Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.

1, Oktober 2014

EVALUASI KETEPATAN DIAGNOSIS DAN TINDAKAN DI RUMAH


SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PADA PENERAPAN JAMINAN
KESEHATAN NASIONAL (JKN)

Nuryati
Rekam Medis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada
nur3yati@yahoo.com

Abstract
The purpose of this study is to investigate the implementation and to evaluate the accuracy of coding
diagnosis and action also the factors that cause inappropriate coding in Hospital Panti Rapih Yogyakarta
on the implementation of National Health Insurance.The type of this research is descriptive qualitative. The
population subjects in this study are doctors, nurses, medical record employee, and independent verifier and
as the population subject is inpatient medical record file of obstetrics and gynecology in 2012 as many as 339
files and all data from the existing measures in the Diary Sheet of Surgery Room Service Activity (Report of
operation) in 2012 as many as 4925 action data. The data collection technique of this study are interviews,
documentation study and observation,that related to the implementation of the encoding. The results of the
research shows that the implementation of diagnosis coding and the action in Panti Rapih hospital Yogyakarta
has been performed computerize by using Hospital Information System (SIRS) Inpatient that is performed
by coding employee in the data processing. The process of coding a diagnosis by looking at the diagnosis of
patients from the summary in and out of patients’ sheet and see the results of the action in the Data Room
Service Daily Activity Surgery (Report of Operations). The accuracy of the diagnosis code on the summary in
and out inpatients’ obstetrics and gynecology sheet is 44.56% which is in conformity with the ICD-10 and the
action code on Inpatient SIRS is 57.12%. Factors that affecting inaccuracies code diagnosis and the action
are the understanding of the coding employee, it has never been done renewal program or update the database
and ICD-10 in the Inpatient SIRS, coding audits have not been done.

Keywords: Encoding, accuracy, Diagnosis, Action, National Health Insurance.

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan dan evaluasi ketepatan pengkodean diagnosis dan
tindakan serta faktor yang menyebabkan ketidakuratan pengkodean di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
pada penerapan Jaminan Kesehatan Nasional.Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Populasi subyek
dalam penelitian ini adalah dokter, perawat, petugas rekam medis, dan verifikator independen dan sebagai
pupulasi subyek adalah berkas rekam medis rawat inap obstetri dan ginekologi tahun 2012 sebanyak 339
berkas dan semua data hasil tindakan yang ada dalam lembar Data Harian Kegiatan Pelayanan Kamar Bedah
(Laporan Operasi) tahun 2012 sebanyak 4925 data tindakan. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, studi
dokumentasi dan observasi terkait pelaksanaan pengkodean.Hasil penelitian menunujukkan bahwa pelaksanaan
pengkodean diagnosis dan tindakan di RS Panti Rapih Yogyakarta sudah dilakukan secara komputerisasi
dengan menggunakan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Rawat Inap yang dilakukan oleh petugas coding
di bagian pengolahan data. Proses pengkodean diagnosis dengan melihat diagnosis pada lembar ringkasan
masuk keluar pasien dan melihat hasil tindakan di Data Harian Kegiatan Pelayanan Kamar Bedah (Laporan
Operasi). Tingkat keakuratan kode diagnosis pada lembar ringkasan masuk keluar pasien rawat inap obstetri
dan ginekologi sebesar 44,56% kode yang sudah sesuai dengan ICD-10 dan kode tindakan pada SIRS Rawat
Inap sebesar 57.12%. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakakuratan kode diagnosis dan tindakan yaitu

16 16
Nuryati. Evaluasi ketepatan diagnosis dan tindakan ...

pemahaman petugas coding, belum pernah dilakukannya pembaharuan program atau update database dan
ICD-10 pada SIRS Rawat Inap, belum pernah dilakukan audit koding.

Kata Kunci: Pengkodean, Keakuratan, Diagnosis, Tindakan, Jaminan Kesehatan Nasional.

PENDAHULUAN kesehatan. Standar klasifikasi yang digunakan dalam


penentuan kode tindakan adalah The International
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Classification of Diseases 9th Revision, Clinical
Nomor 12 Tahun 2013 tentang jaminan kesehatan,
Modification (ICD-9-CM) Volume 3. Menurut HCIA
yang dimaksud dengan jaminan kesehatan adalah
(1992), ICD-9-CM Volume 3 terdiri dari sejumlah
jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
kode numerik tanpa penggunaan karakter alphabet.
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
Klasifikasi prosedur diterbitkan dalam volume
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
sendiri sebagai volume 3 ICD-9-CM klasifikasi
kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang
prosedur/tindakan dan berisi Daftar Tabular dan
telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh
Indek Alfabet.
pemerintah. Untuk menyelenggarakan program
Jaminan Kesehatan, maka dibentuk sebuah badan Menurut Hatta (2008), mangacu pada etik pengkodean
hukum yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan dan keinginan untuk mencapai kualitas tinggi, data
Sosial Kesehatan yang selanjutnya disingkat BPJS yang terkode sangat membantu penerbitan rincian
Kesehatan. Sedangkan pihak yang menyelenggrakan tagihan biaya rawat yang tepat dan mengurangi
upaya pelayanan kesehatan disebut dengan Fasilitas resiko manajemen fasilitas asuhan kesehatan
Kesehatan. Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas terkait. Dalam perancangan program compliance
pelayanan kesehatan yang digunakan untuk in coding (kepatuhan dalam pengkodean), salah
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan satunya diadakan kegiatan auditing dan monitoring
perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun internal. Setiap organisasi pelayanan kesehatan harus
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, mempunyai kebijakan dan prosedur untuk membuat
Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat. Fasilitas pedoman, mengatur proses pengkodean dan
Kesetahan terdiri atas fasilitas Kesehatan tingkat menjamin konsistensi dari hasil pengkodean. Setiap
pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat organisasi kesehatan harus menetapkan program
lanjutan. audit/monitoring untuk mereview keakuratan
pengkodean berdasarkan aturan yang ada.
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta sebagai
Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan Coding, Costing, Clinical Pathway, dan Tecnology
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebagai Badan Information menjadi unsur-unsur pokok dalam
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dalam pelayanan kesehatan pada Jaminan Kesehatan
menerapkan pelayanan kesehatan pada Jaminan Nasional. Coding merupakan kegiatan menetapkan
Kesehatan Nasional. Berdasarkan Peraturan Menteri kode penyakit dan tindakan dengan tepat sesuai
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia (ICD-
tentang pelayanan kesehatan pada Jaminan Kesehatan 10) tentang penyakit dan tindakan medis dalam
Nasional, bahwa salah satu bentuk pelayanan yang pelayanan dan manajemen kesehatan. Berdasarkan
diberikan adalah administrasi pelayan. Administrasi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
pelayanan terdiri atas biaya pendaftaran pasien dan Nomor 377/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar
biaya administrasi lain yang terjadi selama proses Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan,
perawatan atau pelayanan kesehatan pasien. disebutkan bahwa klasifikasi dan kodefikasi penyakit,
masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan
Menurut American Health Information Management
dan tindakan medis merupakan kompetensi pertama
Association dalam Hatta (2008), petugas pengkodean
Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan. Hal
mampu menetapkan kode penyakit dan tindakan
tersebut menunjukkan bahwa Profesi Perekam Medis
dengan tepat sesuai klasifikasi yang diberlakukan di
dan Informasi Kesehatan memiliki kompetesi untuk
Indonesia (ICD 10 dan ICD-9-CM) tentang penyakit
melakukan kegiatan pengkodean. Tidak terdapat
dan tindakan medis dalam pelayanan dan manajemen
profesi lain dari seluruh jenis tenaga kesehatan yang

17
Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.1, Oktober 2014

memiliki kompetensi untuk melakukan kegiatan 1. Man


pengkodean, selain Profesi Perekam Medis dan a. Pihak-pihak yang terlibat dalam ke-
Informasi Kesehatan. Hal ini menguatkan peran giatan pengkodean di Rumah Sakit
dan fungsi Profesi Perekam Medis dan Informasi Panti Rapih Yogyakarta meliputi
Kesehatan dalam pelayanan kesehatan pada Jaminan pasien, dokter, petugas rekam me-
Kesehatan Nasional. dis dan informasi kesehatan bagian
pengkodean, verifikator internal dan
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta memiliki lima verifikator independen.
tenaga Perekam Medis dan Informasi Kesehatan
b. Pasien yang dimaksud adalah
yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
semua pasien BPJS Kesehatan yang
kegiatan pengkodean dalam pelayanan kesehatan
mendapatkan pelayanan kesehatan
pada Jaminan Kesehatan Nasional. Terdapat satu atas kondisi yang dideritanya di
orang verifikator independen dari pihak BPJS Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
Kesehatan yang melakukan verifikasi terhadap kode Pasien BPJS Kesehatan yang dilayani
yang ditentukan oleh tenaga Perekam Medis dan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogya-
Informasi Kesehatan yang melaksanakan kegiatan karta sebesar 20% dari total pasien.
coding tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan
c. Dokter yang dimaksud adalah semua
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pelaksanaan
dokter yang melakukan pelayanan
pengkodean diagnosis di Rumah Sakit Panti Rapih terhadap pasien BPJS Kesehatan di
Yogyakarta pada penerapan Jaminan Kesehatan Rumah Sakit Panti Rapih Yogya-
Nasional. karta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui d. Petugas rekam medis dan informasi
pelaksanaan dan evaluasi ketepatan pengkodean kesehatan yang dimaksud adalah
diagnosis dan tindakan di Rumah Sakit Panti Rapih petugas yang melaksanakan kegiatan
Yogyakarta pada penerapan Jaminan Kesehatan pengkodean diagnosis pasien BPJS
Nasional. Kesehatan di Rumah Sakit Panti Ra-
pih Yogyakarta. Terdapat lima orang
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif petugas pengkodean yang terlibat.
kualitatif dengan rancangan cross sectional. Objek Seluruh petugas pengkodean meru-
yang digunakan oleh peneliti adalah berkas rekam pakan lulusan D3 Rekam Medis, lulus
medis rawat inap obstetri dan ginekologi tahun tes kredensial, dan pernah mengikuti
2012 sebanyak 339 berkas dan semua data hasil pelatihan pengkodean serta ada yang
tindakan yang ada dalam lembar Data Harian sudah tersertifikasi.
Kegiatan Pelayanan Kamar Bedah (Laporan e. Verifikator independen adalah pihak
Operasi) tahun 2012 sebanyak 4925 data tindakan. yang melakukan verifikasi terhadap
Teknik pengumpulan data dengan wawancara kode diagnosis yang dihasilkan petu-
kepada dokter, perawat, petugas rekam medis, dan gas pengkodean atas diagnosis yang
verifikator independen. Teknik pengumpulan data ditegakkan oleh dokter yang melayani
yang lain adalah studi dokumentasi pada berkas pasien. Verifikator independen berasal
rekam medis dan observasi terkait pelaksanaan dari pihak BPJS Kesehatan. Terdapat
pengkodean. seorang verifikator independen untuk
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta,
yaitu seorang dokter.
PEMBAHASAN f. Verifikator internal adalah pihak
yang melakukan verifikasi terhadap
1. Pelaksanaan Pengkodean Diagnosis dan kode diagnosis yang ditentukan oleh
Tindakan di Rumah Sakit Panti Rapih petugas pengkodean sebelum dilapor-
kan kepada verifikator independen.
Pelaksanaan pengkodean di Rumah Sakit Terdapat seorang verifikator internal
Panti Rapih Yogyakarta ditinjau berdasarkan berasal dari pihak Rumah Sakit Panti
lima unsur manajemen, meliputi man, money, Rapih Yogyakarta, yaitu seorang dok-
material, machine, dan method. ter.

18
Nuryati. Evaluasi ketepatan diagnosis dan tindakan ...

2. Money lengkapnya diagnosis yang ditegakkan


a. Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit ini, biasanya disebabkan karena diag-
Panti Rapih Yogyakarta tidak men- nosis yang disampaikan kepada petu-
galami kendala terkait dengan money. gas pengkodean belum merupakan
Pengaturan keuangan di Rumah Sakit hasil final. Sehingga setelah berkas
Panti Rapih Yogyakarta dilakukan sampai di Instalasi Rekam Medis dan
secara terpusat. dipelajari lebih lanjut, ternyata masih
b. Pengaturan keuangan dari pusat ditemukan beberapa hal yang belum
telah mengatur penggajian petugas termasuk ke dalam diagnosis yang
pengkodean secara menyeluruh. telah ditegakkan sebelumnya.
Besarnya gaji yang diterima petugas d. Untuk mengatasi masalah salah
pengkodean telah disesuaikan dengan penentuan diagnosis utama dan diag-
beban kerjanya. Artinya, tidak ada nosis tambahan, petugas pengkodean
perlakuan khusus (penambahan upah) menerapkan aturan re-seleksi yang
terkait penghasilan yang diterima oleh terdapat di dalam ICD-10. Namun
masing-masing petugas pengkodean demikian, petugas pengkodean tidak
meskipun mereka memiliki peran dan serta merta menerapkan aturan re-
fungsi yang kuat dalam pelayanan
seleksi tersebut. Diskusi dengan dok-
kesehatan pada Jaminan Kesehatan
ter yang melakukan pemeriksaan ter-
Nasional.
hadap pasien tersebut tetap dilakukan
3. Material terlebih dahulu. Jika usulan diterima,
maka dokter bertanggung jawab atas
a. Diagnosis yang telah ditegakkan oleh diagnosis yang ditambahkan tersebut
dokter yang memberikan pelayanan dan petugas pengkodean menambah-
terhadap pasien merupakan materi kan kode diagnosis yang ditambahkan
yang dikode oleh petugas pengkodean. tersebut. Masalah salah penentuan
b. Dalam pelaksanaannya, petugas diagnosis utama dan diagnosis tam-
pengkodean mengkode sesuai dengan bahan biasanya disebabkan kurang
diagnosis yang ditegakkan oleh dokter telitinya dokter dalam meletakkan
yang memeriksa pasien. Tetapi dalam (menuliskan) diagnosis pada kolom
kondisi tertentu, petugas pengkodean isian diagnosis utama dan diagnosis
tidak serta merta mengkode sesuai tambahan. Dokter juga tidak memiliki
dengan diagnosis yang ditegakkan cukup waktu untuk menuliskan pada
oleh dokter tersebut. Misal, saat di- kolom isian yang sesuai, sehingga
agnosis dirasa kurang lengkap, salah semua diagnosis diletakkan (ditulis-
penentuan diagnosis utama dan diag- kan) di satu kolom isian.
nosis tambahan, dan saat terjadi over e. Untuk mengatasi masalah saat terjadi
coding. over coding, petugas pengkodean
c. Untuk mengatasi masalah pengkodean memberikan peringatan kepada dok-
saat diagnosis dirasa kurang lengkap, ter. Sejak awal setiap pasien yang
petugas pengkodean dapat mengusul- datang berkunjung ke Rumah Sakit
kan kepada dokter tersebut dengan Panti Rapih, telah diperkirakan besa-
cara konsultasi terkait kondisi yang ran sumber daya yang akan dihabiskan
belum termasuk ke dalam diagnosis untuk melayani masing-masing pasien
yang ditegakkan oleh dokter tersebut tersebut. Perkirakan besaran sumber
setelah melalui penelaahan pada ber- daya yang akan dihabiskan tersebut
kas rekam medis pasien. Jika usulan yang menjadi batasan apakah telah
diterima, maka dokter bertanggung terjadi over coding. Apabila telah
jawab atas diagnosis yang ditambah- melebihi batasan tersebut, maka telah
kan tersebut dan petugas pengkodean terjadi over coding. Saat terjadi over
menambahkan kode diagnosis yang coding, maka petugas pengkodean
ditambahkan tersebut. Masalah kurang memberikan peringatan kepada dokter

19
Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.1, Oktober 2014

tersebut agar melakukan peningkatan terjadi, baik efisiensi pemeriksaan


efektifitas dan efisiensi pelayanan. maupun efisiensi obat.
Permasalahan ini biasanya terjadi c. Terdapat SPO terkait pengkodean di-
karena pada beberapa kondisi pasien, agnosis pasien BPJS Kesehatan. SPO
dokter hanya melihat gejala klinis belum mengatur terkait reward and
pasien untuk menentukan diagnosis, punishment.
tanpa perlu menggunakan pemerik- d. Belum terdapat (masih dalam proses
saan penunjang. Sehingga selama penyusunan) panduan terkait pengko-
dokter masih melihat gejala klinis dean pasien BPJS Kesehatan.
pasien belum membaik, maka pelay-
anan akan terus diberikan. Hal ini juga
2. Evaluasi Ketepatan Kodefikasi Diagno-
menjadi masalah tersendiri terkait
sis dan Tindakan
penegakkan diagnosis untuk kepent-
ingan BPJS Kesehatan. Dokter hanya
Pengkodean dilaksanakan oleh empat petugas
menegakkan diagnosis berdasarkan
rekam medis yang berada di bagian olah
gejala klinis, tanpa menggunakan
data. Tiga diantara petugas pengkodean
pemeriksaan penunjang. Di sisi lain,
memiliki masing-masing tanggung jawab,
verifikator independen membutuh-
yaitu sebagai penanggung jawab pengkodean
kan informasi terkait pemeriksaan
IGD, rawat jalan, rawat inap, satu petugas
penunjang. Akibatnya sering terjadi
olah data membantu pekerjaan semua petugas
penolakan dari verifikator independen
pengkodean. Petugas pengkodean di Rumah
atas suatu klaim.
Sakit Panti Rapih hanya bertugas melaksanakan
4. Machine pengkodean sesuai dengan struktur organisasi
a. Peralatan yang digunakan dalam pros- yang telah ada, sehingga tidak terjadi rangkap
es pengkodean diagnosis di Rumah tugas dalam pelaksanaan pekerjaan.
Sakit Panti Rapih Yogyakarta meliputi
perangkat komputer yang dilengkapi Petugas pengkodean pasien rawat inap di
dengan aplikasi grouper INA-CBGs, Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta ada dua,
program pengkodean yang terdiri atas satu berlatar belakang pendidikan D3 Rekam
ICD-10 dan ICD-9-CM electronic, Medis dan sudah mengikuti pelatihan Training
dan SIMRS of trainer ICD-10. Petugas pengkodean yang
b. Terdapat dua unit komputer yang digu- berlatar pendidikan bukan D3 Rekam Medis
nakan untuk pengkodean diagnosis di juga pernah mengikuti pelatihan ataupun
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. seminar namun seminar secara umum mengenai
manajemen Rekam Medis.
c. Aplikasi grouper yang digunakan un-
tuk pengkodean diagnosis di Rumah Sumber daya manusia adalah petugas yang
Sakit Panti Rapih Yogyakarta adalah bertanggungjawab yang mampu berkarya secara
INA-CBG’s 4.0. optimal untuk mencapai tujuan organisasi.
d. Aplikasi grouper dan SIMRS belum Perubahan paradigma profesi rekam medis
terintegrasi, sehingga harus kerja dua menjadi profesi manajemen informasi kesehatan
kali. telah membawa perubahan terhadap pentingnya
5. Method pembinaan sumber daya manusia khususnya
a. Kerjasama antara Rumah Sakit Panti tenaga profesi yang selama ini menekuni bidang
Rapih Yogyakarta dengan BPJS Kes- pekerjaan tersebut.
ehatan mulai tanggal 1 Januari 2014.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
b. Secara umum tidak terdapat perbedaan Nomor 377/Menkes/SK/III/2007 tentang
antara proses pengkodean sebelum Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi
dan sesudah kerjasama Rumah Sakit Kesehatan, perekam medis dan informasi
Panti Rapih Yogyakarta dengan BPJS kesehatan adalah seseorang yang telah
Kesehatan. Perbedaannya terletak menyelesaikan pendidikan formal Rekam Medis
pada adanya proses efisiensi yang

20
Nuryati. Evaluasi ketepatan diagnosis dan tindakan ...

dan Informasi Kesehatan sehingga memiliki dengan SPO nomor RSPRS/S5P2/SPO.24.


kompetensi yang diakui oleh pemerintah dan tentang pengkodean dan indeksing, dan sesuai
profesi serta mempunyai tugas, tanggungjawab, dengan teori Abdelhak, dkk (2001).
wewenang, dan hak secara penuh untuk
melakukan kegiatan pelayanan rekam medis Proses pengkodean dilakukan dengan
dan informasi kesehatan pada unit pelayanan menggunakan program yang sudah terdapat
kesehatan. di komputer. Apabila terdapat diagnosis yang
disingkat, maka petugas akan mencari di daftar
Berdasarkan Kepmenkes No. 377/Menkes/SK/ singkatan yang sudah dibakukan oleh pihak
III/2007 yang menyatakan bahwa kualifikasi rumah sakit ataupun mencarinya di daftar
pendidikan rekam medis berlatar pendidikan singkatan Internasional.
Rekam Medis dan Informasi Kesehatan. Namun
petugas pengkodean di Rumah Sakit Panti Rapih Pelaksanaan pengkodean dilakukan setelah
masih ada yang bukan lulusan Rekam Medis berkas rekam medis selesai di assembling.
dan Informasi Kesehatan, walaupun petugas Apabila di temukan berkas rekam medis yang
tersebut sudah pernah mengikuti pelatihan- tidak lengkap dalam pengisian diagnosis
pelatihan untuk menunjang pekerjaanya. Hal ini maupun tindakan, ataupun ditemukan diagnosis
sesuai dengan pernyataan Hatta (2008) sumber maupun tindakan yang tidak terbaca jelas,
daya manusia khususnya tenaga profesi yang petugas rekam medis akan mengembalikan
selama ini menekuni bidang pekerjaan tersebut berkas rekam medis dan bertanya kepada dokter
harus mengikuti pelatihan, pembinaan, dan yang bersangkutan mengenai diagnosis dan
pengembangan terlebih dahulu. tindakan.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan Menurut Abdelhak, dkk (2001), petugas rekam
peneliti di Instalasi Rekam Medis Rumah medis dalam melaksanakan pengkodean
Sakit Panti Rapih Yogyakarta, fasilitas yang harus menggunakan ICD-10. Di Rumah
digunakan dalam menunjang pelaksanaan Sakit Panti Rapih Yogyakarta pelaksanaan
pengodean di Rumah Sakit Panti Rapih yaitu pengkodean dilaksanakan menggunakan SIRS
dengan menggunakan program SIRS menu menu pengkodean. Hal ini sesuai dengan
pengodean, ICD-10 volume 1 dan 3, ICD-9 teori Abdelhak, dkk (2001) yang menyatakan
CM, Kamus kedokteran, daftar singkatan yang “computer software called encoder is available
dibakukan, kamus singkatan Internasional, dan to assist in the coding prosess”. (perangkat
kamus Bahasa Inggris. lunak komputer yang dinamakan encoder
tersedia untuk membantu proses pengkodean).
Menurut Abdelhak, dkk (2001), “computer
software called encoder is available to assist in Menurut Abdelhak, dkk (2001), pengkodean
the coding prosess”. (perangkat lunak komputer harus dilaksanakan secara berurutan agar tidak
yang dinamakan encoder tersedia untuk terjadi kesalahan dalam melakukannya. Sebelum
membantu proses pengkodean). Berdasarkan melakukan proses pengkodean, petugas rekam
studi dokumentasi terhadap SPO nomor medis harus memeriksa kelengkapan lembar
RSPR/S5P2/SPO.24 Rumah Sakit Panti Rapih rekam medis dan kelengkapan catatan dokter,
Yogyakarta (2009), tentang pengkodean terutama catatan tentang diagnosis yang tertulis
dan indeksing, pelaksanaan pengkodean pada lembar ringkasan masuk dan keluar dan
kode diagnosis dan tindakan pasien rawat sudah terdapat tanda tangan dokter.
inap sudah dilakukan secara komputerisasi.
Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
Di dalam SPO tersebut disebutkan apabila
pengkodean dilaksanakan setelah berkas rekam
kode penyakit belum ada maka pencarian
medis selesai di assembling yaitu dengan
kode penyakit menggunakan ICD-10 secara
memeriksa kelengkapan lembar rekam medis
manual dan segera memasukkan kode tersebut
dan kelengkapan catatan dokter terutama
ke dalam komputer. Di Rumah Sakit Panti
catatan tentang diagnosis yang tertulis di lembar
Rapih Yogyakarta pelaksanaan pengkodean
ringkasan masuk dan keluar. Hal tersebut sesuai
menggunakan fasilitas yang berguna untuk
dengan teori Abdelhak, dkk (2001) sebelum
menunjang proses pengkodean, hal ini sesuai

21
Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.1, Oktober 2014

melakukan proses pengkodean, petugas rekam Tabel 1: Hasil Analisis Keakuratan Kode
medis harus memeriksa kelengkapan lembar Diagnosis dan Tindakan
rekam medis dan kelengkapan catatan dokter,
Diagnosis Tindakan
terutama catatan tentang diagnosis yang ditulis No Kriteria
Jumlah % Jumlah %
di lembar ringkasan masuk keluar dan sudah ada
1 A 209 44,56 377 57,12
tanda tangan dokter.
2 B 16 3,41 62 9,39
Setelah petugas rekam medis memeriksa 3 C 44 8,95 63 9,55
kelengkapan lembar rekam medis dan 4 D 88 18,76 68 10,30
kelengkapan catatan dokter. Apabila tidak 5 E 114 24,30 90 13,64
memahami tulisan dokter, petugas rekam Jumlah 469 100,00 660 100,00
medis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
bertanya kepada dokter yang berperan sebagai Dari tabel 1 diatas dapat diketahui prosentase
pemberi diagnosis. Hal ini sesuai dengan ketidakakuratan dalam menentukan kode diagnosis
Abdelhak, dkk (2001) apabila petugas rekam pada lembar ringkasan masuk keluar pasien rawat
medis menemui hambatan dalam pemberian inap obstetri dan ginekologi. Dari 339 berkas didapat
kode atau menemukan diagnosis, dokter diagnosis sebanyak 469 pada lembar ringkasan
bertanggungjawab untuk membantu. masuk keluar yang dianalisis terdapat 44,56 % kode
penyakit pasien yang sesuai/spesifik dengan ICD-
Di Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Panti 10, kode penyakit yang hanya terdiri dari 3 karakter
Rapih Yogyakarta, kebijakan yang mengatur sebanyak 4 3,41%, kode penyakit yang salah pada
tentang prosedur pengkodean sudah ada dan karakter keempat sebanyak 8,95%, kode penyakit
tertuang didalam SPO nomor RSPR/S5P2/ yang tidak sesuai dengan ICD-10 sebanyak 18.76%,
SPO.24, akan tetapi prosedur pengkodean masih dan kode penyakit yang tidak terkode sebanyak
menjadi satu antara prosedur pengkodean rawat 24,30 %. Kriteria A (kode tindakan tepat/spesifik)
inap, rawat jalan, dan rawat darurat. sebanyak 377 kode tindakan atau sebesar 57.12%
dari jumlah keseluruhan, sedangkan untuk kriteria
Dengan adanya prosedur tetap pekerjaan dapat B (kode tepat sampai digit kedua) sebanyak 62
dilaksanakan sesuai dengan aturan yang benar kode tindakan atau sebesar 9.39%, kriteria C (kode
secara efisien (Sabarguna, 2008). Berdasarkan tepat sampai digit ketiga) sebanyak 63 kode atau
hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur sebesar 9.55%. Kriteria D (kode tindakan tidak tepat)
tetap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta sebanyak 68 kode atau sebesar 10.30% dan kriteria
yang mengatur tentang pengkodean dan E (tidak ada kode tindakan) sebanyak 90 kode atau
indeksing sudah ada, hal ini sudah sesuai sebesar 13.64%.
teori (Sabarguna, 2008), akan tetapi prosedur
pengkodean masih menjadi satu antara prosedur Kriteria “A”, menurut WHO (2004) bahwa
pengkodean rawat inap, rawat jalan, dan rawat subkategori empat karakter digunakan paling
darurat. prosedur tetap masih menjadi satu tepat untuk identifikasi, misalnya variasi tempat
dan dalam proses revisi untuk memperisapkan yang berbeda pada kategori tiga karakter untuk
akreditasi. penyakit tunggal atau penyakit yang berdiri sendiri
pada kategori tiga karakter untuk kondisi yang
Keakuratan Kode Diagnosis dan Tindakan pada berkelompok. Menurut WHO (2002), petugas rekam
Pasien Rawat Inap RS Panti Rapih medis diharuskan menggunakan kode tiga digit atau
empat digit dari ICD-10.
Untuk mengetahui prosentase keakuratan kode
diagnosis dan tindakan, peneliti melakukan Keakuratan kode diagnosis dengan kriteria “A”
studi dokumentasi terhadap 339 Berkas rekam pada lembar ringkasan masuk keluar pasien rawat
medis dan terhadap 469 diagnosis pada lembar inap obstetri dan ginekologi adalah sebesar 44,56%.
ringkasan masuk keluar dan 4925 data tindakan Keakuratan kode diagnosis dengan ICD-10 perlu
pada lembar operasi. ditingkatkan karena menurut Hatta (2008), penerapan
pengodean sistem ICD-10 digunakan untuk:
Di bawah ini merupakan data hasil pengkodean
diagnosis dan tindakan pasien rawat inap, untuk a. Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini: disarana pelayanan kesehatan

22
Nuryati. Evaluasi ketepatan diagnosis dan tindakan ...

b. Masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis Dari perhitungan yang dilakukan peneliti terkait
c. Memudahkan proses penyimpanan dan dengan keakuratan kode tindakan, masih ditemukan
pengambilan data terkait diagnosis karasteristik kode yang tidak tepat dan tidak terisi. Persentase
pasien dan penyedia pelayanan keakuratan kode tindakan tertinggi terletak pada
d. Bahan dasar dalam pengelompokan DRGs kriteria A (kode tindakan tepat/spesifik) sebanyak
(diagnosis-related groups) untuk sistem 377 kode tindakan atau sebesar 57.12% dari jumlah
penagihan pembayaran biaya pelayanan keseluruhan.
e. Pelaporan nasional dan internasional morbiditas
dan mortalitas Berdasarkan hasil analisis ketepatan kode tindakan di
f. Tabulasi data pelayanan kesehatan bagi proses RS Panti Rapih Yogyakarta masih terdapat tindakan
evaluasi perencanaan pelayanan medis. yang tidak tepat untuk kriteria D (kode tidak tepat)
g. Menentukan bentuk pelayanan yang harus sebanyak 68 atau 10.30% yang tidak tepat. Selain itu
direncanakan dan dikembangkan sesuai juga terdapat kode tindakan yang tidak dikode untuk
kebutuhan zaman krieria E (kode tindakan yang tidak terisi) sebanyak
h. Analisis pembiayaan pelayanan kesehatan 90 atau 13.64%. petugas rekam medis harus berupaya
i. Untuk penelitian epidemiologi dan klinis untuk meminimalisir ketidaktepatan kode tindakan
yang merupakan tanggung jawab petugas rekam
Kriteria “B”, kode yang termasuk ke dalam kategori
medis sebagai pemberi kode tindakan.
ini digunakan dalam proses pelaporan yang hanya
membutuhkan tiga karakter. Untuk morbiditas pasien Berdasarkan Farzandipour (2009), keakuratan
rawat inap sendiri, pelaporan ke dinas kesehatan dibagi atas keakuratan pada digit utama dan digit
menggunakan kategori tiga karakter. Kategori tiga keempat, perbandingan keakuratan antara petugas
karakter merupakan karakter yang wajib dilaporkan coding yang sudah berpengalaman dengan yang
ke WHO dari tiap Negara (WHO, 2002). belum, perbandingan kode dengan menggunakan
database dengan menggunakan buku ICD-9-CM dan
Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta terdapat
pengecekan ulang kode yang di dalam daftar tabel
beberapa Kriteria “C” kode penyakit yang hanya
dengan yang hanya menggunakan alfabet indeks.
dituliskan sampai karakter ketiga hal ini tidak
Perbedaan pada penelitian yang dilakukan sekarang
berpengaruh terhadap pelaporan morbiditas karena
di RS Panti Rapih Yogyakarta adalah peneliti
kode diagnosis tiga karakter yang wajib dilorkan
membagi kriteria 5 kriteria dalam menentukan
WHO. Namun, hal ini kan menjadi masalah bagi
keakuratan kode tindakan, yaitu kriteria A (kode
keperluan penelitian dan pendidikan mengenai
spesifik/ tepat, kriteria B (kode tepat pada digit
penyakit, karena kedua hal tersebut membutuhkan
kedua), kriteria C (kode tepat pada digit ketigas),
kekhususan (spesifikasi).
kriteria D (kode tidak tepat), dan kriteria E (kode
Kriteria “E”, kode yang termasuk dalam kategori tidak terisi).
ini adalah diagnosis rangkap, namun beberapa
Tenaga rekam medis bertanggungjawab atas
diagnosis rangkap dalam lembar ringkasan masuk
keakuratan kode dari suatu diagnosis yang sudah
keluar tidak dikode. Menurut Hatta (2008), untuk
ditetapkan oleh tenaga medis (Budi, 2011). Di
pelaporan secara kelompok bagi analisis penyebab
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta masih terdapat
tunggal morbiditas yang diambil adalah kode kondisi
diagnosis yang belum akurat sesuai ICD-10, petugas
utama, sedangkan untuk pengindeksan kode semua
rekam medis seharusnya berupaya meminimalisir
kondisi ini harus dicatat, dikode untuk kemudian
ketidakakuratan karena keakuratan kode diagnosis
disimpan agar dapat memenuhi kebutuhan setempat
merupakan tanggungjawab petugas rekam medis
yang lebih luas.
sebagai pemberi kode diagnosis.
Menurut Abdelhak (2001), kesesuaian data
dan informasi yang disajikan dengan informasi
yang dibutuhkan sangat berperan dalam proses SIMPULAN
pengambilan keputusan. Untuk dapat menghasilkan
1. Pelaksanaan pengkodean diagnosis dan tindakan
data serta informasi yang baik serta dapat digunakan
di Instalasi Rekam Medis RS Panti Rapih
sebagai dasar dalam pengambilan keputusan
Yogyakarta dilakukan oleh 2 orang petugas
manajemen, dibutuhkan peran aktif petugas dalam
coding, salah satu bertindakan sebagai petugas
melakukan proses pengolahan data. coding rawat inap pasien Jamkesmas, dan salah

23
Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.1, Oktober 2014

satu bertindak sebagai petugas coding untuk Arcury, T.A., Sara, A. Q. 1998. Qualitative Methods
pasien rawat inap. Latar belakang pendidikan in Arthritis Research: Sampling and Data
D3 Rekam Medis dan diluar rekam medis. Analysis. Methods Article. North Carolina:
Proses pengkodean di RS Panti Rapih sudah American College of Rheumatology. Diakses
terkomputerisasi. dari http://onlinelibrary.wiley.com tanggal 12
2. Analisis keakuratan kode diagnosis dan tindakan Juni 2013
belum tercapai secara maksimal, hasil analisis
keakuratan kode diagnosis terdapat 44,56% Arifin, M. 2012. 5M Dalam Manajemen diakses dari
kode yang sudah sesuai dengan ICD-10 dan http://indonesiapublichealth.blogspot.com
terdapat 377 atau 57.12% kode tindakan yang Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu
sudah sesuai dengan ICD-9-CM. Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
3. Faktor-faktor penyebab ketidakakuratan
pengkodean kode dan diagnosis dan tindakan Azwar, S. 2011. Metode Penelitian. Yogyakarta:
kasus bedah pasien rawat inap di RS Panti Pustaka Belajar
Rapih Yogyakarta adalah Sumber Daya Manusia
(SDM), update database ICD-10 dan ICD-9- Budi, S.C. 2011. Manajemen Unit Kerja Rekam
CM, dan belum dilakukannya evaluasi/audit Medis. Yogyakarta: Quantum Sinergis Media.
tentang kode diagnosis dan tindakan. Bungin, B. 2009. Penelitian Kualitatif Komunikasi,
Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial
Saran Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group
1. Sebaiknya Kepala Intalasi Rekam Medis mulai
merencanakan melakukan kegiatan evaluasi/ Centers For Disease Control And Prevention
audit terhadap kode diagnosis dan tindakan, agar (CDC). 2012. International Classification
meningkatkan keakuratan kode yang digunakan of Diseases,Ninth Revision, Clinical
sebagai pelaporan Modification (ICD-9-CM). Diakses dari http://
2. Sebaiknya dokter di RS Panti Rapih Yogyakarta www.cdc.gov/nchs/icd/icd9cm.htm tanggal
meningkatkan kelengkapan data yang dituliskan 31 Mei 2013 pukul 8.37 AM.
dalam berkas rekam medis dengan cara
Cheng, P., Annette, G., Kerin, M. R., Lindsay,
sosialiasi.
P. 2009. The risk and consequences of
3. Sebaiknya petugas pengkodean lebih spesifik
clinical miscoding due to inadequate medical
dalam menentukan kode diagnosis dan tindakan.
documentation: a case study of the impact on
Sebaiknya petugas pengkodean menggunakan
health services funding. Health Information
ICD-10 dan ICD-9 CM yang sudah di-update
Journal. Australia. Diakses dari www.himaa.
dan memperbaharui database yang digunakan
org.au tanggal 12 Juni 2013
sebagai alat pengkodean.
4. Sebaiknya petugas rekam medis memberikan Faciszewski. T., Jensen. R., Berg. RL., 2003.
sosialisasi kepada dokter baru mengenai Procedural coding of spinal surgeries (CPT-4
peraturan tentang daftar nama singkatan versus ICD-9-CM) and decisions regarding
penyakit dan peraturan lain yang ada di rekam standards: a multicenter study. Jurnal.
medis. Amerika Serikat: Department of Orthopaedic
Spine Surgery. Diakses dari http://www.ncbi.
DAFTAR PUSTAKA nlm.nih.gov tanggal 24 Juni 2013

American Academy of Professional Coders (AAPC). Farzandipour, M. 2009. Evaluation of Factors


2013. What Is ICD-9-CM? Diakses dari http:// Influencing Accuracy of Principal Procedure
www.aapc.com/resources/medical-coding/ Coding Based on ICD-9-CM. Online Research
icd9.aspx tanggal 31 mei 2013 pukul 8.46 Journal Perspectives in Health Information
AM. Management. Iran: Kashan University of
Medical Sciences. Diakses dari http://www.
Abdelhak, M. 2001. Health Information Management ncbi.nlm.nih.gov tanggal 12 Juni 2013
Of Strategic Resource. Sydney: W.B.Saunders
Company. Hasibuan, M.S.P. 2009. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Bumi Aksara

24
Nuryati. Evaluasi ketepatan diagnosis dan tindakan ...

Hatta, G.R. 2008. Pedoman Managemen Informasi RS Panti Rapih Yogyakarta. 2009. Standar Prosedur
Kesehatan Di Sarana Pelayanan kesehatan. Operasional (SPO) Tahun 2009. Yogyakarta
Jakarta: UI Press.
Santos, S., Gregory, M., Kathryn, B., Kerin, M. R.
Health Care Innovation Award (HCIA). 1992. 2008. Organisational factors affecting the
International Classification of Diseases 9th quality of hospital clinical coding. Health
Revision Clinical Modification Volume 3. Information Journal. Australia. Diakses dari
Maryland: HCIA. www.server-web.com tanggal 12 Juni 2013

Huffman, E. 1994. Health Information Management. Skurka, B.S. 2005. Health Information Management.
Illinois: Physisian‘s Record Company. Chicago: AHA Press

International Federation of Health Records Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif,


Organizations (IFRHO). 2006. Education Kualitatif Dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Modules for Basic Health Record Practice.
Amerika Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29
Tahun 2004 Pasal 46 diakses dari www.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 377/MENKES/ depkes.go.id pada tangga 7 Juni 2013
SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perekam
Medis. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Pasal 5
tentang Rumah Sakit diakses dari www.hukor.
Moleong, M.A. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. depkes.go.id pada tangga 7 Juni 2013
Bandung: Remaja Rosdakarya
WHO. 2002. Medical Records Manual: A Guide
Notoatmodjo, S. 2005. Metodelogi Penelitian for Developing Countries. Regional Office
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. For The Western Pasific: World Health
Organization.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 269/
Menkes/Per/III/2008 tentang rekam medis. ____. 2003. Improving Data Quality: A Guide
Diakses dari perpustakaan.depkes.go.id. for Developing Countries. Regional Office
For The Western Pasific: World Health
RS Panti Rapih Yogyakarta. 2009 Buku Pedoman Organization.
Pelayanan Rekam Medis (BPPRM) Tahun
2009. Yogyakarta. Wijono, D. 1999. Manajemen Mutu Pelayanan
Kesehatan, Teori Strategi dan Aplikasi Volume
RS Panti Rapih Yogyakarta. 2009. Profil Rumah 2. Surabaya: Airlangga University Press.
Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2009.
Yogyakarta.

25

Anda mungkin juga menyukai