Eksistensi Hak Tanah Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau
Eksistensi Hak Tanah Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau
TESIS
Oleh
SYARIFAH M
087011118/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
TESIS
Oleh
SYARIFAH M
087011118/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Runtung, SH, MHum Notaris Syahril Sofyan, SH. MKn
Anggota Anggota
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Nama : Syarifah M
Agama : Islam
PENDIDIKAN :
PEKANBARU
ii
ini dengan judul “EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM ERA
Sumatera Utara.
bantuan serta dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan
tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima
terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN, Bapak Dr.
Runtung, SH, Mhum, Bapak Notaris Syahril Sofyan SH, MKn selaku
arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Dan juga, semua pihak yang
penulisan tesis ini sehingga tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.
iii
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya
kepada :
2. Bapak Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S., CN., selaku Ketua Program
A., S.H., CN., M.Hum. beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan
Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program
iv
(MKn).
Icha, Echi, Junita, Adis, Fitri, kak Tina, Kak Meri, Kak Yuna, Kak Reni,
sebutkan satu-persatu.
penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak.
Penulis,
Syarifah M
vi
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................... i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................1
B. Permasalahan ..................................................................................... 14
vii
A. Kesimpulan……………………………………………………… 135
B. Saran…………………………………………………………….. 136
viii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karena tidak ada satupun aktivitas orang badan hukum dalam kegiatan pembangunan
yang tidak membutuhkan tanah. Tanah merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa. Ketersediaan tanah sebagai sebagai sumber daya alam relatif tidak berubah dan
bumi ini terus berkembang atau semakin bertambah banyak. Tanah merupakan
kebutuhan pokok manusia, manusia bertindak secara sedikit demi sedikit untuk
hidupnya yang utama, yaitu pangan, sandang dan papan (kebutuhan primer), sehingga
tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia begitu pula sebaliknya. Begitu
pula bagi masyarakat hukum adat, sumber rezeki terbesar mereka untuk memenuhi
Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga perlu adanya suatu
peruntukan, penguasaan dan kepemilikan dari tanah tersebut. Oleh karena itu dengan
suatu pencerahan dalam sistem pertanahan di Indonesia, selain itu adanya dualisme
dalam bidang hukum pertanahan yaitu berlakunya hukum adat disamping hukum
1
Universitas Sumatera Utara
agraria yang didasarkan atas hukum barat. Oleh karena itulah dirasakan perlunya
Hukum Agraria yang seragam dan bersifat nasional dalam hal ini UUPA.
permukaan bumi. Bumi itu sendiri terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu permukaan bumi,
tubuh bumi, dan yang berada di bawah air. Dari ketiga unsur itu yang dimaksudkan
Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA sebagai berikut: “Atas
dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-
tertuang dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan
Ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi landasan konstitusional
Agraria, atau disingkat dengan UUPA. Dalam pasal tersebut arti menguasai dalam hal
ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan atas tanah bagi tiap warga negara
rupa dalam tiap-tiap pendayagunaan tanah-tanah tersebut agar para pemilik tanah atau
pemegang hak-hak lainnya (hak pakai, hak guna usaha, penyewa dan lain sebagainya)
d. Tidak menjadikan tanah sebagai alat untuk pemerasan keringat dan pemerasan
ini terjadi dengan tujuan bangsa asing untuk menjajah ke Indonesia adalah untuk
ini tidak lepas dari campur tangan Pemerintahan Hindia Belanda yang lebih
1
Kartasapoetra G dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, Hal.9.
2
Chadidjah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah,
Yayasan Pencerahan Mandailing, Medan, 2008, Hal.4
sporadis yang berarti secara berangsur-angsur satu demi satu peraturan yang
peraturan agraria yang baru yang berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang
yang masih berpegang teguh pada hukum adat dan masih menghargai adat itu sendiri.
Didalam masyarakat, hukum yang berlaku adalah hukum adat, sebab hukum adat
dapat disebut juga hukum kebiasaan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat terdapat tingkah laku manusia yang sudah ada dari zaman nenek moyang,
karena masih begitu kuatnya adat istiadat peninggalan nenek moyang yang dianggap
sebagai halnya dengan kuria, marga, nagari dan seterusnya. Demikian juga halnya
dengan pemerintah desa, serta pengangkatan kepala desa yang didasarkan kepada
pelanggaran terhadap hak atas tanah ulayat memang hanya dalam skala kecil, seperti
bentuk pelanggaran hak ekonomi dan sosial, namun dalam skala lebih besar
terkadang malah terjadi pelanggaran hak-hak sipil dan politik yang terkadang disertai
dengan kekerasan hingga sampai memakan korban jiwa dan harta benda yang apabila
tidak dapat ditangani dengan baik akan meluas dan berkembang menjadi pelanggaran
Hal seperti inilah yang menyebabkan masyarakat berada dalam kondisi yang
tidak berdaya untuk melindungi kepentingan sendiri, yang pada akhirnya masyarakat
karena harus melepaskan tanah peninggalan leluhur nenek moyang mereka, yang
Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum tertentu.Hak atas tanah ulayat ialah bersifat kolektif, dan
bukan merupakan hak yang bersifat individual sebagaimana hak atas tanah yang
dikenal dalam sistem hukum barat, dimana adanya suatu hubungan struktural yang
tidak dapat ditangani dan dipahami terpisah dari masyarakat hukum adat itu sendiri.
Dalam ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi landasan
penjelasan UUPA dimuat dalam Tambahan Negara Tahun 1960 Nomor 2043.
Undang-undang tersebut menentukan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang
Arti menguasai dalam hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan
atas tanah bagi tiap warga negara Indonesia, akan tetapi negara memiliki kewenangan
untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah,
karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) tersebut terkandung makna adanya hubungan
penguasaan, yang artinya bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
kemakmuran rakyat.
negara, sedangkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah
ulayatnya akan melahirkan hak ulayat, dan hubungan antara perorangan dengan tanah
melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan ketiga hal tersebut
secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan
Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada
negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya
terjadi dominasi hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak ulayat dan
perorangan atas tanah, sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak
sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas
tanah.3
dengan tanah termasuk juga masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya, serta
tersebut, sehingga dalam hal ini hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan
kepada masyarakat agar hak-hak ulayatnya tidak dilanggar oleh siapapun, sehingga
hubungan negara dengan tanah tersebut tidak terlepas dari hubungan masyarakat adat
3
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media, Jakarta, 2007, Hal. 7.
Pertahanan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, kewenangan mengatur tanah dan hak
kecil kemungkinan keluarnya Perda oleh Pemda tanpa adanya permohonan hak atas
tanah ulayat. Permohonan hak ulayat tersebut juga harus dimulai dari pembuktian
apakah masyarakat hukum adat di daerah yang bersangkutan masih ada atau tidak.
yang membingungkan pada masyarakat adat. Tingkat otonomi yang masih bisa
kata-kata yang kurang jelas bisa membuat salah pengertian. Misalnya, dalam hukum
yang dibuat untuk mengubah pemerintahan tingkat desa, desa didefinisikan "kesatuan
hukum masyarakat yang secara hukum diakui dan mempunyai otoritas untuk
asal muasal dan kebudayaannya.'' Hal ini membesarkan hati jika punya implikasi
pembentukan ulang sistim pemerintahanan desa yang beragam, yang dulu pernah ada
sebelum penyeragaman yang sangat merugikan pada tahun 1979. Walaupun demikian
perbedaan makna yang diberikan kepada definisi hukum desa sebagai ''bagian dari
mereka.4
Tanpa terbukti adanya masyarakat adat, jangan diharapkan tanah ulayat masih
‘’exist ‘’, karena tanah tersebut dikuasai oleh negara. Negaralah yang berwenang
menentukan ada tidaknya tanah hak ulayat yang bersangkutan. Tanah ulayat berawal
dari adanya subyeknya, yaitu masyarakat hukum adat di daerah yang bersangkutan,
apabila memang masih ada, tidaklah terlalu sulit untuk menjalankan proses
Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-
pindah di hutan. Suku Sakai merupakan salah satu suku asli Propinsi Riau yang
memiliki wilayah hak ulayat dan hutan ulayat yang masih alami atau masih sesuai
dengan ketentuan hukum adat yang berlaku, yang menempati beberapa daerah di
Propinsi Riau, salah satunya di Kabupaten Bengkalis, yang kian hari kian terdesak
saja keberadaannya karena hilangnya hak ulayat yang diantaranya berupa hutan
ulayat yang berada diatas tanah ulayat masyarakat adat akibat pembukaan hutan
4
http// Ire-Pemberdayaan Masyarakat Adat, diakses tanggal 9 september 2008.
kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus orang
Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan,
rombongan tersebut akhirnya sampai ditepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau
menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman
baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.
mereka tidak dapat bersaing dengan kemajuan zaman, tanah ulayat yang mereka
miliki, yang membentang luas dari Minas hingga Dumai yang didalamnya
antropolog Jerman yang melakukan penelitian tentang Sakai Tahun 1911, wilayah
Suku Sakai meliputi Minas, Belutu, Tingaran, Sinangan, Semunai, Panaso dan
Borumban.5 Akan tetapi wilayah yang masih memiliki tanah ulayat yang masih
benar-benar alami dan masih terlihat eksistensinya,dan masih terjaga hutan adatnya
5
Ahmad Arif dan Agnes Rita, Sayap Patah Para Sakai, Koran Kompas, 24 April 2007, Hal.
14
HTI (Hutan Tanaman Industri) yang menyebabkan masyarakat Suku Sakai tidak
punya lagi tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga hal ini tentu
masyarakat menjual tanah-tanah mereka kepada pihak luar dengan harga yang murah
karena pada dasarnya masyarakat Suku Sakai tidak memiliki sertifikat kepemilikan,
serta dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah tentu tidak mengetahui harga
pasar tanah.
Penjualan tanah dengan harga murah dilakukan karena hasil hutan semakin
menjual tanah ulayat, tetapi karena warga terdesak ekonomi sehingga mudah dibujuk.
Riau khususnya pada masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, dimana masih
berlangsungnya peralihan hak penguasaan atas tanah dari masyarakat yang jelas-jelas
menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup pada tanah kepada pihak luar yang
bukan anggota komunitas masyarakat Suku Sakai untuk dikelola sendiri maupun
kepada pengusaha yang diberikan hak untuk itu. Keadaan seperti ini jelas
Suku Sakai, atau sebagian diambil begitu saja dengan ganti rugi yang sangat rendah
atau bahkan tanpa ganti rugi, padahal untuk mendapatkan kembali tanah yang telah
dilepas hampir tidak mungkin karena tingkat kenaikannya harga tanah jelas akan
menyulitkan masyarakat Sakai untuk memperoleh kembali, yang jelas tidak seimbang
sendiri haknya masyarakat Sakai tidak mempunyai patokan, karena tanah ulayat tidak
memiliki sertifikat tanda bukti tertulis sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 32 ayat
menimbulkan konflik pertanahan, dan yang menjadi masalah adalah bagaimana peran
negara dalam hal ini, karena undang-undang sendiri telah mengakui keberadaan
Harus disadari bahwa masyarakat hukum adat sering berada dalam posisi yang
mengeksploitasi lahan dan sumber daya alam. Padahal masyarakat hukum adat telah
banyak memberikan kontribusi dalam melindungi dan mengelola sumber daya alam
diketahui bahwa telah sejak zaman dahulu berabad-abad lamanya masyarakat hukum
yang pada akhirnya menyebabkan bencana seperti sering terjadi sekarang ini. Hal
alam sekitar serta tuhannya, sehingga keseimbangan itu harus tetap dijaga agar tidak
1999 Tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 4
ayat (1) menjelaskan bahwa penguasaan bidang-bidang tanah ulayat oleh instansi
pemerintah, badan hukum atau perseorangan yang bukan warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan dilakukan dengan tata cara hukum adat yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) menjelaskan pula bahwa pelepasan tanah ulayat
masyarakat hukum adat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang
memerlukan hak guna usaha atau hak pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum
adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu. Begitu pula
kelangsungan hidup serta yang menjaga keseimbangan alam. Sedangkan seperti yang
telah diketahui sejalan dengan apa yang telah disebut dalam Peraturan Menteri
menyatakan bahwa :
Dari Pasal 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa negara secara tegas mengakui
keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang
ulayat itu tidak ada lagi maka tidak akan dihidupkan kembali. Demikian juga daerah-
daerah yang tidak pernah ada hak ulayat maka tidak akan dihidupkan hak ulayat baru.
Begitu juga pada era otonomi daerah saat ini dimana telah terjadi perubahan
demikian pula dalam hal hak menguasai tanah oleh negara pun telah berubah juga
daerah, kabupaten serta kota merupakan lini pertama untuk melindungi hak
suatu penelitian yang penulis beri judul “Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam
Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi
Riau”.
Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan diatas, maka yang menjadi
1. Bagaimanakah eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada
2. Apakah penyerahan hak ulayat atas tanah oleh masyarakat Suku Sakai kepada
pihak lain sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor. 5 Tahun
1999?
C. Tujuan Penelitian
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi pada
2. Untuk mengetahui penyerahan hak ulayat atas tanah oleh masyarakat Suku Sakai
kepada pihak lain sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor. 5
Tahun 1999.
1. Secara Teoritis
atas tanah dalam era otonomi daerah ini, maka pembaca dapat semakin mengetahui
2. Secara Praktis
bahan pustaka mengenai hukum pertanahan, menjadi masukan bagi kalangan praktisi
Indonesia, dan juga diharapkan menjadi bahan bagi mereka yang akan mendalami
E. Keaslian Penelitian
Sumatera Utara, dengan judul “Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era
Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Pada Kabupaten Bengkalis Propinsi
Riau” belum pernah dilakukan. Sepengetahuan penulis ada tesis yang berjudul :
Ririn Agustin pada tahun 2005, yang lebih menitikberatkan pada pendaftaran
masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau dalam era otonomi
daerah. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis.
1. Kerangka Teori
tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau
6
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Cetakan Ke I, 1994,
Hal. 80.
Adapun teori yang dipakai dalam pembuatan tesis ini adalah teori
yang luas, mencangkup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas
struktur hukum (structure), substansi / materi hukum (substance). Dan budaya hukum
yang dimaksud adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi
Roscoe pound mengatakan bahwa hukum itu sebagai suatu unsur dalam hidup
dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal
dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dari pandangan Pound
dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empiris (pengalaman) dalam
suatu peraturan hukum harus ada. Artinya, hukum yang pada dasarnya berasal dari
7
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ke II, 2003,
Hal.23.
8
Lawrence M.Freidman, American Law, (New York : W.W.Norton & Company, 1930),
pg.5-6 Dalam Mulhadi : Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan
Hukum Di Indonesia, 2005, USU, Responsitory @ 2006.
9
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisuius, Yogyakarta, 2001,
Hal.180.
sebagai hasil kerjanya ratio, yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai
Dari teori dan pandangan tersebut dapat dipahami bahwa pembaharuan hukum
di Indonesia utamanya di tujukan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil dan
sejahtera, tentram dan damai serta membawa perubahan-perubahan yang baik pada
struktur kehidupan. Tanpa harus merugikan pihak lain tetapi memberikan suatu
Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) yang merupakan
mempergunakan berbagai sumber kekayaan yang ada di bumi, seperti hutan dan
agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan lainnya segala sesuatu
Pasal ini memberikan kejelasan kepada kita bahwa hukum adat yang berlaku
di dalam ketentuan ini bukanlah merupakan hukum adat yang murni akan tetapi
fundamental, tidak semata-mata sebagai benda mati yang dapat dibentuk sedemikian
rupa melainkan juga sebagai tempat untuk mempertahankan hidup atau modal
esensial yang mengikat masyarakat dan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, selalu
anggota masyarakat dengan hak-hak masyarakat secara umum atas tanah yang
ditempati.
Satu hal yang menarik dan perlu mendapat perhatian serius bahwa hukum
tanah sekarang telah mengalami unifikasi melalui UUPA. Undang-undang ini disebut
adalah identik dengan hukum yang asli, yang diartikan secara sempit dan tradisional
10
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT. Alumni,
Bandung, 2002, Hal. 160.
11
Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana
Press, Jakarta, 1984, Hal.44
padanya. Pereduksian hukum tanah adat dapat dilihat dalam kaitannya dengan
kekuasaan negara atas tanah-tanah yang berada di wilayah Indonesia dan timbulnya
Hukum tanah adat pada pokoknya tidak terlepas dari tata susunan hukum-
Masyarakat hukum adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa
Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dulu sampai saat ini.
Sedangkan pengakuan terhadap hukum adat oleh UUD 1945 terdapat dalam pasal 18
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
Hal ini senada dengan apa yang tercantum dalam pasal 2 ayat (9) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
12
Otje Salman Soemadiningrat, Op Cit, Hal. 161.
13
Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pemberdayaan Pancasila Bagian
Pertama, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, Hal.25
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur
(secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
Masyarakat hukum adat atau yang dikenal dengan istilah lain seperti
masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau indigenious people yaitu suatu
suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa
lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar berasal dari satu nenek
moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin
mereka pelihara dan lestarikan, serta tidak punya posisi yang dominan dalam struktur
14
Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan
Masyarakat Adat.
hak ulayat atau dengan nama lain yang berbeda sesuai dengan sebutan di daerahnya,
yaitu hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah hutan belukar yang ada di
hutan, berburu, menangkap ikan bahkan membuka tanah untuk melakukan pertanian
3. Ada kelembagaan.
lingkungan daerah;
15
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
Hal.93.
kepemimpinan. Dalam hal ini dipimpin oleh seorang pimpinan (ketua adat).
kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan
warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk mencari keseimbangan
terwujud.
Hak ulayat merupakan asal dan akhir dari hak perseorangan dalam
persekutuan hukum. Hak perseorangan berada dibawah naungan hak ulayat. Semakin
intensif hubungan seseorangan dengan tanah di lingkungan hak ulayat, semakin kuat
hak yang dipunyainya, dan semakin lemah pembatasan hak ulayat terhadapnya.
Sebaliknya semakin lemah hubungan hukum seseorang dengan tanah itu, semakin
lemah haknya dan semakin kuatlah hak ulayat, inilah yang disebut oleh Ter Haar
16
Ramli Zein dalam Tunas Effendi dkk, Hutan Tanah Ulayat dan Permasalahannya,
Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan, Pekanbaru, 2005, Hal. 12
pada ketidakserasian pandangan terhadap dua faktor yaitu, faktor manusia dan faktor
tanah. Hukum adat sebagai hukum asli telah menata hubungan manusia dengan tanah
dengan suasana tradisional berdasarkan pandangan itu. Akan tetapi kemudian bangsa
tersebut sepanjang memang menurut kenyataannya masih ada, dan dalam hal ini pun
Selanjutnya pada Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa : “Hak ulayat dan hak-
hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat masih tetap dapat dilaksanakan oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut
Pengertian lain tentang Hak Ulayat ialah Kewenangan yang menurut hukum
adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu, atas wilayah tertentu yang
17
Kumpulan-Kumpulan Seminar Tanah Adat, Atma Jaya & B.P.N di Puncak, September,
1996.
18
Ibid, Hal. 11.
daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun-temurun,
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan.19
3. Masih didapati adanya tatanan hukum adat itu sendiri yang mengenal adanya
suatu lingkungan hidup dan yang berada dalam persekutuan hukum adat.20
yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan,
b. Bagi yang bukan anggota masyarakat hukum adat tersebut dapat pula
mempergunakan hak-hak itu hanya saja harus mendapatkan izin lebih dahulu dari
kepala masyarakat hukum adat dan membayar uang pengakuan atau recognitie
19
Affan Mukti, Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria, USU Press, Medan, 2006, Hal. 23
20
Ibid, Hal. 23
d. Masyarakat hukum adat tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat itu
e. Masyarakat hukum adat mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang
digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli dan
lain sebagainya.21
Dalam hak ulayat mengandung dua unsur /aspek, yaitu aspek hukum perdata
dan aspek hukum publik. Aspek hukum perdata yaitu merupakan hak kepunyaan
bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat,
sedangkan aspek hukum publik yaitu sebagai kewenangan mengelola dan mengatur
peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan
intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang yang bukan warga
2. Kerangka Konsepsi
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang kongkrit.
21
Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik Medan, Medan,
2005, Hal. 11.
Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan
dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dengan nama yang berbeda-
beda. Merupakan penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang
meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat
hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.23
Tanah sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia yang telah dikaruniakan
tuhan kepada bangsa Indonesia harus dapat dikelola dan didayagunakan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan dipergunakan secara seimbang antara hak dan
Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) defenisi Otonomi Daerah sebagai
berikut : “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan Singkat,
Edisi 1,Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal.7.
23
Rosdinar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Masyarakat Adat
Simalungun, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, Hal. 70
24
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit, Hal. 2
daerah otonom sebagai berikut : “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
Di era sekarang ini, otonomi daerah sudah dianggap sebagai obat mujarab
dewa kemajuan pemerintahan. Otonomi daerah seakan harus merupakan bagian dari
reformasi pemerintahan dan bagian tak terpisahkan dari upaya demokrasi Dengan
kata lain tak ada reformasi tanpa ada otonomi dan tak akan ada demokrasi tanpa
otonomi daerah.25
Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, K-
kampung, ditepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang
cukup airnya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar
25
M.Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, UMM Press, Malang, 2008,
Hal.2.
26
“Pemberdayaan Masyarakat Suku Sakai”, Artikel, Didownload dari
http://www.katcenter.info/, diakses tanggal 2 Januari 2009.
Kata Metode berasal dari bahasa Yunani “methods” tang berarti cara atau
jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode ini menyangkut masalah cara
kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan.27
1. Sifat Penelitian
kelompok, atau keadaan), dan untuk menentukan frekwensi sesuatu yang terjadi.28
Yaitu untuk melukiskan fakta-fakta berupa data dengan bahan hukum primer yaitu
menyeluruh mengenai eksistensi hak ulayat dalam era otonomi daerah pada
2. Jenis Penelitian
27
Koentjaraningrat, Op.Cit, Hal.16
28
Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004, Hal. 58
artikel-artikel, media massa, serta sumber data sekunder lainnya yang dibahas
peneliti. Pendekatan yuridis normatif digunakan karena masalah yang diteliti berkisar
perundangan yang lainnya yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan
3. Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi tempat lokasi penelitian dilakukan dalam dua tahap
yaitu: (1) Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan yang terdiri dari
Lembaga Adat Melayu Riau serta Badan perpustakaan dan arsip Propinsi Riau. (2)
ulayat atas tanah seperti Kantor Badan Pertanahan, Badan Pusat Statistik terletak di
Kabupaten Bengkalis, kepala desa, kepala adat, masyarakat Suku Sakai Kecamatan
Dalam penulisan ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah
Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan
hukum primer seperti doktrin (pendapat para ahli), buku-buku, jurnal hukum,
Bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk melengkapi data dalam
penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, majalah dan internet serta bahan-bahan
1. Studi Kepustakaan
berhubungan dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Data ini diperoleh
2. Studi Lapangan
instansi-instansi terkait dengan masalah hak ulayat atas tanah seperti Kantor
sekunder).
8. Analisis Data
Analisa data merupakan upaya penyusunan dan telah terdapat data yang telah
diolah untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Analisa data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisa data kualitatif yang merupakan analisa data yang tidak
pemuka adat, sedangkan penggunaan tabel dan angka-angka dalam penelitian ini
hanya bersifat pendukung dari analisa data yang dilakukan, sehingga dapat ditarik
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa: “Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
Di dalam UUD 1945 tidak menjelaskan secara terperinci arti bumi itu sendiri,
mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) bahwa
seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia,
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa,
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di
Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang
telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
35
hukum.
Menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa : “Negara
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.”
Hal ini berarti bahwa negara masih mengakui hak atas tanah yang dikuasai
berdasarkan hukum adatnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Hukum adat adalah aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi
dan orang-orang Timur Asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan
Soepomo memberikan defenisi tentang hukum adat sebagai hukum yang tidak
peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan
29
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cetakan II, Mandar Maju,
Bandung, 2003, Hal.15.
Apabila ditelaah pendapat yang diberikan para ahli diatas, terdapat kesamaan
pendapat mengenai hukum adat, yaitu didalam hukum adat termuat peraturan-
peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak
Di dalam hukum adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting.
Hubungan antar manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan
diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan
kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi mereka
makan, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang-
orang halus perlindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya-
daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya.
Hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat pada masa
kepada hak atas tanah yang telah terdaftar, sehingga ketika itu berlaku dualisme
30
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia,Tarsito, Bandung, 1996, Hal.13.
31
Ibid, Hal.14.
dengan domein verklaring dan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.
telah dikenal sistem penguasaan sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia
yang dikenal sebagai hak ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai
pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah
didalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang
tersebut.32
dengan lingkungan wilayahnya, objek hak ulayat dapat mecangkup hak menggunakan
dan mengelola tanah, hak menangkap ikan, hak memungut hasil hutan dan
sebagainya.
32
Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah
Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, Hal.4
hak ulayat harus sesuai dengan keadaan negara kesatuan. Hak ulayat semula belum
1. Hak ulayat diakui sepanjang masih ada (tanpa penjelasan tentang kriteria ‘masih
ada’).
2. Biarpun hal ulayat diakui dan masih ada, kegunaannya harus disesuaikan dengan
masyarakat Indonesia.33
Pengakuan atas hak ulayat ini hanya sebatas hak ulayat yang masih diakui
sesuai dengan Penjelasan Umum II angka 3 UUPA, bahwa pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa ini dari masyarakat-masyarakat adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa hak ulayat masih diakui asalkan penguasaan hak
lainnya yang lebih tinggi dan selama menurut kenyataan hak ulayat tersebut diakui.
hak ulayatnya menolak begitu saja dibukanya tanah secara besar-besaran secara
33
Kumpulan Makala Seminar Tanah Adat, Op.Cit.
kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang
merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan Pasal 3 UUPA, bahwa
kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan
negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun dalam pelaksanaannya harus sesuai
dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan jika didalam alam
bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan
pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari pada hubungannya
pembatasan hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Negara akan tetap memperhatikan keberadaan hak ulayat sepanjang
hal tersebut dalam realitanya masih ada dan negara menempatkan hak ulayat untuk
tunduk kepada kepentingan umum dan negara. Atas dasar kewenangan tersebut
ulayat.
menyebutnya dengan istilah ‘hak purba’ ialah hak yang dipunyai oleh sesuatu suku
(clans/gens/stam), sebuah serikat desa atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk
menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya. Hak purba tidak
meliputi juga tanah yang sudah digarap yang sudah diliputi hak perseorangan.
Soepomo memberikan istilah sebagai hak pertuanan, dan didalam UUPA sendiri
beshikkingrecht terhadap hak ulayat, yang mana hak ulayat adalah berupa hak dan
wilayah tertentu yakni wilayah di mana mereka hidup.34 Walaupun penyebutan istilah
hak yang dimiliki hukum adat ini berbeda-beda namun pengertiannya tidaklah jauh
berbeda.
BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Hak ulayat adalah hak dari masyarakat hukum adat. Dalam
34
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Cetakan V, Yogyakarta, 2007, Hal.2.
Tahun 1999, dalam hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat
sepanjang kenyataannya masih ada dan memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat
Hubungan timbal balik antara hak ulayat dengan hak perorangan sebagaimana
dirumuskan Iman Sudiyat, bahwa hak purba dan hak perorangan itu bersangkut paut
mungkret tiada henti. Dimana hak purba kuat, disitu hak perorangan lemah, demikian
pula sebaliknya.35
Antara hak ulayat dan hak perorangan yang diakui secara adat selalu ada
pengaruh timbal balik, makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu
bidang tanah maka makin eratlah hubungannya dengan tanah itu dan makin kuat pula
haknya atas tanah tersebut. Di dalam hak demikian maka kekuatan hak ulayat
terhadap tanah itu menjadi berkurang, tetapi menurut hukumnya yang asli
bagaimanapun kuatnya hak perseorangan atas tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat.36
berkembang dan maju kondisi masyarakatnya, maka hak ulayat menjadi semakin
lemah dalam masyarakat apa lagi dalam masyarakat modern. Bila kita mengkaji lebih
dalam, bahwa hak ulayat dan hak adat atas tanah ada perbedaan yang cukup
signifikan.
Hak ulayat bersifat hak komunal (hak bersama) dari sekelompok masyarakat
hukum adat dengan kata lain tidak dimiliki perorangan oleh karenanya objek tidak
dapat dijual belikan tanpa persetujuan Pimpinan Adat yang bersangkutan, warganya
hanya boleh menikmati hasil, atau tempat berusaha sehari-hari dan pihak lain yang
diluar kelompok masyarakat hukum adat tersebut tidak diperkenankan
menguasai/melakukan aktivitas pada wilayah tersebut kecuali dengan persetujuan
pimpinan adat yag bersangkutan, adapunhak atas tanah sifatnya dikuasai perorangan
yaitu dengan diperoleh dengan membuka tanah negara misalnya berladang, berkebun
dan lain-lain, dan apabila tanah tersebut dipergunakan dan dirawat /dipelihara dengan
baik oleh penggarap maka pada gilirannya tanah ini dapat diberikan hak menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sedangkan tanah yang sifatnya termasuk alam
lingkup hak ulayat tidak dapat diberikan hak untuk perorangan, kecuali atas dasar
persetujuan pimpinan adat yang bersangkutan.37
35
Ibid, Hal. 3.
36
Seminar Langkah-langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Op.Cit, Hal.16
37
Ibid, Hal.20.
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
Sebagaimana telah kita ketahui wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk
dalam bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak bersama
kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk dalam hukum publik, berupa
Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dikuasai oleh seseorang
maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tanah umumnya batas wilayah
hak ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti.
mempunyai hak ulayat, bukan orang seorang. Hak ulayat mempunyai kekuatan
jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan
Menyinggung masalah hak ulayat tidak lepas dari asas-asas yang terkandung
dalam UUPA salah satu diantaranya, asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.
Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi maksudnya bukan memiliki hak atas
pengertian peguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti
yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penggunaan yuridis dilandasi
hak, yang dilindungi oleh hukum dari umumnya memberi kewenangan kepada
pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga
penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan menyewa yang
38
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, isi dan Pelaksanaan, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, Hal. 145.
tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya,
berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik
kepadanya. Dalam hukum tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak
Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas
tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang
empunya tanah.
perdata. Pengertian “dikuasai” dan “menguasai” dipakai dalam aspek publik, seperti
yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Pengertian “penguasaan” dipakai dalam arti
yuridis, baik penguasaan yang beraspek perdata maupun publik. Pengertian “Hak
Penguasaan Atas Tanah” dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai
berbagai “ hak penguasaan atas tanah”. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus
1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas
2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek
publik.
langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang disebut
c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25,
Hal ini secara jelas dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA, bahwa perkataan
“dikuasai” disini bukan berarti ‘dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberikan
wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada
tingkatan tertinggi :
besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan negara tersebut mengenai semua bumi, air, dan
ruang angkasa, baik yang sudah dihaki maupun yang tidak. Kekuasaan negara
mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari
hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai
Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang
Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut, negara dapat memberikan
tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan
dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau
Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa
tugasnya masing-masing.
kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat sekadar diperlukan dan
Peraturan Pemerintah.
Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah
ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang
terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat”
meliputi :
b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari
c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal
4).
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan
oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu “menurut
Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah
dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara
Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan
dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang
adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu
masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para
warganya.
Subjek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik merupakan
maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai
nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun
nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subjek hak
ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tertua adat yang memperoleh
Tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat
a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa
terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga
Penelitian mengenai ketiga unsur tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat
objektif, yaitu antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya
Masyarakat dan instansi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan sumber daya
ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya).
suatu tanda kartografi yang sesuai, sekiranya pada kenyataannya batas-batas tanah
yang bersangkutan dapat ditentukan menurut tata cara penentuan batas dalam
pendaftaran tanahnya dan dicatat pula dalam daftar tanah yang ada. Semua itu perlu
diatur sesuai dengan keadaan masing-masing daerah dalam Peraturan Daerah, yang
dimaksud dalam Pasal 6 ketentuan yang demikian sebenarnya tidak cukup, sebab
berdasarkan Pasal 19 UUPA jo. PP No. 24 Tahun 1997 bahwa untuk menjamin
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah dicabut oleh PP No.24
Tahun 1997. Pendaftaran tanah hak ulayat mengalami suatu kendala, karena
sebagaimana Pasal 9 PP No.24 Tahun 1997 bahwa objek pendaftaran tanah meliputi :
bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan
terhadap tanah ulayatnya yang sumber, dasar pelaksanaan, dan ketentuan tata cara
meliputi hak penguasaan tanah oleh para warganya (Pasal 4 ayat 1 huruf a) dan
pelaksanaan tanah untuk keperluan “orang luar” (Pasal 4 ayat 1 huruf b). Mengingat
hukum adat oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan apabila
dikehendaki boleh didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut Undang-
Dalam pada itu dapat dipastikan bahwa pada waktu dikeluarkannya Peraturan
Daerah yang mengatur hak ulayat nanti akan terdapat bidang-bidang tanah yang
sesuai dipunyai perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah
menurut Undang-undang Pokok Agraria atau sudah diperoleh menurut ketentuan dan
tata cara yang berlaku walaupun haknya secara administratif belum diperoleh.
Berdasarkan pemikiran bahwa bidang-bidang tanah ini sudah diperoleh secara sah,
yaitu dengan membeli atau membebaskannya dari hak-hak dan kepentingan yang ada
di atasnya, maka pelaksanaan hak ulayat atas bidang-bidang tanah ini dikecualikan
(Pasal 3 UUPA).
agraria intensitas hubungan seseorang dengan tanah akan menentukan tebal tipis
haknya atas tanah tersebut. Makin lama dan intensif hubungan seseorang dengan
tanah, makin tebal haknya atas tanah tersebut. Djojodiguno teori mulur-mungkret”
disebut sebagai masyarakat “oral cultural”.39 Dokumen atau catatan tertulis sebagai
bukti suatu hak bukanlah sesuatu yang penting. Bukti yang kuat adalah hubungan
sekitarnya. Sistem girik bukanlah asli budaya Indonesia. Girik adalah sistem
(resepsi) sebagai bukti pemilihan atas tanah. Begitu pula pengertian “tanah dikuasai
negara” dalam praktek, negara atau pemerintah diberi wewenang untuk memberikan
hak tanah kepada siapapun tanpa menghiraukan hubungan yang telah ada antara
rakyat dengan tanah. Praktek semacam ini sangat kolonialistik dan bertentangan
dengan undang-undang dasar. Asas “domein” pada masa kolonial masih ada batas,
karena diatas tanah tersebut diakui hak masyarakat atas tanah seperti hak ulayat dan
5 Tahun 1960. Dalam kenyataan pengertian hak negara menguasai negara bergeser
seperti “domein” pada masa kolonial, bahkan lebih. Pemerintah atas nama negara
berkuasa penuh menyerahkan atau memberikan hak atas sebidang tanah negara tanpa
harus menghiraukan hak-hak yang secara sosio-kultural ada pada rakyat. Hukum
39
Ibid, Hal.262.
begitu pula dari sudut Undang-Undang Dasar. Hak negara menguasai tanah adalah
1945 karena itu tidak boleh dipilah atau dipisahkan dikuasai negara itu untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Kalau tanah, sebidang tanah telah dipergunakan rakyat,
maka tercapailah salah satu tujuan penguasaan negara atas tanah, yaitu untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, negara atau pemerintah harus mengutamakan hak
rakyat atas tanah daripada kepentingan lain yang datang kemudian. Inilah inti paham
yang merujuk pada kedaulatan rakyat sesuai dengan nilai demokrasi yang tertanam
dalam konstitusi. Konsensus yang dicapai oleh founding fathers kiranya merupakan
hal yang tepat, yaitu pembangunan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka
perekatnya. Pemikiran ini merupakan hal yang bijaksana mengingat pada kondisi
dalam penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Secara teoritis dan faktual,
jiwa besar pemerintah sebagai bentuk penghargaan terhadap perbedaan yang ada
maupun nasional.40
merupakan harapan baru bagi pengembangan komunitas lokal. Hal ini dapat dilihat
dengan adanya otonomi desa, yang secara eksplesit menegaskan desa dikembalikan
40
Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, Hal. 63-64
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemberian peran yang lebih dominan kepada
merupakan panduan yang nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga merupakan
politik hukum otonomi daerah. Dengan dasar kekuatan tersebut, pelaksanaan otonomi
daerah diwujudkan dalam kebijakan yang terukur, terarah, dan terencana oleh
pemerintah pusat. Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat
nyata dan luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Maksudnya
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan
kewajiban yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan
41
Ibid, Hal. 7.
yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk
tentang pelayanan pertanahan. Kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu juga,
sesuai dengan yang terdapat dalam penjelasan poin (b), yang menyebutkan bahwa
diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
meliputi :
42
Ibid, Hal. 9.
daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa
merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta
tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat
luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja
masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus
turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan
mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah
maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar
43
M. Rizal Akbar dkk, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, LPNU
Press, Pekanbaru, 2005, Hal.9.
fisik, juga dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan publik. Penguasaan yuridis
dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan
kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada
tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan
pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan
penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai secara fisik
oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan
44
Hari Sabarno, Op.Cit, Hal.44.
Hak menguasai tanah oleh negara adalah hak yang memberi wewenang
kepada negara untuk mengatur 3 hak seperti termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.
Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik juga memberi wewenang kepada
pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua hal tersebut
dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak menguasai tanah oleh negara semacam
hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh
wilayah Republik Indonesia. Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik berlaku
terbatas hanya pada suatu wilayah masyarakat hukum adat tertentu (bersifat lokal),
sedangkan hak menguasai tanah oleh negara berlaku untuk semua tanah yang ada di
serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau
dilarang atau diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan atas tanah yang diatur
45
Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 23
46
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 47.
1. Baik hak ulayat maupun hak menguasai tanah oleh negara merupakan “induk”
dari hak-hak atas tanah lainnya. Di atas hak atas tanah ulayat dapat muncul hak
perorangan atas tanah, demikian pula dengan hak menguasai tanah oleh negara
kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai oleh negara atas tanah.
yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3), hak ulayat yang memberikan wewenang
kepada masyarakat hukum adat untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah
kepada negara. Penyerahan ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945. Konsep hak menguasai tanah oleh negara semacam hak ulayat yang diangkat
pada tingkatan tertinggi ini, sesuai dengan konsep hak menguasai tanah oleh negara
yang termuat dalam Pasal 2 UUPA. Konsep ini dapat diterima sepanjang hak ulayat
yang ditarik pada tingkatan tertiggi itu (hak menguasai tanah oleh negara), tidak
menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya benar-
benar masih ada. Hak ulayat itu harus dibiarkan hidup secara bebas tanpa ada
gangguan dari siapa pun, dibawah naungan dan lindungan hak menguasai tanah oleh
rendah dari pada hak menguasai tanah oleh negara, dan hak menguasai tanah oleh
negara tidak boleh menghapus hak ulayat, bahkan sebaliknya ia harus mengayomi
ada yang sebagai lembaga hukum dan ada pula sebagai hubungan-hubungan hukum
kongkrit. Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum
dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang
haknya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 20 sampai 45 UUPA, seperti hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa bangunan.
dapat berbuat sendiri atas kemauan dan kehendaknya, kecuali untuk kewenangan
pengaturan mengenai tugas dan wewenang daerah dalam pemerintahan, agar tidak
Pada era reformasi, terjadi tarik ulur antara pemerintah pusat dan daerah
47
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 50.
menyelenggarakan pemerintahan sendiri (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945). Ketentuan ini
dijadikan landasan yang kuat bagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 untuk
menganut asas otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7. menurut
dalam Pasal 2 ayat (3) nomor 14, merincikan kewenangan pemerintah pusat di bidang
pertanahan yaitu:
pertanahan. Pencabutan ini secara hukum tidak dapat dibenarkan, karena presiden
1999 hanya dapat dicabut dengan ketentuan Undang-undang dan bukan dengan
keputusan presiden.49
48
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 63-65.
49
Muhammad Bakri, Loc.Cit.
menyelenggarakan pemerintahannya.
dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia
Dengan demikian dalam era otonomi daerah ini, paradigma lama di bidang
baru yang bersifat desentralisasi, oleh karena itu sesuai dengan Pasal 18 ayat (5)
kepada pemerintah daerah. Maka dengan adanya otonomi daerah pemerintah daerah
daerah-daerah kekuasaannya.
Dengan adanya otonomi daerah pemerintah bisa lebih bijak lagi dalam
kabupaten tersebut agar tidak hilang bersama perkembangan zaman serta keberadaan
tanah ulayat masyarakat tersebut Agar tidak hilang eksistensinya akibat pembukaan
Sebelum tahun 1858 Pulau Bengkalis termasuk dalam Keresidenan Riau yang
dengan dibukanya areal perkebunan, maka pada Mei 1873 Keresidenan Riau dibagi
Dan pada tahun itu juga pusat pemerintahan keresidenan Sumatera Timur
yaitu :
50
Emrizal Pakis, Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis Tahun 1996, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Bekerjasama Dengan Kantor Statistik Kaupaten Bengkalis.
kecamatan, yaitu :
kecamatan, yaitu :
Bengkalis. Struktur baru ini lahir Tahun 1956, berdasarkan Undang-Undang Nomor
merupakan masyarakat yang terisolir dan memiliki kemampuan yang karena itu
ekonomi, sosial budaya, keagamaan dan ideologi. Komunitas adat terpencil sering
dianggap rendah oleh masyarakat dan selau dijauhkan oleh kelompok-kelompok yang
lain. Tidak salah sehingga mereka menjadi rendah diri, sehingga selalu terpojok dan
jarang mau bergaul dan menyatu dengan kelompok atau orang luar, sehingga tidak
Salah satu kelompok atau komunitas dari masyarakat terpencil ini adalah
orang Sakai “Sakai” merupakan nama salah satu suku bangsa di tanah melayu dan
sosial atau relatif terbelakang kehidupannya. Kelompok ini dianggap tidak maju dan
kata Sakai sebagai nama suku bangsa di tanah Melayu, termasuk bangsa Negrito
yang tidak berbahasa Melayu, disamping diartikan pula sebagai orang bawahan (yang
diperintah) sama dengan hamba sahaya. Tetapi ada juga anggapan bahwa Sakai itu
nama sungai di Mandau Kabupaten Bengkalis. Karena suku itu menetap di tepi
Menurut M.Yatim kepala batin Suku Sakai, bahwa nama Suku Sakai diartikan
sebagai suku anak air ikan, karena sumber penghidupannya adalah dipinggiran air
serta menangkap ikan. Menurutnya lagi Sakai adalah suku atau manusia kebal
orang batin.52
Tokoh atau pemimpin Sakai yang paling menentukan ialah batin. Batin
memimpin suatu perkampungan. Dialah pemimpin formal dalam suku yang mengatur
dan mengemudikan masyarakat dengan asas adat.53 Karena itu batin menjadi pusat
51
UU.Hamidy, Masyarakat Terasing Daerah Riau Di Gerbang Abad XXI, Zamrad Untuk
Pusat Kajian Islam dan Dakwah Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 1991, Hal.88.
52
Wawancara Penulis dengan M.Yatim, Kepala Batin, Tanggal 28 Maret 2010.
53
Batin = Kepala Suku atau Ketua Adat
juga telah merupakan tokoh yang khas dalam kehidupan masyarakat, sebab dia telah
memainkan peranan penting dalam hubungan dengan makhluk gaib, sehingga amat
animisme sehingga dia memainkan peranan yang besar dalam berbagai tradisi yang
Menurut silsilah dan asal usulnya orang Sakai dahulunya berasal dari
Pagaruyung yang datang ke Riau sekitar abad ke-14 Masehi. Karena negeri
Pagaruyung adalah negeri yang sangat padat penduduknya sehingga untuk mengatasi
baru yang masih sedikit penduduknya. Raja Pagaruyung kemudian mengutus sebuah
rombongan berjumlah 190 orang untuk berangkat kearah timur karena di wilayah
akhirnya sampai ditepi sebuah sungai yang mereka namakan Sungai Biduando. Nama
terdiri dari 3 orang hulubalang. Rombongan ini kembali berjalan menuju kearah
54
Bomo= Dukun
55
http://www.katcenter.info/detail artikel, diakses pada tanggal 25 Mei 2010.
Mandau akan tetapi sampai di Kunto Bessalam, yang akhirnya mereka menyerahkan
diri kepada Raja Kunto Bessalam. Setelah beberapa lama tinggal di kerajaan tersebut
dengannya dengan mengirim 5 keluarga yang dipimpin oleh 2 orang hulubalang yang
bernama Sultan Janggut dan Sultan Rimbo untuk bekerja disitu. Akan tetapi sebelum
pekerjaan itu selesai, 2 orang hulubalang dan 5 keluarga telah melarikan diri karena
tidak sanggup tinggal disana karena rajanya sangat kejam. Rombongan tersebut
melarikan diri kearah wilayah Mandau, dan sampailah mereka ditepi sungai Sam-Sam
diwilayah Desa Mandau dan kemudian menyerahkan diri kepada kepala desanya.
Mandau. Menurut Moszkowski (1908) dan Loeb (1935) orang Sakai adalah orang
Veddoid yang bercampur dengan orang Minangkabau yang berimigrasi pada abad ke-
14 ke daerah Riau, yakni di Gasib, di tepi sungai di hulu Sungai Rokan, sedangkan
menurut Hasny, orang Sakai berasal dari Pagaruyung, Batu Sangkar dan Mentawai.56
56
Husni Thamrin, SAKAI Kekuasaan, Pembangunan dan Marjinalisasi, Gagasan Press,
Pekanbaru, 2003, Hal.5.
Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan dengan khalifahnya bernama Ibrahim yang
juga tokoh tradisional Sakai, yaitu batin. Maka terdapatlah dua macam batin dalam
kehidupan orang Sakai, yaitu batin yang juga khalifah dan batin biasa yang hanya
tokoh adat saja. Kemudian dengan adanya binaan dari pihak pemerintah melalui
Depsos, mulailah dikenal adanya Kepala Desa.57 Kepala Desa ini juga kebanyakan
adalah batin itu sendiri. Maka dikenallah paling kurang 4 tokoh masyarakat Sakai :
mereka sebut Perbatinan yang dipimpin oleh Batin. Perbatinan ini terdiri atas
Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan.59 Disebut dengan Perbatinan Lima mereka
masing-masing perbatinan mempunyai tanah hak ulayat dan hutan di (1) Minas; (2)
Penaso; (3) Beringin; (4) Belutu; dan (5) Tengganau. Perbatinan Delapan adalah
kelompok orang Sakai yang di beri hak untuk membuka hutan oleh Raja Siak Sri
Indrapura meliputi wilayah (1) Petani; (2) Sebangar; (3) Air Jamban; (4) Pinggir; (5)
57
Kepala Desa ini juga kebanyakan adalah batin itu sendiri. Jika ada kepala desa yang bukan
batin, maka pengaruhnya hanya amat terbatas sekedar untuk hubungan administratif saja dengan pihak
luar yang bersifat formal administratif.
58
UU.Hamidy, Op.Cit, Hal. 90-91.
59
Perbatinan nan lima yaitu kelompok masyarakat adat yang terdapat di daerah pesisir,
sedangkan perbatinan nan delapan yaitu kelompok masyarakat adapt yang terdapat di daerah
pedalaman.
60
Husni Tamrin, Op.Cit, Hal.5.
kerajaan Gasib yang pergi karena diserang Aceh. Sedangkan Sakai Batin Delapan
diriwayatkan berasal dari Semenanjung Melaka. Mereka dalam jumlah sekitar 100
orang lelaki dan perempuan yang telah mendarat di Kunto Darussalam, dan membuat
Kampung Bonai. Sebagian diantaranya mendiami kawasan aliran Sungai Sakai. Maka
mereka kemudian disebut Suku Sakai. Karena itu dalam teks lisan yang dihafal batin
Sakai, sebagian mereka mengatakan berasal dari Siak atau Gasib, sebagian lagi dari
Kerajaan Siak tahun 1723 mereka jadi rakyat Siak. Tapi tanah ulayat dan adat istiadat
mereka tidak dicampuri Sultan. Hal ini sepenuhnya diserahkan kepada Batin Suku
Sakai masing-masing.61
Indrapura dengan Raja Kecil sebagai rajanya. Pada waktu orang Sakai hidup pada
zaman kekuasaan Kerajaan Siak Sri Indrapura, Raja Siak adalah penguasa tertinggi
yang mereka kenal dan mereka akui dalam tata kehidupan mereka. Segala peraturan
dan ketentuan yang dikeluarkan dan diberlakukan oleh kerajaan adalah sesuatu yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang suci.
Sehingga sampai sekarang pun orang Sakai masih sangat menghargai dan
61
UU Hamidy, Op.Cit,Hal.88-89.
Riau merupakan propinsi yang kaya dengan sumber daya alam, sejarah dan
internasional melalui Selat Melaka. Namun, sebagian dari kelengkapan budaya Riau
telah sangat kurang diakui dan diperhatikan, bahkan tidak diketahui secara benar.
Salah satu diantaranya adalah, sejumlah suku-suku asli (Indigenous people) yang
yang luas, melainkan menguasai titik-titik strategik di jalur utama perdagangan, yaitu
Selat Melaka dan sungai-sungai besar, seperti Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan.
Masyarakat yang tinggal di tebing sungai dekat pusat kerajaan menerima berbagai
Merekalah yang menjadi orang melayu dengan Islam sebagai salah satu atribut kunci
dari jati dirinya. Hal ini diidentikkan dengan masuk Melayu sama dengan masuk
Islam.
Kawasan yang luas diantara sungai-sungai besar, pada masa lalu, semuanya
dikuasai oleh Batin-Batin (kepala suku orang sakai). Batin sebagai ketua masyarakat,
memiliki teritorial yang diatur secara otonom berdasarkan hukum adat, jumlah orang
Kecamatan Mandau. Berikut penyebaran orang Sakai dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Berdasarkan dari tabel diatas dapat dilihat pada umumnya orang Sakai banyak
bertempat tinggal di desa Pematang Pudu 1.225 orang, Sebanggar 715 orang,
sedangkan jumlah orang Sakai paling sedikit terdapat di desa Talang Mandi 77 orang,
Propinsi Riau.
tradisi leluhur nenek moyang mereka, akan tetapi mereka telah mulai menyesuaikan
selain juga berburu, maupun menangkap ikan di sungai. Cara bertani mereka masih
sekitar tanah yang dibuka pertama. Proses membuka hutan untuk perladangan
tersebut masih dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan upacara adat dengan
memotong beberapa ekor ayam, dengan harapan mereka tidak diganggu oleh roh-roh
menangkap ikan, berburu dan mengambil hasil hutan, serta kuli atau buruh dan
berdagang. Berladang dilakukan dengan sistem tebang (tebas) dan bakar, setelah itu
ditugali dengan menanam ubi nanggalo atau tembakau. Peralatannya parang, tombak,
panah dan juga memakai jerat sentak. Hasil buruan dibagi-bagi, tapi juga ada yang
dijual. Binatang buruan yang dijerat seperti kijang dan rusa. Ikan dicari dengan
mempergunakan lukah dan kail. Hasil hutan yang paling suka mereka cari ialah kayu
Tabel 2
Berdasarkan dari tabel diatas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat Sakai
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya rata-rata berladang, dan hanya sebagian kecil
Berladang adalah kehidupan yang sangat penting bagi kehidupan orang Sakai.
Saat ini rata-rata sebagian masyarakat Suku Sakai lebih suka berladang untuk
biasanya dibangun dari sebuah keluarga inti (Suami-isteri dan anak-anak) atau
dibangun secara gotong-royong atau saling membantu diantara dua keluarga sampai
wilayah hutan yang dipilih adalah tidak begitu banyak semak belukarnya, dan tanah
yang gak miring dan mereka memilih dekat air adalah lebih baik dan tidak ada rumah
Jika orang Sakai telah menemukan hutan yang mereka anggap baik untuk
persyaratan berladang, mereka pergi melapor kepada batin, serta menunjukan hutan
yang akan mereka buka. Setelah batin tidak berperan lagi mereka melapor kepada
penghulu atau kepala desa. Dalam penebangan pohon-pohon kayu hutan yang besar
masing keluarga telah menentukan kira-kira berapa luas masing-masing ladang yang
hendak dibuatnya.
3. Menugal Padi
62
Wawancara dengan A. Yani, Kepala Bagian Dinas Sosial, tanggal 18 Agustur 2010.
secara bersama-sama. Satu hari sebelum dilakukan kegiatan menanam padi di ladang
dilakukan upacara “mematikan tanah” dengan tujuan agar ladang tersebut tanahnya
dingin dan subur serta mereka yang tinggal di daerah ladang tersebut terhindang dari
mara bahaya. Upacara mematikan tanah ini dilakukan oleh masing-masing kepala
keluarga dengan meminta perlindungan kepada “Poti Soi” (Putri Sri, Dewi Padi)
yaitu bacaan mantera untuk kesuburan ladang mereka, yang lafalnya sebagai berikut :
Poti Soi
Gemolo Soi
Siti Dayang Sempono
Tuan, Engkau Nak Besuko-suko Ati
Kotongah Ladang.
(Indonesianya:)
Putri Sri (Dewi Sri)
Gembala Sri (Penunggu dan Penguasa Tanah)
Siti Dayang Sempurna
Tuan engkau hendak bersukaria
Ketengah ladang.
4. Panen Padi
(Indonesianya:)
Putri Sri
Gembala Sri
Siti Dayang Sempurna
Tuanku hendak bersuka ria
Ke tengah ladang
Saya ini hendak membawa
Tuanku bersama hayatnya
5. Memperluas Ladang
Setelah kegiatan panen padi selesai, setiap anggota keluarga peladang yang
bersangkutan menanami setiap jengkal bekas ladang padi yang masih kosong. Pada
waktu musim kering datang, mulailah para peladang yang tergabung dalam satu
Bila telah terjadi kata sepakat bahwa merak masih akan hidup bersama dalam
satu ketetanggaan ladang maka pada tahap berikutnya adalah menentukan luas ladang
mereka. Bila ada diantara mereka tersebut berniat memisahkan diri dari ketetanggaan,
maka dicari keluarga lain untuk menggantikannya. Bila ternyata tidak ada keluarga
lain yang mau menggantikan tempat keluarga yang memisahkan diri maka
bagi mereka untuk meneruskan perluasan ladang yang salah satu anggota
rumah mereka tidak lagi terbuat dari kulit kayu, rotan, atau bambu dan beratapkan
rumbia akan tetapi mereka sudah ada yang memiliki rumah yang terbuat dari batu dan
telah beratapkan seng. Mereka juga sudah mengenal kendaraan bermotor sebagai alat
transportasi.
Sistem kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan yang penting
dalam menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan bekerjasama
dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang Sakai kelompok-
pengelolaan ladang, biasanya satuan pemukiman dihuni oleh satu atau dua kelompok
keluarga.63
anak perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan penerus keturunan ibunya,
sedangkan anak laki-laki hanya seolah-olah pemberi bibit keturunan kepada isteri.
Dalam budaya Sakai hak perempuan Sakai besar, semua barang milik baik yang
63
Isjoni, Orang Sakai Dewasa Ini, Unri Press, Pekanbaru, 2005, Hal. 34.
diwariskan dari wanita, dan anak-anak mengikuti ibu, bukan ayah. Karena itu
menurut masyarakat Sakai apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan,
anak laki-laki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak laki-laki membantu orang tua
Pengaruh adat istiadat leluhur mereka sehari-hari juga masih sangat dominan.
Menurut kepercayaan mereka apabila ada adat istiadat yang dilanggar maka akan
menyebabkan mereka sengsara. Selain itu juga ada sanksi atas pelanggaran adat
berupa denda yang berbentuk materi atau menyelenggarakan upacara adat, dan
menjaga tata tertib mereka juga memiliki lembaga adat. Ketua lembaga adat
musyawarah.
Agama yang dianut sebagian besar adalah agama Islam akan tetapi masih
diselimuti dengan keyakinan animisme adanya kekuatan gaib. Mereka percaya bahwa
lingkungan hidup dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan “antu”.65 Antu
itu ada yang baik ada juga yang jahat. Makhluk itu tinggal dan menjadi penghuni
64
Kini dalam adat Perkawinan asli Sakai tidak tampak lagi, peran Batin dalam menikahkan
diganti oleh ayah kandung, Qadhi atau KUA (Kepala Urusan Agama). Pada masa lalu masyarakat
Sakai tidak mengenal uang hantaran, tetapi kini mengenalnya yang sudah dipepolerkan sejak zaman
kerajaan Sultan Siak.
65
Antu= Hantu / roh-roh halus.
Bengkalis
Tanah ulayat dalam bahasa Sakai disebut dengan popah yaitu pembatasan.66
Telah sejak zaman dahulu nenek moyang Suku Sakai telah membentuk popah dalam
suatu lingkungan hidup dan menjaga popah tersebut agar tidak berbenturan dengan
a. Pangkal popah, dari tepi sungai Rokan yang disebut dengan Bromban Petani.
dikuasai masing-masing batin nan delapan dan batin nan limo dan tiap-tiap batin
tersebut memiliki tanah ulayat. Yang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia
saat ini disebut dengan daerah Kabupaten Bengkalis dan dalam wilayah Kecamatan
ini, diseluruh bidang dan berbagai tempat, akan tetapi masyarakat Sakai tertinggal
66
Popah (Pembatasan) dalam bahasa Sakai = Tanah Ulayat
mereka masih terasa asing bagi mereka, yang pada akhirnya mereka tetap menutup
Bagi masyarakat Sakai, hutan adalah detak kehidupan bagi mereka tempat
sehingga penuh arti bagi mereka. Budaya inilah yang sangat melekat dan sulit
dipisahkan dari setiap unsur kehidupan mereka. Sehingga orang Sakai mengelola
hutan sedemikian rupa agar rantai kehidupan mereka terus berlanjut. Oleh karena itu
c) Rimba Simpanan.
Ketiga bagian kawasan ini pemakaiannya diawasi oleh kepala suku atau batin.
Setiap suku mempunyai tanah ulayatnya masing-masing berupa tanah peladangan dan
rimba kepungan sialang, sedangkan rimba simpanan dipunyai bersama. Maka tiap
warga yang memakai tanah peladangan diberikan dengan hak pakai yang apabila
tidak dipergunakan lagi maka akan diberikan kepada warga lain yang masih
mereka berladang dengan sistem tebang bakar, sehingga pada akhirnya akan tetap
suatu kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali,
hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat magis religio. Hubungan
tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga
berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat hukum atas
Dilihat dari pola kehidupan masyarakat Sakai dalam Kecamatan Mandau Desa
Kesumbo Ampai, dari penelitian yang dilakukan melalui wawancara dengan Kepala
Desa Kesumbo Ampai, diketahui bahwa sebagian besar diantaranya masih tetap
hidup memisahkan diri dari suku-suku lainnya. Mereka lebih cenderung untuk
memilih hidup berkelompok dengan sesama anggotanya dan terpisah dari masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Suku Sakai sebagai sumber mata
67
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, Hal.35.
68
Wawancara Penulis dengan Anita, di Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 26 Maret 2010.