Seperti yang tercatat dalam sejarah, perpindahan bangsa-bangsa secara besar-besaran dari Asia tenggara terjadi pada kurun waktu yang panjang (antara 4000 – 2000 sebelum Masehi). Kejadian ini antara lain berasal-muasal dari bertambah pesat kerajaan–kerajaan Cina. Karena kepesatan perkembangan kebudayaannya mereka lalu meluaskan pengaruh kekuasaannya ke arah selatan. Kawasan yang langsung terkena dampaknya adalah wilayah Tibet (yang merupakan tanah leluhur bangsa Burma) dan daerah Yunan (yang semula dihuni orang Thai dan Vietnam). Akibat dari mengalirnya kedatangan bangsa Cina tersebut, maka bangsa-bangsa Burma, Thai dan Vietnam terpaksa menyingkir lebih ke selatan1. Hingga akhirnya, perpindahan mereka lalu melahirkan yang menjadi awal cikal bakal berdirinya suatu bangsa Proto Melayu yang pada saat itu bermukim di wilayah Burma, Siam dan Indochina. Fenomena itu menyebabkan terjadinya kelompok bangsa-bangsa tersebut menjadi tercerai-berai. Hingga sebagian dari mereka melakukan perpindahan ke daerah pantai. Namun tidak sedikit diantara mereka yang terus ke selatan, mengarungi laut ataupun melewati Semenanjung kemudian menyeberangi selat hingga mencapai pulau-pulau di Nusantara ini. Proses perpindahan melintasi lautan tersebut tidak berlangsung sekaligus melaikan secara berangsur-angsur. Kebanyakan dari mereka berangkat secara bergelombang kelompok demi kelompok dalam kurun waktu sekitar kurang lebih 2000 tahun. Karena tidak bersamaan meninggalkan tanah asalnya itu maka kelompok-kelompok tersebut tiba di tempat yang berlainan atau dipulau yang berbeda di Nusantara. Walau pada mulanya mereka serumpun bangsa dan bahasanya yang sama, tapi lama-kelamaan pemisahan Geografis menyebabkan terjadinya perbedaan yang makin membesar. Pembauran dengan kelompok-kelompok berbeda (bangsa Deotero Melayu) yang datang
a/#ixzz55Y9S5DvZ 1 IAIN Madura Wajah-wajah Masjid di Madura
belakangan ternyata mempertajam perbedaan karena pemisahan itu.
Sesudah beberapa abad berlaku maka terjadilah suku-suku bangsa yang pluralis seperti yang terlihat sekarang di kepulauan Indonesia ini. Namun demikian masih dapat dilihat dari budaya dan adat istiadatnya bisa disaksikan bahwa masih adanya persamaan mendasar di antara mereka. Misalnya kesamaan dalam cara menamakan benda-benda umum (padi, pandan, ubi, udang, hujan, batu) di sekelilingnya, atau dalam model penyebutan nama seseorang berdasarkan nama anak sulungnya. Kesamaan substansi pun dapat di jumpai pada penggunaan kata bantu (ekor, batang, lembar, buah) dalam menghitung sesuatu. Kemudian mereka memiliki kesamaan dalam kesukaannya dalam mengkonsumsi ikan kering yang diasinkan dan dibusukkan (terasi, petis) atau makanan yang ditapaikan. Semuanya juga ternyata sama-sama memiliki kesamaan senang mengadu ayam. Begitu pula warna kulit, bentuk muka, perawakan badan serta sifat fisik serta tubuh lainnya memang menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara itu berasal dari rumpun bangsa yang sama. Salah satu kelompok bangsa yang pindah mengarungi laut itu terdampar ke suatu pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau Jawa. Para pendatang ini lalu menetap di sana untuk kemudian menjadi nenek moyang bangsa Madura. jadi nenek moyang kita atau leluhur orang Madura. Seperti bangsa Piah, Campa dan Jai di Kocin Cina mereka mengacu pada apai dengan mana apoy, menyebut istrinya dengan sebutan bine dan memakai kata ella untuk menyatakan sudah2.
B. Proses Islamisasi di Madura
Dalam sejarah Pendidikan Islam bahwa agama Islam masuk dan perkembangnya di Madura tidak bisa dilepaskan dari peranan penyebaran agama Islam di Jawa Timur, yakni di Gresik dan Surabaya. Kota-kota tersebut dikenal sebagai kota pantai yang ramai kegiatan perdagangannya. Para pedagang dari kota-kota pantai itulah yang menyebarkan Islam sampai ke kota-kota lainnya di sepanjang pantai utara Jawa Timur seperti Tuban, Sedayu, Pasuruan, Besuki, Probolinggo
a/#ixzz55Y9S5DvZ 2 IAIN Madura Wajah-wajah Masjid di Madura
bahkan menyeberang ke Madura yaitu Sampang, Pamekasan dan
Sumenep. Persebaran agama Islam di Madura3, selain melalui jalur perdagangan, juga tidak terlepas dari peranan para wali yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri yang mengutus murid-muridnya ke Madura. Islam pertama-tama disebarkan di pantai selatan kota Sumenep pada sekitar abad ke-15M. Keyakinan akan kepercayaan baru tersebut mulanya disebarkan di daerah pesisir pantai yang merupakan tempat perdagangan. Sumenep merupakan kawasan perdagangan yang paling ramai di Madura karena Kota Sumenep merupakan pusat pemerintahan kerajaan di Madura. Oleh karena itu, di Sumenep Islam tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan daerah/kota lain di Madura bagian barat dan Pamekasan.