Anda di halaman 1dari 17

I.

Pendahuluan

Alergi susu sapi adalah reaksi hipersensitivitas yang dicetuskan oleh alergen
tertentu, dalam hal ini adalah susu sapi. Kejadian alergi ini masih tidak jelas karena
belum adanya pedoman kriteria diagnosis yang sama. Prevalensi penyakit ini pada
anak di negara barat kira-kira 2 sampai 3%, menjadikannya sebagai alergi makanan
paling umum pada populasi pediatrik. Prevalensi alergi susu sapi pada bayi yang
menyusui lebih rendah, hanya 0.5% (Lifschitz, 2013).
Overdiagnosis sering terjadi pada penyakit ini. Orang tua yang melapor anaknya
dengan alergi susu sapi 4 kali lebih tinggi daripada anak yang benar-benar sakit.
Pelaporan berdasarkan persepsi orang tua, gejala seperti erupsi di kulit, insomnia,
obstruksi nasal persisten, dermatitis seboroik, atau gejala non spesifik lainnya.
Dugaan yang salah menyebabkan orang tua menempatkan anaknya pada diet yang
tidak perlu tanpa supervisi medis dan ahli gizi. Restriksi diet yang tidak benar
menyebabkan tidak seimbangnya nutrisi bahkan malnutrisi khususnya pada umur
pertama kehidupan. Diagnosis akurat alergi susu sapi, terutama pada aspek
laboratorium, sangat penting untuk menghindari risiko malnutrisi, seperti riketsia,
anemia, gagal tumbuh, hipoalbumin, dan malabsorpsi (Caffarelli et al, 2010).
Pedoman diagnosis alergi susu sapi juga diperlukan untuk menyingkirkan penyakit-
penyakit lain seperti adanya kelainan metabolisme bawaan, kelainan anatomi, celiac
disease, insufisiensi enzim pankreas (cystic fibrosis), intoleransi laktosa, keganasan,
dan infeksi (IDAI, 2014).
Laporan kasus ini bertujuan untuk menelusuri dan membahas alergi susu sapi
pada pasien anak dengan diare dehidrasi sedang yang dirawat oleh bagian pediatri
yang berfokus pada diagnosis pasien dengan alergi susu sapi.
II. Kasus

Pasien laki-laki, berusia 7 bulan, datang keUnit Gawat Darurat (UGD) RSUP
Sanglah pada tanggal 5 Februari 2019 dengan keluhan utama buang air besar (BAB)
cair atau diare sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Diare pernahsekali
tampak berwarna merah seperti darah dengan volume setiap BAB kira-kira
seperempat gelas dan frekuensi lebih dari 10 kali. Terdapat benjolan kemerahan yang
keluar saat BAB. Keluhan muntah disangkal. Pasien juga dikeluhkan demam naik
turun dengan suhu tertinggi 380 C yang membaik dengan obat penurun panas. Buang
air kecil (BAK) normal, minum baik, dan tidak ada keluhan nyeri perut serta muntah.
Pasien pernah dirawat 2 kali di RSUP Sanglah pada bulan Oktober dan November
2018. Masuk rumah sakit pada bulan Oktober 2018 dikeluhkan pasien mengalami
sesak dan diare, sementara pada bulan November 2018, pasien dikeluhkan mengalami
diare. Pasien juga pernah berobat ke praktik pribadi dokter spesialis anak dan
dikatakan alergi susu sapi berdasarkan riwayat gejala dan pemeriksaan fisik. Pasien
juga dikeluhkan demam sejak 1 bulan SMRS, demam tidak teratur, berkurang dengan
obat penurun panas. Riwayat persalinan sectio caesaria dengan berat 4200 gram dan
panjang 52 cm, dan bayi segera menangis. Asidan susu formula diberikan sejak
pertama lahir sampai usia 3 bulan, setelah itu diberikan susu formula saja dan MPASI
bubur susu pada usia 6 bulan sampai sekarang. Pasien sempat berganti susu formula
menjadi susu ekstensif hidrosilat, kemudian susu asam amino. Setelah pemberian susu
asam amino, keluhan diare pasien berkurang. Riwayat tumbuh kembang baik, dan
dikatakan ibu mengalami asma serta memiliki alergi pada susu sapi dan susu kedelai.
Pemeriksaan fisik di UGD didapatkan keadaan umum sakit sedang, gizi baik
menurut tabel berat terhadap tinggi badan WHO 2006, kesadaran compos mentis, nadi
110 kali/menit, respirasi 36 kali/menit tipe torakal, dan suhu 37,50C. Pemeriksaan
kepala dan leher didapatkan lidah basah, bibir kering, permeriksaan thoraks normal,

2
pemeriksaan abdomen didapatkan peningkatan peristaltik yaitu 20x/menit.
Pemeriksaan anus didapatkan hiperemis dan adanya fisura ani.
Selama perawatan di RSUP Sanglah sejak tanggal 11 sampai 25 februari 2019,
diare yang dialami mengalami penurunan frekuensi tetapi tidak kunjung berhenti.
Pemeriksaan feses lengkap di UGD didapatkan warna feses kuning dengan konsistensi
cair, tidak ada lendir, ada lemak dan ada candida. Pemeriksaan FOBT yang dilakukan
6 hari kemudian didapatkan hasil negatif. Pemeriksaan feses lengkap ulang setelah 8
hari perawatan masih didapatkan lemak didalam feses dengan konsistensi lembek.
Pemeriksaan darah lengkap setelah dirawat 12 hari di rumah sakit didapatkan anemia
normokromik mikrositer dengan neutrofilia. Hasil laboratorium lain meliputi
peningkatan CRP dan hipokalemia ringan. Analisis gas darah pada hari ke-14
diperiksa untuk menelusuri apakah ada kelainan metabolik pada pasien. Hasilnya
didapatkan asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi yang adekuat dan
peningkatan anion gap. Pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyebab asidosis
metabolik pada dugaan kelainan metabolik bawaan adalah asam laktat. Hasil
pemeriksaan didapatkan hasil asam laktat masih dalam rentang normal. Pemeriksaan
urine pada hari ke-15 didapatkan proteinuria positif 1. Pemeriksaan hapusan darah tepi
pada hari ke-20 didapatkan kesan anemia normokromik normositer dengan
leukositosis ringan. Pemeriksaan besi serum, TIBC, dan feritin dalam batas normal.
Pasien sempat mengalami phlebitis karena kesalahan pemasangan infus di
pergelangan tangan kanan. Phlebitis menimbulkan benjolan sehingga diterapi dengan
melakukan insisi abses pada tanggal 25 Februari 2019. Pemeriksaan faal hemostasis
dilakukan untuk keperluan pre op insisi abses karena phlebitis dengan anestesi umum
tanggal 25 Februari 2019. Hasil pemeriksaan faal hemostasis meningkat namun masih
dalam rentang 3SD dari rentang normal.
Pemeriksaan untuk membuktikan adanya alergi dilakukan dengan memeriksa
IgE total dan peningkatan IgE spesifik pada berbagai jenis alergen. Hasil pemeriksaan
diperoleh peningkatan IgE total namun tidak ditemukan adanya IgE yang spesifik pada

3
berbagai jenis alergen. Pasien terakhir didiagnosis dengan diare kronik dehidrasi
ringan sedang et causa suspek kelainan metabolik diagnosis banding alergi susu sapi
(non-mediated IgE), abses wrist dextra post insisi, anemia sedang normokromik
normositer et causa penyakit kronis, observasi hematokezia diagnosis banding
hemorrhoid interna (membaik), anal fisura (membaik), dan gizi kurang. Pasien diterapi
dengan pemberian cairan 700 ml/hari melalui oral sebanyak 60 ml tiap 2 jam dan
melalui infus dengan pemberian KA-EN 3B 5 tetes makro per menit. Pasien diberikan
zink oral 20 mg tiap 24 jam, cefotaxime 50 mg/kgBB/kali yaitu 400 mg tiap 8 jam
melalui intravena, oralit 10 ml/kgBB/kali,paracetamol 100 mg tiap 4 jam per oral,
rawat luka dengan kasa steril NaCl 0.9%, dan susu formula puramino 12 x 90 ml serta
bubur beras. Pasien dilakukan pemeriksaan asam organik pada darah dan urin dengan
metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) untuk menelusuri adanya
kelainan metabolik bawaan ke luar negeri. Selama perawatan, pasien selalu dipantau
untuk tanda vital dan skor Pelod.
Pemeriksaan kultur feses hanya ditemukan flora normal. Pemeriksaan aspirasi
pus didapatkan leukosit> 10/lpb (+3), tidak ada epitel, dan bakteri gram positif kokus
0-5/lpb (scanty). Pemeriksaan kultur darah 2 sisi didapatkan organisme E. coli yang
sensitif terhadap ampicilin, piperacilin/sulbactm, cefotaxime, cefoperazone,
ceftriaxone, cefepime, gentamycin, ciprofloxacin, dan trimethoprim/sulfamethoxazole.
Pemeriksaan X-ray abdomen (BOF) saat di UGD tidak ditemukan gambaran ileus.
Sementara pemeriksan USG abdomen saat di UGD ditemukan adanya penebalan
dinding usus-usus yang mengesankan suatu proses inflamasi dengan kecurigaan
enterocolitis serta tidak tampak gambaran intususepsi.

Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap


Parameter 17/2/19 25/2/19 Nilai Rujukan
Leukosit 15.10 14.45 6.0 - 14.0 x 103/µL
Neutrofil 49.98 30.18 18.3 – 47.1 %
Limfosit 35.94 50.17 30 - 64 %
Monosit 18.55 18.07 0.0 - 7.1 %

4
Eosinofil 0.71 0.70 0.0 - 5.0 %
Basofil 0.82 0.88 0.0 – 0.7 %
Eritrosit 3.59 3.10 4.1 - 5.3 x 106/µL
HGB 9.12 8.13 12.0 - 16.0 g/dL
HCT 29.29 24.29 36.0 - 49.0 %
MCV 81.56 78.35 78.0 - 102.0 fL
MCH 25.38 26.22 25.0 - 35.0 pg
MCHC 31.12 33.47 31 - 36 g/dL
RDW 12.63 13.07 11.6 – 18.7 %
PLT 194.2 224.50 140 - 440 103/µL
Retikulosit 2.9 0.61 – 2.24%

Tabel 2.2 Hasil Kimia Klinik


Parameter 17/2/19 19/2/19 21/2/19 22/2/19 25/2/19 Nilai Rujukan
C-Reactive 25.13 20.55 19.05 0.00 – 5.00 mg/L
Protein
Elektrolit
Kalium 3.20 3.19 3.50 – 5.10 mmol/L
Natrium 138 142 136 – 145 mmol/L
Kalsium 8.5 8.5 9.20 – 11.00 mg/dL
Klorida 103.7 94 94 – 110 mmol/L
Glukosa darah 74 60 – 100 mg/dL
Serum iron 43.59 40 – 100 µg/dL
TIBC 202 100 – 400 µg/dL
Ferritin 241.70 12 – 327 ng/mL
Laktat 2.06 0.5 – 2.2 mmol/L

Tabel 2.3 Analisis Gas Darah


Parameter 19/2/19 Nilai Rujukan
pH 7.25 7.35-7.45
pCO2 28.4 35.00-45.00
pO2 116.00 80.00-100.00
BEecf -15.2 -2-2
HCO3 12.10 22.00-26.00
SO2 97.7 95% - 100%
TCO2 13.00 24.00 – 30.00

5
Tabel 2.4 Urinalisis
Parameter 20/2/19 Nilai Rujukan
Urine Dipstik
Berat jenis 1.004 1.003-1.035
Warna Kuning muda Kuning pucat – kuning
pH 6.50 4.5-8
Leukosit Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein (+1) Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Bilirubin Negatif Negatif
Urine Sedimen
WBC 1 ≤ 7/lpb
RBC 1 ≤ 2/lpb
Sel epitel
-Gepeng 1
Silinder -
Bakteri +

Tabel 2.5. Feses Lengkap


Parameter 11/2/19 19/2/19 Nilai Rujukan
Makroskopik
Warna Coklat Kuning Kuning – coklat
Konsistensi Cair Lembek Lunak
Lendir Negatif Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif Negatif
Mikroskopik
Leukosit Negatif 0-1 0–2
Eritrosit Negatif Negatif 0–1
Amoeba Negatif Negatif Negatif
Vegetatif Negatif Negatif Negatif
Kista Negatif Negatif Negatif
Telur cacing Negatif Negatif Negatif
Lain-lain Lemak (+), Lemak (+) Negatif
yeast (+)
Fecal Occult Negatif Negatif Negatif
Blood Test
(FOBT)

6
Tabel 2.6 Faal Hemostasis
Parameter 25/2/19 Nilai Rujukan
PT 17.3 10.8 – 14.4
INR 1.47 0.9 – 1.1
APTT 36.6 24 – 36

Tabel 2.7 Pemeriksaan IgE


Parameter 15/2/19 Nilai Rujukan
IgE total 53.3 < 29 IU/mL
IgE Spesifik Negatif Negatif

III. Pembahasan
Berbagai pedoman diagnosis alergi susu sapi dibentuk pada masing-masing
daerah atau negara. Emilia Romagna Working Group for Paediatric Allergy di Italia
menerapkan tiga pedoman yang dipakai sesuai umur dan keparahan penyakit
(Caffarelliet al, 2010). Pedoman diagnosis dan tatalaksanadari British Society for
Allergy and Clinical Immunology (BSACI) memisahkan antara reaksi alergi susu sapi
segera dengan tidak segera (Luyt et al, 2014). Pedoman penyakit alergi susu sapi pada
anak di Indonesia menggunakan rekomendasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI). Rekomendasi ini membagi alergi susu sapi menjadi dua yaitu alergi susu sapi
pada bayi dengan ASI eksklusif dan susu formula. Lebih jauh lagi, tatalaksana
dilakukan berdasarkan keparahannya, yaitu alergi susu sapi ringan/sedang dan alergi
susu sapi berat. Kedua kategori ini dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit dan/atau IgE
spesifik. Pasien ini menggunakan susu formula sejak usia 3 bulan, sehingga digunakan
algoritma pada bayi dengan susu formula (IDAI, 2014)

7
Gambar 3.1 Algoritma Tatalaksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Susu
Formula (IDAI, 2014)

Kasus ini menampilkan reaksi tipe lambat yaitu diare berkepanjangan dan
memiliki riwayat diare setelah minum susu formula. Pemeriksaan untuk
mengkonfirmasi reaksi alergi yang dimediasi IgE pada pasien ini dilakukan dengan

8
pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik. Hasil IgE total menunjukkan peningkatan,
namun hasil IgE spesifik menunjukkan hasil negatif. IgE total memiliki sensitivitas
yang baik sementara IgE spesifik memiliki spesifisitas yang tinggi. Menurut penelitian
Chang et al tahun 2015, kesesuaian antara IgE total dan IgE spesifik kurang baik.
Peningkatan IgE total juga terjadi pada penyakit lain selain alergi, seperti multiple
myeloma, penyakit rantai Imunoglobulin berat, penyakit hati, dan arthritis
rheumatoid. Sementara itu, hasil negatif IgE spesifik tidak menyingkirkan penyakit
alergi karena hipersensitivitas tipe I. Penyebabnya adalah variabilitas alergen yang
sempit pada alat, alergi yang tidak dimediasi IgE, atau pasien sedang menjalani terapi
desensitasi yang mempengaruhi kadar IgE spesifik pada alat (Chang et al, 2015).
Rekomendasi IDAI menyatakan hanya uji tusuk kulit dan IgE spesifik yang hasilnya
dipercaya untuk menyatakan alergi susu sapi yang dimediasi IgE (IDAI, 2014).
Kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah alergi susu sapi pada pasien ini
tidak dimediasi oleh IgE.
Alergi susu sapi yang tidak dimediasi IgE (non-IgE mediated) adalah reaksi alergi
yang tidak diperantari oleh IgE, misalnya diperantarai oleh IgG (IDAI, 2014).
Penyakit ini meliputi food protein-induced enterocolitis syndrome (FPIES), allergic
proctocolitis (AP), food protein-induced enteropathy (FPE), celiac disease, Heiner
syndrome (Pulmonary hemosiderosis), dan cow’s milk (CM) protein-induced iron
deficiency anemia. Gejala yang khas dari spektrum penyakit ini adalah reaksi lambat
yang muncul berjam-jam sampai berminggu-minggu setelah ingesti. Diagnosis
penyakit ini utamanya bedasarkan riwayat klinis dan ditatalaksana dengan
menghindari makanan yang diduga menyebabkan alergi (Connors et al, 2018).

9
Gambar 3.2 Diagnosis Banding Alergi Makanan (Connors et al, 2018)

Berbagai karakteristik klinis dan laboratorium penyakit alergi makanan yang


tidak dimediasi Ig-E adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1. Perbandingan Berbagai Penyakit Alergi Makanan Tidak Dimediasi IgE
(Connors et al, 2018)
FPIES AP FPE
Onset umur tipikal Dibawah 1 tahun Dibawah 6 tahun, Tergantung usia
biasanya 1 – 4 bulan paparan pada antigen
Alergen:
- Paling umum Susu sapi, kedelai Susu sapi, kedelai Susu, kedelai
- Kurang umum Nasi, gandum, telur, Gandum, telur, jagung, Gandum, telur, kacang
barley, ayam, turkey, daging, ikan, wijen kedelai
ikan, kacang
Gejala
- Emesis Prominen Tidak ada Intermiten
- Diare Berat jika kronis Tidak ada atau ringan Sedang
- Berak darah Berat jika kronis Prominen Jarang
- Edema Akut, berat Ringan, tidak sering Tidak ada
- Syok 15 – 20% Tidak ada Tidak ada
- Susah menelan Sedang jika kronis Tidak ada Sedang
- Letargi, pucat Sedang Tidak ada Tidak ada
Laboratorium
- Anemia Sedang Ringan, tidak sering Sedang
- Hipoalbuminemia Akut Ringan, tidak sering Sedang
- Malabsorpsi Tidak ada Tidak ada Ada

10
- Leukositosis Prominent Tidak ada Tidak ada
dengan neutrofilia
Evaluasi alergi
- Prick skin test Positif 4-30% Negatif Negatif
makanan
- IgE spesifik Positif 4-30% Negatif Negatif
- IgE total Normal atau meningkat Normal atau meningkat Normal
- Eosinofilia di darah
tepi Tidak ada Kadang-kadang Tidak ada
Temuan Biopsi
- Jejas villous Patchy, variabel Tidak ada Variabel
- Colitis Prominen Fokal Tidak ada
- Erosi mukosa Kadang-kadang Kadang-kadang, linear Tidak ada
- Hyperplasia nodul Tidak ada Umum Tidak ada
limfoid
- Eosinofil Prominen Prominen Beberapa
Tes Eliminasi dan Muntah, letargi, pucat Perdarahan rektal Muntah dan atau diare
Provokasi dalam 1-6 jam, diare dalam 6 – 72 jam dalam 40 – 72 jam
dalam 5-8 jam

Tabel diatas memaparkan bahwa peningkatan IgE total dapat terjadi pada pasien
alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE. Algoritme diagnosis dan tatalaksana
selanjutnya tanpa memikirkan mekanisme yang mendasari adalah dengan uji eliminasi
atau tidak mengkonsumsi makanan/minuman yang mengandung protein susu sapi
selama 2-4 minggu (4 minggu jika terdapat gejala dermatitis atopik berat dan gejala
saluran cerna kolitis alergi) dengan menggunakan formula hidrolisat ekstensif jika
gejala alergi susu sapi ringan atau sedang dan formula asam amino jika gejala alergi
susu sapi berat. Pasien ini memiliki gejala alergi susu sapi berat dan memiliki riwayat
tidak membaik setelah diberikan susu hidrolisat ekstensif sehingga dilakukan diet
eliminasi susu dengan formula asam amino selama 23 hari perawatan di RSUP
Sanglah dan 22 hari setelah dipulangkan. Selama perawatan di RSUP Sanglah, terjadi
perbaikan klinis pasien dengan berkurangnya diare, walaupun masih tetap ada dengan
frekuensi 2-4 kali/hari. Penelusuran lebih lanjut perlu dilakukan karena gejala diare
masih ada setelah eliminasi seperti adanya kelainan metabolisme bawaan, kelainan
anatomi, celiac disease, insufisiensi enzim pankreas (cystic fibrosis), intoleransi
laktosa, keganasan, dan infeksi. Keadaan yang menyulitkan adalah bila terdapat dua

11
keadaan/penyakit yang terjadi bersamaan (IDAI, 2014). Pasien ini oleh divisi nutrisi
dan metabolik dicurigai mengalami kelainan metabolik bawaan. Penelusuran diagnosis
dilakukan dengan pemeriksaan analisis gas darah, asam laktat, kadar glukosa,
urinalisis, dan GCMS untuk mendeteksi asam organik pada darah dan urine yang
berguna dalam analisis kelainan metabolik bawaan atau inborn error of metabolism
(Burton, 1998; Jones PM and Bennett MJ, 2010).
Pemeriksaan analisis gas darah pada pasien ini menunjukkan terjadinya metabolik
asidosis. Kondisi ini dapat terjadi pada diare, asidosis tubulus renal, atau kelainan
metabolik bawaan pada bayi. Peningkatan anion gap (≥16) pada pasien ini bermakna
penting karena sangat spesifik terjadi pada kelainan metabolik bawaan. Meningkatnya
anion gap dapat disebabkan oleh adanya acidemia organik yang terbentuk karena
gangguan metabolisme terhadap karbohidrat, protein, atau lemak. Pemeriksaan laktat
yang merupakan langkah kedua dalam penelusuran kelainan metabolik bawaan
menunjukkan hasil normal. Pemeriksaan asam organik adalah langkah terakhir untuk
menegakkan acidemia organik pada pasien ini melalui metode GCMS yang sampelnya
sudah dikirim ke luar negeri dan sedang menunggu hasil. Pemeriksaan urinalisis dan
kadar glukosa memberikan hasil yang tidak spesifik pada kelainan metabolik bawaan
(Sjarif, 2011). Berikut adalah algoritma penelusuran kelainan metabolik bawaan pada
bayi (Burton, 1998).

12
Gambar 3.3 Algoritma Diagnosis Kelainan Metabolik Bawaan (Burton, 1998)

Anemia umum terjadi pada alergi susu sapi yang tidak dimediasi IgE. Anemia
defisiensi besi dapat terjadi karena perdarahan samar di saluran cerna akibat inflamasi,
kurangnya suplemen besi pada susu sapi, dan atau penghambatan absorbsi besi non-
heme oleh kalsium dan kasein pada formula susu sapi (Lai and Yang, 2018). Kasus ini
menunjukkan adanya anemia normokromik normositer dengan nilai reticulocyte
production index (RPI) < 2 dan parameter besi serum, Total Iron Binding Capacity
(TIBC), dan ferritin yang normal pada tanggal 25 februari 2019. RPI < 2 menunjukkan
penyebab anemia terletak pada produksi eritrosit. Normalnya kadar besi serum, TIBC,
dan ferritin mengindikasikan pasien mengalami anemia karena penyakit kronis.
Peningkatan CRP pada pasien ini dapat terjadi karena adanya inflamasi.
Kecurigaan inflamasi juga terlihat secara radiologis melalui USG, dimana terjadi
penebalan dinding usus yang menandakan adanya inflamasi curiga enterocolitis.
Alergi susu sapi dapat menyebabkan terjadinya enteritis segmental pada neonatus
(Arunachalam and Mathai, 2013) dan merupakan awal dari inflammatory bowel

13
disease. Penelitian yang dilakukan Kim et al tahun 2013 menyatakan peningkatan
CRP berhubungan dengan diare inflamasi.
Pemeriksaan feses didapatkan konsistensi feses cair dan adanya lemak
(steatorrhea). Steatorrhea menandakan adanya malabsorpsi yang dapat disebabkan
oleh penyakit di usus halus atau insufisiensi enzim yang dihasilkan pankreas atau
asam empedu pada kelainan metabolik bawaan (Saudubray et al, 2006). Pada pasien
ini, steatorrhea dapat disebabkan karena terjadi inflamasi pada usus yang
menyebabkan terjadinya malabsorpsi atau karena kelainan metabolik bawaan.
Pemeriksaan darah samar pada tinja dilakukan karena ada riwayat BAB dengan bercak
berwarna merah seperti darah dan untuk membuktikan apakah ada perdarahan di
saluran cerna yang menyebabkan terjadinya anemia. Pemeriksaan darah samar atau
Fecal Occult Blood Test (FOBT) memperlihatkan hasil negatif selama dua kali
pemeriksaan. Hasil negatif ini tidak menyingkirkan adanya perdarahan pada saluran
cerna. Tes ini tidak reaktif pada perdarahan saluran cerna atas karena hemoglobin
terdegradasi oleh enzim pencernaan dan bakteri sebelum mencapai usus besar.
Kemungkinan pasien mengalami perdarahan saluran cerna atas atau darah/hemoglobin
sendiri tidak terdistribusi ke dalam feses yang dianalisis (Strasinger and Lorenzo,
2014).
Hipokalsemia pada pasien ini dapat disebabkan karena malabsorpsi di usus
terhadap kalsium dan atau vitamin D (Jain et al, 2010). Diare juga dapat mengganggu
elektrolit dalam tubuh, terlihat pada pasien ini adalah terjadinya hipokalemia.
Prognosis pasien ini belum dapat ditegakkan dengan pasti karena diagnosis belum
tegak. Jika hanya alergi susu sapi, maka prognosis umumnya baik dengan angka
remisi 45 – 55% pada tahun pertama, 60 – 75% pada tahun kedua, dan 90% pada
tahun ketiga. Namun, terjadiya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga
50% terutama pada jenis: telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal dan alergi
inhalan meningkat 50-80% sebelum pubertas (IDAI, 2014). Jika penyebabnya adalah
kelainan metabolik bawaan, maka prognosis akan kurang baik. Beberapa penyakit

14
fatal pada beberapa minggu atau bulan setelah kelahiran seperti defek pada konversi
piruvat ke acetyl coenzyme A (CoA), defek siklus urea, dan defek dalam memproses
fruktosa. Sementara itu pasien dengan penyakit metabolik bawaan lainnya dapat
bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama, seperti penyakit Gaucher non
neuropatik, penyakit McArdle, dan phenylketonuria (Ramachandran, 2017)

IV. Simpulan

Alergi susu sapi adalah penyakit dengan tingkat overdiagnosis yang tinggi.
Diagnosis alergi susu sapi, tanpa mempertimbangkan mekanismenya (dimediasi IgE
atau tidak), dapat ditegakkan dengan tes eliminasi dan uji provokasi. Diagnosis
banding dipikirkan jika tes eliminasi dan uji provokasi tidak berhasil, seperti kelainan
metabolik bawaan. Prognosis alergi susu sapi umumnya baik dengan remisi 45-55%
pada tahun pertama.

15
DAFTAR PUSTAKA

Arunachalam P, Mathai J. 2013. Neonatal segmental enteritis due to cow’s milk allergy.
J Indian Assoc Pediatr Surg [series online];18:149-51
Burton BK. 1998. Inborn Errors of Metabolism in Infancy: A Guide to Diagnosis.
Pediatrics. 102; e69
Caffarelli C, Baldi F, Bendandi B, Calzone L, Marani M, Pasquinelli P. 2010. Cow’s
milk protein allergy in children: a practical guide. Italian Journal of Pediatrics. 36:5
Chang M, Cui C, Liu Y, Pei L, Shaq B. 2015. Analysis of total immunoglobulin E and
specific immunoglobulin E of 3.721 patients with allergic disease. Biomed Rep. 3(4):
573-577
Connors L, O’Keefe A, Rosenfield L, Kim H. 2018. Review: Non-IgE-mediated food
hypersensitivity. Allergy Asthma Clin Immunol. 14(Suppl 2):56
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2014. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia: Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi Edisi Kedua. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hal. 1-19
Jain A, Agarwal R, Sankar MJ, Deorari A, Paul VK. 2010. Hypocalcemia in the
newborn. Indian J Pediatr. 77:1123-1128
Jones PM, Bennett MJ. 2010. Urine organic acid analysis for inherited metabolic disease
using gas chromatography-mass spectrometry. Methods Mol Biol. 603:423-31
Kim DH, Kang SH, Jeong WS, Moon HS, Lee ES, Kim SH, Sung JK, Lee BS, Jeong
HY. 2013. Serum C-reactive protein (CRP) levels in young adults can be used to
discriminate between inflammatory and non-inflammatory diarrhea. Dig Dis Sci;
58(2):504-8
Lai FP, Yang YJ. 2018. The prevalence and characteristics of cow’s milk protein allergy
in infants and young children with iron deficiency anemia. Pediatr Neonatol.
59(1):48-52
Lifschitz C, Szajewska H. 2015. Cow’s milk allergy: evidence-based diagnosis and
management for the practitioner. Eur J Pediatr. 174:141-150
Luyt D, Ball H, Makwana N, Green MR, Bravin K, Nasser SM, Clark AT. 2014. BSACI
guideline for the diagnosis and management of cow’s milk allergy. Clinical and
Experimental Allergy. 44. 642-672
Ramachandran TS. 2017. Inherited Metabolic Disorders. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1183253-overview
Saudubray JM, Desguerre I, Sedel F, Charpentier C. 2006. A Clinical Approach to
Inherited Metabolic Disease. In: Fernandes J, Saudubray JM, Berghe GVD, Walter
JH. Inborn Metabolic Diseases 4th Edition. Springer. p.3-48
Sjarif DR. 2011. Skrining Klinis Kelainan Metabolisme Bawaan. In: Sjarif DR, Lestari
ED, Mexitalia M, Nasar SS. Buku Ajar: Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik
Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2011. p.257-267

16
Strasinger SK, Lorenzo MSD. 2014. Fecal Analysis. In: Strasinger SK, Lorenzo MSD.
Urinalysis and Body Fluids sixth edition. FA Davis Company. Philadelphia. 255-268

17

Anda mungkin juga menyukai