Hukum Adat Pertanahan Dalam UUPA 1960
Hukum Adat Pertanahan Dalam UUPA 1960
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia pada umumnya.
Hal tersebut karena segala aktifitas manusia dan segala aspek dalam kehidupan manusia
berhubungan dengan tanah, mulai dari bertempat tinggal hingga menjadi faktor produksi
untuk tetap dapat bertahan hidup mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papannya hingga
berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota
masyarakatnya. Dan seiring dengan perkembangan pola kehidupan, tanah memiliki multiple
value karena tidak hanya dapat ditinjau dari aspek sosial, karena juga meliputi berbagai aspek
kehidupan yang lain hingga menjadi sebuah komoditas yang bernilai ekonomi. Atas
kekompleksitasan kebutuhan akan tanah tersebut, tanah dapat menjadi objek timbulnya
sengketa/konflik antar individu ataupun kelompok dalam masyarakat. Maka dibutuhkan
sebuah pagu peraturan atau hukum untuk mengatur dan mengelola permasalahan-
permasalahan terkait bidang pertahanan di suatu wilayah.
Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara tidak terbentuk langsung begitu saja secara
instan. Sebagai negara kesatuan yang menjunjung tinggi nilai kebhinekaan dan nilai-nilai
pluralitas dalam berbagai aspek, Indonesia tidak dapat terlepas dari serangkaian proses sejarah
dan budaya yang membentuknya. Begitu juga halnya dalam aspek pertanahan. Indonesia juga
merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, yang mana mengakui
keberadaan hukum barat (peninggalan masa kolonial), hukum agama dan hukum adat, hingga
dapat membentuk sebuah peraturan perundangan tertulis yang dibuat untuk mengakomodasi
berbagai perbedaan tersebut untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat,
yang secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan:
“Bumi, air, dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
Sebagai tindak lanjut dari amanah konstitusi tersebut, maka dibentuk sebuah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Dasar Agraria yang kemudian dikenal
1
sebagai UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang memiliki Tujuan Pokok, sebagai
berikut:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang merupakan alat
untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama
rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyat seluruhnya.
Oleh karena itu secara umum dapat dikatakan bahwa UUPA menjadi sebuah hukum/peraturan
tertulis yang secara yuridis formal mengatur dan memfungsikan hukum agraria nasional untuk
mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan dan keadialan dalam bidang pertanahan dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Tetapi secara deskriptif, dalam praktiknya sebagian masyarakat masih menggunakan
hukum adat yang merupakan sebuah hukum yang tidak tertulis untuk mengelola ketertiban di
lingkunganya termasuk mengatur hal-hal terkait pengelolaan tanah, karena masih tingginya
keyakinan dan pemahaman yang masih dihubungkan dengan nilai magis-religius, terutama
pada masyarakat-masyarakat daerah yang memiliki nilai budaya dan adat yang kuat. Misalnya
masalah mengenai hak-hak perorangan atau individu atas hak kepemilikikan/pakai/hasil tanah
dalam persekutuan masyarakat hukum adat di suatu daerah.
Untuk itu dalam di dalam pembahasan makalah ini, penulis akan mencoba membahas
mengenai hukum adat di Indonesia serta bagaimana eksistensi dan kedudukannya dalam
kehidupan masyarakat serta dalam tatanan sistem Hukum Tanah Nasional (HTN) melalui
UUPA.
2
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Adat.
2. Membahas bagaimana eksistensi Hukum Adat dalam mengatur permasalahan terkait
pertanahan dalam masyarakat.
3. Menjelaskan bagaimana kedudukan Hukum Adat di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA) sebagai tatanan Hukum Tanah Nasional.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
2.2 Konsepsi Hukum Adat Mengenai Pertanahan
Konsepsi hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi nilai-nilai komunalistik religious,
yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan dan berhubungan dengan nilai-
nilai magis/religius. Sifat komunalistik merujuk pada hak bersama para anggota masyarakat
hukum adat atas tanah, yang kemudian dalam kepustakaan hukum disebut sebagai Hak
Ulayat. Jadi di dalam hukum adat, permasalahan tanah tidak hanya terkait kepemilikannya,
tetapi juga nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang ada pada pemanfaatan/kepemilikan
tanah tersebut.
1
Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah.
Jakarta: Bina Aksara hal.87
5
tersebut, sehingga tanah sebagai tempat tinggal dan tanah sebagai pengandung
sumber-sumber tersebut
2. Kebudayaan; yang pada waktu itu tumbuh dan dikembangkan oleh para anggota
masyarakat itu sendiri
Kebudayaan dan pola pemenuhan atas kebutuhan hidup yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat menciptakan sebuah peraturan normatik mengenai hak-hak dan
kewajiban dalam hal pengelolaan dan pendayagunaan tanah yang bersifat tidak tertulis
yang kemudian dipahami dan diakui keberadaannya oleh masyarakat adat yang
membentuk suatu persekutuan hukum untuk.
2.2.2 Hak Ulayat dan Hak Milik atas Tanah dalam Hukum Adat
Hak suatu persekutuan hukum atas tanah-tanah di sekitar lingkungannya dikenal
dengan istilah Hak Ulayat. Ulayat artinya adalah wilayah, Hak Ulayat tersebut
merupakan hak suatu persekutuan hukum (dalam suatu desa/suku) dimana para warga
masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai
tanah/sebidang tanah yang ada di sekitar lingkungannya atau membatasi penguasaan
lain diluar persekutuan hukum yang diakui, dimana pelaksanaannya diatur oleh Ketua
Persekutuan Hukum yang biasanya adalah seorang kepala suku atau kepala desa di suatu
wilayah yang bersangkutan.
Van Vollenhoven2 (1925) menyatakan, “Hak ulayat mempunyai arti yang cukup
luas karena memberikan bermacam-macam hak kepada warga persekutuannya secara
terjamin dan terlindungi, yaitu:
1. Hak menggunakan tanah sebagai tempat tinggal (mendirikan bangunan rumah)
2. Melakukan bercocok tanam dan mengumpulkan hasil hutan,
3. Menggembalakan ternak pada tanah-tanah tertentu untuk berburu atau menangkap
ikan.
Secara hierarkis, tata-susunan hak-hak penguasaan3 atas tanah dalam hukum adat
adalah:
2
Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah.
Jakarta: Bina Aksara hal.89
3
Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan (hal. 183)
6
1. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi,
beraspek hukum keperdataan dan hukum publik
2. Hak Kepala Adat dan Parat Tetua Adat, yang bersumber pada Hak Ulayat dan
beraspek hukum publik semata,
3. Hak-hak atas Tanah, sebagi hak-hak individual yang secara langsung maupun tidak
langsung bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum keperdataan.
Jadi Hak Ulayat adalah hak kepemilikan tanah yang dimiliki oleh suatu
persekutuan adat (hak kepunyaan bersama) bukan secara individualistik seperti
pemahaman Hukum Barat. Namun dalam perkembangannya, Hak Ulayat dalam
budaya/hukum adat berkembang juga menjadi hak milik yang hingga kini masih
diterapkan dalam sebagian besar masyarakat yang juga bisa dipertanggungjawabkan
secara hukum, atas:
1. Adanya sangsi-sangsi,
2. Adanya aturan-aturan walaupun bersifat tidak tertulis tetapi sangat ditaati, dan diakui
sebagai sebuah aturan yang harus dipatuhi.
3. Dilindungi oleh sesuatu kekuatan yang mempunyai wewenang (power and otority)
yang dipegang oleh Kepala Persekutuan Adat (Kepala Suku/Ketua Adat) maupun
unsur nilai magis-religius yang diyakini oleh masyarakat/persekutuan hukum.
Adapun ketentuan yang secara umum harus dijalankan persekutuan hukum yang
memiliki hak milik atas tanah di wilayah hukum adat, yaitu4:
1. Tidak menimbulkan gangguan terhadap warga lainnya,
2. Apabila diperoleh sesuatu sumber yang mengandung bahan/unsur yang bermanfaat
bagi kehidupan, penggunaannya diserahkan pada kebijaksanaan Kepala Persekutuan
Hukum, dan
3. Apabila tanah tersebut ditelantarkan maka tanah tersebut akan kembali menjadi milik
persekutuan hukum yang dilindungi oleh Hak Ulayat dan Kepala Persekutuan
4
Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah.
Jakarta: Bina Aksara hal.92
7
Hukum akan mengatur pendayagunaannya atau dapat digunakan untuk kepentingan
bersama.
Dari ketentuan umum tentang hak milik tanah dalam hukum adat di atas, maka
jelas terdapat nilai-nilai sosialisme yang dilaksanakan mendasari kelangsungan hidup
bermasyarakat dalam hal pengelolaan dan pendayagunaan sumberdaya tanah.
Dalam sistem Hukum Adat tidak mengenal tidak dikenal lembaga yang
menjamin hak atas tanah seperti dalam pengertian modern. Kepala Suku/Ketua Adat
sebagai pemimpin dalam persekutuan hukum adat berfungsi pula sebagai pelaksana dan
mengawasi aktifitas para masyarakat (anggota persekutuan hukum adat) terkait
pengelolaan, pendayaguaan, hingga transaksi yang dilakukan terkait tanah sebagai objek
yang diatur dalam hukum adat.
5
Tanah Bengkok, (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_bengkok)
8
2. Tanah Kas Desa, tanah yang dikelola oleh pamong desa aktif untuk mendanai
pembangunan infrastruktur atau memenuhi kebutuhan desa.
3. Tanah Pengarem-arem, tanah yang menjadi hak pamong desa yang pensiun untuk digarap
sebagai jaminan hari tua. Apabila pamong desa tersebut meninggal, tanah ini dikembalikan
pengelolaannya terhadap pihak desa.
Namun tidak semua desa memiliki ketiga unsur pendayagunaan tanah seperti di atas,
bentuk lahan yang didayagunakan pun beragam dapat berupa sawah atau ladang, tergantung
dengan kondisi geografis daerah/desa.
9
peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini (UUPA) dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama.
c. Penjelasan Pasal 5, dinyatakan;
Penegasan bahwa Hukum Adat dijadikan dasar dari Hukum Agraria yang baru.
d. Penjelasan Pasal 16, dinyatakan, bahwa;
“Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas
yang diletakkan dalam Pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas
Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan atas
sistematik dari Hukum Adat.
e. Pasal 56, dinyatakan diantara lain;
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat 1
terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat…….sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini (UUPA)
f. Pasal 58, disebutkan tidak secara eksplisit sebagai Hukum Adat tetapi peraturan-preaturan
yang tidak tertulis, yang mencakup Hukum Adat.
Hukum Adat yang dimaksud dan dijadikan sumber dalam pembangunan Hukum Tanah
Nasional, termasuk untuk membentuk UUPA adalah hukum yang hidup dalam bentuk tidak
tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang berasaskan keseimbangan serta diliputi
oleh suasana keagamaan6. Sehingga dalam tatanan Hukum Tanah Nasional akan mengandung
nilai-nilai sosial dan kebersamaan sebagai sebuah negara yang diantaranya:
1. Hak Bangsa Indonesia, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek hukum
keperdataan dan hukum publik;
2. Hak Menguasai dari Negara yang bersumber pada Hak Bangsa, dan beraspek hukum publik
atas pemberian hak pengelolaan
3. Hak-hak Penguasaan Individual, yang kemudian mengatur hak kepemilikan tanah secara
individu.
6
Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah.
Jakarta: Bina Aksara hal.179
10
2.4.1 Hak Ulayat dalam UUPA
Hak Ulayat sebagaimana yang berlaku dalam tatanan Hukum Adat juga diakui di
dalam UUPA, tetapi disertai dengan 2 poin syarat yaitu terkait “eksistensi” dan
“pelaksanaanya” yang disebutkan di dalam Pasal 3 UUPA. Yang pada intinya
menyatakan bahwa Hak Ulayat diakui sepanjang pada kenyataannya masih ada di
daerah-daerah yang meyakini hal tersebut, jadi hak ulayat tidak diberlakukan dan
dibentuk kembali di daerah-daerah yang sudah tidak menganggap Hak Ulayat itu ada.
Di dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia, Prof. Boedi Harsono
menyatakan, “UUPA sengaja tidak membentuk sebuah peraturan/perundangan khusus
yang mengatur mengenai Hak Ulayat, pengurusan dan pengaturan terkait Hak Ulayat
diserahkan seluruhnya pada ketentuan Hukum Adat. Karena pengaturan terhadap ulayat
menurut beberapa ahli hanya akan berakibat menghambat perkembangan alamiah hak
ulayat itu sendiri, dan pengunifikasian peraturan terkait hak ulayat akan membuat celah
untuk terjadinya konflik di daerah.
2.5 Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Tanah Nasional Positif yang Tertulis
Di dalam UUPA dikatakan bahwa apabila tidak ada peraturan positif tertulis yang
mengatur suatu hal pada kondisi tertentu, maka yang berlaku adalah norma-norma Hukum
Adat yang dijadikan sebagai pelengkap. (Pasal 56, 58, dan secara rinci disebutkan dalam Pasal
5 UUPA)
“………sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-
peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini (UUPA) dan dengan peraturan
perundangan lainnya………”
Dari pernyataan dalam pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat
dapat berlaku, dengan ketentuan:
1. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
2. Tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia
3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUPA
4. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan lainnya.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum adat merupakan sebuah produk hukum positif yang tidak tertulis yang
dihasilkan dari pola/interaksi perkembangan dan pertumbuhan manusia dalam
melangsungkan kehidupannya yang kemudian membentuk sebuah persekutuan hukum di
suatu wilayah/daerah. Hukum adat terbentuk atas nilai-nilai kebersamaan dan unsur keyakinan
magis dan religious, yang kemudian menjadikan kepala suku/adat sebagai sebuah lembaga
yang berhak untuk menjalankan hukum tersebut dan memegang kewenangan tertinggi.
Hukum adat mengatur berbagai hal yang terkait dalam aspek-aspek kehidupan, termasuk
tanah.
Hukum adat tanah secara konsepsi juga menerapkan asas/norma kebersamaan dan
keyakinan unsur religius dalam pelaksanaanya. Di dalam hukum adat diatur tentang
pengelolaan dan pendayagunaan tanah yang digunakan untuk kepentingan bersama
masyarakat (persekutuan hukum adat), yang kemudian disebut sebagai Hak Ulayat.
Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika sistem politik dan hukum di
Indonesia, hukum adat dalam hal pertanahan dijadikan sebagai sumber utama untuk
membentuk Undang-undang No.5 Tahun 1960 atau yang kemudian disebut sebagai Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA dibentuk untuk mengakhiri dualisme sistem hukum
pertanahan (Hukum Adat dan Hukum Barat) untuk mengunifikasikan peraturan hukum
tentang pertanahan nasional dalam tatanan Hukum Tanah Nasional.
Selain sebagai menjadi sumber tunggal pembangunan Undang-Undang Pokok Agraria,
di dalam UUPA Hukum adat juga dijadikan dan diakui sebagai pelengkap produk hukum
positif yang tertulis, pada kondisi/kasus tertentu dimana UUPA atau peraturan perundangan
lain belum ada yang mengatur/membidangi kasus tersebut, selama tidak melanggar atau
bertentangan dengan peraturan atau nilai-nilai yang sudah dituliskan di dalam peraturan-
perundang-undangan. Sehingga hukum adat tetap menjadi sebuah hukum positif yang tetap
dijalankan di dalam masyarakat daerah yang menyakininya dan menjadi bagian dari tatanan
Hukum Tanah Nasional, selama ketentuan di dalam hukum adat tersebut tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan dan kepentingan nasional Bangsa Indonesia.
12
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku Teks:
Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan
Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah. Jakarta: Bina Aksara
Sumber Skripsi/Desertasi/Tesis
Siam Musnita SH, Irin. 2008. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi di
Kabupaten Sorong. [Tesis]. Universitas Diponegoro: Semarang
Undang-Undang:
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
13