PENDAHULUAN
1
dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit
dari 14 negara yang berasal darit Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan
Pasifik menunjukkan adanya infeksi nosokomial dan untuk Asia Tenggara
sebanyak 10,0% (WHO, 2007). Infeksi nosokomial menempati posisi
pembunuh keempat di Amerika Serikat dan terdapat 20.000 kematian tiap
tahunnya akibat infeksi nosokomial ini (Marwoto, 2007).
Di Indonesia kejadian infeksi nosokomial pada jenis / tipe rumah sakit
sangat beragam. Penelitian yang dilakukan oleh Depkes RI pada tahun 2004
diperoleh data proporsi kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit
pemerintah dengan jumlah pasien 1.527 orang dari jumlah pasien beresiko
160.417 (55,1%), sedangkan untuk rumah sakit swasta dengan jumlah pasien
991 pasien dari jumlah pasien beresiko 130.047 (35,7%). Untuk rumah sakit
ABRI dengan jumlah pasien 254 pasien dari jumlah pasien beresiko 1.672
(9,1%). Penelitian yang dilakukan tutik (2009) di RSUD DR. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung menunjukan bahwa mikroba patogen yang
ditemukan yaitu Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus saprophyticus, Streptococcus sp., Salmonella sp., Shigella
sp., Rhizopus sp., Asprgillus sp., dan Mucor sp. Penelitian yang dilakukan
Erin (2013) di ruang perinatologi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
Lampung dipatkan spesies mikroba yatu Staphylococcus aureus,
Streprococcus pneumonia, Nesseria sp., E. Coli, Shigella sp., Salmonella sp.,
E. Aerogenes., P. Aerogenose., dan Klebsiella pneumonia
Pelayanan rawat inap yaitu pelayanan kepada pasien yang memerlukan
observasi, diagnosis, terapi dan rehabilitasi yang perlu menginap dan
menggunakan tempat tidur serta mendapatkan makanan dan pelayanan terus
menerus (Yudha, 2006). Tetapi rawat inap yang lama akan meningkatkan
resiko infeksi nosokomial. Hasil penelitian di Indonesia yang dilakukan di 11
rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun 2004 menunjukkan bahwa kejadian
infeksi nosokomial yang didapatkan pasien yang dirawat di ruang rawat inap
sebesar 9,8% (Spiritia, 2006). Penelitian yang dilakukan Ratna Nugraheni et
al (2011) di RSUD Setjonegoro, Wonosobo, didapatkan Prevalensi kejadian
2
infeksi nosokomial di ruang rawat inap pada semester I tahun 2009 sebesar
2,67 per 100 pasien rawat inap, semster I tahun 2010 sebesar 3,13 per 1000
pasien rawat inap, semester II tahun 2010 sebesar 4,36 per 100 pasen rawat
inap, semester I tahun 2011 sebesar 9,68 per 1000 pasien rawat inap dan
semester II tahun 2011 sebesar 19,71 per 100 pasien rawat inap.
Anak anak merupakan kelompok usia yang rentan terhadap gizi dan
kesehatan. Pada masa ini daya tahan tubuh anak masih belum kuat, sehingga
resiko anak menderita penyakit infeksi lebih tinggi (Harsono, 1999; RSPI,
2007).
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, juga mengingat
RSUD Dr. M Yunus sebagai salah satu rumah sakit pendidikan di Provinsi
Bengkulu yang menjadi contoh dalam hal tindakan maupun penanganan
kepada pasien maka penulis ingin mencoba meneliti tentang angka dan pola
kuman di ruang rawat anak Edelweis RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
B. Rumusan masalah
Bagaimana angka dan pola kuman yang ada di dinding, lantai dan
tempat tidur pasien di ruang rawat anak Edelweis di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Dr. M. Yunus Bengkulu?
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang infeksi nosokomial di RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui angka dan pola kuman di dinding ruang rawat anak
Edelweis RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
b. Mengetahui angka dan pola kuman di lantai ruang rawat anak
Edelweis di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
c. Mengetahui angka dan pola kuman di tempat tidur ruang rawat anak
Edelweis di RSUD Dr. M Yunus Bengkulu.
3
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Penelitian Bagi Peneliti
a. Merupakan Suatu pengalaman berharga bagi peneliti dalam
memperluas wawasan keilmuan, khususnya tentang kuman sebagai
salah satu faktor yang dapat menyebabkan penyakit infeksi
b. Menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya khususnya tentang
kuman.
2. Manfaat Penelitian Bagi Pasien
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya tentang
angka dan pola kuman di ruang rawat anak Edelweis Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Dr. M. Yunus. Bengkulu.
3. Manfaat Penelitian Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini juga dapat digunakan oleh RSUD Dr. M
Yunus di Provinsi Bengkulu untuk pengembangan dalam melakukan
strategi pencegahan nosokomial, pemantauan infeksi nosokomial, dan
pembuatan sistem pengawasan yang terfokus dan efektif terhadap
faktor risiko dan efeknya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Nosokomial
1. Pengertian Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial adalah adanya suatu organisme pada
jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal
maupun sistemik yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di
rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu
dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial.
Suatu infeksi pada pasien dapat dinyatakan sebagai infeksi
nosokomial bila memenuhi beberapa kriteria :
1) Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak
didapatkan tanda klinis infeksi tersebut.
2) Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak
sedang dalam masa inkubasi infeksi tersebut.
3) Tanda klinis infeksi tersebut baru timbul
sekurangkurangnya 48 jam sejak mulai perawatan.
4) Infeksi tersebut bukan merupakan sisa infeksi sebelumnya
(Nguyen QV, 2009)
2. Epidemiologi Infeksi Nosokomial
5
oleh multiple pathogen. Dari 84% infeksi yang mana pathogen telah
terinfeksi, 86% disebabkan oleh bakteri aerobic, 2% bakteri anaerobic,
dan 8% fungi. Virus, protozoa, dan parasite lainnya terhitung 5%.
Escheria coli, Pseudomonas aeruginosa, enterococci, dan
Staphyloccocus yang teridentifikasi pathogen. Data dari rumah sakit
individual didapatkan 50% infeksi pada pasien yang mati ketika di
rumah sakit. 42 rumah sakit dilaporkan dari total 22.432 infeksi,
diantara 1.253 yang mati, ditemukan 1.811 yang terinfeksi. Kira-kira
1% dari semua Infeksi Nosokomial menyebabkan kematian dan 3%
terinfeksi yang memungkinkan juga kematian tersebut. Pasien yang
mati ketika di rumah sakit, 9% dilaporkan meninggal dunia, 38%
memungkinkan mati, dan 37% tidak tidak terkait, 15% akibat infeksi
lain.
Insiden nosokomial di berbagai negara cukup tinggi. Di Maroko,
studi yang dilakukan di Rumah Sakit Mohamed VI. 91 anak/bayi baru
lahir terdeteksi terinfeksi nosokomial dengan nilai insiden 13% atau
21.2 per 1000 pasien per hari. Tipe tipe infeksi yang terjadi antara lain
infeksi darah (89%), pneumonia (6.6%), meningitis (3.3%) dan infeksi
saluran kemih (1.1%). (Maoulainine et al., 2014). Di Itali, dari total
34472 pasien, 12.6% diantaranya terinfeksi nosokomial dengan 27.2%
meninggal dunia. (Malacarne et al., 2010)
6
c. Pemakaian obat imunosupresif dan antimikroba.
d. Transfusi darah berulang.
Penularan oleh patogen di rumah sakit enurut Willliam WW
(2009) dapat terjadi melalui beberapa cara :
7
4. Penyebab Infeksi Nosokomial
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia
dirawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam
mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena
banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada
karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika,
tingkat virulensi, dan banyaknya materi infeksius (Ducel, G, 2002).
Enterobacteriaceae >40 %
S. aureus 11 %
Enterococcus 10 %
P. aeruginosa 9%
Sumber:
8
Tabel 2.2. Mikroorganisme penyebab infeksi nosocomial
Mikroorganisme Persentase
S. aureus, Staphylococci 34 %
koagulase negatif,
Enterococci
E. coli, P. aeruginosa, 32 %
Enterobacter spp., & K.
pneumonia
C. difficile 17 %
Fungi (kebanyakan C. 10 %
Albicans)
Bakteri Gram negatif lain 7 %
(Acinetobacter,
Citrobacter,Haemophilus)
Sumber: Tortora et al., 2001
9
operatif vagina, oleh karena itu pencegahan infeksi nosokomial
pada saluran kemih merupakan suatu keharusan. Sebagai
penyebab adalah bakteri gram negatif terutama Psudomonas sp.
dan kelompok Enterobacter, manifestasi klinis infeksi ini adalah
nyeri suprasimfisis, nyeri pinggang, disuria, serta urin yang keruh
atau piuria.
c. Febris Puerperalis
Febris puerperalis atau demam nifas merupakan infeksi yang
muncul pascapersalinan pervaginam. Tidak semua persalinan
berjalan spontan. Diperkirakan 7-8% akan mengalami kesulitan
atau distoria (patologis). Untuk menyelesaikan persalinan distosia
ini diperlukan adanya tindakan invasif yang sering membutuhkan
instrumen medis. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya trauma
jalan lahir serta trauma pada janin. Trauma jalan lahir yang terjadi
berupa robekan, laserasi, serta pendarahan yang dapat
menimbulkan infeksi. Trauma juga terjadi karena pengunaan
instrumen medis untuk mengatasi persalinan. Terjadinya infeksi
karena mikroba terutama berasal dari flora normal vagina dan kulit
di sekitar perineum, serta instrument medis dan operator. Beberapa
penelitian menyebutkan bakteri penyebab infeksi yaitu
Stapylococcus Haemolyticus, Streptococcus Aureus, Escherichia
Coli. (Tietjen, 2004)
d. Infeksi Saluran Cerna
Seorang pasien yang sedang dirawat dapat digolongakn
terjangkit infeksi saluran cerna apabila ditemukan gejala-gejala,
adanya nyeri perut secara mendadak kadang-kadang disertai nyeri
kepala, nausea dan muntah-muntah yang diikuti diare, dapat
disertai/tanpa demam. keadaan dengan sindrom gastroenteritis
manifestasi klinis ini dapat muncul setelah beberapa saat penderita
mengkonsumsi makanan/minuman yang disajikan.
10
e. Infeksi Saluran Napas Bawah
Saluran napas bawah adalah organ vital untuk ventilasi,
namun demikian tidak jarang jaringan lunak pada saluran napas ini
harus diintervensi dengan peralatan medis untuk berbagai indikasi,
baik sebagai upaya menegakkan diagnosis, atau bagian dari terapi.
Contohnya tindakan anestesi umum dengan menggunakan pipa
endotrakeal, pipa orofaringeal, atau pipa nasofaringeal, tindakan
laringoskopi atau bronkoskopi, tindakan invasif yang lebih jauh
seperti trakeostomi, pemasangan ventilator. Semua tindakan medis
invasif pada contoh kasus-kasus tersebut tentunya bukan tanpa
resiko bagi penderitanya. Resiko paling besarnya adalah
menyebarnya mikroba patogen ke organ yang disekitarnya, yaitu
paru yang dapat menimbulkan peradangan parenkim paru
(Darmaji, 2008)
f. Bakteremia dan septisemia
Bakteremia dan septicemia adalah infeksi siskemik yang
terjadi akibat penyebaran bakteri atau produknya dari suatu focus
infeksi kedalam peredaran darah. Menurut Tietjen, dkk (2004)
Septisemia merupakan keadaan yang gawat, oleh karena itu harus
ditangani secara cepat dan tepat untuk menghindari terjadinya
akibat yang fatal. Bila terlambat, ada kecenderungan mengarah ke
keadaan syok dengan angka kematian yang tinggi (50-90%).
Sebagai pemicu timbulnya bakteremia dan septicemia karena
adanya tindakan medis invasif misalnya pemasangan kateter
intravaskuler untuk berbagai keperluan seperti pemberian obat,
nutrisi parental, hemodialisis, dan sebagainya. (Tietjen, 2004)
Manifestasi klinisnya berupa reaksi inflamasi sistemik, yaitu
demam yang tinggi, serta nadi dan frekuensi pernapasan
meningkat. Demam yang ada akan bertahan selama minimal 24
jam dengan atau tanpa pemberian antipiretik. Pada anak, secara
umum tampak letargi, tidak mau makan/minum, muntah, atau
11
diare. Pada daerah kateter vena yang terpasang, kulit tampak
merah, edema disertai nyeri, dan kadang-kadang ditemukan
eksudat. (Tietjen, 2004)
6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Infeksi Nosokomial
Secara umum factor yang mempengaruhi terjadinya nosokomial
terdiri atas 2 bagian besar, yaitu : (Roeshadi D, 1991)
1. Faktor endogen (umur, jensi kelamin, penyakit penyerta, daya
tahan tubuh dan kondisi-kondisi lokal)
2. Faktor eksogen (lama penderita dirawat, kelompok yang merawat,
alat medis, serta lingkungan).
Berikit adalah beberapa factor resiko yang menyebabkan infeksi
nosokomial, yaitu:
1. Infeksi secara langsung atau secara tidak langsung
Infeksi dapat terjadi karena kontak secara langsung atau
tidak langsung. Penularan infeksi ini dapat tertular melalui
tangan, kulit dan baju, yang disebabkan oleh golongan
Staphylococcus aureus. Cairan yang diberikan secara intravena
dan jarum suntik, peralatan serta instrumen kedokteran dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Makanan yang tidak steril,
tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang
menyebabkan terjadinya cross infection (Babb, JR dkk 1995,
Ducel, G, 2002).
2. Resistensi Antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika
penicillin antara tahun 1950-1970, sebagian besar penyakit
yang serius dan fatal dapat diterapi dan disembuhkan.
Keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan
penyalahgunaan antibiotik. Sehingga banyak mikroorganisme
yang kini menjadi lebih resisten. Peningkatan resistensi bakteri
ini dapat meningkatkan angka mortalitas terutama pada pasien
yang immunocompromised (Ducel, G, 2002). Penggunaan
12
antibiotika yang terus-menerus ini meningkatkan multiplikasi
serta penyebaran strain yang resisten. Penyebab utamanya
adalah penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak
terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan
pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat serta
kesalahan diagnosa(Ducel, G, 2002). Infeksi nosokomial sangat
mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit
dan menjadi sangat penting karena dapat menyebabkan hal hal
di bawah ini
a. Meningkatnya jumlah penderita yang dirawat
b. Seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit,
pengobatan atau umur
c. Mikroorganisme yang baru (mutasi) iv) Meningkatnya
resistensi bakteri terhadap antibiotika (Ducel, G, 2002)
3. Faktor alat
Suatu penelitian klinis menunjukkan infeksi nosokomial
terutama disebabkan oleh infeksi dari kateter urin, infeksi jarum
infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka
operasi dan septikemia. Penggunaan peralatan non steril juga
dapat menyebabkan infeksi nosocomial (Ducel, G, 2002).
7. Pencegahan
Pencegahan infeksi nosokomial menurut Ducel (2003)
memerlukan rencana yang terintegrasi dan terprogram, terdiri atas:
a. Membatasi penularan organisme dari atau antar pasien dengan
cara mencuci tangan, menggunakan sarung tangan, tindakan
aseptik, isolasi pasien, sterilisasi dan desinfeksi
b. Mengontrol risiko penularan dari lingkungan
c. Melindungi pasien dengan menggunakan antibiotik profilaksis
yang tepat, nutrisi cukup, dan vaksinasi
13
d. Mengurangi risiko infeksi endogen dengan cara mengurangi
prosedur invasif dan menggunakan antimikroba secara optimal
e. Pengamatan infeksi, identifikasi dan pengendalian wabah
f. Pencegahan infeksi pada tenaga medis
g. Edukasi terhadap tenaga medis.
B. Rumah Sakit
14
0,0% hingga 12,06%, dengan rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk rerata lama
perawatan berkisar antara 4,3 – 11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7
hari. Setelah diteliti lebih lanjut maka didapatkan bahwa angka kuman lantai
ruang perawatan mempunyai hubungan bermakna dengan infeksi nosocomial.
C. Mikrobiologi
Berdasarkan karakteristik struktur dan fungsinya, semua sel hidup
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, prokariot dan eukariot. Secara umum,
prokariot lebih sederhana daripada eukariot. DNA dari prokariot biasanya
tersusun satu, kromosom melingkar, dan tidak dikelilingi membran. DNA
eukariot lebih multiple dan nukleusnya dikelilingi membran.
Hewan dan tumbuhan merupakan eukariot. Bakteri dan arkhaea
termasuk prokariot. Mikroba lain seperti fungi, protozoa, dan alga termasuk
eukariot (Tortora, 2010).
1. Prokariot
Bakteri terdiri dari bermacam ukuran dan beberapa bentuk. Bakteri
memiliki diameter rata-rata antara 0,2 ̶ 2,0 flm dan panjang antara 2 ̶ 8 flm.
Bakteri memiliki beberapa bentuk dasar: coccus, bacillus, dan spiral
(Tortora, 2010).
15
Gambar 2.4 Klasifikasi bakteri
Sumber: Tortora, 2010
16
ii. Basilus adalah bakteri berbentuk batang dengan panjang bervariasi
dari 2 ̶ 10 kali diameter kuman tersebut, terbagi menjadi:
Kokobasilus, batang yang sangat pendek menyerupai kokus.
Fusiformis, dengan kedua ujung batang meruncing.
Streptobasilus, sel-sel bergandengan membentuk suatu
filamen.
iii. Spiral:
Vibrio, berbentuk batang bengkok.
Spirilum, berbentuk spiral kasar dan kaku, tidak fleksibel dan
dapat bergerak dengan flagel.
Spirokhaeta, berbentuk spiral halus, elastik dan fleksibel,
dapat bergerak dengan aksial filamen. Contoh: Borrelia,
berbentuk gelombang. Treponema, berbentuk spiral halus dan
teratur. Leptospira, berbentuk spiral dengan kaitan pada satu
atau kedua ujungnya (Syarurachman, 1994).
3. Bakteri Gram Positif Dan Bakteri Gram Negatif
Perbedaan relatif sifat bakteri gram positif dan bakteri gram
negatif dapat dilihat sebagai berikut:
Dinding sel
Peptidoglika Lebih tebal Lebih tipis
n 1 ̶ 4% 11 ̶ 22%
Kadar lipid
Resistensi terhadap Tidak larut Larut
alkali (1% KOH)
Kepekaan terhadap Lebih peka Kurang peka
jodium
Toksin yang Eksotoksin Endotoksin
dibentuk
17
Resistensi terhadap Lebih tahan Lebih peka
tellurit
Sifat tahan asam Ada yang tahan asam Tidak ada yang tahan
asam
18
(13,33%); Serratia rubidaens 3 sampel (10,00%); Enterobacter
aerogenes, Enterobacter cloacae, Coccus Gram negatif
didapatkan 2 sampel masing-masing (6,67%); dan Klebsiella
pneumoniae, Candida sp., Pseudomonas sp., Streprococcus sp.
Masing-masing 1 sampel (3,33%).
b. Pola Bakteri
Pola bakteri yang merupakan ancaman infeksi tentu saja
bergantung pada keadaan lingkungan (Reksodiputro, 1993). Poa
kuman yang menyebar di rumah sakit itu bisa membuat pasien
maupun masyarakat terinfeksi
Penyebab infeksi adaah bakteri, virus, ataupun jamus.
Bakteri yang paling banyak ditemukan di rumah sakit adalah
Kleibsiella sp., Pseudomonas sp., Staphylococcus sp., E.coli dan
Streptococcus sp. Bakteri nosokomial pada umumnya merupakan
gram negatif kategori ganas yang menulari penghuni rumah sakit
(Anonim, 2004)
D. Pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan disesuaikan dengan
bahanyang akan diuji, untuk lantai, dan dinding biasanya digunakan teknik
swab. Alat umum untuk teknik swab adalah menggunakan cotton-tiped swab
stick. Keunggulan teknik swab dengan pelarut adalah (1) mengurangi resiko
tumbuhnya koloni yang bertindihan karena sel-sel dihomogenisasikan dahulu
ke dalam pelarut. (2) cocok untuk jenis sampel yang mempunyai permukaan
tidak rata atau datar seperti pipa, tutup botol, (3) lebih akurat untuk tujuan
menghitung bakteri (pradhika, 2010).
Bila tujuan analisa berdasarkan alasan kualitatif maka hasil swab
dapat langsung diulaskan ke permukaan agar namun jika untuk alasan
kuantitatif harus menggunakan pelarut atau extraction fluid. Pelarut swab
dapat berupa air deionisasi, 0,25% pepton water ditambah 0,1% Tween 80
atau phosphate-buffered saline. Swab sebaiknya menggunakan kapas yang
basah untuk permukaan sampel yang kering (pradhika, 2010).
19
Satuan akhir untuk teknik swab dengan tujuan enumerasi dapat
ditentukan dalam CFU/satuan luas (CFU/100cm2) atau CFU/sampel benda
(CFU/tutup botol). Untuk kepentingan menghitung mikroorganisme swab
umumnya dikerjakan pada transek yang berukuran 5x5cm atau 10x10cm.
Luasan ini cukup efisien untuk mentransfer mikroorganisme yang berada di
permukaannya ke satu kepala swab yang kecil. Semakin besar luas permukaan
yang diswab maka semakin kecil kemungkinan bakteri yang akan tercover
oleh kepala swab (pradhika, 2010).
Untuk pengambilan sampel dengan area permukaan yang luas bisa
digunakan dengan sterile sponge. Hal yang perlu diperhatikan jika
menghadapi masalah tersebut adalah perkiraan jumlah mikroorganisme yang
berada pada permukaan sampel (tingkat kekotoran) dan luas area yang harus
dikerjakan. Sebagai catatan dalam teknik ini adalah sel yang terekstraksi dari
kepala swab dapat memasuki alur pengenceran bertingkat jika load mikroba
terlalu banyak dengan memperhitungkan volume pelarutnya yang nanti
hasilnya harus dikonversikan per satuan luas bukan per satuan volume (Hall,
2004)
Selain itu, satu botol pelarut tidak dapat dibagi menjadi dua untuk
tujuan analisa yang berbeda Misalnya satu kali pengambilan swab dengan
pelarut 40 ml pada filling tube tidak dapat untuk menganalisa APC sebanyak
20 ml dan coliform 20 ml sisanya. Perlakuan ini sama saja dengan membagi
dua sisi kepala swab Untuk mengefisiensikan penempelan sel bakteri pada
kepala swab saat ini telah dikembangkan kepala swab dari serat nilon (nylon
flocked swab) yang tersedia secara komersial. Serat ini lebih baik dipakai
untuk teknik swab dari pada serat cotton karena seringkali masih terdapat
bakteri yang terperangkap pada serat cotton setelah dilarutkan (Hall, 2004)
Swab yang benar dan menghasilkan data yang akurat dilakukan dengan cara
(Hall, 2004) :
1. Siapkan dua batang swab (swab stick) steril kering dan botol yang
berisi larutan pelarut dengan 3-4 glass beads (diameter 3mm).
20
tentukan area swab dengan menandainya dengan semacam transek
logam steril (sterile metal guide) sebagai template swab, misalnya
memakai aluminium.
2. Basahi batang swab pertama dengan pelarut lalu ulaskan ke
permukaan sampel dengan cara dipilin dan sedikit ditekan. Ulas
seluruh permukaan, untuk memudahkannya ulaskan melintang dan
membujur zig-zag sehingga semua permukaan akan tercakupi. Jika
kontur tidak rata maka perlu diperhatikan bagian yang cekung atau
berlekuk.
3. Masukkan batang swab pertama ke dalam botol lalu patahkan ujung
batang swab. Jangan sampai bagian yang terpatahkan terpegang
tangan.
4. Ulas area yang sama menggunakan batang swab kedua yang kering
dengan cara yang sama seperti diatas. Hal ini ditujukan untuk
mengulas mikroorganisme yang tidak terambil oleh swab pertama.
Patahkan dan masukkan swab kedua seperti cara diatas.
5. Kocok kedua batang swab tersebut kurang lebih 25 kali. Glass beads
akan membantu melepaskan sel yang menempel pada kapas.
21
C. Kerangka Teori
perawatan
Faktor Transmisi/
Resiko Perantara
Infeksi Nosokomial
Mikroorganisme
Faktor Infeksi Jenis Infeksi Patogenesis
penyebab
22
D. Kerangka Konsep
- Pasien
- Petugas
- Keluarga
- Lingkungan
Kontaminasi Infeksi
Nosokomial
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
2. Jadwal Penelitian
Waktu penelitian yang dimulai dari penyusunan proposal
penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian adalah selama 6 bulan
dengan rincian sebagai berikut :
Alokasi Waktu
Matriks Kegiatan
Jan Feb Mar Apr
Pengajuan Judul
Bimbingan proposal
Seminar Proposal
Persiapan penelitian
24
Pengumpulan data
Analisis data
Konsultasi laporan
25
10 sampel pada tempat tidur dengan total 30 sampel. Setiap sampel yang di
ambil akan dilakukan pembiakan, pewarnaan gram dan identifikasi biokimia di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesahatan
Universitas Bengkulu.
E. Cara Kerja
1. Sterilisasi Alat dan Bahan
Sterilisasi adalah proses pembunuhan semua organisme dalam suatu
alat/bahan. Sterilisasi dapat dilakukan dengan cara mencuci alat dan
bahan yang akan digunakan sampai bersih. Setelah kering alat dan
bahan yang akan disterilkan dibungkus menggunakan kertas dan
dibungkus oleh plastik tebal yang tahan panas, hal ini bertujuan untuk
mencegah alat dan bahan yang akan disterilkan menggunakan autoklaf
tidak terkena air (Muhidin, 2007).
Cara menggunakan Autoklaf Otomatis adalah (Muhidin, 2007):
a Mengisi autoklaf dengan aquades sampai batas yang ditentukan.
Memeriksa juga tempat buangan air diluar autoklaf, jangan sampai
isinya berlebihan atau kurang
b Selanjutnya masukkan alat dan bahan yang telah dibungkus
kedalam autoklaf
c Menutup autoklaf rapat-rapat, memeriksa tombol penutup agar
benar pada posisi batas akhir ‘close’
d Menyalakan autoklaf, mengatur suhu, tekanan dan waktu sterilisasi
yang diinginkan. Sterilisasi yang umum adalah 1000C. tekanan 15
lbs selama 15 menit
e Menekan tombol star, membiarkan hingga tanda bunyi kedua yang
menunjukan bahwa kondisi sterilisasi telah tercapai dan tekanan
uap dalam autoklaf telah kembali nol
f Membuka autoklaf dan mengambil isinya yang telah steril dengan
hati-hati.
26
2. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada dinding, lantai dan tempat tidur
ruang rawat anak Edelweis RSUD M Yunus Bengkulu dengan cara
sebagai berikut:
a. tentukan letak 5 titik yang akan digunakan sebagi tempat
pengambilan sampel (penentuan titik dilakukan sesuai dengan
tempat)
b. gunakan handscoon dan masker
c. nyalakan lampu spiritus di sekitar tempat pengambilan sampel
d. persiapkan lidi kapas steril (buka plastik lidi kapas dengan hati-hati
dan teteskan sedikit larutan ringer laktat steril pada kapas)
e. lakukan swab pada titik pengambilan sampel dengan cara swab satu
arah satu kali, balikkan sisi lidi kapas dan lakukan swab lagi dengan
cara yang sama
f. masukkan kembali lidi kapas kedalam plastik pembawanya dan
tutup kembali dengan rapat
g. simpan lidi kapas pada tempat pembawa lidi kapas yang telah
disediakan (susun sesuai dengan label yang telah disediakan),
lakukan sekali lagi pengambilan sampel pada titik yang sama
menggunakan lidi kapas baru
h. lakukan prosedur yang sama untuk empat sampel lainnya
i. prosedur ini dilakukan untuk pengambian sampel di dinding, lantai
dan tempat tidur
3. Pembuatan Media Agar NA
Komposisi : Peptone dari daging 5 g/L, Ekstrak daging 3 g/L, Agar-agar
12 g/L
Cara pembuatan:
a. Melarutkan 20 gr Nutrient agar dalam 1 L aquades
b. Mendidihkan menggunakan hot plate
c. Menghomogenkan menggunakan magnetic stirrer
27
d. Mensterilkan menggunakan autoclave pada suhu 1210C selama 15
menit
4. Pembiakan sampel
a. Sampel pada lidi kapas di buka kembali dan dimasukkan kedalam
tabung reaksi yang telah berisi larutan garam fisiologis (NaCl)
sebanyak 9 ml, dikocok memutar menggunakan vortek.
b. Buat larutan agar NA dengan cara: 1)melarutkan 20 g Nutrient agar
dalam 1 L aquades; 2) mendidihkan menggunakan hotplate;
3)menghomogenkan menggunakan magnetic stirrer; 4)
Mensterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15
menit
c. Campurkan sampel sebanyak 1 ml dengan agar NA sebanyak 15-20
ml ke dalam tabung reaksi, aduk hingga tercampur semua
d. Siapkan cawan petri yang telah disterilkan sebelumnya dan diberi
label nama sampel, tanggal pengujian, dan volume (tingkat
pengenceran)
e. Tuangkan sampel yang telah tercampur oleh agar NA ke dalam
cawan petri yang telah steril
f. Diamkan cawan petri yang telah terisi pada suhu ruangan sehingga
medium membeku kemudian diinkubasikan ke dalam incubator pada
suhu 35°C selama 1x24 jam dengan posisi cawan petri terbalik.
g. Amati dan catat pertumbuhan coloni serta hitung angka bakteri.
h. Lakukan hal yang sama pada satu media kontrol tanpa
mencampurkan agar NA dengan sampel
5. Cara penghitungan angka bakteri melalui jumlah koloni
Perhitungan dilakukan langsung dengan melihat jumlah koloni
yang muncul pada cawan petri. Untuk menghitung jumlah koloni yang
terdapat di satu cawan petri dilakukan sebagai berikut (Black, 2012).
Pada penelitian ini faktor delusi adalah 10-1
6. Pewarnaan gram
28
a. Membersihkan gelas alas denagn kertas saring dan melewatkannya
di api untuk menghilangkan kotoran dan lemak
b. Membuat lingkaran kira-kira berdiameter 2-3 cm di bagian bawah
gelas alas menggunakan pensil gelas dan beri label
c. Membuat sediaan pada gelas alas, yaitu suspensi bakteri disebarkan
di atas gelas sehingga merupakan lapisan tipis, keringkan, lalu
sediaan ini direkatkan di aats nyala api dua atau tiga kali
d. menuangkan crystal violet dan dibiarkan selama 1 menit
e. mencuci dengan air mengalir secara perlahan
f. menuang cairan Gram’s iodine (lugol), dibiarkan selama 1 menit
g. mencuci dengan air mengalir secara perlahan
h. mencelupkan ke dalam etil alkohol 95% beberpaa detik sehingga
tidak ada lagi zat ungu yang mengalir dari sediaan
i. mencuci dengan air
j. mewarnai dengan safranin selama 45 detik, mencuci dengan air dan
keringkan di udara
k. meneteskan satu tetes minyak emersi lalu lihat di bawah mikroskop
dengan perbesaran 10x100
7. Identifikasi bakteri metode biokimia
F. Definisi Operasional
1. Angka bakteri Adalah jumlah kuman yang didapat pada apusan dinding,
lantai dan tempat tidur pasien di hitung berdasarkan jumlah koloni
dengan satuan CFU/cm2
2. Pola kuman adalah jenis kuman yang diperoleh pada sampel yang di
ambil dari apusan dinding, lantai dan tempat tidur pasien setelah di
lakukan identifikasi
3. Spesies bakteri adalah jenis dari bakteri yang terdapat di cawan petri
yang mewakili bakteri yang ada di ruang rawat anak Edelweis RSUD Dr.
M Yunus Bengkulu
4. bakteri gram postif adalah bakteri yang pada pengecetan Gram tahan
29
terhadap alkohol sehingga tetap mengikat cat pertama dan tidak mengikat
cat kontras akibatnya bakteri akan berwarna ungu. Contoh bakteri gram
positif yang berbentuk kokus misalnya Streptococcus, Staphylococcus,
Pneumococcus.
5. Bakteri gram negatif adalah bakteri yang pada pengecetan Gram tidak
tahan alkohol sehingga warna cat yang pertama dilunturkan dan bakteri
akan mengikat warna kontras akibatnya tampak merah. Contoh bakteri
gram negatif yang berbentuk batang adalah E. Coli, Shigella, Salmnella,
Klebsiella, Hemophillus.
G. Analisis Data
Data akan dianalisis dengan menggunakan analisis univariat. Teknik
analisis univariat bertujuan menggambarkan deskriptif karakteristik angka
dan pola bakteri pada dinding, lantai dan peralatan medis di ruang ICU ,
dilakukan dengan menyajikan distribusi frekuensi dari sampel yang diteliti
dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk mengetahui proporsi
masing-masing sampel yang akan diteliti. Pewarnaan gram dan uji biokimia
dari spesimen akan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk
gambar dan tabel
30
H. Prosedur Penelitian
Kultur agar NA
Pengecetan gram
Uji katalase
Analisis jenis
bakteri
31