ZZZ BAB II Tinjauan Pustaka PDF
ZZZ BAB II Tinjauan Pustaka PDF
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak kelapa sawit terdiri atas minyak sawit kasar atau CPO (Crude Palm
Oil) dan minyak inti sawit atau PKO (Palm Kernel Oil). CPO diperoleh dari
ekstraksi bagian mesokarp (daging buah) kelapa sawit, sedangkan PKO atau
minyak inti sawit diperoleh dari ekstraksi kernel (inti sawit). Minyak sawit
memiliki warna jingga kemerahan karena mengandung pro vitamin A (β-karoten)
60-100 ppm. Minyak sawit memiliki konsistensi padat sebagian pada suhu kamar
dan konsistensi serta titik leburnya ini banyak dipengaruhi oleh kadar asam lemak
bebasnya. Dalam keadaan segar, asam lemak bebas memiliki kadar yang lebih
rendah. (Mangoensoekarjo, 2005).
Menurut SNI (2006), CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak nabati
(minyak yang berasal dari tumbuhan) berwarna jingga kemerah-merahan yang
diperoleh dari proses pengempaan atau ekstraksi daging buah tanaman Elaeis
guinneensis. Syarat mutu minyak kelapa sawit mentah (CPO) adalah sebagai
berikut.
Minyak sawit yang diperoleh dari mesokarp buah kelapa sawit melalui
ektraksi dan mengandung sedikit air serta serat halus, yang berwarna kuning
sampai merah dan berbentuk semi padat pada suhu ruang (Naibaho, 1988).
Bentuk semi padat minyak sawit disebabkan oleh kandungan asam lemaknya.
CPO mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dengan
persentase yang hampir sama. Pada tabel berikut dapat dilihat komposisi asam
lemak pada minyak sawit kasar atau CPO.
Tabel 3 Komposisi Asam Lemak pada Minyak Kelapa Sawit Kasar (CPO)
Jenis Asam Lemak Atom C Komposisi (%)
Asam Lemak Jenuh
Laurat C12:0 < 1,2
Miristat C14:0 1,1 – 2,5
Palmitat C16:0 40 – 46
Stearat C18:0 3,6 – 4,7
Asam Lemak Tak Jenuh
Palmitoleat C16:1 < 0,6
Oleat C18:1 39 – 45
Linoleat C18:2 7 – 11
Linolenat C18:3 < 1,5
Sumber: berdasarkan Eckey (1955) di dalam Ketaren (2005)
Sekitar 50 persen asam lemak yang ada merupakan asam lemak jenuh
dengan komponen utama asam palmitat, baik dalam bentuk bebas dan bentuk
terikat sebagai monopalmitin, dipalmitin, dan tripalmitin, yang memiliki titik leleh
yang relatif tinggi (50-60oC), sehingga pada suhu ruang senyawa tersebut
berbentuk padat. Namun, selain itu minyak sawit juga mengandung sekitar 40
persen asam lemak tidak jenuh berikatan rangkap tunggal (asam oleat dan asam
palmitoleat) dan sekitar 10 persen asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap
jamak.
Minyak sawit mentah yang mengandung air dan serat halus, tidak dapat
langsung digunakan sebagai bahan pangan maupun non pangan sehingga perlu
proses permurnian (Naibaho, 1988). Permunian meliputi tahap proses
penguapan, degumming, pencucian dengan asam, pemisahan asam lemak bebas
dengan netralisasi, deodorisasi, dan dekolorisasi atau bleaching. Proses
pemurnian minyak bertujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak dan
warna yang tidak menarik, memperpanjang masa simpan minyak sebelum
digunakan untuk dikonsumsi atau sebagai bahan mentah dalam industri lebih
lanjut (Ketaren, 2005).
Minyak sawit dapat dipilih sebagai bahan baku dalam industri yang
membuat surfaktan karena komponen asam lemak penyusun trigliseridanya, yaitu
asam lemak C16-C18 bila diaplikasikan menjadi surfaktan memiliki sifat deterjensi
dan mampu berperan baik terhadap air sadah, sedangkan asam lemak C12-C14
berperan terhadap efek pembusaan (Yuliasari, et al., 1997).
Metil ester merupakan salah satu bahan oleokimia dasar, turunan dari
trigliserida (minyak atau lemak). Berdasarkan Freedman et al., (1984), reaksi
pembentukan ester melibatkan lemak atau asam lemak dengan alkohol rantai
pendek seperti etanol atau metanol yang dipercepat dengan menggunakan katalis
asam maupun katalis basa. Pada reaksi tersebut, terjadi pemindahan alkohol
menjadi alkohol lain dalam proses yang sama seperti hidrolisis. Jika pada reaksi
ini, alkohol yang digunakan adalah metanol, maka reaksinya disebut metanolisis
dan ester yang dihasilkan berupa metil ester.
Metil ester dapat dihasilkan dengan dua cara, yaitu esterifikasi asam lemak
dan transesterifikasi trigliserida. Menurut Hui (1996), transesterifikasi menjadi
proses paling efektif untuk mengkonversi trigliserida (minyak atau lemak)
menjadi molekul ester. Transesterifikasi meliputi reaksi antara alkohol dan
molekul trigliserida dengan adanya katalis basa atau asam. Reaksi transesterifikasi
untuk mendapatkan metil ester, dinyatakan dalam persamaan berikut.
RCOOCH2 CH2OH
Minyak/lemak Metanol Metil ester Gliserol
Tahapan konversi minyak atau lemak menjadi metil ester bergantung pada
mutu awal minyak. Proses konversi dipengaruhi oleh kandungan asam lemak
bebas dan kandungan air. Minyak yang mengandung asam lemak bebas rendah,
dapat langsung dikonversi menjadi metil ester melalui transesterifikasi (Canaki
dan Gerpen, 2001).
Minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi serta mengandung air
lebih dari 0,3% dapat menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman
et al., 1984). Minyak dengan asam lemak bebas tinggi akan lebih efisien jika
melalui dua tahap reaksi. Asam lemak bebas dalam minyak diesterifikasi dahulu
dengan melibatkan katalis asam. Selanjutnya, transesterifikasi dapat dilakukan
untuk mengkonversi sisa minyak atau trigliserida yang ada dengan melibatkan
katalis basa (Canaki dan Gerpen, 2001). Reaksi esterifikasi asam lemak dan
alkohol mengkonversi asam lemak menjadi metil ester. Reaksi esterifikasi
ditunjukkan melalui persamaan berikut.
. Pada reaksi esterifikasi, bila asam lemak (asam kaboksilat) dan alkohol
(metanol) dipanaskan dengan kehadiran katalis asam, kesetimbangan tercapai
dengan ester dan air. Reaksi kesetimbangan ini dapat digeser ke kanan dengan
penambahan alkohol berlebih. Air yang terbentuk berasal dari gugus hidroksil
asam dan hidrogen dari alkohol. Dengan kata lain, dalam esterifikasi tersebut,
gugus –OCH3 dari alkohol menggantikan gugus –OH dari asam.
Berdasarkan Hart et al. (2003), dalam reaksi esterifikasi, sesungguhnya
mekanisme yang terjadi adalah setahap demi setahap. Pertama, gugus karbonil
dari asam terprotonisasi secara reversibel sehingga meningkatkan muatan positif
pada karbon karboksil dan menambah reaktifitasnya terhadap nukleofil. Kedua,
alkohol sebagai nukleofil menyerang karbon karbonil dari asam yang
terprotonisasi. Inilah langkah yang membentuk ikatan baru C-O (ikatan ester).
Dua langkah selanjutnya merupakan kesetimbangan dimana oksigen lepas atau
memperoleh proton. Kesetimbangan asam seperti ini bersifat reversibel dan
berlangsung cepat dan terus menerus berjalan dalam larutan bersuasana asam dari
senyawa yang mengandung oksigen. Kelima, air sebagai salah satu produk pun
terbentuk. Agar langkah ini terjadi, gugus –OH harus terprotonisasi untuk
meningkatkan kapasitas. Langkah akhir, menghasilkan ester dan meregenerasi
katalis asam (kebalikan dari langkah
pertama).
.. .. .. ..
+
O: OH :OH :OH
|| H+ || .. | .. -H+ |
R – C – OH R – C – OH R – C – OH
.. R – C – OH
..
.. ..
+
O
.. O
.. CH3O:
..
.
CH3 H CH3 H
.. .. ..
+
OH :OH :OH
|| .. -H+ | .. -H2O | H
+
R – C – OH
.. R – C – OH
.. R – C – ..O
H
CH3O:
.. CH3O:
..
Sumber: Hart et al. (2003)
Metil ester menjadi produk antara dari minyak dan lemak yang dapat
menjadi bahan baku pembuatan surfaktan di samping bahan baku lainnya seperti
asam lemak (fatty acid) dan alkohol lemak (fatty alcohol). Metil ester menjadi
produk antara untuk membuat produk oleokimia selanjutnya melalui proses
amidasi (misalnya menjadi monoetanolamida atau dietanolamida), proses
sukrolisis menjadi sukrosa ester, dan proses sulfonasi menjadi metil ester sulfonat
(Matheson, 1996).
MES diperoleh dari sulfonasi terhadap metil ester yang dapat diperoleh dari
minyak nabati. Kualitas MES dipengaruhi oleh bahan baku produk. Bahan baku
metil ester dapat berasal dari minyak kelapa, stearin sawit, kernel sawit (PKO),
dan lemak hewan (babi), belum terhidrogenasi atau dimurnikan lebih lanjut.
Kualitas bahan baku dapat dilihat dari nilai bilangan iod serta parameter lain
seperti bahan tak tersabunkan, nilai bilangan asam, nilai bilangan penyabunan,
berat molekul, kadar air, dan distribusi panjang rantai karbon (MacArthur et al.,
2002).
MES dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C10, C12 dan C14
biasa digunakan untuk light duty dishwashing detergent, sedangkan MES dari
minyak nabati dengan atom karbon C16-18 dan tallow biasa digunakan untuk
deterjen bubuk dan deterjen cair (heavy duty detergent). Pada penggunaannya,
MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan
C14 (Watkins, 2001).
O O
|| ||
R-CH2- (C-OCH3):SO3 (II) + SO3 R-CH- (C-OCH3):SO3 (III) (2)
|
SO3H
O O
|| ||
R-CH- (C-OCH3):SO3 (III) R-CH- C-OCH3 + SO3 (3)
| |
SO3H SO3H
Sumber: MacArthur et al. (2002)
Sulfur trioksida SO3 adalah bahan kimia elektrofilik yang agresif dan sangat
reaktif terhadap komponen organik karena dapat mendonorkan gugus elektron.
Reaksi bersifat eksotermik dan banyak komponen organik menjadi hitam setelah
reaksi terbentuk. Reaksi juga menyebabkan adanya peningkatan kekentalan
produk menjadi 15-300 kali lipat dibandingkan bahan organik itu sendiri.
Kekentalan ini sering menyulitkan pendinginan sehingga dalam prosesnya
dibutuhkan transfer panas yang tepat. Pengendalian terhadap perbandingan molar
reaktan sangat diperlukan mengingat SO3 yang berlebih dalam reaksi dapat
menyebabkan terbentuknya by product yang tidak diiginkan (Foster, 1997).
Proses pilihan lain sulfonasi dengan SO3 adalah dengan melarutkan gas
sulfur trioksida dengan udara yang sangat kering serta langsung mereaksikannya
dengan bahan organik. Sulfur trioksida dapat diperoleh dari bentuk liquid SO 3
atau dari pembakaran sulfur. Proses sulfonasi ini paling murah karena selain
bahan organik hanya sulfur trioksida dan udara kering yang digunakan sebagai
reaktan, dapat menghasilkan MES dengan cepat dan tetap berkualitas, tetapi
memang membutuhkan peralatan yang tepat dan sedikit lebih mahal sesuai
dengan proses yang harus kontinyu. Proses ini merupakan proses kontinyu yang
dapat digunakan untuk skala besar dan cocok untuk proses produksi industri 24
jam per hari, 7 hari per minggu, dan dapat mencapai 1 ton produk per jam (Foster,
1997).
Sulfonasi metil ester selain menghasilkan metil ester sulfonat juga dapat
melibatkan pembentukan komponen dari oksidasi karbon oleh sulfur trioksida
membentuk olefin, air, dan sulfur dioksida. Selanjutnya pembentukan olefin
sulfonat memungkinkan adanya reaksi dengan hipoklorit yang berpotensi terhadap
iritasi kulit (MacArthur et al., 2002).
Sulfonasi dilakukan dengan seperangkat falling film reactor yang dibangun
dengan tujuan agar membentuk kontak antara bahan baku metil ester dengan
campuran gas sulfur trioksida dalam udara yang sangat kering. Perbandingan mol
dari reaktan utama (mol SO3 terhadap mol metil ester) perlu dikontrol dengan
seksama dan dijaga selama proses. Pada produksi skala komersial, diperlukan
secara khusus sistem pembentuk gas SO3. Selain itu, pada sistem falling film
reactor juga diperlukan pemisahan antara gas sisa yang telah terpakai dengan
produk metil ester sulfonat asam (MESA) yang terbentuk. Selanjutnya, MESA
dapat dialirkan ke tangki aging yang bersuhu 80-85oC selama 1 jam dan
dilanjutkan proses pemucatan warna (MacArthur et al., 2002).
Sulfonasi metil ester dengan falling film reactor dapat mencapai 0,1
kgmol/jam. Konsentrasi gas sulfur trioksida yang digunakan 7% dalam udara
kering (titik cair di bawah -60oC) dan gas masuk pada suhu 40oC. Bahan baku
metil ester masuk secara kontinyu dengan kelajuan terkontrol sehingga
perbandingan molalitas reaktan dapat mencapai 1,25-1,3 mol SO3 per mol metil
ester. Reaktor secara kontinyu didinginkan dengan mengalirkan air dingin melalui
lapisan luar dinding reactor (menggunakan double jacket reactor). Produk yang
dihasilkan dapat berupa pasta cair lembut pada suhu ruang tetapi memerlukan
bantuan pompa jika dialirkan pada suhu yang lebih rendah. Metil ester sulfonat
dari bahan yang mengandung C12-C14 apabila dilanjutkan sampai tahap
pengeringan (<2% kadar air) seperti melalui spray dryer) akan mengalami
kesulitan proses karena kekentalannya (MacArthur et al., 2002).
Reaksi (1) terjadi dalam tangki pembakar, dimana belerang dikabutkan dan
direaksikan dengan udara kering. Reaksi (2) terjadi dalam konverter atau reaktor
katalis V2O5. Reaksi (3) terjadi dalam tangki pengencer, gas belerang trioksida
diserap dengan asam sulfat (93-98,5%).
Ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan pada saat menggunakan
konversi gas SO3 dari sistem produksi asam sulfat. Pertama, gas SO 3 yang
dihasilkan mendekati 18% lebih sehingga perlu dilarutkan menjadi konsentrasi
normal yang dibutuhkan bagi konsentrasi sulfonasi (sekitar 4-7%). Oleh karena
itu, perlu dilengkapi penyuplai udara yang dapat menambah biaya dan alat.
Kedua, karena bed konverter absorbs asam sulfat menggunakan udara kering,
maka udara kering- SO3 dari proses produksi asam sulfat memiliki titik didih lebih
tinggi (-35oC) dibandingkan yang dibutuhkan pada proses sulfonasi (-60oC sampai
dengan -80oC). Titik didih yang tinggi membuat masalah pada kualitas produk
dalam proses sulfonasi dan mempercepat korosi pada peralatan proses. Ketiga,
tekanan dari udara-SO3 yang terbentuk biasanya tidak cukup bagi proses
sulfonasi. Pemberian tambahan tekanan terhadap udara- SO3 dari konverter bukan
hal yang mudah karena memerlukan kompresor tinggi untuk menahan lingkungan
korosif dan dapat membentuk aliran udara basah. Masalah ini dapat diatasi, tetapi
solusi ini tidak murah. Mempertimbangkan semua masalah yang melekat dalam
memanfaatkan aliran gas dari konverter pabrik asam sulfat, kesimpulannya adalah
bahwa secara teknis layak. Namun pemilihan ini menambahkan kesulitan
operasional yang signifikan dan tidak berdampak pada penghematan biaya besar
atas instalasi pabrik sulfonasi yang tetap memerlukan lengkap pembakaran
belerang (Foster, 1997).
Reaktor tipe film merupakan reaktor yang paling banyak digunakan dalam
proses pembuatan deterjen, khususnya untuk memperoduksi produk oleokimia
yang diperuntukkan bagi produk kosmetik, dalam reaktor film, bahan organik
dialirkan ke dalam dinding reaktor sebagai suatu film yang kontinyu. Kecepatan
bahan organik ke dalam reaktor sulfonasi diukur secara akurat menggunakan
flowmeter dan dikendalikan oleh pompa.
Kecepatan bahan organik yang dialirkan tergantung pada ratio mol antara
gas sulfur trioksida (SO3) dengan bahan organik. Gas SO3 berdifusi ke dalam
bahan organik dan bereaksi membentuk asam sulfonat. Secara umum, gas SO 3 dan
bahan organik mengalir bersamaan dari atas reaktor menuju ke bagian bawah
reaktor. Panas reaksi dipindahkan oleh air pendingin yang mengalir sepanjang
jaket pendingin di bawah permukaan reaksi dari reaktor.
Sheats dan MacArthur (2002) mengkaji pengaruh suhu dan ratio mol
reaktan dalam proses sulfonasi untuk mengahsilkan MES dengan mereaksikan gas
SO3 dan metil ester dalam tubullar falling film reactor pada perbandingan reaktan
gas SO3 dan metil ester 1,2:1 samapi dengan 1,3:1 pada suhu 50-60oC. Proses
sulfonasi menggunakan falling film reactor (FFR) dengan laju sekitar 0,1 kg
mol/jam. Suhu masuk gas SO3 ke dalam reaktor adalah 42 oC. Baker (1995)
melakukan proses sulfonasi dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO 3 dalam
falling film reactor pada suhu 75-95oC selama 20-90 menit.
Penelitian sulfonasi telah dilakukan terhadap metil, etil, dan isopropil ester.
Sulfonasi ester dimulai dengan pembentukan komplek SO 3 dengan ester.
Pembentukan komplek ini mengaktifkan atom H pada posisi alfa. Pada reaksi
selanjutnya dengan mol SO3 kedua kemudian akan menyempurnakan sulfonasi
sehingga membentuk produk antara. Produk sulfonat yang baik ditunjukkan dari
sulfonasi metil ester dengan suhu 60oC, dengan lama sulfonasi 1 jam, yang
menghasilkan produk 90% sodium alfa sulfonat dan 1% garam sodium (Smith and
Stirton, 1967).
Sulfonasi terjadi dengan cukup baik pada rasio metil ester : SO 3 sebesar
1:1,3 pada suhu 70-90oC. Pada suhu rendah, reaksi eksotermal terjadi secara cepat
dan hanya sedikit reaksi sulfonasi terjadi. Agar sulfonasi berjalan sempurna, SO 3
yang digunakan secara berlebih. Jumlah SO3 yang digunakan merupakan faktor
yang menentukan pembentukan produk samping. Proses sulfonasi minyak inti
sawit secara batch menggunakan SO3 30%-mol berlebih pada reaktor skala
laboratorium merupakan fungsi jumlah SO3, sementara pada proses secara
kontinyu hanya dibutuhkan kelebihan gas SO3 lebih sedikit. Proses sulfonasi
menggunakan SO3 berlebih 30%-mol selama 50-60 menit pada reaktor
diskontinyu menghasilkan tingkat sulfonasi sekitar 95%. proses sulfonasi
menggunakan SO3 berlebih 20%-mol pada falling film reactor kontinyu
menghasilkan tingkat sulfonasi lebih besar 97% (Stein dan Baumann, 1975).