Anda di halaman 1dari 8

Hubungan Jenis Kelamin Dengan Penyakit Tuberkulosis di Puskesmas

Jenar Kabupaten Sragen


Classidio Primasa1), Ridhani Rahma1), Muhammad Hanif1), Salma Romnalia1),
Muhammad Irfan1),Farhah Millata1), Sumardiyono*2)
1)
Dokter Muda Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta
2)
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret
*E-mail: Sumardiyono99@yahoo.com

Abstract

Tuberculosis is one of the most dangerous infectious diseases with highest mortality
rate. 2014 tuberculosis global report estimated that 9.6 million people were affected by
tuberculosis and 1.5 million died because of this disease. High mortality rates in
children, and in adults, especially in developing countries with low and middle income
per capita(1). The most effective strategy is to break the chain of transmission, so that
tuberculosis is no longer a problem in public health, especially in Indonesia. Seen from
the age group, most new cases were found in the age group 25-34 years (20.76%)
followed by the age group 45-54 years (19.57%) and in the age group 35-44 years
(19.24%). Seen from gender, tuberculosis is more common in men than women which is
1.5 times more in men. This study aims to determine the relationship of sex with TB in
the Jenar Health Center Sragen. This study was an observational analytic study with a
cross sectional approach. The subjects of the study were 79 polyclinic patients at the
Jenar Community Health Center taken through a purposive sampling technique. The
incidence of ISPA is more common in infants with male sex as many as 35 toddlers
(57.4%) compared to toddlers with female gender as many as 26 infants (542.6). On the
other hand, non-ISPA is more prevalent among children under five with female sex as
many as 38 under-fives (62.3%) compared to toddlers with male sex as many as 23
infants (37.7%). The results of statistical tests using the method of combining cell Chi-
square statistical tests obtained P-Value = 0.00 (p <α) which means that Ho is rejected
and Ha is accepted. It was concluded that there was a relationship between sex and the
incidence of ISPA in infants in the Puskesmas Sambung Macan II.

Keywords : Tuberculosis, Puskesmas Jenar

Abstrak

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular paling berbahaya


dengan tingkat kematian tertinggi. Laporan global tuberculosis pada tahun 2014,
diperkirakan 9,6 juta orang terkena penyakit TB dan 1,5 juta meninggal karena
penyakit ini. Tingkat mortalitas tinggi pada anak-anak, maupun pada orang dewasa,
terutama di negara-negara berkembang dengan pendapatan per kapita rendah dan
menengah(1). Strategi yang paling efektif adalah memutuskan mata rantai
penularannya, sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat, khususnya di Indonesia. Menurut kelompok umur, kasus baru paling
banyak ditemukan pada kelompok umur 25- 34 tahun (20,76%) diikuti kelompok
umur 45-54 tahun (19,57%) dan pada kelompok umur 35-44 tahun (19,24%).
Menurut jenis kelamin, TB lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan
yaitu 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Hubungan jenis kelamin dengan penyakit TB di Puskesmas Jenar kabupaten Sragen.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross
sectional. Subjek penelitian adalah pasien Poliklinik Puskesmas Jenar Sragen
sebanyak 79 orang diambil melalui teknik purposive sampling. Hasil uji statistik
dengan menggunakan metode penggabungan sel uji statistik Chi-square diperoleh
nilai P-Value = 0,00 (p < α) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Disimpulkan
bahwa ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada
balita di Puskesmas Sambung Macan II.
Kata kunci : Tuberkulosis, Puskesmas Jenar

I. PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular paling berbahaya
dengan tingkat kematian tertinggi. Laporan global tuberculosis pada tahun 2014,
diperkirakan 9,6 juta orang terkena penyakit TB dan 1,5 juta meninggal karena
penyakit ini. Tingkat mortalitas tinggi pada anak-anak, maupun pada orang dewasa,
terutama di negara-negara berkembang dengan pendapatan per kapita rendah dan
menengah.(1) Indonesia adalah negara dengan TB paling banyak di dunia setelah
India. Setiap tahun, penderita TB di Indonesia bertambah 500.000 orang.(2)
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet
orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis, yang efeknya menyerang paru (TB
paru) namun di sebagian kasus dapat menyerang organ lainnya (TB extra paru).
Penyakit TB masih menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia,
hingga saat ini jumlah penyakit ini semakin meningkat dan banyak pasien yang sulit
di sembuhkan terutama di 22 negara yang menjadi beban TB paling tinggi di dunia
(high burden countries), Indonesia termasuk peringkat ke dua HBCs (High Burden
Countries) yang telah diberikan prioritas tertinggi di tingkat global sejak tahun 2000,
setelah India (3).
Pada tahun 2014 diseluruh dunia, 9,6 juta orang diperkirakan telah terkena
Tuberculosis, dimana 5,4 juta orang laki-laki, 3,2 juta perempuan dan 1,0 juta anak-
anak. Secara global, 12% dari 9,6 juta orang merupakan kasus TB baru dengan HIV-
positif. TB membunuh 1,5 juta orang (1,1 juta HIV–negatif dan 0,4 juta HIV-positif)
yang terdiri dari 890.000 laki-laki, 480.000 perempuan dan 150.000 anak-anak. Dari
480.000 kasus TB-MDR (MDR-TB) yang diperkirakan terjadi pada 2014, hanya
sekitar seperempat dari 123.000 kasus yang terdeteksi dan dilaporkan. Wilayah Asia
Tenggara dan Pasifik Barat merupakan daerah yang menyumbang 58% kasus, Afrika
menyumbang kasus 28% dan menanggung beban yang paling parah (281 kasus
kejadian per 100 000 populasi rata-rata, lebih dari dua kali lipat rata-rata global dari
133).
Di Indonesia penyakit ini merupakan salah satu prioritas nasional dalam
pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi.
Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55
tahun (75%) dan 12,4 % terjadi pada usia lanjut (> 55 tahun). Menurut kelompok
umur, kasus baru paling banyak ditemukan pada kelompok umur 25- 34 tahun
(20,76%) diikuti kelompok umur 45-54 tahun (19,57%) dan pada kelompok umur
35-44 tahun (19,24%). Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada
perempuan. Diperkirakan pasien TB dewasa akan kehilangan masa kerjanya 3-4
bulan, dimana akan kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-
30%. Meskipun demikian, mengingat sebagian besar kematian TB dapat dicegah,
angka kematian akibat penyakit ini masih sangat tinggi dan upaya untuk memerangi
penyakit ini harus ditingkatkan jika ingin mencapai target Millenium Development
Goals (MDGs) 2015.
Banyak faktor yang menjadi penyebab utama meningkatnya Tuberkulosis
antara lain adalah kemiskinan pada kelompok masyarakat terutama di negara
berkembang, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, beban determinan sosial,
perubahan demografik, kegagalan pemerintah dalam penanggulangan TB dengan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), kurangnya kepatuhan
penderita, kekebalan kuman tuberkulosis terhadap pengobatan (multidrugs
resistence/MDR TB), meningkatnya penyakit HIV dll. Akan tetapi tindakan yang
paling efektif adalah dengan memutuskan mata rantai penularannya, sehingga
penyakit TB Paru tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat, khususnya di
Indonesia.
Penelitian tentang hubungan tuberkulosis dengan jenis kelamin belum pernah
ada dan belum ada data prevalensi di suatu desa. Oleh karena itu, disusunlah suatu
penelitian yang menghubungkan antara tuberkulosis dengan jenis kelamin. Data di
dalam penelitian ini penting untuk diketahui oleh masyarakat di Indonesia.
I. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan


cross-sectional. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling. Pada penelitian ini, peneliti mempelajari hubungan antara jenis
kelamin dengan tuberkulosis.

Populasi penelitian ini adalah masyarakat penderita TB yang berada dikawasan


Puskesmas Jenar. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data rekam medik
terhadap 79 responden. Variabel bebas dari penelitian ini adalah jenis kelamin.
Sedangkan variabel terikat dari penelitian ini adalah tuberkulosis.
Kedua variabel dinyatakan dengan skala nominal. Hubungan antara keduanya
dianalisis dengan uji chi square. Tingkat keeratan hubungan ditentukan berdasarkan
nilai koefisien contingency. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
software SPSS 23 for Windows. Pengujian dinyatakan signifikan apabila diperoleh p
< 0,05.

II. HASIL PENELITIAN


1. Analisis Univariat

Setelah dilakukan pengambilan data pada sampel, kemudian dilakukan analisis


univariat. Berikut karakteristik subjek yang didapat:

Tabel 1. Persebaran sampel berdasarkan jenis kelamin


Jenis Jumlah %
Kelamin
Laki-laki 31 39,2
Perempuan 48 60,7
Total 79 100

Berdasarkan data tersebut didapatkan bahwa subjek penelitian dengan jenis kelamin
perempuan lebih dominan yaitu sebanyak 60,7% dengan jumlah sampel 48 orang.
Tabel 2. Persebaran sampel berdasarkan diagnosis TB BTA (+)
Jenis Jumlah %
Kelamin
BTA(+) 16 20,2
BTA(-) 63 79,7
Total 79 100

Berdasarkan data tersebut, didapatkan bahwa subjek penelitian yang terbukti TB BTA
(+) berjumlah 16 orang mewakili 20,2% dari sampel.

Tabel 3. Distribusi silang serta Pengujian Statistik Hubungan jenis kelamin dengan
diagnosis Tuberkulosis

Jenis TB BTA (+) BTA (-) P C


kelamin
N % N %

Laki-laki 10 62,5 21 33,3

Perempuan 6 37,5 42 66,6

Total 16 100 63 100

Hasil penelitian dengan diagnosis TB BTA (+) menunjukkan bahwa dari 79 sampel
terdapat 16 orang yang dikategorikan memiliki diagnosis TB BTA (+). Jumlah sampel laki-
laki yang memiliki TB BTA (+) berjumlah 10 orang (62,5%) lebih tinggi dibandingkan sampel
perempuan yang berjumlah 6 orang (37,5%). Sementara itu jumlah sampel perempuan yang
memiliki TB BTA(-) berjumlah 42 orang (66,6 %) lebih tinggi dari laki laki yang berjumlah21
orang (33,3%). Perbedaan tersebut secara statistik berdasarkan uji chi square dinyatakan
signifikan (p = 0,00). Dengan demikian diketahui bahwa terdapat hubungan antara diagnosis
ISPA dan jenis kelamin. Meskipun signifikan namun tingkat keeratan hubungan antara kedua
variabel tersebut dapat dikatakan termasuk lemah (C = 0,04).
III. PEMBAHASAN
Kejadian TB lebih banyak pada pasien laki-laki, yaitu 10 orang (62,5%) dan
perempuan sebanyak 6 orang (37,5%). Hasil uji statistik dengan menggunakan metode
penggabungan sel uji statistik Chi-square diperoleh nilai P-Value = 0,00 (p < α) yang
berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Disimpulkan bahwa ditemukan adanya hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sambung Macan
II. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ruli Handayani Kota Palembang, berdasarkan
hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
gangguan saluran pernafasan diperoleh p-value = 0,089.
Subjek penelitian yang menderita tuberkulosis cenderung lebih banyak berjenis
kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Laki-laki sebanyak 10 orang (62,5%) dan
perempuan 6 orang (37,5%). Hal ini serupa dengan penelitian Nainggolan dimana laki-
laki (61,4%) lebih banyak menderita tuberkulosis paru dibandingkan perempuan
(38,6%). Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia pada laki-laki dua kali lebih besar
dibandingkan perempuan. Kementrian kesehatan RI melaporkan laki-laki lebih banyak
menderita tuberkulosis paru dibandingkan perempuan. Abdallah melaporkan perempuan
sedikit yang memiliki kebiasaan merokok. Merokok dapat menyebabkan fungsi silia
disaluran pernapasan terganggu sehingga meningkatkan risiko terinfeksi tuberkulosis.
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfitriah (2009)
mengenai faktor biologi dengan kejadian penyakit ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Karangnongko dengan menggunakan rancangan case control 56 sampel yang berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan, dengan menggunakan uji Chi Square. Hasil penelitian diperoleh ada
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan ISPA (P value = 0,037). Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dari pada anak
perempuan terkena ISPA, karena anak laki–laki lebih sering bermain di luar rumah sehingga
keterpaparan udara lebih banyak dari anak perempuan yang lebih dominan permainannya di
dalam rumah(7). Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mutalazimah (2005)
mengenai lingkungan fisik dan faktor internal dengan kejadian ISPA di Kota Bandung
mengatakan bahwa anak laki– laki lebih rentan terserang ISPA dikarenakan anak laki-laki lebih
aktif dalam beraktivitas sehingga mudah untuk kelelahan dan cenderung sistem kekebalan
tubuhnya menurun, dibandingkan anak perempuan(8).
Mekanisme lain yang mungkin mempengaruhi adalah faktor perbedaan hormonal.
Perempuan mempunyai hormon 17 β-estradiol yang akan menstabilisasi dan
meningkatkan reaksi imunitas bila terjadi infeksi, yakni dengan mengeluarkan mediator
inflamasi TNF, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, dan IFN-γ. Mediator tersebut sangat berguna
ketika terjadi suatu respons inflamasi saat terjadi infeksi. Salah satu contohnya yaitu
TNF dan interleukin yang berguna sebagai penginduksi pengeluaran vascular cell
adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1).
Adhesion molecule-1 tersebut merupakan protein yang berguna untuk proses adhesi dan
transmigrasi leukosit dari intravaskular ke interstisial ketika terjadi proses inflamasi.
Pada laki-laki, hormon testosteron mempunyai sedikit aktivitas untuk dapat
menghambat pengeluaran IL-2, IL-4, IL-10, TNF, dan IFN-γ yang akan mengganggu
respon inflamasi ketika terjadi infeksi(9).

IV. SIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah adanya hubungan
signifikan antara jenis kelamin dengan ISPA dengan keeratan yang rendah.

V. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Puskesmas Jenar Sragen, yang telah
memberikan ijin sebagai tempat dilaksanakannya penelitian.
VI. DAFTAR PUSTAKA
1. Abdallah Tajeldin M, Ali Abdel Aziem A, Epidemiology of tuberculosis in
Eastern Sudan, Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 2012; 2(12): 999-
1001.
2. World Health Report 2004 - Changing History [electronic resource]. Geneva:
World Health Organization; 2004.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Kemenkes RI. Jakarta. 2011.

1. Berman S. Epidemiology of acute respiratory infections in children of


developing countries. Rev Infect Dis 1991;13 Suppl 6:S454-62.
2. Lederberg J, Shope R, Oakes S. Emerging Infections: Microbial Threats to
Health in the United States.Washington, D.C.: The Institute of Medicine;
1992.
3. Ostroff D, McDade J, LeDuc J, Hughes J. Emerging and reemerging
infectious disease threats. In: Dolin R, ed. Principles and Practice of
Infectious Disease. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone; 2005:173-
92.
4. Handayani, Ruli. 2004. Analisis Konsentrasi PM2,5 dan gangguan
Pernafasan Pada Anak Sekolah Dasar Negeri di Kota Palembang Tahun
2004. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
5. Nurfitriah. 2009. Faktor Biologi Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko. (online).
http://www.45-127-1-PB-pdf. [diperoleh tanggal November 2018]
6. Suhandayani. 2006. http://www. Bascom World Hubungan berat badan lahir
dan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita.html.
[diperoleh November 2018].
7. Mutalazimah. 2005. Lingkungan Fisik Dan Faktor Internal Dengan Kejadian
ISPA Di Kota Bandung.(online).http://www.foxitreader.int rinsik dan
ekstrinsik.pdf. [diperoleh November 2018]
8. Falagas ME. Sex differences in the incidence and severity of respiratory
tract infections. Boston MA, USA: Tufts University School of
Medicine;2007

Anda mungkin juga menyukai