Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR LANSIA


1. Pengertian Lansia
Masa dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara usia
65-75 tahun (Potter, 2005). Proses menua merupakan proses sepanjang
hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak,
dewasa, dan tua (Nugroho, 2008).
Penuaan adalah suatu proses yang alamiah yang tidak dapat dihindari,
berjalan secara terus-manerus, dan berkesinambungan (Depkes RI, 2001).
Menurut Keliat (1999) dalam Maryam (2008), Usia lanjut dikatakan
sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia
sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998
Tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008). Penuaan adalah
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
dan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu (Stanley, 2006).

2. Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (1999) dalam Maryam (2008), lansia memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1) Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 13
tentang kesehatan).
2) Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaftif
hingga kondisi maladaptif
3) Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi (Maryam, 2008).
3. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia.
1) Pralansia (prasenilis), Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2) Lansia, Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3) Lansia Resiko Tinggi, Seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan (Depkes RI, 2003)
4) Lansia Potensial, Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI,
2003).
5) Lansia Tidak Potensial, Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI,
2003).

4. Tipe Lansia
Di zaman sekarang (zaman pembangunan), banyak ditemukan
bermacam-macam tipe usia lanjut. Yang menonjol antara lain:
1) Tipe arif bijaksana, Lanjut usia ini kaya dengan hikmah pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2) Tipe mandiri, Lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang hilang
dengan kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan dan teman
pergaulan, serta memenuhi undangan.
3) Tipe tidak puas, Lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir batin,
menentang proses penuaan, yang menyebabkan kehilangan kecantikan,
kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman
yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut,
sulit dilayani dan pengkritik.
4) Tipe pasrah, Lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib
baik, mempunyai konsep habis (“habis gelap datang terang”), mengikuti
kegiatan beribadat, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.
5) Tipe bingung, Lansia yang kagetan, kehilangan kepribadian,
mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh
(Nugroho, 2008).
5. Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Erickson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau
menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi
oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Adapun tugas
perkembangan lansia adalah sebagai berikut :
1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
2) Mempersiapkan diri untuk pensiun.
3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.
4) Mempersiapkan kehidupan baru.
5) Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara
santai.
6) Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan
(Maryam, 2008).

B. KONSEP DASAR GASTRITIS


1. Defenisi
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung. (Priyanto, 2008. Hal 69).
Dan Menurut Suratun (2010. Hal 59) gastritis adalah suatu
peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronik difus, atau lokal
dengan karakteristik anoreksia, rasa penuh, tidak enak pada epigastrium,
mual dan muntah.
Sedangkan menurut Broker (2009. Hal 571) gastritis adalah
imflamasi mukosa yang melapisi lambung dan gastritis dapat terjadi secara
akut ataupun kronis.
2. Etiologi
Menurut Suratun (2010. Hal: 60) ada beberapa penyebab yang dapat
mengakibatkan seseorang menderita gastritis antara lain yaitu :
a. Mengkonsumsi obat obatan kimia (asetaminofen (aspirin), steroid
kortikosteroid), digitalis. Asetaminofen dan kortikosteroid dapat
mengakibatkan iritasi pada mukosa lambung, NSAIDS (nonsteroid anti
inflammation drugs) dan kortikosteroid menghambat sintesis
prostaglandin sehingga sekresi HCL meningkat dan menyebabkan
suasana lambung menjadi sangat asam sehingga menimbulkan iritasi
mukosa lambung.
b. Konsumsi alkohol. Alkohol dapat menyebabkan kerusakan gaster.
c. Terapi radiasi, refluk empedu, zat zat korosif (cuka, lada) menyebabkan
kerusakan mukosa gaster dan menimbulkan edema dan perdarahan.
d. Kondisi yang stressful (trauma, luka bakar, kemoterapi dan kerusakan
susunan saraf pusat) merangsang peningkatan produksi HCI lambung.
e. Infeksi oleh bakteri seperti helicobacter pilori, eschericia coli,
salmonella dan lain lain.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa gastritis merupakan peradangan yang terjadi pada
mukosa lambung yang dapat bersifat akut maupun kronis.

3. Patofisiologi (pathway terlampir)


Obat-obatan, alkohol, garam empedu, zat iritan lainnya dapat
merusak mukosa lambung (gastritis erosive). Mukosa lambung berperan
penting dalam melindungi lambung dari autodigesti oleh HCI dan pepsin.
Bila mukosa lambung rusak maka terjadi difusi HCI ke mukosa HCI akan
merusak mukosa. Pepsin merangsang pelepasan histamin dari sel mast.
Histamine akan menyebabkan penningkata permeabilitas kapiler sehingga
terjadi perpindahan cairan dari intra sel ke ekstra sel dan menyebabkan
edema dan kerusakan kapiler sehingga timbul perdarahan pada lambung.
Namun bila lambung sering terpapar dengan zat iritan maka
inflamasi akan menjadi terus menerus. Jaringan yang meradang akan diisi
oleh jaringan fibrin sehingga lapisan mukosa lambung dapat hilang dan
terjadi atropi sel mukosa lambung. Faktor intrinsik yang dihasilkan oleh sel
mukosa lambung akan menurun atau menghilang sehingga cobalamin
(Vitamin B12) tidak dapat diserap di usus halus. Pada akhirnya klien
gastritis dapat mengalami anemia. Selain itu dinding lambung menipis
rentan terhadap perforasi lambung dan perdarahan (Suratun, 2010. Hal: 61).

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan gastritis menurut Robbins
(2009. Hal: 474) ialah sebagai berikut :
a. Gastritis akut : gambaran klinisnya gastritis akut berkisar dari keadaan
asimtomatik, nyeri abdomen yang ringan hingga nyeri abdomen akut
dengan hematemesis
b. Gastritis kronis : gastritis kronis biasanya asimtomatik, kendati gejala
nausea, vomitus atau keluhan tidak nyaman pada abdomen atas dapat
terjadi; kadang kadang, ditemukan anemia pernisiosa yang manifes.
Hasil laboratoriumnya meliputi hipoklorhidria lambung dan
hipergastrinemia serum. Resiko terjadinya kanker untuk jangka panjang
adalah 2 (dua) persen hingga 4 (empat) persen.

5. Komplikasi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hematemasis
dan melena, dapat berakhir sebagai syok hemoragik, khusus untuk
perdarahan SCBA, perlu dibedakan dengan tukak peptik. Gambaran klinis
yang diperlihatkan hampir sama. Namun pada tukak peptik penyebab
utamanya adalah infeksi helicobacterpylori, sebesar 100% pada tukak
duodenum dan 60%-90% pada tukak lambung. Diagnosis pasti dapat
ditegakkan dengan endoskopi (Mansjoer, 2000, hal : 493).
6. Pemeriksaan Diagnostik
Menrurut Suratun (2010. Hal: 71) pemeriksaan diagnostik pada
pasien dengan gastritis meliputi :
a. Darah lengkap bertujuan untuk mengetahui adanya anemia.
b. Pemeriksaan serum vitamin B12 bertujuan untuk mengetahui adanya
defesiensi B12.
c. Analisa feses bertujuan untuk mengetahui adanya darah dalam feses.
d. Analisa gaster bertujuan untuk mengetahui kandungan HCI
lambung. Acholohidriamenunjukkan adanya gastritis atropi.
e. Test antibody serum. Bertujuan untuk mengetahui adanya antibody sel
pariental dan faktor instrinsik lambung terhadap helicobacter pylori.
f. Endoscopy, biopsy dan pemeriksaan urin biasanya dilakukan bila ada
kecurigaan berkembangnya ulkus peptikum.
g. Sitologi bertujuan untuk mengetahui adanya keganasan sel lambung.

7. Penatalaksanaan
Menurut Manjoer (2000. Hal 493) penatalaksanaan medis pada
pasien Gastritis, baik gastritis akut maupun gastritis Kronis ialah sebagai
berikut :
a. Gastritis akut
Faktor utama adalah dengan menghilangkan etiologinya. Diet
lambung, dengan porsi kecil dan sering. Obat obatan ditujukan untuk
mengatur sekresi asam lambung, berupa antagonis reseptor H2, inhibitor
pompa proton, antikolinergik, dan antacid. Juga ditujukan sebagai
sitoprotektor, berupa sukralfat dan prostaglanding.
b. Gastritis kronis
Penatlaksanaa diberikan seperti pada pasien dengan sindrom
dispepsia, apa lagi jika test serologi negatif. Pertama-tama yang dilakukan
adalah mengatasi dan menghindari penyebab pada gastritis akut, kemudian
diberikan pengobatan empiris berupa antasid, antagonis H2/ inhibitor pompa
proton dan obat obatan prokinetik. Jika endoskopidapat dilakukan,
dilakukan terapi eradikasi kecuali jika hasil CLO, kultur dan PA ketiganya
negatif atau hasil serologi negatif.

8. Pencegahan
a. Makan yang teratur
b. Hindari alcohol
c. Makan dalam porsi kecil dan sering
d. Hindari stres
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Gastritis
1. Data subyektif
Keluhan klien berupa nyeri uluhati, mual dan muntah, anorexia, rasa penuh,
pola makan salah, stres, konsumsi obat obatan, merokok, alkohol, diit, sakit
kepala, bersendawa, rasa terbakar setalah makan.
2. Data obyektif
Hasil pengkajian didapatkan nyeri tekan abdomen, dehidrasi, muntah
(frekuensi, bahan muntahan, darah).
3. Tanyakan pasien tentang tanda-tanda dan gejala-gejala yang ditunjukkan;
nyeri ulu hati, indigesti, mual, muntah; jika terdapat gejala; apakah gejala
berhubungan dengan ansietas, stress, alergi, makan atau minum terlalu
banyak atau terlalu cepat.
4. Bagaimana gejala menghilang.
5. Selidiki apakah orang lain di lingkungan pasien mempunyai gejala-gejala
serupa; apakah sudah dimuntahkan darah atau telah menelan suatu elemen
penyebab.
6. Lakukan pengkajian fisik lengkap. Perhatikan nyeri tekan abdomen,
dehidrasi, dan bukti bukti kelainan sistemik yang mungkin bertanggung
jawab terhadap gejala-gejala.

B. Diagnosa keperawatan
Adapun Diagnosa Keperawatan menurut Suratun (2010. Hal: 63) adalah
sebagai berikut :
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output cairan yang
berlebihan (muntah, perdarahan), intake cairan yang tidak adekuat.
b. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa gaster.
c. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tindakan
pembatasan intake nutrisi, puasa.
C. Intervesi keperawatan
Intervesi Keperawatan menurut Suratun (2010. Hal: 64) adalah :
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output cairan yang
berlebihan (muntah, perdarahan), intake cairan yang tidak adekuat
Tujuan : pemenuhan kebutuhan cairan adekuat.
Kriteria hasil : pengeluaran urine adekuat, tanda tanda vital dalam batas
normal, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler
kurang dari 3 detik.

Intervensi
1. Catat karakteristik muntah dan drainase.
2. Observasi tanda tanda vital setiap 2 jam.
3. Monitor tanda tanda dehidrasi (membrane mukosa, turgor kulit, pengisian
kapiler).
4. Obsarvasi masukan (intake) dan pengeluaran (output) cairan. Rasional
: untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh.
5. Pertahankan tirah baring.
6. Tinggikan kepala tempat tidur selama pemberian antasid.
7. Berikan cairan peroral 2 liter/hari.
8. Jelaskan pada klien agar menghindari kafein.
9. Berikan cairan intravena sesuai pram terapi medik.
10. Pasang nasogastrik tube (NGT) pada klien yang mengalami pendarahan
akut.
11. Pantau hasil pemeriksaan haemoglobin (HB).
12. Berikan terapi antibiotik, antasid, Vit K, sesuai program medik. .

b. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa gaster.


Tujuan : nyeri teratasi
Kriteria hasil : klien rileks, klien dapat tidur, skala nyeri 0-2.
Intervensi
1. Kaji dan cata keluhan nyeri termasuk lokasi, lamanya instensitas skala
nyeri (0-10).
2. Berikan makanan sedikit tapi sering.
3. Jelaskan agar klien menghindari makanan yang merangsang lambung,
seperti makanan pedas, asam dan mengandung gas
4. Atur posisi tidur senyaman mungkin.
5. Anjurkan klien melakukan teknik relaksasi, seperti napas dalam,
mendengarkan music, menonton TV dan membaca.
6. Berikan terapi analgetik dan antasid.

c. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tundakan


pembatasan intake nutrisi, puasa.
Tujuan : pemeuhan kebutuhan nutrisi adekuat.
Kriteria hasil : makan habis 1 porsi, berat badan meningkat, hasil
Laboratorium : alnumin, Hb normal.
Intervensi
1. Kaji status nutrisi dan pola makan klien.
2. Puasakan pasien selama fase akut.
3. Berikan nutrisi enteral atau parental, jika klien dipuasakan. Berikan
minum peroral secara bertahap jika fase akut berkurang.
4. Berikan makan peroral secara bertahap, mulai dari makanan saring.
5. Jelaskan agar klien menghindari minuman yang mengandung kafein.
6. Timbang berat badan klien setiap hari dengan alat ukur yang sama.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah,Lilik Ma’rifatul. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Garaha Ilmu.


Yogyakarta. 2011

Doenges E Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta

Kushariyadi. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba Medika.


Jakarta. 2010

Mubaraq, Chayatin, Santoso. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep Dan Aplikasi.


Salemba Medika. Jakarta. 2011

Stanley, Mickey. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Alih Bahasa; Nety Juniarti,
Sari Kurnianingsih. Editor; Eny Meiliya, Monica Ester. Edisi 2. EGC. Jakarta.
2006

Tamher, S. Noorkasiani. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan


Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 2011

Anda mungkin juga menyukai