Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Memahami penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan
dari pemahaman pengertian pemerintahan itu sendiri dalam artian yang lebih
luas.(Bagir Manan, 2001 : 100-102) mengungkapkan pemerintahan pertama-tama
diartikan sebagai keseluruhan lingkungan jabatan dalam suatu organisasi dalam
organisasi negara, pemerintahan sebagai lingkungan jabatan adalah alat-alat
kelengkapan negara seperti jabatan eksekutif, jabatan legislatif, jabatan yudikatif
dan jabatan supra struktur lainnya, jabatan-jabatan ini menunjukkan suatu
lingkungan keija tetap yang berisi wewenang tertentu, kumpulan wewenang
memberikan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, karena itu
jabatan eksekutif, jabatan legislatif, jabatan yudikatif, dan lain-lain sering juga
disebut kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif dan lain-
lain. Pemerintahan yang dikemukakan di atas dapat disebut sebagai pemerintahan
dalam arti umum atau dalam arti luas (government in the broad sense). Pemahaman
bahwa yang dimaksud dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah
pemerintahan daerah dalam arti luas dalam menjalankan fungsinya (Bagir Manan,
2001: 59). Dalam penyelenggaraan pemerintahan meliputi, tata cara penunjukan
pejabat, penentuan kebijakan, pertanggungjawaban, pengawasan dan lain-lain.
Untuk menjalankan wewenang atau kekuasaan yang melekat pada
lingkungan-lingkungan jabatan, harus ada pemangku jabatan yaitu pejabat
(ambtsdrager), pemangku jabatan menjalankan pemerintahan karena itu disebut
pemerintah, berdasarkan aneka ragam lingkungan jabatan maka ada pemerintah di
bidang legislatif, pemerintah di bidang yudikatif dan lain sebagainya, inilah yang
diartikan pemerintah (bukan pemerintahan) dalam arti luas, pemerintah juga dapat
diartikan dalam arti sempit yaitu pemangku jabatan sebagi pelaksana kekuasaan
eksekutif atau secara lebih sempit pemerintah sebagai penyelenggara administrasi
negara.

1
Pemerintahan sebagai lingkungan jabatan yang berisi lingkungan pekerjaan
tetap, dapat juga disebut pemerintahan dalam arti statis, selain itu pemerintahan
dapat juga diartikan secara dinamis, pemerintahan dalam arti dinamis berisi gerak
atau aktifitas berupa tindakan atau proses menjalankan kekuasaan pemerintahan,
pemerintahan dinamis di bidang eksekutif antara lain melakukan tindakan
memelihara ketertiban keamanan, menyelenggarakan kesejahteraan umum dan
lain-lain. pemerintahan dinamis di bidang yudikatif melakukan kegiatan
memeriksa, memutus perkara dan lain sebagainya. pemerintahan dinamis di bidang
legislatif melakukan kegiatan membuat undang- undang, menetapkan anggaran
pendapatan dan belanja negara, melakukan pengawasan, turut serta dalam mengisi
jabatan tertentu dan lain-lain.
Pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan wakil kepala daerah
sebagai pemegang pemerintahan tertinggi di daerah dan sebagai bagian dari
penyelenggara Negara. Pemerintah daerah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Akan tetapi dalam Pasal 18 ayat (4)
hanya disebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing masing sebagi
kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
Tidak menyebutkan secara jelas tentang Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil
Walikota. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang pertama
kali memberikan landasan hukum bagi kekuasaan pemerintah daerah yang
memberi ruang bagi kehadiran jabatan wakil kepala daerah. Dalam Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa setiap daerah dipimpin oleh
seorang kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil
Kepala Daerah. Pasal-pasal yang mengatur kedudukan dan tugas Wakil Kepala
Daerah di dalam UU ini sebetulnya bukanlah kedudukan dan tugas yang khas.
Substansi dari kedudukan dan tugas-tugas ini tidak berbeda jauh dengan kedudukan
dan tugas Sekretaris Daerah yakni membantu dan bertanggungjawab kepada
Kepala Daerah. Yang membedakan keduanya hanya terletak pada konsepsi
posisional antara aspek politik dan pemerintah. Wakil Kepala Daerah menduduki
jabatan/ posisi politik sedangkan Sekretaris Daerah menduduki jabatan/posisi
birokrasi (pemerintah).

2
Selain tidak diaturnya kedudukan Wakil Kepala Daerah dalam konstitusi
yang menjadi perdebatan adalah tugas, kewenangan dan keefektivitasan serta
tanggungjawab Wakil Kepala Daerah. Seperti tugas Wakil Kepala Daerah sebagai
pembantu tugas Kepala Daerah, tugas Wakil Kepala Daerah yang sudah dipikul
oleh pejabat daerah lainnya seperti Sekretaris Daerah dan bahkan dalam Pasal 63
sampai dengan 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 hanya mengatur tentang
tugas dan kewajiban Wakil Kepala Daerah, tidak ada dijelaskan wewenang Wakil
Kepala Daerah. Amanah yang terkandung di dalam Undang Undang atas tugas
Wakil Kepala Daerah tersebut tidak disertai dengan rincian kewenangan yang
diperlukan untuk menjalankan tugas-tugasnya.
Ketidakjelasan wewenang Wakil Kepala Daerah ini akan berdampak
kepada pelaksanaan tugas selama masa kerja. Berbagai tugas Wakil Kepala Dearah
berkaitan dengan kata kerja membantu, memantau, mengoordinasikan,
menindaklanjuti, melaksanakan, mengupayakan, mengevaluasi, memberikan saran
memerlukan kewenangan untuk melaksanakannya. Tanpa ada batas kewenagan
yang jelas antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berbagai tugas tersebut
akan menjadi kabur dalam implementasi dan tanggungjawabnya. Kewenangan
tersebut terutama berkaitan dengan aktivitas untuk memutuskan sesuatu, apabila
keputusan yang telah diambil oleh Wakil Kepala Daerah dimentahkan kembali oleh
Kepala Daerah maka wibawa Wakil Kepala Daerah akan pudar. Terkait dengan
jenis wewenang yang dipikul oleh Wakil Kepala Daerah sebagai orang yang
membantu tugas Kepala Daerah, karena jika menurut teori, wakil adalah bawahan
maka wewenang yang dimiliki wakil kepala daerah adalah mandat. Dalam jenis
wewenang yang berupa mandat tidak perlu adanya ketentuan perundang-undangan
yang melandasinya karena mandat merupakan sebuah hal rutin dalam hubungan
intern-hirarkhi organisasi pemerintah.
Dalam aturan sudah dijelaskan bahwa kepala daerah dibantu oleh wakil
kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan. Namun dibeberapa daerah di
Indonesia, ada kepala daerah yang bekerja sendiri dalam menjalankan
pemerintahan dikarenakan Kepala daerah atau wakil kepala daerah berhalangan
tetap. Seperti yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau, dimana Gubernur H.

3
Muhammad Sani meninggal dunia dan digantikan wakilnya H. Nurdin Basirun.
Hingga saat ini sudah hampir 11 bulan dari pelantikan wakil gubernur menjadi
gubernur, provinsi kepulauan belum memiliki seorang wakil gubernur. Seharusnya
ketika terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur, maka para elit di daerah segera
melakukan pengisian jabatan tersebut, agar penyelenggaraan pemerintah daerah
tidak terganggu. Namun yang terjadi, para elit saling menunjukkan kekuasaannya
dan pada akhirnya semakin berlarut persolanan ini terjadi tanpa ada solusi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
a. Faktor apa yang menjadi penghambat belum terlaksananya pengisian jabatan
Wakil Gubernur Kepulauan Riau?
b. Apakah efektif penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan hanya oleh
Gubernur?

4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kekuasaan
Harold D. Laswell (1984 : 9) berpendapat bahwa kekuasaan secara umum
berarti ‘’kemampuan pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain
sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan
keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan’’. Sejalan dengan itu,
dinyatakan Robert A. Dahl (1978 : 29) bahwa ‘’kekuasaan merujuk pada adanya
kemampuan untuk memengaruhi dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu
pihak kepada pihak lain’’. “Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk memengaruhi pikiran atau tingkah laku orang atau
kelompok orang lain, sehingga orang yang dipengaruhi itu mau melakukan sesuatu
yang sebetulnya orang itu enggan melakukannya. Dalam pengertian yang lebih
sempit, kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-
sumber pengaruh untuk memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan, sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya dan
masyarakat pada umumnya” (Ramlan Surbakti, 1992 : 58).
Maka dari itu Surbakti (2007) membagi konsep kekuasaan sebagai berikut:
1. Pengaruh (influence) adakah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar
merubah sikap dan perilakunya secara sukarela.
2. Persuasi adalah kemampuan menyakinkan orang lain dengan argumentasi
untuk melakukan sesuatu.
3. Manipulasi adalah penggunaan pengaruh, dalam hal ini yang dipengaruhi tidak
menyadari bahwa tingkahlakunya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan.
4. Coercion adalah peragaan kekuasaan atau ancaman kekuasaan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan
berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan.
5. Force adalah penggunaan tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan dan lain
sebagainya.
6. Kewenangan (authority)

5
Menurut Walter S. Jones (1993 : 3) kekuasaan dapat didefinisikan sebagai
berikut : 1) Kekuasaan adalah alat aktor-aktor internasional untuk berhubungan satu
dengan lainnya. Itu berarti kepemilikan, atau lebih tepat koleksi kepemilikan untuk
menciptakan suatu kepemimpinan; 2) Kekuasaan bukanlah atribut politik alamiah
melainkan produk sumber daya material (berwujud) dan tingkah laku (yang tidak
berwujud) yang masing-masing menduduki posisi khusus dalam keseluruhan
kekuasaan seluruh aktor; 3) Kekuasaan adalah salah satu sarana untuk
menancapkan pengaruh atas aktor-aktor lainnya yang bersaing menggapai hasil
yang paling sesuai dengan tujuan masing-masing; dan 4) Penggunaan kekuasaan
secara rasional merupakan upaya untuk membentuk hasil dari peristiwa
internasional untuk dapat mempertahankan atau menyempurnakan kepuasan aktor
dalam lingkungan politik internasional.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan sangat penting
kedudukannya dalam masyarakat, dengan kekuasaan suatu kelompok dapat
melakukan apa saja yang diinginkan dan dapat memengaruhi perbuatan-perbuatan
kelompok lain agar taat dan patuh terhadap pemegang kekuasaan. Kekuasaan
politik adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi proses pembantu dan
pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya,
kelompok ataupun masyarakat pada umumnya.
Perkembangan kekuasaan dapat digunakan untuk mempengaruhi kebijakan
umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan sang
penguasa. Mengingat kekuasaan mempunyai hubungan yang erat dengan politik
dan kekuasaan sangat terkenal dengan pengaruh dan mempengaruhi. Kekuasaan
dapat dilihat dari 2 sudut pandang yaitu keuasaan bersifat positif dan negatif.
Kekuasaan bersifat positif merupakan Kemampuan yang dianugerahkan
oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat
mempengaruhi dan merubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan
suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-
sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.
Kekuasaan bersifat Negatif merupakan sifat atau watak dari seseorang yang
bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau

6
kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan
cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang
kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan
emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan
tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan
mereka sendiri terkadang tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka
perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya
karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya kekuasaan dengan karakter
negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas
kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun
selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan
bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan
mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya.
Legitimasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan:
1. Menurut Inu Kencana, seseorang memperoleh kekuasaan dalam beberapa cara
yaitu melalui legitimate power, coersive power, expert power, reward power
dan revernt power.
2. Kekuasaan dapat dibagi dalam istilah eka praja, dwi praja, tri praja, catur praja
dan panca praja. Sedangkan pemisahan kekuasaannya secara ringkat dibagi
dalam rule making function, rule application function, rule adjudication
function (menurut Gabriel Almond); kekuasaan legislatif,,kekuasaan eksekutif
dan kekuasaan yudikatif (menurut montesquieu);kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif (menurut John Locke); wetgeving,
bestuur, politie, rechtsspraak dan bestuur zorg (menurut Lemaire); kekuasaan
konstitutif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif,
kekuasaan inspektif dan kekuasaan konstultatif (menurut UUD 1945).

2.2 Komunikasi Politik


Komunikasi politik mengalirkan pesan-pesan politik berupa tuntutan, protes
dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat) pemrosesan sistem
politik dan hasil pemoresan itu, dialirkan kembali oleh komunikasi politik. Fagen

7
(1966), mengartikan komunikasi politik sebagai segala komunikasi yang terjadi
dalam suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya.
Menurut Dahlan (1999) komunikasi adalah unsur yang esensial dalam demokrasi.
Batasan demokrasi banyak ditentukan oleh komunikasi. komunikasi menentukan
watak dan mutu demokrasi pada suatu masyarakat. Bachtiar Aly (2010), menyebut
komunikasi politik sebagai proses penyampaian pesan politik dari elit politik
kepada masyarakat secara timbal balik agar pesan-pesan politik yang disampaikan
memperoleh respons yang diharapkan seperti terjadinya proses pengambilan
keputusan politik secara demokratis, transparan dan tanggung gugat (akuntabiIitas).
Elit politik dikenal dengan elit yang memegang kekuasaan politik formal
dalam negara. Menurut Suryadi (1993), dalam komunikasi politik terjadi pola
hubungan memberi dan menerima, yang berarti bagaimana elit politik
menggunakan kekuasaannya kepada mayarakat dan bagaimana masyarakat itu
menanggapi serta menerima keinginan keinginan elit politik, begitu juga
sebaliknya. Pola hubungan seperti ini tergantung pada ideologi yang melandasi
sistem politik negara yang bersangkutan. Jika ideologinya demokratis maka
komunikasi politiknya akan demokratis pula. Dalam hal ini, elit politik ketika
mempengaruhi atau mengendalikan masyarakat tidak semata-mata mengandalkan
kekuasaan formal yang dimilikinya maupun wibawa dan pengaruhnya untuk
senantiasa memaksakan kehendak dengan cara yang bertentangan dengan norma
atau etika yang berlaku dalam masyarakat. Elit menerapkan kekuasaannya
berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut, sehingga
masyarakat dapat menerima dan patuh terhadap kekuasaan tersebut.
Elit lokal, yaitu para elit yang memerintah di tingkat daerah seperti kepala
daerah memegang peranan penting dalam komunikasi politik karena dia adalah
pemimpin masyarakat di daerahnya yang harus memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan masyarakatnya. Kepala daerah dapat juga sebagai penghubung untuk
menyerasikan kebijakan pembangunan atau kebijakan politik nasional dengan
aspirasi yang lahir dan berkembang dalam masyarakat sehingga menjadi kekuatan
actual yang dapat mendorong laju pembangunan. Tugas yang berat ini dapat dilalui
oleh kepala daerah tentu saja jika ada keterbukaan, keadilan dan suasana dialogis

8
sehingga terjadi komunikasi yang seimbang antara elit daerah/kepala daerah dengan
masyarakat

3.3 Efektivitas
Menurut Ravianto (1989:113), pengertian efektivitas adalah seberapa baik
pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana orang menghasilkan keluaran sesuai dengan
yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan
dengan perencanaan, baik dalam waktu, biaya maupun mutunya, maka dapat
dikatakan efektif.
Ndraha (2005:163), efisiensi digunakan untuk mengukur proses, efektivitas
guna mengukur keberhasilan mencapai tujuan”. Khusus mengenai efektivitas
pemerintahan, Ndraha (2005:163) mengemukakan: Efektivitas (effectiveness) yang
didefinisikan secara abstrak sebagai tingkat pencapaian tujuan, diukur dengan
rumus hasil dibagi dengan (per) tujuan. Tujuan yang bermula pada visi yang bersifat
abstrak itu dapat dideduksi sampai menjadi kongkrit, yaitu sasaran (strategi).
Sasaran adalah tujuan yang terukur, Konsep hasil relatif, bergantung pada
pertanyaan, pada mata rantai mana dalam proses dan siklus pemerintahan, hasil
didefinisikan. Apakah pada titik output? Outcome? Feedback? Siapa yang
mendefinisikannya : Pemerintah, yang-diperintah atau bersama-sama?
Apapun penilaiannya, efektivitas birokrasi yang menyelenggarakan fungsi-
fungsi pemerintah menjadi hal yang sangat penting dalam proses penyelenggaaan
pemerintahan daerah. Barnard (dalam Prawirosoentono, 1997: 27) berpendapat
“Accordingly, we shall say that an action is effective if it specific objective aim. It
is efficient if it satisfies the motives of the aim, whatever it is effective or not.”
Pendapat ini antara lain menunjukkan bahwa suatu kegiatan dikatakan efektif
apabila telah mencapai tujuan yang ditentukan.
Efektivitas memiliki tiga tingkatan sebagaimana yang didasarkan oleh
David J. Lawless dalam Gibson, Ivancevich dan Donnely (1997:25-26) antara lain:
1. Efektivitas Individu didasarkan pada pandangan dari segi individu yang
menekankan pada hasil karya karyawan atau anggota dari organisasi;

9
2. Efektivitas kelompok, adanya pandangan bahwa pada kenyataannya individu
saling bekerja sama dalam kelompok. Jadi efektivitas kelompok merupakan
Jumlah kontribusi dari semua anggota kelompoknya;
3. Efektivitas Organisasi terdiri dari efektivitas individu dan kelompok. Melalui
pengaruh sinergitas, organisasi mampu mendapatkan hasil karya yang lebih
tinggi tingkatannya daripada jumlah hasil karya tiap-tiap bagiannya.
Dari diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif
apabila hal tersebut sesuai dengan dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian
hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindak-tindakan
untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses
pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau
kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah
mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi
maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam
melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi
tersebut.
Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara
rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun,
jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga
menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu
dikatakan tidak efektif. Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan
efektif atau tidak, sebagaimana dikemukakan oleh S.P. Siagian (2008:77), yaitu:
a. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksdukan supaya karyawan
dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi
dapat tercapai.
b. Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah
“pada jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya dalam mencapai
sasaran-sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam
pencapaian tujuan organisasi.
c. Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan
yang hendak dicapai dan strategi yang telah ditetapkan artinya kebijakan harus

10
mampu menjembatani tujuantujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan
operasional.
d. Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan sekarang apa
yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.
e. Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu
dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila
tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja.
f. Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas
organisasi adalah kemamapuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan
prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi.
g. Pelaksanaan yang efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya suatu program
apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien maka organisasi tersebut
tidak akan mencapai sasarannya, karena dengan pelaksanaan organisasi
semakin didekatkan pada tujuannya.
h. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik, mengingat sifat
manusia yang tidak sempurna maka efektivitas organisasi menuntut
terdapatnya sistem pengawasan dan pengendalian.

Barnard dalam Prawirosentono (2008: 27) yang mengatakan bahwa


efektivitas adalah kondisi dinamis serangkaian proses pelaksanaan tugas dan fungsi
pekerjaan sesuai dengan tujuan dan saranan kebijakan program yang telah
ditetapkan, dengan definisi konseptual tersebut didapat dimensi kajian, yaitu
dimensi efektivitas program.
Dimensi Efektivitas Program diuraikan menjadi indikator (1) Kejelasan
tujuan program; (2) Kejelasan startegi pencapaian tujuan program; (3) perumusan
kebijakan program yang mantap; (4) penyusunan program yang tepat; (5)
Penyediaan sarana dan prasarana; (6) Efektivitas operasional program; (7)
Efektivitas fungsional program; (8) Efektivitas tujuan program; (9) Efektivitas
sasaran program; (10) Efektivitas individu dalam pelaksanaan kebijakan program;
dan (11) Efektivitas unit kerja dalam pelaksanaan kebijakan program.

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Urgensi Wakil Gubernur


Dalam UU No. 23 Tahun 2014 jo UU. No. 9 Tahun 2015 tenang
Pemerintahan Daerah. Kepala Daerah memiliki tugas sebaga berikut (pasal 65):
a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD;
b. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan
Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta
menyusun dan menetapkan RKPD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda
tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama;
e. mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan; dan
f. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Sedangkan wewenang Kepala Daerah, yaitu:
a. mengajukan rancangan Perda;
b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;
d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan
oleh Daerah dan/atau masyarakat;
e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

12
Perbedaan yang menonjol dari Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah,
yaitu pada wewenang. Kepala Daerah memiliki wewenang sedangkan Wakil
Kepala Daerah tidak. Ini tertuang pada pasal 66 :
(1) Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas:
a. membantu kepala daerah dalam:
1. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah;
2. mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan menindaklanjuti
laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan;
3. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah provinsi bagi wakil gubernur;
dan
4. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Perangkat Daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau
Desa bagi wakil bupati/wali kota;
b. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
pelaksanaan Pemerintahan Daerah;
c. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara; dan
d. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wakil kepala
daerah melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang
diberikan oleh kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
wakil kepala daerah menandatangani pakta integritas dan bertanggung jawab
kepada kepala daerah.
(4) Wakil kepala daerah wajib melaksanakan tugas bersama kepala daerah hingga
akhir masa jabatan.
Wakil kepala daerah diberikan tugas untuk membantu tugas dan wewenang
kepala daerah. Posisi wakil kepala daerah sangatlah strategis kalau dilihat dari tugas

13
dan wewenang kepala daerah yang begitu besar, peran dan fungsi wakil kepala
daerah sangat penting dalam pemerintahan daerah. Tentu dalam melaksanakan
tugas dan wewenang seorang kepala daerah yang memimpin di tingkat provinsi dan
sekaligus pula sebagai wakil pemerintah di tingkat provinsi yang membutuhkan
perencanaan yang matang serta tindakan yang cepat pula.
Beratnya beban kepala daerah bukan saja karena harus berhadapan dengan
DPRD yang sangat kuat, tetapi juga karena meningkatnya keberanian masyarakat
untuk melakukan kritik dan menuntut hak-haknya kepada Pemerintah Daerah dan
kondisi ekonomi sosial masyarakat yang masih rendah. Ditengah keterbatasan
kemampuan Pemerintahan Daerah, kepala daerah harus bisa meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat daerahnya, disamping harus tetap menjaga
keserasian hubungan dengan pemerintah pusat, dan pemerintah daerah lainnya,
sekaligus menumbuh kembangkan kehidupan yang demokratis. Maka keberadaan
wakil kepala daerah sangat diperlukan dan sangat urgen, namun dalam kenyataan
di lapangan tugas dan fungsi wakil kepala daerah tidak terlihat jelas dan terkesan
kurang berfungsi.

3.2 Kekosongan Wakil Gubernur


UU No. 10 Tahun 2016 adalah undang-undang terkini yang mengatur
mengenai pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta
walikota dan wakil walikota (perubahan kedua UU No. 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota). Undang-undang ini pun melanjutkan
tradisi demokrasi yang positif yakni tradisi Pilkada secara langsung sehingga baik
kepala daerah maupun wakil kepala daerah adalah representasi nyata dari
masyarakat selaku pemilihnya.
Pilkada langsung adalah suatu bentuk implementasi desentralisasi dalam
perspektif politik, dimana terjadi proses transfer pusat kekuasaan dari pusat ke
daerah. Konsep Pilkada secara langsung merupakan sistem yang dianggap paling
demokratis karena rakyat memilih secara langsung kepala daerahnya, sehingga
legistimasi terhadap proses dan hasil pemilihan sangat besar. Sehingga masyarakat
mampu dan mempunyai keluasaan untuk mengontrol jalannya kepemimpinan dan

14
pemerintahan. Oleh karena itu pemilihan kepala daerah secara langsung diniatkan
sebagai upaya mendemokratisasikan kehidupan berbangsa-bernegara di tingkat
lokal. Pertumbuhan demokrasi di tingkat lokal ini merupakan upaya untuk menacari
pemimpin lokal yang memiliki legitimasi kuat, demokratis dan representative.
Pilkada langsung memberikan kesempatan kepada rakyat di daerah sebagai
salah satu infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung
melalui mekanisme pemungutan suara. Hal ini akan mendorong terjadinya
keseimbangan antara infrastruktur politik dengan suprastruktur politik, karena
melalui pilkada langsung maka rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan
dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Meskipun
rakyat tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan pemerintahan
sehari-hari, namun mereka dapat melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan
yang sudah mendapat mandat langsung dari rakyat. Dengan demikian terjadi
mekanisme check and balance yang mendorong dicapainya akuntabilitas publik
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, Pilkada langsung bisa
menjadi pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional.
Terlaksananya pilkada langsung menunjukkan adanya peningkatan demokrasi.
Kadar demokrasi suatu negara ditentukan antara lain oleh seberapa besar peranan
masyarakat dalam menentukan siapa diantara mereka yang dijadikan pejabat
negara. Semakin banyak pejabat negara, baik di tingkat lokal maupun nasional,
yang dipilih langsung oleh rakyat, maka semakin tinggi kadar demokrasi di negara
tersebut.
Pilkada langsung juga menciptakan pola rekruitmen pimpinan lokal dengan
standar yang jelas. Dengan Pilkada langsung maka akan terjadi rekruitmen
pimpinan politik yang berasal dari daerah (lokal), bukan ditempatkan dari pusat.
Dengan Pilkada langsung, rakyat ikut terlibat secara langsung dalam memilih
pemimpinnya. Keterlibatan rakyat secara langsung ini pada gilirannya akan
meningkatkan demokratisasi di tingkat lokal, dimana rakyat benar-benar memiliki
kedaulatan. Dengan kata lain tidak terjadi distorsi dalam pelaksanaan kedaulatan
rakyat.

15
Pilkada langsung sebagai pembelajaran politik mencakup tiga aspek
pembelajaran, yakni: (1) meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal; (2)
mengorganisir masyarakat ke dalam aktivitas politik yang memberi peluang lebih
besar pada setiap orang untuk berpartisipasi; dan (3) memperluas akses masyarakat
lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka.
Tahun 2015 diselenggarakan Pilkada langsung secara serentak gelombang
pertama pada tanggal 9 Desember 2015 yang diikuti oleh 269 daerah, terdiri atas 9
provinsi , 36 kota dan 224 kabupaten. Provinsi Kepulauan Riau salah satunya,
dimana dalam pilkada (Gubernur dan Wakil Gubernur) langsung yang diikuti hanya
2 calon pasangan, yaitu: (1) Drs. H. Muhammad Sani dan H. Nurdin Basirun yang
diusung oleh Partai Demokrat, Nasdem, PPP, PKB, dan Gerindra; (2) H. M. Soeryo
Respationo dan Drs. H. Ansar Ahmad yang diusung oleh PDIP, Hanura, PKS, dan
PAN. Dari hasil KPU Provinsi Kepulauan Riau pada tanggal 23 Januari 2016
menetapkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Drs.
Muhammad Sani dan H. Nurdin Basirun dengan perolehan suara 347.515 (53,2%).
Pasangan ini tidak berumur panjang hanya 56 hari karena Gubernur H.
Muhammad Sani meninggal dunia. Dengan demikian secara otomatis Wakil
Gubernur H. Nurdin Basirun diangkat menjadi Gubernur sesuai dengan UU No. 23
Tahun 2014 jo. UU. No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
dilantiknya Wakil Gubernur menjadi Gubernur Kepulauan Riau pada tanggal 25
Mei 2016, maka terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur.
Sesuai dengan UU. No. 8 Tahun 2015 jo. UU. No. 10 Tahun 2016 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pasal 176 menyebutkan :
(1) Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berhenti karena
meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil
Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme
pemilihan oleh DPR Provinsi atau DPRD Kabupaten/ Kota berdasarkan usulan
Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung.
(2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua)
orang calon Wakil Gubernr, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan

16
Perwakilan Rakyat Daerah untuk dipilih dalam rapat paripurana Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Dalam hal Wakil Gubernr, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berasal dari
calon perseorangan berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau
diberhentika, pengisian Wakil Gubernr, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota
dilakukan melalui mekanisme pemilihan masing-masing oleh DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/ Kota berdasarkan usulan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
(4) Pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil
Walikota dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas)
bulan terhitung sejak kekosongannya jabatan tersebut.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan dan pengangkatan calon
Wakil Gubernr, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaiman dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bahwa mekanisme pengisian jabatan ini melalui pemilihan dalam rapat
paripurna DPRD Provisni Kepulauan Riau terhadap calon yang diajukan partai
pengsusung. Jadi, Gubernur tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri
siapa yang akan menjadi wakilnya. Gubernur harus mengikuti apa ayang menjadi
keinginan partai politik pengusung.
Proses pengisian jabatan Wakil Gubernur yang seharusnya bisa segera
dilaksanakan pasca pelantikan Gubernur baru, kenyataannya hingga saat ini belum
juga terlaksana, banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa hal ini terjadi.
Pertama, komunikasi politik diantara para pemegang kekuasaan (Gubernur dan
Partai Politik pengusung) dalam hal penentuan 2 (dua) nama calon Wakil Gubernur
yang akan diusulkan. Di dalam aturan, partai pengusung mengajukan 2 (dua) calon
wakil gubernur, namun yang terjadi proses pengusulan ini berjalan sangat alot,
dikarenakan partai pendukung yang terdiri dari Paratai Demokrat, Nasdem,
Gerindra, PKB dan PPP tidak satu suara dalam pengsulan nama calon wakil
gubernur. Masing-masing partai pendukung memiliki nama calonnya masing-
masing. Komunikasi politik yang terbangun diantara partai pengsung tidak berjalan

17
dengan baik, mereka saling klaim bahwa partai mereka yang paling berhak
mengusulkan nama calon wakil gubernur.
Kedua, faktor partai di luar partai pengusung dan yang memiliki mayoritas
suara di DPRD (PDIP, PKS, Hanura dan PAN). Tentunya partai di luar partai
pengusung juga memiliki bargaining, karena nantinya pemilihan dilakukan oleh
DPRD dan mereka juga memiliki suara mayoritas di DPRD. Yang pada akhirnya
hanya untuk mementukan siapa calon yang akan diusulkanpun berlarut tak kunjung
usai.
Ketiga, belum terbitnya Peraturan Pemerintah tentang tata cara pengisian
kekosongan jabatan wakil gubernur. Faktor ini juga yang dijadikan alasan mengapa
sampai saat ini DPRD enggan untuk menindaklanjuti proses pengisian jabatan
wakil gubernur, padahal sebenarnya tanpa terbitnya PP tersebut pengsisian jabatan
wakil gubernur tersebut harus sudah dilaksanakan, karena di dalam aturan tersebut
sudah jelas bagaiman proses pengsisian jabatan tersebut, walaupun belum secara
detil.
Terlihat bahwa komunikasi yang terbangun antara Gubernur dan DPRD
(partai pengusung maupun partai non pengusung) belum terjalin harmonis,
walaupun sebenarnya Gubernur sudah beberapa kali melakukan komunikasi
informal dengan beberapa elit DPRD, bahkan dengan elit partai non pengusung,
seperti H. M. Soeryo Respationo selaku ketua DPD PDIP Kepulauan Riau yang
juga menjadi rivalnya saat pilkada 2015 yang lalu. Faktanya sampai dengan saat ini
masih saja terjadi tarik ulur proses pengisian jabatan Wakil Gubernur.

3.3 Efektivitas Penyelenggaraan pemerintahan


Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa sebuah organisasi dalam
mencapai tujuannya banyak dipengaruhi oleh faktor, baik berasal dari faktor
internal maupun faktor eksternal organisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Steers (1985:9) dimana terdapat empat faktor yang
mempengaruhi keberhasilan akhir organisasi, yaitu : Pertama, Karakteristik
Organisasi, karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan tehnologi organisasi.
Struktur adalah cara unik suatu organisasi menyusun orangorangnya untuk

18
menciptakan sebuah organisasi. Dengan demikian pengertian struktur meliputi
faktor-faktor seperti luasnya desentralisasi pengendalian, jumlah spesialisasi
pekerjaan, cakupan perumusan interaksi antar pribadi dan seterusnya. Sedangkan
teknologi adalah mekanisme suatu organisasi untuk mengubah masukan mentah
menjadi keluaran jadi. Kedua, Karakteristik lingkungan, karakteristik lingkungan
terdiri dari dua aspek, yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Lingkungan internal pada umumnya dikenal sebagai iklim organisasi, meliputi
macam-macam atribut lingkungan kerja misalnya orientasi pada prestasi dan
pekerja sentris. Sedangkan lingkungan eksternal adalah kekuatan yang timbul di
luar batas-batas organisasi dan mempengaruhi keputusan serta tindakan dalam
organisasi. Ketiga, Karakteristik pekerja, karakteristik pekerja merupakan faktor
yang paling penting atas efektivitas organisasi, karena perilaku mereka inilah yang
dalam jangka panjang akan memperlancar atau memperlambat tujuan organisasi.
Keempat, Kebijakan dan praktek manajemen, kriteria kebijakan dan paraktek
menejemen terdiri dari penetapan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan
sumber daya secara efisien, menciptakan lingkungan prestasi, proses komunikasi,
kepemimpinan dan pengambilan keputusan serta adaptasi dan inovasi organisasi.
Dari gambaran diatas, bahwa faktor kepemimpinan menjadi salah satu
faktor keberhasilan atau efektifnya sebuah organisasi. Tatkala diterjemahkan
kedalam pemerintah daerah, maka kepemimpinan Gubernur berpengaruh terhadap
efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah. Lalu, pertanyaan yang muncul
apakah hanya kepemimpinan Gubernur saja?bagaimana dengan kepemimpinan
Wakil Gubernur?
Dalam prakteknya kedua kepemimpinan ini memiliki ruang yang sama
untuk mendapatkan pengaruh dari para pengikutnya. Hanya saja dibedakan
kewenangannya. Namun dari beberapa kasus, peran dari Wakil yang mampu
mendominasi, bahkan sampai pada pengambilan kebijakan strategis.
Lalu, jika dikaitkan dengan Provinsi Kepulauan Riau, yang mana hingga
saat ini atau hampir 11 bulan belum memiliki Wakil Gubernur. Tentunya Gubernur
memiliki kekuasaan yang mutlak atas penyelenggaraan pemerintah. Gubernur
memiliki kekusaan penuh dalam menakhodai pemerintah, tidak perlu dipusingkan

19
pembagian tugas dengan Wakil Gubernur. Namun hal ini bisa menjadi sebuah
petaka, apabila Gubernur terlalu berkuasa penuh, yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan. Disinilah peran dari Wakil Gubernur
yang juga memiliki fungsi memberikan saran dan masukan terhadap pengambilan
keputusan. Komunikasi yang terbangun dapat dijadikan sebagai check and balances
diantara keduanya. Saat ini tugas Wakil Gubernur lebih banyak dijalankan oleh
Sekretaris Daerah. Karena Substansi dari kedudukan dan tugas-tugas ini tidak
berbeda jauh dengan kedudukan dan tugas Sekretaris Daerah yakni membantu dan
bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. Yang membedakan keduanya hanya
terletak pada konsepsi posisional antara aspek politik dan pemerintah. Wakil
Kepala Daerah menduduki jabatan/ posisi politik sedangkan Sekretaris Daerah
menduduki jabatan/posisi birokrasi (pemerintah). Jadi jalannya roda pemerintahan
tanpa Wakil Gubernur masih bisa efektif, karena perannya bisa digantikan oleh
Sekretaris Daerah atau Gubernur itu sendiri.

20
BAB IV
KESIMPULAN

1. Dalam ketatanegaraan, wakil kepala daerah hanyalah bagian dari pada


konvensi ketatanegaraan semata. Hanya saja dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, dengan melihat luas wilayah dan jumlah penduduk yang begitu
besar, maka jabatan wakil kepala daerah dianggap perlu dan dituangkanlah
ketentuan wakil kepala daerah tersebut dalam beberapa bentuk peraturan
perundang-undangan. Pentingnya keberadaan seorang wakil kepala daerah,
dapat dilihat dari beberapa hal, seperti: ketika kepala daerah sewaktu-waktu
berhalangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, wakil kepala daerah juga
berfungsi membantu segala bentuk tugas dan kewenangan kepala daerah,
mengendalikan jumlah penduduk dan ikut serta membantu menyelesaikan
persoalan dalam kerumitan daerah itu sendiri.
2. Faktor penghambat dari tertendunya pengisian jabatan Wakil Gubernur lebih
dikarenakan oleh faktor komunikasi politik antar elit daerah. Perwujudan
komunikasi politik yang baik dari para elit daerah mampu memecahkan
persoalan yang ada.
3. Jalannya roda pemerintahan tanpa adanya Wakil Gubernur masih bisa efektif,
karena peran dan fungsinya dapat dikerjakan oleh Sekretaris Daerah. Dan
didukung oleh kepemimpinan yang kuat dari Gubernur.

21
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Kencana, Inu Syafei, 2002, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Labolo, Muhadam, 2006, Memahami Ilmu Pemerintahan, PT. Raja Grafindo,
Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 2002, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2, Rineka Cipta,
Jakarta
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH)
Fakultas Hukum UII Yogyakarta.
Muluk, Khairul, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia
Publishing, Malang.
Pasolong, Harbani, 2008, Kepemimpinan Birokrasi, CV. Alfabetha, Bandung
Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta

Jurnal:
Catur Wido Haruni. 2013. Tinjauan Yuridis Normatif Hubungan Kewenangan
Kepala Daerah Dengan Wakil Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Jurnal Humanity, ISSN 0216-8995

Tesis:
I Nengah Suriata (2011) Fungsi kepala daerah dalam Penyelenggaraan
pemerintahan daerah Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, Tesis Magister pada
Universitas Udayana, Denpasar, tidak diterbitkan.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

22
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang

23

Anda mungkin juga menyukai