normal atau sedikit membesar, kadang-
kadang sulit diketahui karena nyeri abdomen yang hebat, kavum Douglas menonjol
oleh karena terisi darah.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Kadar Hb, jumlah sel darah merah dan leukosit, tes kehamilan
b. USG
c. Kombinasi USG dengan pemeriksaan kuantitatif ß-hCG
d. Kuldosintesis
e. Kadar progesteron
f. Kuretase uterus
g. Laparoskopi
h. Laparotomi

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding kehamilan ektopik terganggu ialah infeksi pelvis, abortus iminens,
kista folikel, korpus luteum yang pecah, kista ovarium dengan putaran tangkai, serta
apendisitis. Penyakit-penyakit ini dapat memberikan gambaran klinis yang hampir sama
dengan KET. Perbedaan dari masing-masing penyakit tersebut adalah sebagai berikut:3-5, 7
1. Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvis biasanya timbul waktu haid dan jarang setelah
amenore. Gejala tersebut berupa nyeri perut bawah dan tahanan yang dapat diraba pada
pemeriksaan vagina, yang pada umumnya bilateral. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
perbedaan suhu rektal dan aksila melebihi 0,5 0C, sedangkan pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis yang lebih tinggi daripada KET serta tes kehamilan negatif.
2. Abortus iminens atau insipiens
Pada abortus iminens maupun insipiens, perdarahan umumnya lebih banyak dan lebih
merah sesudah amenore. Rasa nyeri yang muncul berlokasi di daerah median. Sedangkan
pada pemeriksaan fisik tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus serta
gerakan servik uteri tidak menimbulkan nyeri.

3. Ruptur korpus luteum


Terjadi pada pertengahan siklus haid dan biasanya tanpa disertai perdarahan
pervaginam, serta tes kehamilan (-).
4. Torsi kista ovarium dan apendisitis
Umumnya tidak ada gejala dan tanda kehamilan muda, amenore dan perdarahan
pervaginam. Torsi kista ovarii biasanya lebih besar dan lebih bulat daripada kehamilan
ektopik. Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan serviks kurang
nyata, serta lokasi nyeri perutnya di titik McBurney.

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan kehamilan ektopik terganggu ialah 1-5
1. Segera dibawa ke rumah sakit
2. Transfusi darah dan pemberian cairan untuk mengoreksi anemia dan
hipovolemia.
3. Operasi segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Jenis operasi
yang dikerjakan antara lain berupa salpingektomi yang dilakukan pada kehamilan
tuba dan oovorektomi atau salpingoovorektomi pada kehamilan di kornu. Pada
kehamilan di kornu jika pasien berumur >35 tahun sebaiknya dilakukan
histerektomi, bila masih muda sebaiknya dilakukan fundektomi. Pada kehamilan
abdominal, bila kantong gestasi dan plasenta mudah diangkat sebaiknya diangkat
saja tetapi bila besar dan susah diangkat maka anak dilahirkan dan tali pusat
dipotong dekat plasenta, plasenta ditinggalkan dan dinding perut ditutup.

Penanganan terhadap kehamilan tuba paling sering berupa salpingektomi untuk


mengangkat tuba fallopi yang koyak dan mengalami perdarahan, dengan atau tanpa
ooforektomi ipsilateral. Tujuan penanganan tersebut harus dan tetap terletak dalam upaya
untuk menyelamatkan jiwa ibu. Akhir-akhir ini, penanganan terhadap kehamilan ektopik
telah berubah dari salpingektomi menjadi prosedur untuk mempertahankan fungsi tuba.
Pembedahan yang dahulunya lebih radikal akan dijelaskan pertama dan kemudian diikuti
dengan uraian mengenai teknik pembedahan yang lebih baru untuk mempertahankan
kelangsungan fungsi tuba fallopi.3-5
1. Salpingektomi
Dalam pengangkatan tuba fallopi, dianjurkan untuk membuat eksisi berbentuk baji
yang tentu saja tidak lebih dari sepertiga luar pars interstisialis tuba (tindakan ini dinamakan
reseksi kornu), untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kehamilan dalam puntung tuba
(jarang dijumpai) tanpa melemahkan miometrium di tempat eksisi tersebut. Harus dihindari
reseksi yang terlampau luas agar tidak mengenai kavum uteri; kalau tidak, cacat yang
ditimbulkan oleh reseksi akan menimbulkan ruptura uteri pada kehamilan intrauteri
berikutnya. Bahkan dengan reseksi kornu sekalipun, kehamilan interstisial selanjutnya tidak
dapat dicegah.
2. Ooforektomi ipsilateral
Pengangkatan ovarium di sebelahnya pada saat dilakukan salpingektomi pernah
dianjurkan sebagai prosedur yang mungkin dapat memperbaiki kesuburan penderita maupun
menurunkan kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik berikutnya. Dengan demikian,
ovulasi selalu akan terjadi dari ovarium yang paling dekat pada tuba fallopi yang masih
tertinggal. Keadaan ini mempermudah pengambilan ovum oleh tuba dan menghindari
kemungkinan terjadinya migrasi eksterna ovum serta kehamilan ektopik yang bisa timbul
akibat telur yang peripatetik tersebut.
3. Sterilisasi
Sebelum dilakukan pembedahan eksplorasi untuk kecurigaan kehamilan ektopik, ibu
harus ditanya dahulu apakah ia menginginkan kehamilan selanjutnya. Jika wanita tersebut
sudah tidak ingin mempunyai anak lagi dan kehamilan ektopik yang terjadi merupakan akibat
tindakan kontrasepsi yang gagal, keputusan yang diambil dokter biasanya ke arah tindakan
sterilisasi. Jika diputuskan demikian, dan keadaan pasien baik, dokter dapat
mempertimbangkan histerektomi. Kalau tidak, tubektomi biasanya dapat dilakukan dengan
cepat tanpa meningkatkan risiko. Sebaliknya, semua organ ini perlu diselamatkan sedapat
mungkin pada wanita yang masih ingin hamil lagi, sekalipun risiko kehamilan ektopik yang
akan dihadapinya pada kehamilan berikutnya cukup besar.
4. Menyelamatkan tuba fallopi
Karena adanya kemungkinan yang besar untuk terjadi kemandulan setelah
kehamilan tuba yang ditangani dengan salpingektomi, cara lain untuk mengangkat tuba harus
dipertimbangkan. Penggunaan teknik diagnostik dan prosedur pembedahan yang lebih
mutakhir untuk mempertahankan tuba yang rusak akan memberikan hasil akhir yang lebih
baik lagi dalam kehamilan berikutnya. Beberapa tindakan bedah rekonstruksi tuba dibahas
dibawah ini:
a. Salpingostomi
Teknik ini digunakan untuk mengangkat kehamilan yang kecil dengan panjang
yang biasanya kurang dari 2 cm dan terletak dalam sepertiga distal tuba fallopi. Suatu insisi
linier sepanjang 2 cm atau kurang dilakukan pada batas antimesenterik di dekat kehamilan
ektopik. Implantasi ektopik ini biasanya akan menonjol keluar dari lubang insisi sehingga
dapat dikeluarkan dengan hati-hati. Tempat perdarahan dikendalikan dengan elektrokauter
atau laser, dan luka insisi dibiarkan tanpa penjahitan sampai sembuh sendiri.
b. Salpingotomi
Suatu insisi longitudinal dilakukan pada batas antimesenterik tuba fallopi
langsung di daerah implantasi ektopik. Hasil konsepsi diangkat dengan forseps atau diisap
dengan hati-hati dan tuba yang terbuka lalu diirigasi dengan larutan ringer laktat (jangan
memakai larutan salin isotonik), sehingga tempat perdarahan dapat dikenali dan dikendalikan
seperti dijelaskan di atas. Penutupan luka yang paling dianjurkan dilakukan dengan jahitan
satu lapis memakai benang vicryl 7-0 yang dipasang satu persatu.
c. Reseksi segmental dan anastomosis
Prosedur ini dianjurkan untuk kehamilan ektopik yang mengalami ruptur dalam
bagian isthmus tuba, mengingat salpingotomi atau salpingostomi kemungkinan akan
menimbulkan jaringan parut dan selanjutnya penyempitan lumen tuba yang kecil ini. Setelah
segmen tuba terlihat, mesosalping di bawah tuba diinsisi, dan bagian isthmus tuba yang
berisikan implantasi ektopik tersebut direseksi. Mesosalping lalu dijahit dan dengan demikian
merapatkan kembali kedua puntung tuba. Segmen tuba tersebut kemudian dianastomosiskan
satu sama lain secara berlapis dengan benang vicryl 7-0 yang dijahit satu per satu (jahitan
terputus); penjahitan ini sebaiknya dilakukan dengan pembesaran. Tiga jahitan dibuat pada
tunika muskularis dan tiga lagi pada tunika serosa yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak
mengenai lumen tuba. Penjahitan lapisan serosa akan menambah kekuatan pada lapisan
pertama.
d. Evakuasi fimbria
Pada kehamilan tuba yang implantasinya di bagian distal diusahakan untuk
mengosongkan hasil konsepsi dengan cara ”mengurut” atau “mengisap” implantasi ektopik
tersebut dari dalam lumen tuba. Tindakan ini tidak dianjurkan karena akan disertai dengan
angka kehamilan ektopik rekuren yang besarnya dua kali lipat bila dibandingkan dengan
salpingotomi. Pada tindakan ini juga terdapat angka pembedahan reeksplorasi yang tinggi
untuk mengatasi perdarahan rekuren akibat jaringan trofoblastik persisten.

KEHAMILAN EKTOPIK

Tidak terganggu Terganggu

(Observasi KE) (Curiga KET)

MRS, Rapid Test, USG Transvaginal Akut (KET) Kronik


Obs 24 jam T/N/R/Keluhan/Hb (Hemato cele)
Douglas Punctie
(KP)
GS (+)

Intra Uteri

GS (-) / GS (+)
PPT (-)
Extra Uteri

GS (-) /
PPT (+)

Laparotomi/Proof
Bukan KE
Methotrexate sistemik
Methotreate (MTX) adalah analog asam folat yang banyak digunakan pada pengobatan
terhadap penyakit neoplasma, psoriasis berat, dan arthritis rematoid pada orang dewasa. MTX
secara kompetitif mengikat enzim dihidrofolic acid reduktase, sebuah enzim yang mengubah
dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat (bentuk aktif). Tetrahisdrofolat berfungsi untuk transport
1 grup karbon selama sintetis nukleotid purin dan thymidilate. Tanpa tetrahidrofolat sintetis
DNA dan perbaikannya, dan replikasi seluler mengalami gangguan. Proliferasi sel yang aktif
seperti pada sel ganas, sel pada sumsum tulang, sel fetal, demikian juga pada sel mukosa
mulut, usus, dan kandung kencing adalah yang paling sensitive terhadap efek dari MTX.3
Perdarahan aktif intraabdomen adalah kontraindikasi kemoterapi. Ukuran dari masa
ektopik juga penting, Pisarska dkk (1998) merekomendasi MTX untuk tidak digunakan jika
kehamilan lebih dari 4 cm. Kesuksesan terbaik jika kehamilan kurang dari 6 minggu,
diameter massa tuba tidak lebih dari 3,5 cm, fetus telah mati, dan beta-hCG tidak lebih dari
15.000 mIU/mL (Lipscomb and colleagues, 1999a, Stoval, 1995). Menurut American College
of Obstetrician and Gynecologists (1998), kontraindikasi termasuk menyusui,
imunodefisiensi, alcohol, penyakit hati dan ginjal, penyakit paru aktif, dan ulkus peptikum.5
Pasien yang dapat diterapi dengan MTX harus stabil secara hemodinamik, yaitu sesuai
dengan hal-hal berikut :5
1. Terapi medis gagal pada 5-10 % kasus, dan lebih sering terjadi pada
kehamilan lebih dari 6 minggu atau massa tuba lebih dari 4 cm.
2. Kegagalan terapi medis memerlukan terapi lebih lanjut, baik secara
medis atau pembedahan.
3. Pada pasien rawat jalan, transportasi yang cepat harus tersedia.
4. Tanda dan gejala rupture tuba seperti perdarahan vagina, nyeri
abdomen dan pleura, lemah, pusing, atau sinkop harus dilaporkan dengan cermat.
5. Hingga kehamilan ektopik sembuh, tidak diperbolehkan melakukan
hubungan seksual, minum alcohol, atau mengkonsumsi asam folat, termasuk
vitamin prenatal.
Dosis MTX :5
1. Dosis tunggal : MTX 50 mg/m2 IM. Hitung kadar beta-hCG pada hari
ke 4 dan 7
 Bila penurunan > 15 %, diulang tiap minggu hingga tidak terdeteksi.
 Bila penurunan < 15 %, ulangi pemberian MTX dan hitung sebagai
hari pertama.
 Jika aktivitas jantung masih ada pada hari 7, ulangi pemberian MTX
dan hitung sebagai hari pertama.
 Pembedahan bila kadar beta-hCG tidak turun atau aktivitas jantung
persisten setelah 3 dosis MTX.
2. Dosis variable :
 MTX 1 mg/kgBB IM, hari 1, 3, 5, 7
 Leukovorin 0,1 mg/KgBB IM, hari 2, 4, 6, 8
Injeksi yang kontinyu diberikan hingga kadar beta-hCG berkurang 15 % dalam 48 jam,
atau 4 dosis MTX diberikan, kemudian perminggu hingga beta-hCG tidak terdeteksi.

Efek samping yang paling sering adalah gangguan hati (12 %), stomatitis (6 %) dan
gastroenteritis (1 %). Seorang wanita mengalami depresi sumsum tulang. Laporan kasus juga
menggambarkan netropenia dan demam yang mengancam jiwa, pneumonitis akibat induce
obat, dan alopesia5
Setelah linear salfingostomi, kadar beta hCG menurun hingga masa resolusi 20 hari.
Pada kasus langka, setelah dosis tunggal MTX, kadar serum beta hCG meningkat pada 4 hari
pertama, kemudian menurun secara bertahap, dengan waktu resolusi 27 hari. Lipscomb dkk
(1998) mengobati 287 wanita dengan MTX dengan kesembuhan rata-rata, yaitu level beta
hCG kurang dari 15 mIU/mL, adalah 34 hari. Waktu terlama adalah 109 hari. 5

2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh kehamilan ektopik terganggu antara lain
berupa syok yang irreversibel, perlekatan dan obstruksi usus2-5. Komplikasi yang lain berupa
jaringan trofoblastik persisten dan kehamilan ektopik persisten . Namun kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada kehamilan ektopik yang belum pecah dan menjalani terapi bedah
konservatif (salpingostomi), sehingga diperlukan pemantauan yang ketat pasca terapi.3-5
Risiko kehamilan ektopik persisten dengan pembedahan konservatif melalui
laparotomi sebesar 5 %. Laparoskopi salpingostomi dihubungkan dengan tingginya angka
jaringan tropoblas persisten; kira-kira 15 % pasien memerlukan pengobatan lanjutan. Risiko
jaringan trofoblastik persisten sangat bermakna dengan hematosalping berdiameter lebih
besar dari 6 cm, titer HCG lebih besar dari 20.000 IU/L dan hemoperitonium lebih dari 2000
ml. Meskipun reoperasi merupakan pengobatan pilihan, tetapi methotrexate lebih disukai.
Pengobatan profilaksis dapat diberikan dengan memberikan dosis multipel methotrexate (1
mg/kg) atau dosis tunggal methotrexate (15 mg/m2) dapat diberikan setelah diagnosis
ditegakkan.5,7

2.12 Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini
dan persediaan darah yang cukup. Pada umumnya, kelainan yang menyebabkan kehamilan
ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi steril setelah mengalami kehamilan
ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Selain itu,
kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami
kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi
lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%.
Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan
salpingektomi bilateralis.3-5
BAB III
ANALISA KASUS

4.1. DIAGNOSIS
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu (KET) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berikut adalah perbandingan antara teori dan
temuan-temuan klinis yang dijumpai pada pasien yang mendukung diagnosa KET pada
pasien.
No. Teori Pasien
1. Anamnesis Anamnesis
Trias klasik KET - Riwayat telat haid (+) dengan HPHT
- Amenorea (18/09/18)
- Nyeri perut - Nyeri perut mendadak di seluruh perut
- Perdarahan pervaginam bawah yang berat dan terus menerus.

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik


1. Tanda-tanda syok: - Belum dijumpai tanda-tanda syok,
- Tekanan darah menurun (sistolik dengan tekanan darah (110/70), nadi
< 90 mmHg) (76x/mnt), respirasi masih dalam batas
- Nadi cepat dan lemah (> 110 normal dan tampak pucat
kali permenit)
- Pucat, berkeringat dingin, kulit
yang lembab
- Nafas cepat (> 30 kali permenit)
- Cemas, kesadaran berkurang atau
tidak sadar.
2. Gejala akut abdomen Abdomen:
- Nyeri tekan distensi (-), BU (+) N, nyeri tekan (+)
- Defance muscular hipocondriac kanan
Defance musculare (-)

3. Pemeriksaan ginekologi  Pemeriksaan Luar :


- Servik teraba lunak,
- Nyeri goyang, o Inspeksi : tidak didapatkan flek
- Korpus uteri normal atau sedikit putih kecoklatan
membesar,
- Kavum Douglas menonjol oleh o Palpasi : nyeri tekan pada perut
karena terisi darah. kanan bawah
 Pemeriksaan Dalam :
Tidak dilakukan

3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium 1. Laboratorium
- Hb menurun - HGb: 9,4 g/dL
- Leukosit normal/meningkat - WBC: 12,1 . 103/Ul

2. USG 2. USG
- GS (-) intrauterin, (+) di - GS intrauterin (-)
ekstrauterin - Tanda cairan bebas (+) di cavum
- Tanda cairan bebas pada kavum abdomen
abdomen Kesan: Kehamilan ektopik terganggu
- Massa abnormal di daerah pelvis

Berdasarkan tabel diatas, pada kolom anamnesis dapat dilihat bahwa pasien memenuhi
semua kriteria anamnesis untuk KET. Dari HPHT didapatkan umur kehamilan pada saat
pemeriksaan adalah 7-8 minggu, dan hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
sebagian besar kehamilan ektopik pada tuba akan terganggu pada umur kehamilan antara 6 –
10 minggu. Hal ini terjadi karena tuba bukan tempat ideal untuk pertumbuhan hasil konsepsi,
dimana pada umur kehamilan 6 – 10 minggu vili korialis dengan mudah dapat menembus
endosalping (karena pembentukan desidua tuba yang tidak sempurna) dan masuk ke dalam
lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Proses ini selanjutnya
akan diikuti dengan terjadinya abortus tuba atau ruptur dari tuba yang menyebabkan
berakhirnya kehamilan.
Dari anamnesis juga didapatkan bahwa pasien mengalami nyeri perut yang mendadak
dan berat. Pada umumnya nyeri seperti ini terjadi pada ruptur tuba akibat darah yang
mengalir deras ke dalam kavum peritonei. Jika yang terjadi adalah abortus tuba, nyeri yang
timbul tidak seberapa hebat dan tidak terus menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu
sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah
atau ke seluruh perut bawah. Dari kondisi ini, disimpulkan kemungkinan pasien mengalami
ruptur tuba.
Flek-flek yang dialami oleh pasien merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik. Flek-flek ini merupakan akibat dari perdarahan yang berasal dari uterus. Selama
fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak ditemukan.
Perdarahan uterus akan terjadi bila dukungan endokrin terhadap endometrium sudah tidak
memadai lagi, dan ini terjadi jika janin telah mati. Pada keadaan telah terjadi kematian janin
pembentukan hormon hCG akan terganggu dan akan diikuti dengan terjadinya pelepasan
desidua yang bermanifestasi dalam bentuk perdarahan uterus.
Pasien juga mengeluhkan adanya mual-mual ringan. Mual-muntah pada awal
kehamilan dipengaruhi oleh peningkatan kadar ß-hCG serum. Akan tetapi masing-masing
wanita hamil memilki respon yang berbeda-beda, tidak semua wanita hamil akan mengalami
mual muntah meskipun kadar ß-hCG serumnya meningkat. Pada umumnya, makin tinggi
peningkatan kadar ß-hCG, mual-muntah yang terjadi akan semakin berat. Jaringan trofoblas,
sebagai penghasil ß-hCG, pada kehamilan ektopik menghasilkan ß-hCG yang lebih rendah
daripada kehamilan intrauterin normal, oleh sebab itulah kejadian mual muntah pada wanita
dengan kehamilan ektopik jarang atau terjadi lebih ringan dibandingkan wanita dengan
kehamilan normal. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital masih stabil. Hal ini Untuk
mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien dan juga untuk diagnostik, laparatomi cito
merupakan terapi definitif yang tepat.
Pemeriksaan pada abdomen pasien, ditemukan fundus uteri yang masih tidak teraba,
hal ini sesuai dengan umur kehamilan pasien 7-8 minggu. Pada pemeriksaan juga didapatkan
nyeri tekan. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan telah terjadi akumulasi cairan (dalam hal
ini darah) di dalam kavum abdomen dalam jumlah yang cukup banyak yang kemungkinan
berasal dari perdarahan akibat ruptur tuba yang masuk ke dalam rongga peritoneum.
Dari pemeriksaan laboratorium, meskipun hasil pemeriksaan hemoglobin (Hb) saat
pasien baru datang 9,4. Dari penurunan kadar Hb ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
perdarahan dalam tubuh pasien. Hasil penghitungan leukosit menunjukkan terjadinya
peningkatan kadar leukosit. Perdarahan yang banyak juga menimbulkan naiknya leukosit,
sedangkan pada perdarahan sedikit demi sedikit, leukosit biasanya normal atau sedikit
meningkat ini berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama
bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan kehamilan ektopik
dan infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit, jika > 20.000 biasanya menunjukkan
adanya infeksi pelvic

4.2. DIAGNOSIS BANDING


Pasien didiagnosis banding dengan abortus iminens oleh karena adanya nyeri perut
disertai dengan adanya riwayat keluar darah dari vagina serta hasil PPT (+). Diagnosis
abortus akhirnya disingkirkan oleh karena pada abortus biasanya darah yang keluar lebih
banyak, berwarna merah segar, dan tidak hanya berupa flek-flek. Ditemukan adanya nyeri
goyang porsio dan penonjolan kavum douglas menunjukkan tanda-tanda adanya darah yang
terkumpul pada rongga pelvis, dimana hal ini mendukung diagnosis ke arah KET.

4.3. PENATALAKSANAAN
Pada pasien diberikan infus RL 500cc/8jam, dilakukan monitoring tanda-tanda vital.
Kemudian dilakukan USG dann diberikan terapi futacef dan transfusi PRC2 kolf. Namun
karena kondisi emergency dan Setelah mendapat persetujuan dari keluarga dilakukan
tindakan laparatomi untuk menghentikan perdarahan yang terjadi oleh karena ruptur tuba.
Tindakan laparatomi yang dilakukan bersifat sebagai alat diagnostik sekaligus terapeutik.
Setelah mendapatkan perawatan selama 4 hari kondisi pasien membaik dan pasien
diijinkan untuk pulang.

4.4. PROGNOSIS
Pasien memiliki riwayat KET pada kehamilan pertama. Sebagian wanita menjadi steril
setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada
tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0 - 4,6 %.
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dan
persediaan darah yang cukup. Pada pasien ini, pemulihan berlangsung dengan baik.
Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan terhadap tuba kanan, dan didapatkan hasil post
salpingektomi dekstra. Berdasarkan literatur yang ada, hanya 60% wanita yang pernah
mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, apabila tuba yang lain masih
berfungsi normal. Namun pada pasien ini karena sudah pernah mengalami kehamilan ektopik
terganggu pada tuba dekstra sebelumnya, kemungkinan untuk hamil lagi tidak ada, sehingga
prognosis pasien adalah dubius ad malam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro,H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta; Yayasan


Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo, 2000; 198-204
2. Prawirohardjo S , Wiknjosastro H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Kebidanan; Jakarta;
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 323-334
3. Lipscomb GH. Ectopic Pregnancy. Obstetric and Gynecology Principles for Practice.In:
Ling FW,Duff P editor. International edition;USA. Mc Graw Hill; 2001;pp 1134-1147
4. Berek JS. Ectopic Gestasion. In Novak’s Gynecology. 13thed.Philadelphia Lippincot
Williams & Wilkins, 2002, pp510-534
5. Cunningham FG, gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, haulth JC, Wenstrom KD. Ectopic
Pregnancy. In: William Obstetrics, 21thed; USA; Mc graw hill; 2001; pp 883-910
6. Pearson J, Rooyen JV. Ectopic Pregnancy. In: Bandowski BJ, Hearne AE, Lambrou BJC,
For HE, Wallase EE editor. The Jhons Hopkins Manual Of Gynecology and Obstetric;
2nd ed. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins; 2002;pp 305-13
7. Chapin DS. Kehamilan Ektopik. Dalam: Friedman EA, Acker DB, Scachs BP. Seri
Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri. Jakarta; Binarupa Aksara; 2000. Hal 54-56.

Anda mungkin juga menyukai