Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt, atas segala limpahan
rahmat dan kasih sayang-Nya. Karena atas izin-Nya lah, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah tentang MESO (Monitoring Efek Samping Obat) ini
dengan baik. Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah selain untuk memenuhi
tugas yang telah diberikan, juga menambah pengetahuan penulis dan rekan-rekan
agar lebih mengetahui dan memahami tentang monitoring efek samping obat
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing kami yaitu
Ibu Ratna Sari Dewi, M.Farm, Apt yang telah memberikan penulis tugas pembuatan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada pembaca, dan makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga saran dan
kritik sangat penulis harapkan kepada pembaca.

Pekanbaru, 2019

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia,
sebagai lembaga yang mengemban otoritas regulatori dalam bidang obat di Indonesia
mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjamin bahwa semua
produk obat yang beredar (pasca pemasaran) memenuhi persyaratan keamanan,
khasiat dan mutu. Dalam hal ini, Badan POM melakukan langkah pengawalan dan
pemantauan baik dari aspek keamanan, kemanfaatan dan mutu obat yang beredar,
mulai dari evaluasi, pra pemasaran hingga pengawasan pasca pemasaran obat yang
beredar di wilayah Republik Indonesia.
Secara khusus, kegiatan pengawasan pasca pemasaran
Utamanya pemantauan aspek keamanan obat merupakan upaya Badan POM dalam
rangka menjamin keamanan obat (ensuring drug safety) pasca pemasaran. Kegiatan
ini merupakan kegiatan strategis pengawasan yang harus dilakukan secara
berkesinambungan, karena upaya jaminan keamanan obat pasca pemasaran akan
berdampak pada jaminan keamanan pasien (ensuring patient safety) sebagai
pengguna akhir dari suatu obat.
Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran
dilakukan untuk mengetahui efektifitas dan keamanan penggunaan obat pada kondisi
kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak bukti menunjukkan
bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah dengan pengetahuan yang
bertambah, dan dapat diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca
pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Farmakovigilans.
Sehingga,kegiatan ini menjadi salah satu komponen penting dalam sistem regulasi
obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum.
Pengawalan atau pemantauan aspek keamanan suatu obat harus secara
terus menerus dilakukan untuk mengevaluasi konsistensi profil keamanannya atau
risk- benefit ratio-nya. Dimana kita harus mempertimbangkan benefit harus lebih
besar dari risk, untuk mendukung jaminan keamanan obat beredar. Pengawalan aspek
keamanan obat senantiasa dilakukan dengan pendekatan risk management di setiap
tahap perjalanan atau siklus obat.
Badan POM tidak dapat melakukan pengawalan aspek keamanan obat ini
secara sendiri, namun perlu juga dukungan partisipasi semua yang terlibat dalam
perjalanan atau siklus suatu obat, sejak obat melalui proses perijinan (pra- pemasaran)
hingga peresepan dokter dan penggunaan oleh pasien (pasca pemasaran). Badan
POM melakukan pemutakhiran terhadap panduan pemantauan aspek keamanan
obat atau ESO di Indonesia. Sejawat tenagakesehatan yang bertugas di pelayanan
kesehatan baik di sektor pemerintah maupun swasta merupakan mitra kerja Badan
POM dalam hal aktifitas pemantauan aspek keamanan obat pasca
pemasaran..Hingga saat ini sistem pemantauan dan pelaporan ESO oleh sejawat
tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela, namun
demikian dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan juga standar
pelayanan kesehatan dalam rangka patient safety, pemantauan ESO menjadi
bagian yang sangat penting.

B. Rumusan Masalah
 Apa yang dimaksud dengan MESO?
 Apa tujuan MESO di lakukan?
 Mengapa perluh MESO?
 Siapa yang terlibat dalam melakukan MESO?
 Siapa yang melaporkan MESO?
 Apa yang dilaoporkan dalam MESO?
 Bagaimana cara melaporkan ESO?
 Obat-obat apa saja yang perluh MESO?
 Reaksi-reaksi apa saja yang perlu dilaporkan dalam MESO?
 Apa yang dimaksud dengan High Alert medications?

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Tiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan, yang
terjadi pada d o s i s ya n g d i gu n a k a n p a d a m a n u s i a u n t u k t u j u a n
p r o f i l a k s i s , d i a g n o s i s d a n t e r a p i . Melakukan monitoring efek samping
obat. Yaitu memantau baik secara langsung maupuntidak langsung terjadinya
efek samping obat, meminimalkan efek samping yang timbul dan menghentikan
atau penggantian obat jika efek samping memperparah kondisi pasien. Pasien
juga berhak melaporkan terjadinya efek samping obat kepada farmasis di apotek
atau rumah sakit agar dilakukan upaya-upaya pencegahan, mengurangi atau
menghilangkan efek samping tersebut. Pemantauan dimaksudkan untuk memastikan
terapi obat yang tepat. Monitoring efek samping obatAspek yang harus
dipertimbangkan dalam pemakaian obat adalah:
 Efektivitas
 Keamanan
 Mutu
 Rasional
 Harga
Aspek keamanan tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek samping obat
(E.S.O)

B. Tujuan Monitoring Efek Samping Obat


 Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal sekali yang baru
saja ditemukan
 Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
timbulnya ESO atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya reaksi ESO.
 Memberi umpan balik adanya interaksi pada petugas kesehatan
 Membuat peraturan yang sesuai
 Memberi peringatan pada umum bila dibutuhkan
 Membuat data esensial yang tersedia sesuai sistem yang dipakai WHO

C. Perlu Monitoring Efek Samping Obat


Pemantauan keamanan obat yang sesudah beredar masih perlu dilakukan
karena penelitian atau izin yang dilakukan sebelum obat diedarkan, baik uji praklinik
maupun uji klinik belum sepenuhnya dapat mengungkapkan efek samping obat
(ESO) utamanya efek samping yang jarang terjadi ataupun yang timbul setelah
penggunaan obat untuk jangka waktu lama. Disamping itu pada uji klinik seringkali
tidak melibatkan penggunaan obat yang termasuk kelompok anak-anak, wanita hamil,
wanita menyusui atau usia lanjut.Maka perhatian terhadap reaksi yang tidak
diinginkan selama pemakaian sangat
perlu dipantau secara sistemik.

D. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat (ESO)

MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary


reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang
dikenal sebagai Form Kuning (Lampiran 1). Monitoring tersebut dilakukan terhadap
seluruh obat beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan
sebagai healthcare provider merupakan suatu tool yang dapat digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi.

C. Petugas yang Terlibat Dalam Melakukan Monitoring Efek Samping Obat


a. Monitoring Efek Samping Obat Di Rumah Sakit

Merupakan salah satu tugas PFT, tim Meso dalam PFT adalah :

 Para Klinisi Terkait


 Ahli Farmakologi
 Apoteker
 Perawat

Tenaga kesehatan yang dapat melaporkan MESO, yaitu:

 Dokter
 Dokter spesialis
 Dokter gigi
 Apoteker
 Bidan
 Perawat
 Tenaga kesehatan lain.

D. Pelaksanaan Monitoring Efek Samping Obat

Program MESO menggunakan metode pelaporan secara sukarela (Voluntary


reporting) dari tenaga kesehatan dengan formulir pelaporan yang dirancang
sesederhana mungkin sehingga memudahkan pengisiannya (formulir kuning). Hasil
pengkajian aspek keamanan berdasarkan laporan ESO di indonesia atau informasi
ESO internasional, dapat digunakan untuk pertimbangan suatu tindak lanjut regulatori
berupa pembatasan indikasi, pembatasan dosis, pembekuan atau penarikan izin edar
dan penarikan obat dari peredaran untuk menjamin perlindungan keamanan
masyarakat Indonesia telah tercatat sebagai negara anggota dalam kegiatan WHO
UMC Collaborating Centre for International Drug Monitoring. Monitoring Efek
Samping Obat Internasional” (WHO-UMC Collaborating Centre), di Uppsala,
Swedia. Data ESO dari seluruh dunia yang dikirimkan termasuk dari
Indonesia,selanjutnya akan masuk dalam data base Pusat MESO Internasional. Drug
Regulatory Authorities (DRAs) dari negara-negara anggota saling bertukar menukar
informasi berkaitan dengan drug safety melalui e-mail Vigimed Lists.

Laporan efek samping yang telah dikaji atau dievaluasi sesuai derajat atau
tingkat kegawatan efek samping dan/atau insidens dalam hal lain, hasilnya dapat
berbentuk saran serta tindak lanjut terhadap kasus yang bersangkutan oleh pihak
regulatori, dan dipublikasi di dalam bulletin BERITA MESO. Pusat MESO Nasional
sangat mengharapkan dan menghargai peran aktif untuk berpartisipasi di dalam
kegiatan MESO.

E. CARA MELAPORKAN DAN INFORMASI APA SAJA YANG HARUS


DILAPORKAN
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping yang belum
diketahui hubungan kausalnya (KDT/AE) maupun yang sudah pasti
merupakan suatu efek samping obat.
Ketika suatu obat telah mendapat persetujuan dari Badan pengawas
obat dan makanan (BPOM) untuk diedarkan, penggunaan obat secara luas
oleh masyarakat tidak dapat dihindari. Untuk itu, tuntutan pengawalan dan
pemantauan aspek keamanan suatu obat harus terus-menerus dilakukan. Hal
ini lebih dikenal dengan istilah pemantauan aspek keamanan obat pasca
pemasaran (post-marketing surveillance).
Dalam hal ini Badan POM melakukan langkah pengawalan dan
pemantauan baik dari aspek keamanan, kemanfaatan dan mutu obat yang
beredar. Kegiatan ini dilakukan Badan POM dalam upaya menjamin
keamanan obat (ensuring drug safety) pasca pemasaran.
Bila kegiatan ini dilakukan secara berkesinambungan agar berdampak
pada jaminan keamanan pasien (ensuring patient safety) sebagai pengguna
akhir dari suatu obat. Dengan pemantauan aspek keamanan pasca pemasaran,
efek samping obat dapat di cegah. Kegiatan ini juga menjadi salah satu
komponen penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik, dan kesehatan
masyarakat secara umum.
Peran masyarakat merupakan salah satu unsur penting dalam
perjalanan suatu obat. Masyarakat atau pasien adalah pengguna akhir suatu
produk obat. Pasien menerima pengobatan yang diberikan dokter untuk
perawatan kesehatannya. Saat itulah pasien berhak mengetahui informasi apa
pun obat yang hendak digunakan. Untuk itu, tenaga kesehatan, baik dokter
maupun apoteker harus dapat memberikan informasi yang jelas terkait dengan
penggunaan obat tersebut. Mereka juga harus menyarankan kepada pasien
untuk tidak sungkan kembali lagi kepada dokter apabila merasakan ha-hal
yang tidak nyaman selama penggunaan obat.
Beragam pertanyaan yang dapat diajukan terkait dengan penggunaan
obat menunjukkan obat merupakan suatu produk khusus yang memerlukan
perhatian dan kewaspadaan serta kepatuhan dalam penggunaanya. Kepatuhan
penggunaan ini sesuai dengan rambu-rambu yang diberikan secara khusus
oleh dokter pda saat meresepkan obat ataupun rambu-rambu yang melekat
pada obat tersebut, yaitu yang tercantum pada brosur yang menyertai produk
obat. Brosur di dalam obat tersebut terdapat informasi untuk pengawalan
keamanan penggunaanya, seperti indikasi (obat diberikan sesuai dengan
indikasi penyakit yang di derita pasien), kontraindikasi (obat dilarang
diberikan kepada pasien dengan kondisi medis tertentu yang disebutkan),
perigatan dan perhatian (hal-hal yang harus diperhatikan oleh pasien selama
menggunakan obat tersebut), dan informasi efek samping. Dengan inilah
dibutuhkan partisipasi pengawalan aspek keamanan obat oleh pasien atau
masyarakat. Caranya dengan melaporkan efek samping yang di alaminya
kepada dokter yang meresepkan obat.
Pasien atau masyarakat adalah sumber uama dalam hal pemantauan
efek samping obat karena pasien lah yang mengalami dan merasakannya.
Pelaporan itu dapat mencegah kemungkinan efek samping yang sama terjadi
pada orang lain apabila diresepkan obat yang sama.
Dalam upaya mendorong partisipasi semua pihak terkait
dengan penggunaan obat, Badan POM melakukan program pemantauan efek
samping obat. Peran tenaga kesehatan Selain masyarakat atau pasien,
dibutuhkan pula peranan tenaga kesehatan dalam melaporkan kasus efek
samping obat. Saat ini sistem pelaporan efek samping oleh tenaga kesehatan
di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary reporting). Karena itu,
keberhasilan berjalannya sistem ini bergantung pada peran tenaga kesehatan
itu sendiri. Oleh karena itu, setiap laporan efek samping yang
diinformasikan pasien kepada dokter, sangat didorong (encouraged) untuk
dapat diteruskan kepada Badan POM dalam bentuk laporan efek samping.
Badan POM memberikan fasilitasi pelaporan efek samping obat dengan
menyirkulasikan formulir pelaporan berwarna kuning (dikenal dengan
formulir kuning) kepada tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
Di dalam formulir kuning, tenaga kesehatan diharapkan memberikan
informasi yang lengkap. Informasi itu terkait dengan empat unsur penting,
yaitu informasi tentang pasien, efek samping yang dialami, obat yang
dicurigai penyebab efek samping, dan tenaga kesehatan pelapor. Formulir
kuning dapat diperbanyak dan dikirim tanpa menggunakan prangko. Metode
pelaporan itu sedikit membutuhkan biaya dan cukup efektif. Keuntungan
lainnya adalah dapat menemukan efek samping obat yang jarang terjadi, fatal,
atau gawat. Dengan populasi yang sangat besar di negara kita, pelaporan efek
samping obat oleh tenaga kesehatan merupakan potensi yang penting untuk
mengevaluasi keamanan suatu obat pasca pemasaran.
Laporan efek samping obat itu merupakan langkah deteksi dini dan
pencegahan adanya permasalahan terkait dengan penggunaan suatu obat.
Dengan mengetahui efek samping atau informasi aspek keamanan suatu obat
tersebut membangun rasa percaya diri dokter dalam meresepkan obat tersebut
kepada pasiennya. Beberapa survei menunjukkan rasa percaya diri dokter
dalam meresepkan suatu obat lebih besar dengan mengetahui informasi efek
samping atau aspek keamanan yang harus diwaspadai sehingga keberhasilan
terapi kepada pasien juga meningkat. Pengkajian profil keamanan obat
Terhadap semua laporan efek samping yang diterima, Badan POM
selanjutnya akan mengevaluasi setiap laporan untuk menentukan hubungan
kausalitasnya. Dalam melakukan evaluasi aspek keamanan, Badan POM
melakukan penilaian tentang kemanfaatan dan risiko (riskbenefit assessment).
Perimbangan yang diharapkan antara kemanfaatan dan risiko adalah
kemanfaatan melebihi risiko. Laporan efek samping yang disampaikan tenaga
kesehatan kepada Badan POM merupakan masukan penting untuk melakukan
identifi kasi kemungkinan bergesernya perimbangan antara kemanfaatan dan
risiko.
Bila profil keamanan suatu obat dengan pergeseran perimbangan
dengan risiko menjadi lebih besar daripada kemanfaatan, Badan POM akan
mengkaji profil keamanan obat tersebut. Pengkajian harus dilakukan untuk
penetapan langkah tindak lanjut regulatori yang tepat. Dalam pengkajian
komprehensif tersebut, Badan POM menunjuk tim ahli sesuai dengan spesifi
kasi keahlian yang dibutuhkan. Selanjutnya mereka akan memberikan
rekomendasinya. Jika hasil pengkajian mengindikasikan/merekomendasikan
perlunya pengambilan langkah tindak lanjut regulatori, pembahasan akan
dibawa ke tingkat Komite Nasional Penilai Obat Jadi. Rekomendasi yang
dilaku kan harus berpihak pada kepentingan keamanan pasien secara khusus,
dan kesehatan masyarakat secara umum. Rekomendasi tindak lanjut regulatori
yang dihasilkan dari proses pengkajian dan pembahasan aspek keamanan
suatu obat dapat berupa pembatasan indikasi, perubahan dosis pemberian dan
posologi, perubahan penandaan (penambahan informasi aspek keamanan),
pembekuan sementara izin edar, pembatalan izin edar, dan penarikan dari
peredaran. Langkah berikutnya, tindak lanjut regulatori ini harus dapat
diinformasikan secara luas utamanya kepada tenaga kesehatan sebagai
penyedia pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Penyebaran informasinya
dilakukan dengan penerbitan informasi untuk dokter atau yang dikenal dengan
dear doctor letter. Informasi itu disampaikan kepada asosiasi profesi ke
sehatan (IDI) untuk dapat disebarluaskan ke seluruh anggotanya. Di samping
itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan juga menerbitkan buletin berita
MESO, yang disebarluaskan ke hampir seluruh pelayanan kesehatan di
Indonesia. Aktivitas pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran saat
ini telah berkembang secara pesat dan merupakan suatu yang mendesak bagi
Indonesia untuk dapat sejajar dengan negara lainnya. Untuk itu, perlu
dilakukan intensifi kasi program dalam rangka meningkatkan peran serta
tenaga kesehatan dan kesadaran masyarakat agar lebih proaktif dalam
melaporkan efek samping obat. Selain itu juga menumbuhkan budaya
pelaporan efek samping (reporting culture). Dibutuhkan kerja sama antara
Badan POM dan semua pihak yang terkait, untuk mendorong budaya
kepedulian dan kewaspadaan terhadap penggunaan obat yang lebih baik.
Pihak-pihak terkait itu mulai dari pasien sendiri, tenaga kesehatan, rumah
sakit atau sarana pelayanan kesehatan, 11 institusi pendidikan kesehatan,
organisasi profesi kesehatan, hingga penyedia obat (industri farmasi
pemegang izin edar), dan media.
Informasi KTD atau ESO yang hendak dilaporkan diisikan ke dalam
formulir pelaporan ESO/ formulir kuning yang tersedia. Dalam penyiapan
pelaporan KTD atau ESO, sejawat tenaga kesehatan dapat menggali informasi
dari pasien atau keluarga pasien. Untuk melengkapi informasi lain yang
dibutuhkan dalam pelaporan dapat diperoleh dari catatan medis pasien.
Informasi yang diperlukan dalam pelaporan suatu KTD atau ESO dengan
menggunakan formulir kuning, adalah sebagai berikut:
F. MENGAPA PERLU MESO
Pemantauan keamanan obat sesudah beredar masih perlu dilakukan
karena penelitian atau ijin yang dilakukan sebelum obat diedarkan, baik uji
preklinik maupun uji klinik belum sepenuhnya dapat mengungkapkan efek
samping obat (ESO) utamanya efek samping yang jarang terjadi ataupun yang
timbul setelah penggunaan obat untuk jangka waktu lama. Disamping itu
pada uji klinik seringkali tidak melibatkan penggunaan obat yang termasuk
kelompok anak-anak, wanita hamil, wanita menyusui atau usia lanjt.
Maka perhatian terhadap reaksi yang tidak diinginkan selama
pemakaian sangat perlu dipantau secara sistemik.
G. TUJUAN MESO
 Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal sekali
yang baru saja ditemukan
 Mengenal semua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan/mempengaruhi timbulnya ESO atau mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya reaksi ESO.
 Memberi umpan balik adanya interaksi pada petugas kesehatan
Membuat peraturan yang sesuai
 Memberi peringatan pada umum bila dibutuhkan
 Membuat data esensial yang tersedia sesuai sistem yang dipakai
WHO.
H. REAKSI-REAKSI YANG DILAPORKAN DALAM MONITORING EFEK
SAMPING OBAT
 Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat obat. Terutama efek
samping yang selama ini tidak pernah / belum pernah dihubungkan
dengan obat yang bersangkutan .
 Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat.
 Setiap reaksi efek samping serius, antara lain:
 Reaksi anafilaktik
 Diskrasia darah
 Perforasi usus
 Aritmia jantung
 Seluruh jenis efek fatal
 Kelainan congenital
 Perdarahan lambung
 Efek toksik pada hati
 Efek karsinogenik
 Kegagalan ginjal
 Edema laring
 Efek samping berbahaya seperti sindrom Stevens Johnson
 Serangan epilepsi dan neuropati
 Setiap reaksi ketergantungan Sebagai contoh klasik adalah yang
berkaitan dengan obat golongan opiat; walaupun demikian berbagai
obat lain dapat menimbulkan reaksi ketergantungan fisik dan atau
psikis.
I. OBAT-OBAT YANG PERLU DI MONITORING EFEK SAMPINGNYA
1. Obat golongan PPI ( Proton Pump Inhibitor) merupakan golongan obat
yang bekerja dengan menurunkan jumlah atau menekan sekresi asam
lambung. Obat – obat yang dikategorikan sebagai PPI dan beredar di
Indonesia antara lain: (esomeprazole, omeprazole, lansoprazole dan
pantroprazole.) Informasi aspek keamanan terkini terkait produk obat
golongan PPI yang diperoleh dari US FDA menyebutkan bahwa
terdapat kemungkinan peningkatan risiko penurunan kadar magnesium
(hypomagnesemia) jika digunakan dalam jangka waktu
panjang. Hypomagnesemia dilaporkan terjadi pada pasien dewasa
yang menerima PPI minimal 3 bulan, tetapi sebagian besar
hypomagnesemia terjadi setelah 1 tahun terapi dengan PPI. Kadar
serum magnesium yang rendah menyebabkan efek samping serius
termasuk muscle spasm (tetany), irregular heartbeat (arrhytmias) dan
convulsions ( seizures), namun tidak semua pasien mempunyai gejala-
gejala tersebut. Hypomagnesemia juga menyebabkan sekresi hormon
parathyroid terganggu dan dapat berkembang menjadi hypocalcemia.
2. Obat golongan Fibrat merupakan golongan obat yang telah digunakan
ber tahuntahun untuk menurunkan kadar lipid, seperti trigliserida dan
kolesterol dalam darah. Hasil review menyimpulkan bahwa obat
golongan fibrat memiliki rasio manfaat yang lebih besar daripada
risiko. Namun, dokter sebaiknya tidak meresepkan fibrat sebagai
pengobatan lini pertama pada pasien baru yang didiagnosis mengalami
gangguan lipid darah, kecuali pada pasien hipertrigliseridemia parah
atau pasien yang tidak dapat menggunakan statin. Jenis obat golongan
fibrat yang beredar antara lain: bezafibrat, ciprofibrat, fenofibrat dan
gemfibrozil. Sementara itu, efek samping terkait penggunaan obat
golongan fibrat yang sering dilaporkan adalah ini antara lain:
digestive, gastric or intestinal disorders (seperti abdominal pain,
nausea, vomiting , diare, dan perut kembung); skin reactions (seperti
rash, pruritus, urticaria dan photosensitivity, dan pada beberapa pasien
dapat mengalami cutaneous photosensitivity dengan manifestasi
eritema, vesiculation atau nodulation pada bagian kulit yang terpapar
matahari).
3. Rosiglitazone merupakan antidiabetik oral yang bekerja dengan
meningkatkan sensitivitas insulin. Rosiglitazone mengontrol glikemia
dengan mengurangi kadar insulin dalam sirkulasi darah. Di Indonesia,
terdapat 2 (dua) jenis sediaan obat, yaitu dalam bentuk tunggal
rosiglitazone dan kombinasi rosiglitazone dengan metformin atau
rosiglitazone dengan glimepiride. Informasi aspek keamanan terbaru
rosiglitazone menunjukkan potensi efek samping pada cardiovascular.
Hal ini didasarkan pada safety data yang diperoleh dari
suatu pooledanalysis of controlled clinical trials (42 randomized
controlled clinical studies), menunjukkan adanya peningkatan secara
signifikan risiko efek samping serangan jantung dan heart-related
deaths pada pasien yang menggunakan obat ini.
4. Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan cephalosporin spektrum
luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Informasi
keamanan terkini menyebutkan bahwa terdapat beberapa laporan kasus
efek samping fatal terkait penggunaan bersama ceftriaxone dengan
sediaan yang mengandung calcium. Terdapat laporan kematian pada
bayi/neonatal dimana penggunaan bersama kedua obat tersebut
menyebabkan presipitasi pada paru-paru dan ginjal. Pada beberapa
kasus, dilaporkan bahwa obat yang mengandung calcium diberikan
pada waktu pemberian dan rute administrasi yang berbeda dengan
ceftriaxone. Oleh karena itu, sebaiknya ceftriaxone tidak diberikan
kepada bayi/neonatal yang mengalami hyperbilirubinaemia,
khususnya bayi prematur.
5. Metoclopramide merupakan suatu dopamine receptor antagonist yang
disetujui beredar di Indonesia dengan indikasi diabetik gastroparesis,
mual muntah dan esofagitis refluks. Informasi baru atau terkini terkait
aspek keamanan obat metoclopramide yang dilansir oleh US FDA dan
kemudian juga dimuat dalam WHO News Letter. Disebutkan bahwa
obat ini berisiko menyebabkan tardive dyskinesia pada penggunaan
jangka panjang (kronis) atau dosis tinggi, utamanya pada pasien
wanita usia lanjut. Tardive dyskinesia adalah kondisi medis yang
ditandai dengan gejala gangguan perubahan bentuk (disfiguring
disorder) berupa gerakan-gerakan yang diluar kesadaran (involuntary)
pada wajah, lidah atau ekstrimitas, yang berpotensi irreversible. Pada
umumnya atau sebagian besar laporan kasus efek samping obat yang
diterima oleh US FDA, kasus tardive dyskinesia terjadi pada pasien
yang menggunakan metoclopramide lebih dari tiga bulan.
6. Clopidogrel merupakan suatu obat golongan thienopyridine, yang
secara struktur kimia mirip dengan ticlopidine, bekerja dengan
mekanisme menghambat ADPinduced platelet aggregation. Obat ini
disetujui beredar di Indonesia dengan indikasi untuk mengurangi
kejadian atherothrombotik. Pada tanggal 29 Mei 2009 yang
menyatakan terdapat 18 beberapa studi yang menunjukkan bahwa
clopidogrel bekerja kurang efektif pada pasien yang dalam waktu
bersamaan juga mengkonsumsi obat proton pump inhibitors (PPI) Hal
inilah yang dapat meningkatkan risiko thrombotic events, termasuk
acute myocardial infarction. Pada praktik klinik kemungkinan kedua
obat ini diresepkan secara bersama, karena Clopidogrel dapat
mengakibatkan efek samping nyeri lambung dan ulser lambung, dan
biasanya untuk mengatasi hal tersebut diresepkan juga obat golongan
PPI tersebut.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Monitoring Efek Samping Obat, adalah program pemantauan
keamanan obat sesudah beredar (pasca-pemasaran). Program ini dilakukan
secara berkesinambungan untuk mendukung upaya jaminan atas keamanan
obat, sejalan pelaksanaan evaluasi aspek efikasi, MESO oleh tenaga kesehatan
di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary reporting ) dengan
menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai
Form Kuning. Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat yang
beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert medications) adalah
obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius ( sentinel
event ), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan
(adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya
mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound
Alike/ LASA).

Anda mungkin juga menyukai