Anda di halaman 1dari 100

EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM

ERA OTONOMI DAERAH PADA MASYARAKAT SUKU


SAKAI DI KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU

TESIS

Oleh

SYARIFAH M

087011118/MKn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara


EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM ERA
OTONOMI DAERAH PADA MASYARAKAT SUKU SAKAI DI
KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYARIFAH M

087011118/MKn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM
ERA OTONOMI DAERAH PADA MASYARAKAT
SUKU SAKAI DI KABUPATEN BENGKALIS
PROPINSI RIAU
Nama Mahasiswa : Syarifah M
Nomor Pokok : 087011118
Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing,

Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN


Ketua

Prof. Dr. Runtung, SH, MHum Notaris Syahril Sofyan, SH. MKn
Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Tanggal Lulus : 30 Agustus 2010

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada :
Tanggal 30 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

2. Notaris. Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, Mhum

4. Notaris. Chairani Bustami, SH, SPn, MKn

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Syarifah M

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru / 19-Mei-1985

Alamat : Jl. Dr. Mansyur Gg. Berkat No.6 Medan

PENDIDIKAN :

1991-1997 : SDN 033 KAMPUNG MELAYU SUKAJADI, PEKANBARU

1997-2000 : MTs DARUL HIKMAH, PEKANBARU

2000-2003 : MAN 2 MODEL, PEKANBARU

2003-2008 : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM RIAU,

PEKANBARU

2008-2010 : PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis merupakan masyarakat


hukum adat yang masih memiliki wilayah tanah ulayat. Akan tetapi dalam
kenyataannya luas wilayah tanah ulayat tersebut mengalami penurunan karena
penguasaan dan pengambilalihan oleh pihak lain. Pengambilalihan tersebut
menimbulkan masalah ekonomi bagi masyarakat Sakai karena tidak dapat lagi
memanfaatkan tanah dan hutan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara
secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Undang-Undang tersebut
didukung oleh Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Disamping itu
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah juga
memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pemerintah daerah untuk mengurus
kepentingan masyarakat hukum adatnya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dan memahami eksistensi hak ulayat atas tanah serta untuk
mengetahui bagaimana penyerahan hak ulayat atas tanah pada masyarakat Suku
Sakai.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan
yuridis normatif. Pengumpulan data dan informasi diperoleh dari penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan, dengan menggunakan teknik penelitian studi
kepustakaan dan wawancara. Kemudian data dianalisa dengan metode kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era
otonomi daerah pada masyarakat Suku Sakai cenderung melemah, oleh karena itu
pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam penetapan eksistensi
masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya, dengan mewujudkannya dalam sebuah
Peraturan Daerah, hal ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah. Begitu pun dalam pelepasan dan penyerahan tanah
ulayat kepada pihak luar diperbolehkan akan tetapi harus dengan izin kepala suku, hal
ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5
Tahun1999, bahwa pelepasan atau penyerahan tanah ulayat masyarakat hukum adat
harus sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.

Kata Kunci : Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Suku Sakai

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Society Tribe of Sakai in Sub-Province of Bengkalis represent customary law


society which still have customary right for land of ground region. However in wide
of in reality of the customary right for land ground region experience of degradation
because and domination of taking over by the other party. The act of take over
generate the problem of economics to society of Sakai because cannot again exploit
their forest and land ground to fulfill requirement of everyday life. This situation
oppose against Section of 3 UUPA expressing that State expressly confess existence
of customary right for land rights and is similar rights from customary law society, as
long as according to in reality there is still. The code supported by Regulation of
Minister of Agraria / lead BPN Number 5 Year 1999 About Guidance Of Solution Of
Problem Rights Customary Right For Land Society Customary Law. Beside that
CodeNumber 32 Year 2004 About Local Government also give full outhority to a
local government to manage importance of its customary law society. Therefore this
research aim to know and comprehend customary right for land rights existance of
land ground and also to know how delivery of customary right for land rights of land
ground at Tribe society of Sakai.
This research have the character of analytical descriptive by using approach of
normatic juridict. Data collecting and information obtained from research of
bibliography and research of field, by using technique research of bibliography study
and interview. And then data analysed with method qualitative.
The Result of research showing that the customary right for land rights
existence of land ground in autonomous era of area at Tribe society of Sakai tend
toweaken, therefore local government have big role in stipulating of customary law
society existence and also its customary right for land ground, by realizing hit in a By
Law, this matter in harmony with Code Number 32 Year 2004 About Local
Government. So even also in release and delivery of customary right for land ground
to outside party enabled however having to with permit lead tribe, this matter
pursuant to in Regulation of Minister of Agraria / lead BPN Number 5 Tahun1999,
that release or delivery of customary law society customary right for land
land;ground have to pursuant to and customary law procedures going into effect.

Key note : Community land, society tribe of Sakai

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang

dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis

ini dengan judul “EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM ERA

OTONOMI DAERAH PADA MASYARAKAT SUKU SAKAI DI

KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU”. Penulisan tesis ini

merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister

Kenotariatan (M.Kn.) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan

bantuan serta dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan

tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima

kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang

terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN, Bapak Dr.

Runtung, SH, Mhum, Bapak Notaris Syahril Sofyan SH, MKn selaku

Komisi Pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan

arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Dan juga, semua pihak yang

telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam

penulisan tesis ini sehingga tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

iii
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas

yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S., CN., selaku Ketua Program

Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) dan Ibu Dr. Keizerina Devi

A., S.H., CN., M.Hum. beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan

fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program

Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program

Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang

yang penulis sayangi :

iv

Universitas Sumatera Utara


1. Ayahanda Said Husin dan Ibunda Yulizar yang telah memberikan doa dan

perhatian yang cukup besar selama ini, juga buat Saudara-saudaraku

tercinta Said Muhammad Kamal, Syarifah Nurlia, Syarifah Fadlun,

Syarifah Yansri Fiani sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada

Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Yang tercinta Ardian S Kurnia terima kasih buat kesabaran, perhatian,

dukungan, bantuan dan motivasinya sehingga kita bisa sama-sama

menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan

(MKn).

3. Terima Kasih yang mendalam kepada Sahabat-sahabat terbaikku kak Eka,

Icha, Echi, Junita, Adis, Fitri, kak Tina, Kak Meri, Kak Yuna, Kak Reni,

Ali, Yola, Azmi, kita akan gapai bintang tertinggi kita.

4. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan (MKn)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis

sebutkan satu-persatu.

Universitas Sumatera Utara


Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun

penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua

pihak.

Medan, Agustus 2010

Penulis,

Syarifah M

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................... i

ABSTRACT ............................................................................................................ ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii

BAB I : PENDAHULUAN................................................................................1

A. Latar Belakang Penelitian ................................................................... 1

B. Permasalahan ..................................................................................... 14

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 14

D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 14

E. Keaslian Penelitian ............................................................................ 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ........................................................... 16

G. Metode Penelitian .............................................................................. 28

BAB II : EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM


ERA OTONOMI DAERAH PADA MASYARAKAT SUKU
SAKAI DI KABUPATEN BENGKALIS
PROPINSI RIAU ................................................................................. 33
A. Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat .............................. 33

1. Dasar Pengaturan Hak Ulayat… .................................................. 33

2. Kriteria dan Penentuan Adanya Hak Ulayat… ............................ 41

vii

Universitas Sumatera Utara


13

B. Otonomi Daerah Dan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah… ............... 52

C. Masyarakat Suku Sakai Kabupaten Bengkalis… ............................... 63

1. Deskripsi Masyarakat Suku Sakai…............................................ 63

2. Pola Kehidupan Masyarakat Suku Sakai… ................................. 71

3. Hak-Hak Atas Tanah Pada Masyarakat Suku Sakai… ................ 79

D. Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Pada Masyarakat Suku

Sakai Di Kabupaten Bengkalis………………………………….… 89

BAB III : PENYERAHAN HAK ULAYAT ATAS TANAH


OLEH MASYARAKAT SUKU SAKAI KEPADA PIHAK
LAIN DIKAITKAN DENGAN PERATURAN
MENTERI AGRARIA / KEPALA BADAN
PERTANAHAN NOMOR 5 TAHUN 1999……………….... 116
A. Perkembangan Hak Ulayat Sebelum dan Sesudah lahirnya
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5
Tahun1999..…………………………………………………….. 116
B. Permasalahan-permasalahan Hukum Pada Waktu Penyerahan
Hak Ulayat Atas Tanah Oleh Masyarakat Sakai Kepada
Pihak Ketiga……..……………………………………………… 121
C. Solusi Penyerahan Hak Ulayat Atas Tanah…………………….. 129

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN………………………………… 135

A. Kesimpulan……………………………………………………… 135

B. Saran…………………………………………………………….. 136

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………...…….. xi

viii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya setiap orang maupun badan hukum membutuhkan tanah.

Karena tidak ada satupun aktivitas orang badan hukum dalam kegiatan pembangunan

yang tidak membutuhkan tanah. Tanah merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha

Esa. Ketersediaan tanah sebagai sebagai sumber daya alam relatif tidak berubah dan

statis, sedangkan pertumbuhan penduduk atau populasi manusia diatas permukaan

bumi ini terus berkembang atau semakin bertambah banyak. Tanah merupakan

kebutuhan pokok manusia, manusia bertindak secara sedikit demi sedikit untuk

memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam pada tanah untuk memenuhi tututan

hidupnya yang utama, yaitu pangan, sandang dan papan (kebutuhan primer), sehingga

tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia begitu pula sebaliknya. Begitu

pula bagi masyarakat hukum adat, sumber rezeki terbesar mereka untuk memenuhi

kebutuhan hidup dominannya bersumber diatas tanah.

Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga perlu adanya suatu

peraturan yang mengatur tentang pertanahan, Baik itu tentang penggunaan,

peruntukan, penguasaan dan kepemilikan dari tanah tersebut. Oleh karena itu dengan

berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang merupakan

suatu pencerahan dalam sistem pertanahan di Indonesia, selain itu adanya dualisme

dalam bidang hukum pertanahan yaitu berlakunya hukum adat disamping hukum

1
Universitas Sumatera Utara
agraria yang didasarkan atas hukum barat. Oleh karena itulah dirasakan perlunya

Hukum Agraria yang seragam dan bersifat nasional dalam hal ini UUPA.

Pengertian tanah yang berkembang di tengah masyarakat tidak sama

sebagaimana yang ditetapkan di dalam undang-undang. Tanah menurut UUPA adalah

permukaan bumi. Bumi itu sendiri terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu permukaan bumi,

tubuh bumi, dan yang berada di bawah air. Dari ketiga unsur itu yang dimaksudkan

dengan tanah hanyalah permukaan bumi saja.

Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA sebagai berikut: “Atas

dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang

dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-

sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.

Masalah pertanahan mendapat perhatian serius dari negara, perhatian tersebut

tertuang dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa :

“Bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi landasan konstitusional

dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria, atau disingkat dengan UUPA. Dalam pasal tersebut arti menguasai dalam hal

ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan atas tanah bagi tiap warga negara

Universitas Sumatera Utara


Indonesia, melainkan menguasai dalam arti mengatur dan mengawasi sedemikian

rupa dalam tiap-tiap pendayagunaan tanah-tanah tersebut agar para pemilik tanah atau

pemegang hak-hak lainnya (hak pakai, hak guna usaha, penyewa dan lain sebagainya)

a. Tidak melakukan kerusakan-kerusakan atas tanah.

b. Tidak menelantarkan tanah;

c. Tidak melakukan pemerasan-pemerasan atas tanah atau pendayagunaan

(exploitation) yang melebihi batas;

d. Tidak menjadikan tanah sebagai alat untuk pemerasan keringat dan pemerasan

lainnya terhadap orang lain (exploitation des I’Homme par L.Homme).1

Hukum Agraria di Indonesia sejak zaman penjajahan bersifat “dualisme” hal

ini terjadi dengan tujuan bangsa asing untuk menjajah ke Indonesia adalah untuk

memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dari bumi Indonesia.2 Keadaan seperti

ini tidak lepas dari campur tangan Pemerintahan Hindia Belanda yang lebih

mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu serta lebih

berfikir rasional yang dipengaruhi oleh perkembangan negara tersebut.

Setelah Indonesia merdeka ketentuan-ketentuan agraria Hindia Belanda secara

berangsur-angsur dihapuskan karena dirasakan tidak sesuai lagi, maka dilakukanlah

1
Kartasapoetra G dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, Hal.9.
2
Chadidjah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah,
Yayasan Pencerahan Mandailing, Medan, 2008, Hal.4

Universitas Sumatera Utara


perombakan atas hukum agraria. Karena perombakan hukum secara total tidak

memungkinkan, maka perombakan hukum agraria di Indonesia dilakukan secara

sporadis yang berarti secara berangsur-angsur satu demi satu peraturan yang

bertentangan dengan alam nasional Indonesia dihapuskan dan diganti dengan

peraturan agraria yang baru yang berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia.

Di Indonesia penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum

yang masih berpegang teguh pada hukum adat dan masih menghargai adat itu sendiri.

Didalam masyarakat, hukum yang berlaku adalah hukum adat, sebab hukum adat

dapat disebut juga hukum kebiasaan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat terdapat tingkah laku manusia yang sudah ada dari zaman nenek moyang,

karena masih begitu kuatnya adat istiadat peninggalan nenek moyang yang dianggap

masih harus terus dipertahankan walaupun kehidupan manusia terus berkembang

sesuai perkembangan zaman .

Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk. Hal ini

dapat dilihat pada penamaan masyarakat-masyarakat tersebut dengan nama “DESA”

yang berasal dari daerah-daerah tertentu di Indonesia. Desa merupakan spesies

sebagai halnya dengan kuria, marga, nagari dan seterusnya. Demikian juga halnya

dengan pemerintah desa, serta pengangkatan kepala desa yang didasarkan kepada

pemilihan. Banyak masyarakat hukum adat di Indonesia ini yang sekaligus

Universitas Sumatera Utara


mempunyai dasar genealogis dan teritorial, apakah kenyataan tersebut akan

dihapuskan atau lebih baik dikembangkan.

Mengenai masyarakat hukum adat, telah terjadi penguasaan dan

pengambilalihan terhadap tanah hak masyarakat adat. Pada awalnya kasus-kasus

pelanggaran terhadap hak atas tanah ulayat memang hanya dalam skala kecil, seperti

bentuk pelanggaran hak ekonomi dan sosial, namun dalam skala lebih besar

terkadang malah terjadi pelanggaran hak-hak sipil dan politik yang terkadang disertai

dengan kekerasan hingga sampai memakan korban jiwa dan harta benda yang apabila

tidak dapat ditangani dengan baik akan meluas dan berkembang menjadi pelanggaran

terhadap hak azasi manusia.

Hal seperti inilah yang menyebabkan masyarakat berada dalam kondisi yang

tidak berdaya untuk melindungi kepentingan sendiri, yang pada akhirnya masyarakat

selalu melakukan pengorbanan-pengorbanan baik perasaan sedih maupun kecewa

karena harus melepaskan tanah peninggalan leluhur nenek moyang mereka, yang

menjadi sumber penghidupan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari

suatu masyarakat hukum tertentu.Hak atas tanah ulayat ialah bersifat kolektif, dan

bukan merupakan hak yang bersifat individual sebagaimana hak atas tanah yang

dikenal dalam sistem hukum barat, dimana adanya suatu hubungan struktural yang

erat antara masyarakat yang bersangkutan dengan lingkungan tempat

Universitas Sumatera Utara


menggantungkan hidupnya, yang memiliki implikasi bahwa hak atas tanah ulayat

tidak dapat ditangani dan dipahami terpisah dari masyarakat hukum adat itu sendiri.

Dalam ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi landasan

konstitusional dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria, yang disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA

di undangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, sedangkan

penjelasan UUPA dimuat dalam Tambahan Negara Tahun 1960 Nomor 2043.

Undang-undang tersebut menentukan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.

Arti menguasai dalam hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan

atas tanah bagi tiap warga negara Indonesia, akan tetapi negara memiliki kewenangan

untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah,

karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) tersebut terkandung makna adanya hubungan

penguasaan, yang artinya bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat.

Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai

negara, sedangkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah

ulayatnya akan melahirkan hak ulayat, dan hubungan antara perorangan dengan tanah

melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan ketiga hal tersebut

Universitas Sumatera Utara


(hak menguasai tanah oleh negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin

secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan

kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di

Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada

negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya

terjadi dominasi hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak ulayat dan

perorangan atas tanah, sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak

sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas

tanah.3

Kewenangan negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang

dengan tanah termasuk juga masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya, serta

pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum

tersebut, sehingga dalam hal ini hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan

tersebut sangat diperlukan untuk memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum

kepada masyarakat agar hak-hak ulayatnya tidak dilanggar oleh siapapun, sehingga

hubungan negara dengan tanah tersebut tidak terlepas dari hubungan masyarakat adat

dengan tanah ulayatnya.

Maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. 2008 tentang

3
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media, Jakarta, 2007, Hal. 7.

Universitas Sumatera Utara


Pemerintahan Daerah dan dikaitkan dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertahanan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, kewenangan mengatur tanah dan hak

ulayat itu berada pada Pemerintahan Kabupaten/Kota. Meskipun demikian sangat

kecil kemungkinan keluarnya Perda oleh Pemda tanpa adanya permohonan hak atas

tanah ulayat. Permohonan hak ulayat tersebut juga harus dimulai dari pembuktian

apakah masyarakat hukum adat di daerah yang bersangkutan masih ada atau tidak.

Undang-Undang Otonomi Daerah 2004 jo. 2008 memberikan tanda-tanda

yang membingungkan pada masyarakat adat. Tingkat otonomi yang masih bisa

diperdebatkan diberikan kepada masyarakat adat di tingkat desa. Disini, penggunaan

kata-kata yang kurang jelas bisa membuat salah pengertian. Misalnya, dalam hukum

yang dibuat untuk mengubah pemerintahan tingkat desa, desa didefinisikan "kesatuan

hukum masyarakat yang secara hukum diakui dan mempunyai otoritas untuk

mengendalikan dan memperhatikan kebutuhan masyarakat setempat sesuai dengan

asal muasal dan kebudayaannya.'' Hal ini membesarkan hati jika punya implikasi

pembentukan ulang sistim pemerintahanan desa yang beragam, yang dulu pernah ada

sebelum penyeragaman yang sangat merugikan pada tahun 1979. Walaupun demikian

perbedaan makna yang diberikan kepada definisi hukum desa sebagai ''bagian dari

sistim pemerintahan nasional telah menimbulkan perdebatan mengenai sejauh mana

Universitas Sumatera Utara


masyarakat desa dapat menikmati otonomi dalam menyelesaikan permasalahan

mereka.4

Tanpa terbukti adanya masyarakat adat, jangan diharapkan tanah ulayat masih

‘’exist ‘’, karena tanah tersebut dikuasai oleh negara. Negaralah yang berwenang

menentukan ada tidaknya tanah hak ulayat yang bersangkutan. Tanah ulayat berawal

dari adanya subyeknya, yaitu masyarakat hukum adat di daerah yang bersangkutan,

apabila memang masih ada, tidaklah terlalu sulit untuk menjalankan proses

permohonan status tanah ulayat yang diinginkan di daerah yang bersangkutan

Suku Sakai adalah komunitas asli/pedalaman yang hidup di daratan Riau.

Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-

pindah di hutan. Suku Sakai merupakan salah satu suku asli Propinsi Riau yang

memiliki wilayah hak ulayat dan hutan ulayat yang masih alami atau masih sesuai

dengan ketentuan hukum adat yang berlaku, yang menempati beberapa daerah di

Propinsi Riau, salah satunya di Kabupaten Bengkalis, yang kian hari kian terdesak

saja keberadaannya karena hilangnya hak ulayat yang diantaranya berupa hutan

ulayat yang berada diatas tanah ulayat masyarakat adat akibat pembukaan hutan

untuk perkebunan yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.

Orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagarruyung yang

melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut.

4
http// Ire-Pemberdayaan Masyarakat Adat, diakses tanggal 9 september 2008.

Universitas Sumatera Utara


Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi

kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus orang

orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur

Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan,

rombongan tersebut akhirnya sampai ditepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau

dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka

menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman

baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.

Suku Sakai menjadi tersingkir di wilayah sendiri, karena sosial ekonomi

mereka tidak dapat bersaing dengan kemajuan zaman, tanah ulayat yang mereka

miliki, yang membentang luas dari Minas hingga Dumai yang didalamnya

mengandung cadangan minyak terbesar di nusantara tidak membuat lebih makmur

kehidupan mereka. Berdasarkan peta yang dibuat oleh Moszkowski, seorang

antropolog Jerman yang melakukan penelitian tentang Sakai Tahun 1911, wilayah

Suku Sakai meliputi Minas, Belutu, Tingaran, Sinangan, Semunai, Panaso dan

Borumban.5 Akan tetapi wilayah yang masih memiliki tanah ulayat yang masih

benar-benar alami dan masih terlihat eksistensinya,dan masih terjaga hutan adatnya

berada di Kecamatan Mandau Desa Kesumbo Ampai.

5
Ahmad Arif dan Agnes Rita, Sayap Patah Para Sakai, Koran Kompas, 24 April 2007, Hal.
14

Universitas Sumatera Utara


Hutan Ulayat berada diatas hak ulayat masyarakat Sakai juga telah berpindah

tangan kepada pengusaha-pengusaha pemegang HPH (Hak Pengasahaan Hutan) dan

HTI (Hutan Tanaman Industri) yang menyebabkan masyarakat Suku Sakai tidak

punya lagi tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga hal ini tentu

berdampak pada taraf perekonomian masyarakat Sakai, sehingga dengan terpaksa

masyarakat menjual tanah-tanah mereka kepada pihak luar dengan harga yang murah

karena pada dasarnya masyarakat Suku Sakai tidak memiliki sertifikat kepemilikan,

serta dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah tentu tidak mengetahui harga

pasar tanah.

Penjualan tanah dengan harga murah dilakukan karena hasil hutan semakin

berkurang, sedangkan kebutuhan warga semakin bertambah. Padahal ada larangan

menjual tanah ulayat, tetapi karena warga terdesak ekonomi sehingga mudah dibujuk.

Fenomena tersebut jelas merupakan masalah pertanahan yang terus berlangsung di

Riau khususnya pada masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, dimana masih

berlangsungnya peralihan hak penguasaan atas tanah dari masyarakat yang jelas-jelas

menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup pada tanah kepada pihak luar yang

bukan anggota komunitas masyarakat Suku Sakai untuk dikelola sendiri maupun

kepada pengusaha yang diberikan hak untuk itu. Keadaan seperti ini jelas

memperlihatkan tetap berlangsungnya proses pengalihan hak atas tanah ulayat

masyarakat adat yang sebenarnya dilindungi oleh undang-undang.

Universitas Sumatera Utara


Pengambilalihan tanah tersebut yang sebagian dijual sendiri oleh masyarakat

Suku Sakai, atau sebagian diambil begitu saja dengan ganti rugi yang sangat rendah

atau bahkan tanpa ganti rugi, padahal untuk mendapatkan kembali tanah yang telah

dilepas hampir tidak mungkin karena tingkat kenaikannya harga tanah jelas akan

menyulitkan masyarakat Sakai untuk memperoleh kembali, yang jelas tidak seimbang

dengan tingkat penghasilan masyarakat tersebut. Sementara untuk mempertahankan

sendiri haknya masyarakat Sakai tidak mempunyai patokan, karena tanah ulayat tidak

memiliki sertifikat tanda bukti tertulis sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 32 ayat

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sehingga memang mudah

menimbulkan konflik pertanahan, dan yang menjadi masalah adalah bagaimana peran

negara dalam hal ini, karena undang-undang sendiri telah mengakui keberadaan

masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya.

Harus disadari bahwa masyarakat hukum adat sering berada dalam posisi yang

lemah dalam mempertahankan hak-haknya, ditengah-tengah kekuatan modal dalam

mengeksploitasi lahan dan sumber daya alam. Padahal masyarakat hukum adat telah

banyak memberikan kontribusi dalam melindungi dan mengelola sumber daya alam

serta telah mampu mempertahankan kelestarian lingkungan. Sebagaimana telah

diketahui bahwa telah sejak zaman dahulu berabad-abad lamanya masyarakat hukum

adat memanfaatkan sumber daya alam tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan

yang pada akhirnya menyebabkan bencana seperti sering terjadi sekarang ini. Hal

Universitas Sumatera Utara


tersebut karena masyarakat adat percaya bahwa adanya hubungan antara manusia,

alam sekitar serta tuhannya, sehingga keseimbangan itu harus tetap dijaga agar tidak

terjadi murka dari Tuhan.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun

1999 Tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 4

ayat (1) menjelaskan bahwa penguasaan bidang-bidang tanah ulayat oleh instansi

pemerintah, badan hukum atau perseorangan yang bukan warga masyarakat hukum

adat yang bersangkutan dilakukan dengan tata cara hukum adat yang berlaku.

Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) menjelaskan pula bahwa pelepasan tanah ulayat

masyarakat hukum adat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang

memerlukan hak guna usaha atau hak pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum

adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu. Begitu pula

mengenai mekanisme penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang melibatkan

masyarakat adat juga diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.

Akan tetapi pada kenyataannya pemerintah dinilai tidak memberikan

perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat adat tempat masyarakat menompang

kelangsungan hidup serta yang menjaga keseimbangan alam. Sedangkan seperti yang

telah diketahui sejalan dengan apa yang telah disebut dalam Peraturan Menteri

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, Undang-

Universitas Sumatera Utara


undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria pada Pasal 3

menyatakan bahwa :

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak


ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Dari Pasal 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa negara secara tegas mengakui

keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang

menurut kenyataannya masih ada, maksudnya yaitu di daerah-daerah dimana hak

ulayat itu tidak ada lagi maka tidak akan dihidupkan kembali. Demikian juga daerah-

daerah yang tidak pernah ada hak ulayat maka tidak akan dihidupkan hak ulayat baru.

Begitu juga pada era otonomi daerah saat ini dimana telah terjadi perubahan

paradigma kekuasaan negara yang semula bersifat desentralistis dan demokratis,

demikian pula dalam hal hak menguasai tanah oleh negara pun telah berubah juga

menjadi desentralistis, sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemerintah

daerah, kabupaten serta kota merupakan lini pertama untuk melindungi hak

masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis merasa tertarik untuk mengadakan

suatu penelitian yang penulis beri judul “Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam

Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi

Riau”.

Universitas Sumatera Utara


B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan diatas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada

masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau?

2. Apakah penyerahan hak ulayat atas tanah oleh masyarakat Suku Sakai kepada

pihak lain sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor. 5 Tahun

1999?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi pada

masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau.

2. Untuk mengetahui penyerahan hak ulayat atas tanah oleh masyarakat Suku Sakai

kepada pihak lain sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor. 5

Tahun 1999.

Universitas Sumatera Utara


D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Secara Teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai Hak ulayat

atas tanah dalam era otonomi daerah ini, maka pembaca dapat semakin mengetahui

tentang perkembangan tanah adat dalam ilmu hukum agraria.

2. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat memperkaya

bahan pustaka mengenai hukum pertanahan, menjadi masukan bagi kalangan praktisi

yang berkepentingan terutama mengenai hak ulayat dalam hukum pertanahan

Indonesia, dan juga diharapkan menjadi bahan bagi mereka yang akan mendalami

atau meneliti masalah eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi

dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Program Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, dengan judul “Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era

Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Pada Kabupaten Bengkalis Propinsi

Riau” belum pernah dilakukan. Sepengetahuan penulis ada tesis yang berjudul :

1. “Pelaksanaan Hak Ulayat Nagari Untuk Kepentingan Umum (Studi

Pengadaan Tanah Dari Hak Ulayat Untuk Bandar Udara Internasional

Universitas Sumatera Utara


Minangkabau)”. Oleh Yuselina pada tahun 2008, akan tetapi penelitian

tersebut menitikberatkan pada pelaksanaan pengadaan tanah hak ulayat untuk

Bandar Udara Internasional Minangkabau.

2. “Beberapa Kendala Yuridis Dan Sosilogis Dalam Pelaksanaan Pendaftaran

Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau Di Kabupaten Tanah Datar”. Oleh

Ririn Agustin pada tahun 2005, yang lebih menitikberatkan pada pendaftaran

tanah ulayat masyarakat Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar.

Sedangkan penelitian penulis lebih menitikberatkan pada eksistensi hak ulayat

masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau dalam era otonomi

daerah. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan

secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

“Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori

tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau

pegangan teoritis dalam penelitian”.6

6
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Cetakan Ke I, 1994,
Hal. 80.

Universitas Sumatera Utara


“Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana

mengorganisasian dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan

menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu”.7

Adapun teori yang dipakai dalam pembuatan tesis ini adalah teori

pembaharuan hukum. Istilah “ pembaharuan hukum” sebenarnya mengandung makna

yang luas, mencangkup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas

struktur hukum (structure), substansi / materi hukum (substance). Dan budaya hukum

(legal culture).8 Sehingga, ketika bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan

yang dimaksud adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi

struktur hukum, materi hukum dan budaya hukum.

Roscoe pound mengatakan bahwa hukum itu sebagai suatu unsur dalam hidup

masyarakat harus memajukan kepentingan umum.9 Artinya hukum harus dilahirkan

dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal

dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dari pandangan Pound

dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empiris (pengalaman) dalam

suatu peraturan hukum harus ada. Artinya, hukum yang pada dasarnya berasal dari

gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian

7
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ke II, 2003,
Hal.23.
8
Lawrence M.Freidman, American Law, (New York : W.W.Norton & Company, 1930),
pg.5-6 Dalam Mulhadi : Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan
Hukum Di Indonesia, 2005, USU, Responsitory @ 2006.
9
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisuius, Yogyakarta, 2001,
Hal.180.

Universitas Sumatera Utara


dikonkretarisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli

sebagai hasil kerjanya ratio, yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai

hukum oleh negara.

Dari teori dan pandangan tersebut dapat dipahami bahwa pembaharuan hukum

di Indonesia utamanya di tujukan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil dan

sejahtera, tentram dan damai serta membawa perubahan-perubahan yang baik pada

struktur kehidupan. Tanpa harus merugikan pihak lain tetapi memberikan suatu

pemecahan atas suatu permasalahan.

Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) yang merupakan

payung hukum tertinggi terhadap pengakuan hak-hak masyarakat dalam

mempergunakan berbagai sumber kekayaan yang ada di bumi, seperti hutan dan

tanah atau lahan yang tujuannya sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 menyebutkan hukum

agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas

persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang

tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan lainnya segala sesuatu

dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

Pasal ini memberikan kejelasan kepada kita bahwa hukum adat yang berlaku

di dalam ketentuan ini bukanlah merupakan hukum adat yang murni akan tetapi

Universitas Sumatera Utara


hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang telah beradaptasi dengan situasi

dan keadaan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga tidak

dimungkinkan dikembangkan hukum adat yang murni.

Dalam lingkungan hukum adat, tanah memiliki fungsi yang sangat

fundamental, tidak semata-mata sebagai benda mati yang dapat dibentuk sedemikian

rupa melainkan juga sebagai tempat untuk mempertahankan hidup atau modal

esensial yang mengikat masyarakat dan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, selalu

terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara hak-hak seseorang sebagai

anggota masyarakat dengan hak-hak masyarakat secara umum atas tanah yang

ditempati.

Satu hal yang menarik dan perlu mendapat perhatian serius bahwa hukum

tanah sekarang telah mengalami unifikasi melalui UUPA. Undang-undang ini disebut

sebagai peraturan yang bersandarkan pada hukum adat.10

Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa pengertian hukum adat dalam UUPA

adalah identik dengan hukum yang asli, yang diartikan secara sempit dan tradisional

sehingga kedudukan dan peranannya dikembalikan pada masa-masa sebelum

kemerdekaan Indonesia.11 Berbeda dengan Soerjono Soekanto, Otje Salman

Soemadiningrat cenderung untuk mengatakan bahwa undang-undang ini telah

10
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT. Alumni,
Bandung, 2002, Hal. 160.
11
Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana
Press, Jakarta, 1984, Hal.44

Universitas Sumatera Utara


merombak hukum tanah adat dengan hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja dari

padanya. Pereduksian hukum tanah adat dapat dilihat dalam kaitannya dengan

kekuasaan negara atas tanah-tanah yang berada di wilayah Indonesia dan timbulnya

hak milik yang diatur pemerintah.12

Hukum tanah adat pada pokoknya tidak terlepas dari tata susunan hukum-

keluarga-adat serta hukum-tatanegara-adat, terutama apa yang dikatakan

“rechtsgemeenschappen” (“persekutuan hukum”).13

Masyarakat hukum adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa

Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dulu sampai saat ini.

Sedangkan pengakuan terhadap hukum adat oleh UUD 1945 terdapat dalam pasal 18

B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Negara menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia”.

Hal ini senada dengan apa yang tercantum dalam pasal 2 ayat (9) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Pemerintah Daerah. Sehingga demikian keberadaan masyarakat hukum adat memang

tidak boleh dipungkiri dan harus diakui, sebagaimana Undang-Undang Nomor 4

12
Otje Salman Soemadiningrat, Op Cit, Hal. 161.
13
Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pemberdayaan Pancasila Bagian
Pertama, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, Hal.25

Universitas Sumatera Utara


Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengakuinya, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur

(secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,

ideologi, ekonomi, politik, budaya sosial dan wilayah sendiri.14

Masyarakat hukum adat atau yang dikenal dengan istilah lain seperti

masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau indigenious people yaitu suatu

komunitas antropologi yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami

suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa

lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar berasal dari satu nenek

moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin

mereka pelihara dan lestarikan, serta tidak punya posisi yang dominan dalam struktur

dan posisi politik yang ada.

Menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto memberikan

uraian mengenai masyarakat hukum adat sebagai berikut :

Masyarakat-masyarakat seperti hukum adat Desa di Jawa , Marga di Sumatera


Selatan, Nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi
Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai
kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk
hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal atau bilateral) mempengaruhi

14
Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan
Masyarakat Adat.

Universitas Sumatera Utara


sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan,
perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan
pemburuan binatang liar, pertanbangan dan kerajinan tangan. Semua
anggotanya sama hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri
komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasi dan selalu punya
peranan yang besar.15

Pada hukum adat yang berlaku dimasing-masing daerah di Indonesia dikenal

hak ulayat atau dengan nama lain yang berbeda sesuai dengan sebutan di daerahnya,

yaitu hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah hutan belukar yang ada di

sekitar desanya untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya seperti mengambil hasil

hutan, berburu, menangkap ikan bahkan membuka tanah untuk melakukan pertanian

baik yang berpindah maupun yang menetap.

Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka dapat dirumuskan

kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut :

1. Terdapat masyarakat yang teratur.

2. Menempati suatu tempat tertentu.

3. Ada kelembagaan.

4. Memiliki kekayaan bersama.

5. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan

lingkungan daerah;

6. Hidup secara komunal dan gotong royong.

15
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
Hal.93.

Universitas Sumatera Utara


Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka

dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau

kepemimpinan. Dalam hal ini dipimpin oleh seorang pimpinan (ketua adat).

Masyarakat hukum ini mempunyai kedaulatan penuh (soverign) atas wilayah

kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan

(authority) penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubungan-hubungan antara

warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk mencari keseimbangan

hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang menjadi tujuan tersebut

terwujud.

Hak ulayat merupakan asal dan akhir dari hak perseorangan dalam

persekutuan hukum. Hak perseorangan berada dibawah naungan hak ulayat. Semakin

intensif hubungan seseorangan dengan tanah di lingkungan hak ulayat, semakin kuat

hak yang dipunyainya, dan semakin lemah pembatasan hak ulayat terhadapnya.

Sebaliknya semakin lemah hubungan hukum seseorang dengan tanah itu, semakin

lemah haknya dan semakin kuatlah hak ulayat, inilah yang disebut oleh Ter Haar

dengan “menguncup/mengempis mengembang” bertimbal balik tiada hentinya.16

16
Ramli Zein dalam Tunas Effendi dkk, Hutan Tanah Ulayat dan Permasalahannya,
Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan, Pekanbaru, 2005, Hal. 12

Universitas Sumatera Utara


Menurut Budi Harsono, Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang-

wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang

berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.17

Menurut Ramli Zein, secara objektif subtansi masalah pertanahan berpangkal

pada ketidakserasian pandangan terhadap dua faktor yaitu, faktor manusia dan faktor

tanah. Hukum adat sebagai hukum asli telah menata hubungan manusia dengan tanah

dengan suasana tradisional berdasarkan pandangan itu. Akan tetapi kemudian bangsa

kita hampir gagal mengoperasikan pada masa pasca tradisional.18

UUPA pada dasarnya juga memberikan pengakuan terhadap hak ulayat

tersebut sepanjang memang menurut kenyataannya masih ada, dan dalam hal ini pun

pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi (Penjelasan Umum II angka 3 UUPA).

Selanjutnya pada Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa : “Hak ulayat dan hak-

hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat masih tetap dapat dilaksanakan oleh

masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut

kenyataannya masih ada”.

Pengertian lain tentang Hak Ulayat ialah Kewenangan yang menurut hukum

adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu, atas wilayah tertentu yang

17
Kumpulan-Kumpulan Seminar Tanah Adat, Atma Jaya & B.P.N di Puncak, September,
1996.
18
Ibid, Hal. 11.

Universitas Sumatera Utara


merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber

daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan

kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun-temurun,

dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang

bersangkutan.19

Adapun kriteria hak ulayat adalah :

1. Harus ada lingkungan daripada masyarakat hukum adat itu sendiri.

2. Adanya orang tang diangkat sebagai pengetua adat.

3. Masih didapati adanya tatanan hukum adat itu sendiri yang mengenal adanya

suatu lingkungan hidup dan yang berada dalam persekutuan hukum adat.20

Wujud hak ulayat tersebut berciri sebagai berikut :

a. Masyarakat hukum adat dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat

mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayah dengan bebas

yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan,

mengembala ternak dan lain sebagainya.

b. Bagi yang bukan anggota masyarakat hukum adat tersebut dapat pula

mempergunakan hak-hak itu hanya saja harus mendapatkan izin lebih dahulu dari

kepala masyarakat hukum adat dan membayar uang pengakuan atau recognitie

(diakui setelah memenuhi kewajibannya).

19
Affan Mukti, Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria, USU Press, Medan, 2006, Hal. 23
20
Ibid, Hal. 23

Universitas Sumatera Utara


c. Masyarakat hukum adat bertangung jawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi

dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal.

d. Masyarakat hukum adat tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat itu

untuk selama-lamanya kepada siapa saja.

e. Masyarakat hukum adat mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang

digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli dan

lain sebagainya.21

Dalam hak ulayat mengandung dua unsur /aspek, yaitu aspek hukum perdata

dan aspek hukum publik. Aspek hukum perdata yaitu merupakan hak kepunyaan

bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat,

sedangkan aspek hukum publik yaitu sebagai kewenangan mengelola dan mengatur

peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan

intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang yang bukan warga

atau orang luar.

2. Kerangka Konsepsi

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian

yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.22 Konsepsi diterjemahkan

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang kongkrit.

21
Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik Medan, Medan,
2005, Hal. 11.

Universitas Sumatera Utara


Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang

dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian

konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan

dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dengan nama yang berbeda-

beda. Merupakan penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang

meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat

hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.23

Tanah sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia yang telah dikaruniakan

tuhan kepada bangsa Indonesia harus dapat dikelola dan didayagunakan sesuai

dengan kebutuhan masyarakat dan dipergunakan secara seimbang antara hak dan

kewajiban terhadap tanah tersebut.24

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 tentang

Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) defenisi Otonomi Daerah sebagai

berikut : “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan Perundang-undangan.”

22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan Singkat,
Edisi 1,Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal.7.
23
Rosdinar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Masyarakat Adat
Simalungun, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, Hal. 70
24
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit, Hal. 2

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 juga mendefenisikan

daerah otonom sebagai berikut : “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.”

Di era sekarang ini, otonomi daerah sudah dianggap sebagai obat mujarab

segala penyakit pemerintahan Di Indonesia, otonomi hampir dimitoskan sebagai

dewa kemajuan pemerintahan. Otonomi daerah seakan harus merupakan bagian dari

reformasi pemerintahan dan bagian tak terpisahkan dari upaya demokrasi Dengan

kata lain tak ada reformasi tanpa ada otonomi dan tak akan ada demokrasi tanpa

otonomi daerah.25

Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, K-

ampung, A-nak, I-kan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di

kampung, ditepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang

cukup airnya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar

orang melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi merendahkan dan

menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan.26

25
M.Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, UMM Press, Malang, 2008,
Hal.2.
26
“Pemberdayaan Masyarakat Suku Sakai”, Artikel, Didownload dari
http://www.katcenter.info/, diakses tanggal 2 Januari 2009.

Universitas Sumatera Utara


G. Metode Penelitian

Kata Metode berasal dari bahasa Yunani “methods” tang berarti cara atau

jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode ini menyangkut masalah cara

kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan.27

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Artinya penelitian ini merupakan

penelitian yang memaparkan, secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu,

kelompok, atau keadaan), dan untuk menentukan frekwensi sesuatu yang terjadi.28

Yaitu untuk melukiskan fakta-fakta berupa data dengan bahan hukum primer yaitu

peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

yaitu kamus hukum atau ensiklopedia, untuk memperoleh gambaran yang

menyeluruh mengenai eksistensi hak ulayat dalam era otonomi daerah pada

masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau.

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif,

dengan menitikberatkan pada penelitian hukum normatif. Adapun data yang

27
Koentjaraningrat, Op.Cit, Hal.16
28
Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004, Hal. 58

Universitas Sumatera Utara


digunakan dalam menyusun tulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library

research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai

literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah, makalah,

artikel-artikel, media massa, serta sumber data sekunder lainnya yang dibahas

peneliti. Pendekatan yuridis normatif digunakan karena masalah yang diteliti berkisar

mengenai keterkaitan peraturan perundangan yang satu dengan peraturan

perundangan yang lainnya yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan

yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

3. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi tempat lokasi penelitian dilakukan dalam dua tahap

yaitu: (1) Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan yang terdiri dari

Perpustakaan Fakultas Hukum, perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Pasca

Sarjana Universitas Sumatera Utara, Universitas Islam Riau Pekanbaru, Perpustakan

Lembaga Adat Melayu Riau serta Badan perpustakaan dan arsip Propinsi Riau. (2)

penelitian lapangan dilakukan di instansi-instansi yang terkait dengan masalah hak

ulayat atas tanah seperti Kantor Badan Pertanahan, Badan Pusat Statistik terletak di

Kabupaten Bengkalis, kepala desa, kepala adat, masyarakat Suku Sakai Kecamatan

Mandau tepatnya di kota Duri.

Universitas Sumatera Utara


5. Sumber Data

Dalam penulisan ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah

menggunakan data sekunder, yang terdiri dari :

A. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang terdiri Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah

Daerah, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun1999 Tentang

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dan

Peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan tanah.

B. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan

hukum primer seperti doktrin (pendapat para ahli), buku-buku, jurnal hukum,

makalah, media cetak dan elektronik.

C. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk melengkapi data dalam

penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, majalah dan internet serta bahan-bahan

diluar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data.

Universitas Sumatera Utara


6. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya

serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini menggunakan

2 (dua) alat pengumpulan data yaitu :

1. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan dengan menelaah semua literatur yang

berhubungan dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Data ini diperoleh

dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dokumen-dokumen perundang-

undangan yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

2. Studi Lapangan

Data atau materi pokok dalam penelitian diperoleh langsung melalui

penelitian dengan melakukan wawancara kepada beberapa sumber antara lain

instansi-instansi terkait dengan masalah hak ulayat atas tanah seperti Kantor

Pertanahan Wilayah Kabupten Bengkalis, Lembaga Adat Melayu Riau, serta

masyarakat Suku Sakai itu sendiri sebagai informan.

7. Alat Pengumpulan Data

Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat penelitian :

a. Studi Dokumen yaitu mempelajari serta menganalisa bahan pustaka ( data

sekunder).

Universitas Sumatera Utara


34

b. Wawancara, yaitu kepada para pihak yang dianggap berkompeten dalam

bidang pertanahan dan berwenang untuk memberikan penjelasan berkaitan

dengan materi yang menjadi objek penelitian.

8. Analisis Data

Analisa data merupakan upaya penyusunan dan telah terdapat data yang telah

diolah untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Analisa data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analisa data kualitatif yang merupakan analisa data yang tidak

menggunakan angka-angka, analisa data ini dilakukan berdasarkan atas peraturan

perundang-undangan, ketentuan-ketentuan hukum adat, cerdik pandai, serta para

pemuka adat, sedangkan penggunaan tabel dan angka-angka dalam penelitian ini

hanya bersifat pendukung dari analisa data yang dilakukan, sehingga dapat ditarik

kesimpulan yang bersifat induktif-deduktif sebagai jawaban dari segala permasalahan

dalam penulisan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM ERA OTONOMI

DAERAH PADA MASYARAKAT SUKU SAKAI DI KABUPATEN

BENGKALIS PROPINSI RIAU

A. Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

1. Dasar Pengaturan Hak Ulayat

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa: “Bumi,

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Di dalam UUD 1945 tidak menjelaskan secara terperinci arti bumi itu sendiri,

mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) bahwa

seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia,

yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik

Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa

bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di

Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang

telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya

permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh

35

Universitas Sumatera Utara


orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan

hukum.

Menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa : “Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-

undang.”

Hal ini berarti bahwa negara masih mengakui hak atas tanah yang dikuasai

berdasarkan hukum adatnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam

undang-undang. Adatnya yang berarti kebiasaan masyarakat setempat, jika kebiasaan

tersebut disertai suatu sanksi maka disebut dengan hukum adat.

Hukum adat adalah aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi

dan orang-orang Timur Asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan

hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat).29

Soepomo memberikan defenisi tentang hukum adat sebagai hukum yang tidak

tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-

peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan

29
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cetakan II, Mandar Maju,
Bandung, 2003, Hal.15.

Universitas Sumatera Utara


didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan

tersebut mempunyai kekuatan hukum.30

Soerjono Soekanto mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang

kebanyakan tidak dikitabkan tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, mempunyai

sanksi jadi mempunyai akibat hukum.31

Apabila ditelaah pendapat yang diberikan para ahli diatas, terdapat kesamaan

pendapat mengenai hukum adat, yaitu didalam hukum adat termuat peraturan-

peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak

tertulis dan mempunyai akibat hukum.

Di dalam hukum adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting.

Hubungan antar manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan

diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan

kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi mereka

makan, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang-

orang halus perlindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya-

daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya.

Hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat pada masa

penjajahan tidak diberikan pengakuan, karena penjajah hanya memberikan pengakuan

kepada hak atas tanah yang telah terdaftar, sehingga ketika itu berlaku dualisme

30
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia,Tarsito, Bandung, 1996, Hal.13.
31
Ibid, Hal.14.

Universitas Sumatera Utara


hukum pertanahan, yaitu hak atas tanah yang dikuasai oleh hukum barat yang dikenal

dengan domein verklaring dan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.

Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung diundangkannya Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dengan

mengingat pentingnya tanah dalam kehidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA

telah dikenal sistem penguasaan sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia

yang dikenal sebagai hak ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai

pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah

merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan

didalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang

perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat

tersebut.32

Dalam suatu lingkungan hak ulayat, persekutuan dan anggota-anggotanya

mempunyai wewenang dan kewajiban-kewajiban dalam mengatur penggunaan

tanahnya dan hubungan-hubungan hukum anggota-anggota masyarakat dengan tanah

dengan lingkungan wilayahnya, objek hak ulayat dapat mecangkup hak menggunakan

dan mengelola tanah, hak menangkap ikan, hak memungut hasil hutan dan

sebagainya.

32
Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah
Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, Hal.4

Universitas Sumatera Utara


Di dalam Pasal 3 UUPA dan penjelasannya disebutkan bahwa pelaksanaan

hak ulayat harus sesuai dengan keadaan negara kesatuan. Hak ulayat semula belum

pernah diakui, diakui dengan 2 (dua) pembatasan:

1. Hak ulayat diakui sepanjang masih ada (tanpa penjelasan tentang kriteria ‘masih

ada’).

2. Biarpun hal ulayat diakui dan masih ada, kegunaannya harus disesuaikan dengan

ketentuan bahwa masyarakat hukum adat sudah menjadi bagian integral

masyarakat Indonesia.33

Pengakuan atas hak ulayat ini hanya sebatas hak ulayat yang masih diakui

sesuai dengan Penjelasan Umum II angka 3 UUPA, bahwa pelaksanaan hak ulayat

dan hak-hak yang serupa ini dari masyarakat-masyarakat adat, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan

nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain yang

lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa hak ulayat masih diakui asalkan penguasaan hak

ulayat tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan

lainnya yang lebih tinggi dan selama menurut kenyataan hak ulayat tersebut diakui.

Misalnya saja, tidaklah dapat dibenarkan jika suatu masyarakat berdasarkan

hak ulayatnya menolak begitu saja dibukanya tanah secara besar-besaran secara

33
Kumpulan Makala Seminar Tanah Adat, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara


teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan

rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman

menunjukan pula bahwa pembangunan-pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering

kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang

merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan Pasal 3 UUPA, bahwa

kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan

negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun dalam pelaksanaannya harus sesuai

dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan jika didalam alam

bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan

pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari pada hubungannya

dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam

lingkungan negara sebagai kesatuan.

Penegasan yang dikemukakan dalam Penjelasan Umum UUPA sebagaimana

tersebut adalah merupakan landasan pemikiran tentang pengakuan dan sekaligus

pembatasan hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara. Negara akan tetap memperhatikan keberadaan hak ulayat sepanjang

hal tersebut dalam realitanya masih ada dan negara menempatkan hak ulayat untuk

tunduk kepada kepentingan umum dan negara. Atas dasar kewenangan tersebut

negara akan memberikan pengakuan, pengaturan dan pembatasan terhadap hak

ulayat.

Universitas Sumatera Utara


Istilah hak ulayat memiliki penyebutan yang berbeda-beda, Djojodigoeno

menyebutnya dengan istilah ‘hak purba’ ialah hak yang dipunyai oleh sesuatu suku

(clans/gens/stam), sebuah serikat desa atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk

menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya. Hak purba tidak

dapat dilepaskan, dipindahtangankan, diasingkan untuk selama-lamanya, hak purba

meliputi juga tanah yang sudah digarap yang sudah diliputi hak perseorangan.

Soepomo memberikan istilah sebagai hak pertuanan, dan didalam UUPA sendiri

disebut dengan hak ulayat. Sedangkan Van Vollenhoven memberikan istilah

beshikkingrecht terhadap hak ulayat, yang mana hak ulayat adalah berupa hak dan

berkewajiban daripada persekutuan hukum sebagai suatu keseluruhan atas suatu

wilayah tertentu yakni wilayah di mana mereka hidup.34 Walaupun penyebutan istilah

hak yang dimiliki hukum adat ini berbeda-beda namun pengertiannya tidaklah jauh

berbeda.

Perhatian khusus terhadap hak ulayat dilakukan oleh Menteri Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional dengan menetapkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala

BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat. Hak ulayat adalah hak dari masyarakat hukum adat. Dalam

peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 di atas diberikan

definisi operasional mengenai kedua hal tersebut.

34
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Cetakan V, Yogyakarta, 2007, Hal.2.

Universitas Sumatera Utara


Masyarakat hukum adat dirumuskan sebagai sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan (Pasal 1 angka 3).
Sedangkan mengenai hak ulayat dinyatakan bahwa hak ulayat dan yang
serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat)
adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat
hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup
para warganya yang mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,
yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan
tidak terputus-putus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang
bersangkutan (Pasal 1 angka 1).

Unsur-unsur hak ulayat sebagaimana termuat didalam Pasal 2 ayat (2)

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tersebut yaitu :

1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan


hukum adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu
yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.

Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5

Tahun 1999, dalam hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat

sepanjang kenyataannya masih ada dan memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat

dalam hukum adat suatu masyarakat dalam suatu wilayah.

Hubungan timbal balik antara hak ulayat dengan hak perorangan sebagaimana

dirumuskan Iman Sudiyat, bahwa hak purba dan hak perorangan itu bersangkut paut

Universitas Sumatera Utara


dalam hubungan kempis mengembang, desak mendesak, batas membatasi, mulur

mungkret tiada henti. Dimana hak purba kuat, disitu hak perorangan lemah, demikian

pula sebaliknya.35

Antara hak ulayat dan hak perorangan yang diakui secara adat selalu ada
pengaruh timbal balik, makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu
bidang tanah maka makin eratlah hubungannya dengan tanah itu dan makin kuat pula
haknya atas tanah tersebut. Di dalam hak demikian maka kekuatan hak ulayat
terhadap tanah itu menjadi berkurang, tetapi menurut hukumnya yang asli
bagaimanapun kuatnya hak perseorangan atas tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat.36

Sehingga dengan demikian hak ulayat bersifat fleksibel yaitu semakin

berkembang dan maju kondisi masyarakatnya, maka hak ulayat menjadi semakin

lemah dalam masyarakat apa lagi dalam masyarakat modern. Bila kita mengkaji lebih

dalam, bahwa hak ulayat dan hak adat atas tanah ada perbedaan yang cukup

signifikan.

Hak ulayat bersifat hak komunal (hak bersama) dari sekelompok masyarakat
hukum adat dengan kata lain tidak dimiliki perorangan oleh karenanya objek tidak
dapat dijual belikan tanpa persetujuan Pimpinan Adat yang bersangkutan, warganya
hanya boleh menikmati hasil, atau tempat berusaha sehari-hari dan pihak lain yang
diluar kelompok masyarakat hukum adat tersebut tidak diperkenankan
menguasai/melakukan aktivitas pada wilayah tersebut kecuali dengan persetujuan
pimpinan adat yag bersangkutan, adapunhak atas tanah sifatnya dikuasai perorangan
yaitu dengan diperoleh dengan membuka tanah negara misalnya berladang, berkebun
dan lain-lain, dan apabila tanah tersebut dipergunakan dan dirawat /dipelihara dengan
baik oleh penggarap maka pada gilirannya tanah ini dapat diberikan hak menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sedangkan tanah yang sifatnya termasuk alam
lingkup hak ulayat tidak dapat diberikan hak untuk perorangan, kecuali atas dasar
persetujuan pimpinan adat yang bersangkutan.37

35
Ibid, Hal. 3.
36
Seminar Langkah-langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Op.Cit, Hal.16
37
Ibid, Hal.20.

Universitas Sumatera Utara


2. Kriteria dan Penentuan Adanya Hak Ulayat

Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu

masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam

lingkungan wilayahnya, yang sebagian telah diuraikan diatas merupakan pendukung

utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.

Sebagaimana telah kita ketahui wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk

dalam bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak bersama

kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk dalam hukum publik, berupa

tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan,

penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya.

Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah

masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dikuasai oleh seseorang

maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tanah umumnya batas wilayah

hak ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti.

Masyarakat hukum adatlah sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang

mempunyai hak ulayat, bukan orang seorang. Hak ulayat mempunyai kekuatan

berlaku kedalam dan keluar. Kedalam berhubungan dengan para warganya,

sedangkan kekuatan berlaku keluar dalam hubungannya dengan bukan anggota

masyarakat hukum adatnya yang disebut “orang asing”.

Universitas Sumatera Utara


Kewajiban yang utama penguasaan adat yang bersumber pada hak ulayat ialah

memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota masyarakat hukumnya, menjaga

jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan

kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikannya. Berhubungan dengan

tanggungjawabnya mengenai kesejahteraan masyarakat hukumnya maka pada

asasnya penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan seluruh atau sebagian

tanah wilayahya kepada siapapun.

Menyinggung masalah hak ulayat tidak lepas dari asas-asas yang terkandung

dalam UUPA salah satu diantaranya, asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang

angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.

Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi maksudnya bukan memiliki hak atas

tanah, melainkan hanya sekedar menguasainya saja. Menurut Boedi Harsono,38

pengertian peguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti

yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penggunaan yuridis dilandasi

hak, yang dilindungi oleh hukum dari umumnya memberi kewenangan kepada

pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga

penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang

dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.

Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan menyewa yang

38
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, isi dan Pelaksanaan, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, Hal. 145.

Universitas Sumatera Utara


menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain

tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya,

berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik

kepadanya. Dalam hukum tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak

memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik.

Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas

tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang

empunya tanah.

Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” diatas dipakai dalam aspek

perdata. Pengertian “dikuasai” dan “menguasai” dipakai dalam aspek publik, seperti

yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Pengertian “penguasaan” dipakai dalam arti

yuridis, baik penguasaan yang beraspek perdata maupun publik. Pengertian “Hak

Penguasaan Atas Tanah” dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai

berbagai “ hak penguasaan atas tanah”. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus

ditetapkan tata jenjang nasional kita, yaitu :

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas

tanah yang tertinggi, beraspek pada perdata dan publik.

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek

publik.

Universitas Sumatera Utara


3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek

perdata dan publik.

4. Hak perorangan / individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas :

a. Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara

langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang disebut

dalam Pasal 16 dan 53.

b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan Pasal 49.

c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25,

33, dan 51.

Hal ini secara jelas dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA, bahwa perkataan

“dikuasai” disini bukan berarti ‘dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberikan

wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada

tingkatan tertinggi :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan

pemeliharan bumi,air, dan ruang angkasa

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air, dan ruang angkasa

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Universitas Sumatera Utara


Hak menguasai dari negara tersebut diatas ditujukan untuk mencapai sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi

seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan negara tersebut mengenai semua bumi, air, dan

ruang angkasa, baik yang sudah dihaki maupun yang tidak. Kekuasaan negara

mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari

hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai

untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara tersebut.

Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang

atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.

Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut, negara dapat memberikan

tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan

dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau

Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa

(departemen, jawatan, atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan

tugasnya masing-masing.

Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari negara tersebut dapat dikuasakan

kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat sekadar diperlukan dan

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan

Peraturan Pemerintah.

Universitas Sumatera Utara


Dalam kaitannya dengan hak ulayat, diterbitkan Peraturan Menteri Negara

Agraria/BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak

Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah

melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak

ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang

bersangkutan, dengan penjelasan sebagai berikut :

1) mengenai muatan pokok dan maksud dikeluarkannya peraturan.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan

terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat”

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Kebijaksanaan tersebut

meliputi :

a. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1);

b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari

masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5);

c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal

4).

Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menyediakan pedoman

dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan

Universitas Sumatera Utara


serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat, dalam

kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal diatas diwenangkan kepada daerah

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan maksud

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan

demikian akan lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat setempat.

2) Mengenai pengertian hak ulayat.

Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria menetapkan bahwa “hak ulayat dan

hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan

oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu “menurut

kenyataannya masih ada”.

Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,

didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh

masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan

para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah

dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari

hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara

masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan

dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang

Universitas Sumatera Utara


berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum

adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu

masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para

warganya.

Subjek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik merupakan

persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial),

maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai

nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun

nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subjek hak

ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tertua adat yang memperoleh

pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut

ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subjek hak ulayat, melainkan petugas

masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan

dengan hak ulayat.

3) Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat.

Tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat

meliputi 3 unsur, sebagaimana Pasal 2 ayat (2) PMA 5/1999 yaitu :

a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa

terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan

Universitas Sumatera Utara


hukum tertentu, yang mengakui dan menetapkan ketentuan-ketentuan

persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan

hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil

keperluan hidupnya sehar-hari, dan

c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu

terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan

penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga

persekutuan hukum tersebut.

Penelitian mengenai ketiga unsur tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat

dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan pihak-pihak yang

berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan peranannya secara

objektif, yaitu antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya

Masyarakat dan instansi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan sumber daya

alam (misalnya instansi kehutanan, pertambangan dan sebagainya apabila tanah

ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya).

Selanjutnya dalam rangka memastikan masih adanya tanah ulayat tersebut,

keberadaannya perlu dinyatakan dalam peta pendaftaran tanah dengan mencantumkan

suatu tanda kartografi yang sesuai, sekiranya pada kenyataannya batas-batas tanah

yang bersangkutan dapat ditentukan menurut tata cara penentuan batas dalam

Universitas Sumatera Utara


pelaksanaan pendaftaran tanah, batas tersebut dapat digambarkan pada peta dasar

pendaftaran tanahnya dan dicatat pula dalam daftar tanah yang ada. Semua itu perlu

diatur sesuai dengan keadaan masing-masing daerah dalam Peraturan Daerah, yang

dimaksud dalam Pasal 6 ketentuan yang demikian sebenarnya tidak cukup, sebab

berdasarkan Pasal 19 UUPA jo. PP No. 24 Tahun 1997 bahwa untuk menjamin

kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah

Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan

pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah dicabut oleh PP No.24

Tahun 1997. Pendaftaran tanah hak ulayat mengalami suatu kendala, karena

sebagaimana Pasal 9 PP No.24 Tahun 1997 bahwa objek pendaftaran tanah meliputi :

bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan dan hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan

rumah susun, hak tanggungan, tanah negara.

4) Mengenai pelaksanaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat.

Hak ulayat memberikan kewenangan tertentu kepada masyarakat hukum adat

terhadap tanah ulayatnya yang sumber, dasar pelaksanaan, dan ketentuan tata cara

pelaksanaannya adalah hukum adat yang bersangkutan. Kewenangan tersebut

meliputi hak penguasaan tanah oleh para warganya (Pasal 4 ayat 1 huruf a) dan

pelaksanaan tanah untuk keperluan “orang luar” (Pasal 4 ayat 1 huruf b). Mengingat

Universitas Sumatera Utara


hukum adat itu bersifat dinamis, maka hak penguasaan tanah yang diperoleh menurut

hukum adat oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan apabila

dikehendaki boleh didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut Undang-

Undang Pokok Agraria. Dengan demikian tujuan “meletakkan dasar-dasar untuk

mengadakan kesatuan hukum dan kesederhanan dalam hukum pertanahan”

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Agraria akan dapat terwujud

secara alamiah dan bertahap.

Dalam pada itu dapat dipastikan bahwa pada waktu dikeluarkannya Peraturan

Daerah yang mengatur hak ulayat nanti akan terdapat bidang-bidang tanah yang

sesuai dipunyai perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah

menurut Undang-undang Pokok Agraria atau sudah diperoleh menurut ketentuan dan

tata cara yang berlaku walaupun haknya secara administratif belum diperoleh.

Berdasarkan pemikiran bahwa bidang-bidang tanah ini sudah diperoleh secara sah,

yaitu dengan membeli atau membebaskannya dari hak-hak dan kepentingan yang ada

di atasnya, maka pelaksanaan hak ulayat atas bidang-bidang tanah ini dikecualikan

(Pasal 3 UUPA).

Menurut prinsip Hukum Adat yang diakui eksistensinya oleh undang-undang

agraria intensitas hubungan seseorang dengan tanah akan menentukan tebal tipis

haknya atas tanah tersebut. Makin lama dan intensif hubungan seseorang dengan

tanah, makin tebal haknya atas tanah tersebut. Djojodiguno teori mulur-mungkret”

Universitas Sumatera Utara


Supomo “individualis-sering proces”. Secara kultural, rakyat Indonesia acapkali

disebut sebagai masyarakat “oral cultural”.39 Dokumen atau catatan tertulis sebagai

bukti suatu hak bukanlah sesuatu yang penting. Bukti yang kuat adalah hubungan

kongkret seperti tanaman dan pengetahuan dari anggota masyarakat hukum

sekitarnya. Sistem girik bukanlah asli budaya Indonesia. Girik adalah sistem

administrasi Hindia Belanda untuk kepentingan perpajakan. Kemudian, diterima

(resepsi) sebagai bukti pemilihan atas tanah. Begitu pula pengertian “tanah dikuasai

negara” dalam praktek, negara atau pemerintah diberi wewenang untuk memberikan

hak tanah kepada siapapun tanpa menghiraukan hubungan yang telah ada antara

rakyat dengan tanah. Praktek semacam ini sangat kolonialistik dan bertentangan

dengan undang-undang dasar. Asas “domein” pada masa kolonial masih ada batas,

yaitu dibedakan antara “vrijlandsdomein” dan “onvrijlandsdomein”. Terhadap

“onvrijlandsdo-mein” pemerintah koloniali tidak akan memberikan kepada pihak lain

karena diatas tanah tersebut diakui hak masyarakat atas tanah seperti hak ulayat dan

lain-lain. Sebaliknya dimasa merdeka lebih-lebih setelah ada Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960. Dalam kenyataan pengertian hak negara menguasai negara bergeser

seperti “domein” pada masa kolonial, bahkan lebih. Pemerintah atas nama negara

berkuasa penuh menyerahkan atau memberikan hak atas sebidang tanah negara tanpa

harus menghiraukan hak-hak yang secara sosio-kultural ada pada rakyat. Hukum

39
Ibid, Hal.262.

Universitas Sumatera Utara


menjadi bentuk formal di tangan para penguasa. Satu hal pokok yang di lupakan,

begitu pula dari sudut Undang-Undang Dasar. Hak negara menguasai tanah adalah

induk kepentingan rakyat. Sangat tepat ungkapan Pasal 33 Undang-Undang Dasar

1945 karena itu tidak boleh dipilah atau dipisahkan dikuasai negara itu untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Kalau tanah, sebidang tanah telah dipergunakan rakyat,

maka tercapailah salah satu tujuan penguasaan negara atas tanah, yaitu untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, negara atau pemerintah harus mengutamakan hak

rakyat atas tanah daripada kepentingan lain yang datang kemudian. Inilah inti paham

tanah dikuasai negara.

B. Otonomi Daerah Dan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah

Setelah Indonesia merdeka, penghapusan terhadap segala kolonialisme

menciptakan babak baru penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia. Para

founding fathers mulai merintis kebijakan baru penyelenggara pemerintah daerah

yang merujuk pada kedaulatan rakyat sesuai dengan nilai demokrasi yang tertanam

dalam konstitusi. Konsensus yang dicapai oleh founding fathers kiranya merupakan

hal yang tepat, yaitu pembangunan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka

negara kesatuan melalui desentralisasi dan otonomi daerah sebagai instrumen

perekatnya. Pemikiran ini merupakan hal yang bijaksana mengingat pada kondisi

geografis Indonesia yang begitu luas dengan segala kemajemukan dan

Universitas Sumatera Utara


kompleksitasnya menyebabkan tuntutan kebutuhan untuk mengakomodasikannya

dalam penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Secara teoritis dan faktual,

pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi tidak akan menyebabkan

terjadinya disintegrasi nasional, tetapi justru kondusif bagi tercapainya integritas

nasional. Pemberian status otonom kepada kelompok masyarakat lokal merupakan

jiwa besar pemerintah sebagai bentuk penghargaan terhadap perbedaan yang ada

sehingga akan mendorong masyarakat lokal berpartisipasi dalam skala daerah

maupun nasional.40

Pergeseran stuktur politik dan pemerintahan dari model sentralisasi menuju

kearah desentralisasi merupakan sebuah langkah yang penting dalam rangka

pemberdayaan masyarakat adat. Keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

yang kemudian dirubah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

menandai dimulainya otonomi daerah yang didalamnya terdapat harapan

pembangunan daerah sesuai dengan kepentingan dan kehendak daerah, serta

merupakan harapan baru bagi pengembangan komunitas lokal. Hal ini dapat dilihat

dengan adanya otonomi desa, yang secara eksplesit menegaskan desa dikembalikan

kepada asal usulnya, yakni adat.

Adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah

merupakan pedoman (guideline) dalam pelaksanaan otonom daerah yang diarahkan

40
Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, Hal. 63-64

Universitas Sumatera Utara


untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,

meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemberian peran yang lebih dominan kepada

DPRD pada prinsipnya ditujukan pada pengembangan demokratisasi didaerah

sehingga akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah daerah dapat terjamin.41

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah,

yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

merupakan panduan yang nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga merupakan

politik hukum otonomi daerah. Dengan dasar kekuatan tersebut, pelaksanaan otonomi

daerah diwujudkan dalam kebijakan yang terukur, terarah, dan terencana oleh

pemerintah pusat. Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat

nyata dan luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Maksudnya

otonomi daerah harus dipahami sebagai perwujudan pertanggungjawaban

konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan

kewajiban yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan

otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat,

pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan pemerataan, serta

41
Ibid, Hal. 7.

Universitas Sumatera Utara


pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam

rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.42

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sangat

jelas mengatur mengenai pertanahan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14

yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk

kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi poin (k)

tentang pelayanan pertanahan. Kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu juga,

sesuai dengan yang terdapat dalam penjelasan poin (b), yang menyebutkan bahwa

prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan

diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Dengan demikian daerah memiliki kewenangan membuat arah kebijakan daerah

untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya juga kebijakan nasional di bidang pertanahan saat ini, melalui

kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah

kabupaten/kota dan provinsi, secara tegas dijelaskan bahwa sebagian kewenangan

pemerintah di bidang pertanahan, dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota,

meliputi :

42
Ibid, Hal. 9.

Universitas Sumatera Utara


1. Pemberian izin lokasi;
2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;
4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan satuan tanah untuk penbangunan;
5. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee;
6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
8. Pemberian izin membuka tanah;
9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.43

Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi

daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa

merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta

tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat

luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja

dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan

kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga

masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus

turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan

mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah

maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar

keberadaannya oleh para pengambil keputusan.

Sebagaimana apa yang dinyatakan Hari Sabarno dalam bukunya bahwa :

43
M. Rizal Akbar dkk, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, LPNU
Press, Pekanbaru, 2005, Hal.9.

Universitas Sumatera Utara


Tolak ukur utama keberhasilan otonomi pada suatu daerah tidak lain adalah
pada masyarakat daerah itu sendiri. Masyarakat merupakan bagian utama
pemerintahan. Oleh sebab itu, selain tanggungjawab pelaksanaan otonomi di
tangan Kepala Daerah, DPRD, dan aparat pelaksananya, masyarakat harus
menjadi pelaksana utama dalam otonomi daerah tersebut.44

Adapun dalam bidang pertanahan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

memberikan pengaturannya di bidang pertanahan tersebut, yaitu meliputi

penyelenggaran kegiatan dibidang pertanahan, dan memberikan kewenangan

pengaturannya kepada Pemerintah Daerah propinsi maupun kabupaten/kota.

Sedangkan mengenai hak-hak penguasaan atas tanah tetap berdasarkan UUPA.

Adapun pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti

fisik, juga dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan publik. Penguasaan yuridis

dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan

kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada

juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai

tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan

pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan

penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai secara fisik

oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan

44
Hari Sabarno, Op.Cit, Hal.44.

Universitas Sumatera Utara


yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan

secara fisik kepadanya.45

Hak menguasai tanah oleh negara adalah hak yang memberi wewenang

kepada negara untuk mengatur 3 hak seperti termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.

Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik juga memberi wewenang kepada

masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan,

pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua hal tersebut

dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak menguasai tanah oleh negara semacam

hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh

wilayah Republik Indonesia. Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik berlaku

terbatas hanya pada suatu wilayah masyarakat hukum adat tertentu (bersifat lokal),

sedangkan hak menguasai tanah oleh negara berlaku untuk semua tanah yang ada di

wilayah Republik Indonesia (bersifat nasional).46

Biarpun bemacam-macam, tetapi semua hak penguasaan atas tanah berisikan

serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk

berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau

dilarang atau diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan atas tanah yang diatur

dalam hukum tanah.

45
Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 23
46
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 47.

Universitas Sumatera Utara


Hal ini didukung oleh adanya beberapa persamaan antara konsep hak ulayat

dengan konsep hak menguasai tanah oleh negara, yaitu :

1. Baik hak ulayat maupun hak menguasai tanah oleh negara merupakan “induk”

dari hak-hak atas tanah lainnya. Di atas hak atas tanah ulayat dapat muncul hak

perorangan atas tanah, demikian pula dengan hak menguasai tanah oleh negara

dapat muncul hak-hak perorangan atas tanah.

2. Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam yang sama dengan

kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai oleh negara atas tanah.

Setelah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, atas dasar ketentuan

yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3), hak ulayat yang memberikan wewenang

kepada masyarakat hukum adat untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah

kekuasaannya, pada tingkatan tertinggi (secara nasional) wewenang itu diserahkan

kepada negara. Penyerahan ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD

1945. Konsep hak menguasai tanah oleh negara semacam hak ulayat yang diangkat

pada tingkatan tertinggi ini, sesuai dengan konsep hak menguasai tanah oleh negara

yang termuat dalam Pasal 2 UUPA. Konsep ini dapat diterima sepanjang hak ulayat

yang ditarik pada tingkatan tertiggi itu (hak menguasai tanah oleh negara), tidak

menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya benar-

benar masih ada. Hak ulayat itu harus dibiarkan hidup secara bebas tanpa ada

gangguan dari siapa pun, dibawah naungan dan lindungan hak menguasai tanah oleh

Universitas Sumatera Utara


negara. Kedua hak itu secara berdampingan walaupun kedudukan hak ulayat lebih

rendah dari pada hak menguasai tanah oleh negara, dan hak menguasai tanah oleh

negara tidak boleh menghapus hak ulayat, bahkan sebaliknya ia harus mengayomi

dan melindungi hak ulayat.47

Adapun mengenai pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA

ada yang sebagai lembaga hukum dan ada pula sebagai hubungan-hubungan hukum

kongkrit. Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum

dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang

haknya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 20 sampai 45 UUPA, seperti hak

milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa bangunan.

Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah, negara dalam hal ini melalui

pemerintah merupakan representasi penyelenggaraan negara, sehingga daerah tidak

dapat berbuat sendiri atas kemauan dan kehendaknya, kecuali untuk kewenangan

yang telah diserahkan sebelumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh

karena itulah undang-undang otonomi daerah dikeluarkan dengan tujuan memberikan

pengaturan mengenai tugas dan wewenang daerah dalam pemerintahan, agar tidak

terjadi benturan antara kewenangan pusat dan daerah.

Pada era reformasi, terjadi tarik ulur antara pemerintah pusat dan daerah

tentang kewenangan di bidang pertanahan. Di samping itu terjadi inkonsistensi

47
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 50.

Universitas Sumatera Utara


peraturan pusat yang dibuat oleh presiden dalam bentuk keputusan presiden

(keppres), sehingga menghambat pelaksanaan/penerapan otonomi daerah di

kabupaten/kota. Tarik ulur dan inkonsistensi tersebut sebagaimana terdapat pada

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.

Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan yang menganut asas

desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, memberikan kesempatan dan

keleluasaan yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan dan

menyelenggarakan pemerintahan sendiri (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945). Ketentuan ini

dijadikan landasan yang kuat bagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 untuk

menganut asas otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7. menurut

pasal tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewenangan di bidang pemerintahan,

kecuali wewenang yang oleh Undang-undang diberikan kepada pemerintah pusat.

Selanjutnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Yang

dalam Pasal 2 ayat (3) nomor 14, merincikan kewenangan pemerintah pusat di bidang

pertanahan yaitu:

1. Penetapan persyaratan pemberian hak-hak atas tanah.

2. Penetapan persyaratan landreform.

3. Penetapan standar administrasi pertanahan.

Universitas Sumatera Utara


4. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan.

5. Penetapan kerangka dasar kadastral nasional dan pelaksanaan pengukuran

kerangka dasar kadastral nasional orde I dan II.48

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, pemerintah pusat hanya diberi

wewenang untuk menetapkan standarisasi hal-hal tersebut diatas, sedangkan

kebijakan (policy) di bidang pertanahan dipegang oleh pemerintah daerah.

Inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh presiden dengan

memberlakukan Keppres Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Otonomi di

bidang pertanahan, yang mencabut kewenangan pemerintah daerah di bidang

pertanahan. Pencabutan ini secara hukum tidak dapat dibenarkan, karena presiden

tidak mempunyai kewenangan untuk mencabut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh

Undang-undang terdahulu. Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 hanya dapat dicabut dengan ketentuan Undang-undang dan bukan dengan

keputusan presiden.49

Pencabutan wewenang pemerintah daerah di bidang pertanahan, dipertegas

dengan diberlakukannya Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional

di Bidang Pertanahan, Selanjutnya dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004, dengan demikian mencabut undang-undang sebelumnya yaitu

Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Undang-undang inipun

48
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 63-65.
49
Muhammad Bakri, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara


memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk

menyelenggarakan pemerintahannya.

Adapun otonomi yang seluas-luasnya tersebut harus tetap memelihara dan

mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia

adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik.

Dengan demikian dalam era otonomi daerah ini, paradigma lama di bidang

pertanahan yang bersifat sentralistik, sudah sepatutnya diganti dengan paradigma

baru yang bersifat desentralisasi, oleh karena itu sesuai dengan Pasal 18 ayat (5)

UUD 1945, kewenangan pemerintah pusat di bidang pertanahan harus diserahkan

kepada pemerintah daerah. Maka dengan adanya otonomi daerah pemerintah daerah

bisa memberikan perhatiannya lebih serius terhadap kemajuan dan kemakmuran

daerah-daerah kekuasaannya.

Dengan adanya otonomi daerah pemerintah bisa lebih bijak lagi dalam

memberikan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat asli yang ada di

kabupaten tersebut agar tidak hilang bersama perkembangan zaman serta keberadaan

tanah ulayat masyarakat tersebut Agar tidak hilang eksistensinya akibat pembukaan

hutan untuk perkebunan sawit.

C. Masyarakat Suku Sakai Kabupaten Bengkalis

Universitas Sumatera Utara


1. Deskripsi Masyarakat Suku Sakai

Pada masa penjajahan sebagian besar daerah Bengkalis berada dalam

lingkungan pemerintahan Kerajaan Siak, kecuali Pulau Bengkalis yang merupakan

daerah jajahan langsung pemerintah Hindia Belanda. Kekuasaan pemerintah Kerajaan

Siak berakhir tahun 1942.50

Sebelum tahun 1858 Pulau Bengkalis termasuk dalam Keresidenan Riau yang

berkedudukan di Tanjung Pinang. Sehubungan dengan bertambah pesatnya

pertumbuhan usaha-usaha Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Timur, terutama

dengan dibukanya areal perkebunan, maka pada Mei 1873 Keresidenan Riau dibagi

menjadi 2 (dua) yaitu :

a. Keresidenan Riau dengan pusat pemerintahan di Tanjung Pinang.

b. Keresidenan Sumatera Timur dengan pusat pemerintahan di Bengkalis.

Dan pada tahun itu juga pusat pemerintahan keresidenan Sumatera Timur

dipindahkan ke Medan dan Bengkalis merupakan asisten residen.

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia daerah Kabupaten Bengkalis

terdiri dari 4 (empat) kewedanan dan 11 kecamatan, yaitu :

a) Kewedanan Bengkalis, ibunegerinya Bengkalis, membawahi 3 (tiga) kecamatan,

yaitu :

1. Kecamatan Bengkalis, ibunegerinya Bengkalis.

50
Emrizal Pakis, Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis Tahun 1996, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Bekerjasama Dengan Kantor Statistik Kaupaten Bengkalis.

Universitas Sumatera Utara


2. Kecamatan Bukit Batu, ibunegerinya Sungai Pakning.

3. Kecamatan Rupat, ibunegerinya Batu Panjang.

b) Kewedanan Selatpanjang, ibunegerinya Selatpanjang, yang membawahi 2 (dua)

kecamatan, yaitu :

1. Kecamatan Tebing Tinggi, ibunegerinya Selatpanjang.

2. Kecamatan Merbau, ibunegerinya Telukbelitung.

c) Kewedanan Siak, ibunegerinya Siak Sri Indrapura, yang membawahi 3 (tiga)

kecamatan, yaitu :

1. Kecamatan Siak, ibunegerinya Siak Sri Indrapura.

2. Kecamatan Sungaiapit, ibunegerinya Sungaiapit.

3. Kecamatan Mandau, ibunegerinya Muarakelantan.

d) Kewedanan Bagansiapi-api, ibunegerinya Bagansiapi-api, yang membawahi 3

(tiga) kecamatan, yaitu :

1. Kecamatan Bangko, ibunegerinya Bagansiapi-api.

2. Kecamatan Kubu, ibunegerinya Telukmerbau.

3. Kecamatan Tanah Putih, ibunegerinya Tanah Putih.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan daerah ini, dengan semakin

bertambahnya jumlah penduduk serta dilakukannya kegiatan eksplorasi minyak bumi

di wilayah Kecamatan Mandau, dan Dumai dijadikan pelabuhan ekspor minyak,

maka wilayah administrasi pemerintahan di Kabupaten Bengkalis pada tahun 1963

Universitas Sumatera Utara


dikembangkan dengan membentuk kewedanan baru yaitu kewedanan Dumai, yang

membawahi 3 (tiga) kecamatan, yaitu :

a. Kecamatan Dumai, ibunegerinya Dumai.

b. Kecamatan Rupat, ibunegerinya Batupanjang.

c. Kecamatan Mandau, ibunegerinya Duri.

Pada tahun 1958, seluruh kewedanan yang ada di wilayah Kabupaten

Bengkalis dihapuskan, sehingga dengan demikian kecamatan-kecamatan di

Kabupaten Bengkalis langsung berada dibawah pemerintahan kepala daerah tingkat II

Bengkalis. Struktur baru ini lahir Tahun 1956, berdasarkan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1956, Lembaran Negara Nomor 25 Tahun 1956.

Komunitas adat terpencil sebagaimana yang didefenisikan departemen sosial

merupakan masyarakat yang terisolir dan memiliki kemampuan yang karena itu

bersifat terbelakang dan tertinggal dengan proses mengembangkan kehidupan

ekonomi, sosial budaya, keagamaan dan ideologi. Komunitas adat terpencil sering

dianggap rendah oleh masyarakat dan selau dijauhkan oleh kelompok-kelompok yang

lain. Tidak salah sehingga mereka menjadi rendah diri, sehingga selalu terpojok dan

jarang mau bergaul dan menyatu dengan kelompok atau orang luar, sehingga tidak

dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan luar yang lebih maju.

Salah satu kelompok atau komunitas dari masyarakat terpencil ini adalah

orang Sakai “Sakai” merupakan nama salah satu suku bangsa di tanah melayu dan

Universitas Sumatera Utara


dapat juga diartikan sebagi orang bawahan atau hamba sahaya. Orang Sakai pada

dasarnya dikategorikan sebagai masyarakat yang tertinggal oleh proses perubahan

sosial atau relatif terbelakang kehidupannya. Kelompok ini dianggap tidak maju dan

kuat memegang tradisi.

Mengenai kata Sakai dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, menerangkan

kata Sakai sebagai nama suku bangsa di tanah Melayu, termasuk bangsa Negrito

yang tidak berbahasa Melayu, disamping diartikan pula sebagai orang bawahan (yang

diperintah) sama dengan hamba sahaya. Tetapi ada juga anggapan bahwa Sakai itu

nama sungai di Mandau Kabupaten Bengkalis. Karena suku itu menetap di tepi

sungai tersebut, maka mereka disebut orang atau Suku Sakai.51

Menurut M.Yatim kepala batin Suku Sakai, bahwa nama Suku Sakai diartikan

sebagai suku anak air ikan, karena sumber penghidupannya adalah dipinggiran air

serta menangkap ikan. Menurutnya lagi Sakai adalah suku atau manusia kebal

(sakai=badak=kebal), sedangkan menurut orang Sakai sendiri, Sakai adalah suku

orang batin.52

Tokoh atau pemimpin Sakai yang paling menentukan ialah batin. Batin

memimpin suatu perkampungan. Dialah pemimpin formal dalam suku yang mengatur

dan mengemudikan masyarakat dengan asas adat.53 Karena itu batin menjadi pusat

51
UU.Hamidy, Masyarakat Terasing Daerah Riau Di Gerbang Abad XXI, Zamrad Untuk
Pusat Kajian Islam dan Dakwah Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 1991, Hal.88.
52
Wawancara Penulis dengan M.Yatim, Kepala Batin, Tanggal 28 Maret 2010.
53
Batin = Kepala Suku atau Ketua Adat

Universitas Sumatera Utara


kehidupan dan mitos suku. Batin juga bisa merangkap sebagai bomo.54 Tetapi, bomo

juga telah merupakan tokoh yang khas dalam kehidupan masyarakat, sebab dia telah

memainkan peranan penting dalam hubungan dengan makhluk gaib, sehingga amat

menentukan jalan pikiran masyarakatnya. Pada bomolah bertumpu alam pikiran

animisme sehingga dia memainkan peranan yang besar dalam berbagai tradisi yang

bersangkutan dengan alam atau makhluk halus.

Menurut silsilah dan asal usulnya orang Sakai dahulunya berasal dari

Pagaruyung yang datang ke Riau sekitar abad ke-14 Masehi. Karena negeri

Pagaruyung adalah negeri yang sangat padat penduduknya sehingga untuk mengatasi

kepadatan penduduk tersebut Raja Pagaruyung berusaha mencari wilayah-wilayah

baru yang masih sedikit penduduknya. Raja Pagaruyung kemudian mengutus sebuah

rombongan berjumlah 190 orang untuk berangkat kearah timur karena di wilayah

tersebut masih kosong penduduknya. Rombongan menembus hutan belantara dan

akhirnya sampai ditepi sebuah sungai yang mereka namakan Sungai Biduando. Nama

Biduando inilah yang kemudian berubah menjadi “Mandau”,dan wilayah sekitar

sungai tersebutlah mereka jadikan wilayah pemukiman yang baru.55

Kemudian Raja Pagarayung mengutus kembali rombongan yang kedua yang

terdiri dari 3 orang hulubalang. Rombongan ini kembali berjalan menuju kearah

wilayah Mandau dengan mengikuti bekas perjalanan rombongan yang pertama.

54
Bomo= Dukun
55
http://www.katcenter.info/detail artikel, diakses pada tanggal 25 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara


Setelah beberapa tahun perjalanan rombongan tersebut bukannya sampai kewilayah

Mandau akan tetapi sampai di Kunto Bessalam, yang akhirnya mereka menyerahkan

diri kepada Raja Kunto Bessalam. Setelah beberapa lama tinggal di kerajaan tersebut

mereka diangkat sebagai hulubalang raja. Raja Kunto Bessalam mengalihkan

kegiatan pembangunan kekerajaan Rokan Kanan/Kiri yang berkerabat dan bersahabat

dengannya dengan mengirim 5 keluarga yang dipimpin oleh 2 orang hulubalang yang

bernama Sultan Janggut dan Sultan Rimbo untuk bekerja disitu. Akan tetapi sebelum

pekerjaan itu selesai, 2 orang hulubalang dan 5 keluarga telah melarikan diri karena

tidak sanggup tinggal disana karena rajanya sangat kejam. Rombongan tersebut

melarikan diri kearah wilayah Mandau, dan sampailah mereka ditepi sungai Sam-Sam

di hulu Sungai Mandau, dan kemudian meneruskan perjalanan sehingga sampailah

rombongan tersebut di hulu Sungai Penaso, yang kemudian sampailah mereka

diwilayah Desa Mandau dan kemudian menyerahkan diri kepada kepala desanya.

Ada banyak versi yang menceritakan kedatangan orang Sakai sampai ke

Mandau. Menurut Moszkowski (1908) dan Loeb (1935) orang Sakai adalah orang

Veddoid yang bercampur dengan orang Minangkabau yang berimigrasi pada abad ke-

14 ke daerah Riau, yakni di Gasib, di tepi sungai di hulu Sungai Rokan, sedangkan

menurut Hasny, orang Sakai berasal dari Pagaruyung, Batu Sangkar dan Mentawai.56

56
Husni Thamrin, SAKAI Kekuasaan, Pembangunan dan Marjinalisasi, Gagasan Press,
Pekanbaru, 2003, Hal.5.

Universitas Sumatera Utara


Sebagian orang Sakai telah masuk islam, oleh tokoh tarekat Naksyahbandiyah

Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan dengan khalifahnya bernama Ibrahim yang

juga tokoh tradisional Sakai, yaitu batin. Maka terdapatlah dua macam batin dalam

kehidupan orang Sakai, yaitu batin yang juga khalifah dan batin biasa yang hanya

tokoh adat saja. Kemudian dengan adanya binaan dari pihak pemerintah melalui

Depsos, mulailah dikenal adanya Kepala Desa.57 Kepala Desa ini juga kebanyakan

adalah batin itu sendiri. Maka dikenallah paling kurang 4 tokoh masyarakat Sakai :

khalifah, batin, bomo, atau dukun dan kepala desa.58

Masyarakat Sakai pada masa lalu mempunyai sistem pemerintahan yang

mereka sebut Perbatinan yang dipimpin oleh Batin. Perbatinan ini terdiri atas

Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan.59 Disebut dengan Perbatinan Lima mereka

masing-masing perbatinan mempunyai tanah hak ulayat dan hutan di (1) Minas; (2)

Penaso; (3) Beringin; (4) Belutu; dan (5) Tengganau. Perbatinan Delapan adalah

kelompok orang Sakai yang di beri hak untuk membuka hutan oleh Raja Siak Sri

Indrapura meliputi wilayah (1) Petani; (2) Sebangar; (3) Air Jamban; (4) Pinggir; (5)

Semunai; (6) Sam-Sam; (7) Kandis; (8) Balai Makam.60

57
Kepala Desa ini juga kebanyakan adalah batin itu sendiri. Jika ada kepala desa yang bukan
batin, maka pengaruhnya hanya amat terbatas sekedar untuk hubungan administratif saja dengan pihak
luar yang bersifat formal administratif.
58
UU.Hamidy, Op.Cit, Hal. 90-91.
59
Perbatinan nan lima yaitu kelompok masyarakat adat yang terdapat di daerah pesisir,
sedangkan perbatinan nan delapan yaitu kelompok masyarakat adapt yang terdapat di daerah
pedalaman.
60
Husni Tamrin, Op.Cit, Hal.5.

Universitas Sumatera Utara


Menurut UU Hamidy, menjelaskan bahwa Sakai Batin Nan Limo berasal dari

kerajaan Gasib yang pergi karena diserang Aceh. Sedangkan Sakai Batin Delapan

diriwayatkan berasal dari Semenanjung Melaka. Mereka dalam jumlah sekitar 100

orang lelaki dan perempuan yang telah mendarat di Kunto Darussalam, dan membuat

Kampung Bonai. Sebagian diantaranya mendiami kawasan aliran Sungai Sakai. Maka

mereka kemudian disebut Suku Sakai. Karena itu dalam teks lisan yang dihafal batin

Sakai, sebagian mereka mengatakan berasal dari Siak atau Gasib, sebagian lagi dari

Pagaruyung Minangkabau. Setelah mendiami Mandau, maka sejak berdirinya

Kerajaan Siak tahun 1723 mereka jadi rakyat Siak. Tapi tanah ulayat dan adat istiadat

mereka tidak dicampuri Sultan. Hal ini sepenuhnya diserahkan kepada Batin Suku

Sakai masing-masing.61

Sehingga masyarakat Sakai merupakan bagian dari Kesultanan Siak Sri

Indrapura dengan Raja Kecil sebagai rajanya. Pada waktu orang Sakai hidup pada

zaman kekuasaan Kerajaan Siak Sri Indrapura, Raja Siak adalah penguasa tertinggi

yang mereka kenal dan mereka akui dalam tata kehidupan mereka. Segala peraturan

dan ketentuan yang dikeluarkan dan diberlakukan oleh kerajaan adalah sesuatu yang

tidak dapat ditawar-tawar lagi. Mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang suci.

Sehingga sampai sekarang pun orang Sakai masih sangat menghargai dan

menghormati keturunan dari Raja Siak.

61
UU Hamidy, Op.Cit,Hal.88-89.

Universitas Sumatera Utara


2. Pola Kehidupan Masyarakat Suku Sakai

Riau merupakan propinsi yang kaya dengan sumber daya alam, sejarah dan

budaya, disamping letaknya yang srategis sebagai lalu lintas perdagangan

internasional melalui Selat Melaka. Namun, sebagian dari kelengkapan budaya Riau

telah sangat kurang diakui dan diperhatikan, bahkan tidak diketahui secara benar.

Salah satu diantaranya adalah, sejumlah suku-suku asli (Indigenous people) yang

merupakan minoritas di pinggiran suku melayu yang sempat mendominasi daerah

Selat Melaka melalui beberapa kerajaan kecil.

Kerajaan-kerajaan Melayu di Riau tidaklah menguasai daerah dan masyarakat

yang luas, melainkan menguasai titik-titik strategik di jalur utama perdagangan, yaitu

Selat Melaka dan sungai-sungai besar, seperti Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan.

Masyarakat yang tinggal di tebing sungai dekat pusat kerajaan menerima berbagai

pengaruh diluar, menjadi bagian dari perubahan sosial-budaya, termasuk agama.

Merekalah yang menjadi orang melayu dengan Islam sebagai salah satu atribut kunci

dari jati dirinya. Hal ini diidentikkan dengan masuk Melayu sama dengan masuk

Islam.

Kawasan yang luas diantara sungai-sungai besar, pada masa lalu, semuanya

dikuasai oleh Batin-Batin (kepala suku orang sakai). Batin sebagai ketua masyarakat,

memiliki teritorial yang diatur secara otonom berdasarkan hukum adat, jumlah orang

Universitas Sumatera Utara


Sakai yang terbanyak di Kabupaten Bengkalis adalah berada dalam wilayah

Kecamatan Mandau. Berikut penyebaran orang Sakai dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1

Penyebaran Orang Sakai di Kecamatan Mandau

No. Desa/Kelurahan KK Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Bumbung 61 145 196 341


2. Kesumbo Ampai 101 296 245 541
3. Sebanggar 129 340 375 715
4. Petani 116 295 286 581
5. Harapan Baru 85 150 220 370
6. Pematang Pudu 265 565 660 1225
7. Titian Antui 29 70 80 150
8. Talang Mandi 15 31 46 77

JUMLAH 801 1892 2108 4000

Sumber: Biro Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis, 2008.

Berdasarkan dari tabel diatas dapat dilihat pada umumnya orang Sakai banyak

bertempat tinggal di desa Pematang Pudu 1.225 orang, Sebanggar 715 orang,

sedangkan jumlah orang Sakai paling sedikit terdapat di desa Talang Mandi 77 orang,

dari seluruh jumlah orang Sakai di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis,

Propinsi Riau.

Orang Sakai sebagai komunitas masyarakat terpencil dalam kehidupan sehari-

hari hidup berdampingan dengan masyarakat lain, mereka masih mempertahankan

tradisi leluhur nenek moyang mereka, akan tetapi mereka telah mulai menyesuaikan

Universitas Sumatera Utara


dengan perubahan yang terjadi akibat modernisasi, karena warga Sakai oleh

masyarakat sekitar telah diberikan kesempatan dan peluang untuk diasimilasikan

dengan masyarakat lainnya. Misalnya pembangunan pemukiman yang berdekatan

dengan lokasi masyarakat setempat, melakukan perkawinan, mempekerjakan pada

perusahaan serta telah mengenyam bangku pendidikan.

Adapun sumber utama kehidupan masyarakat Sakai adalah bercocok tanam,

selain juga berburu, maupun menangkap ikan di sungai. Cara bertani mereka masih

tradisional, dilakukan berpindah-pindah, namun perpindahannya saat ini masih di

sekitar tanah yang dibuka pertama. Proses membuka hutan untuk perladangan

tersebut masih dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan upacara adat dengan

memotong beberapa ekor ayam, dengan harapan mereka tidak diganggu oleh roh-roh

halus yang ada di sekitar tanah tersebut.

Ada 4 (empat) mata pencaharian tradisional Sakai, yaitu berladang,

menangkap ikan, berburu dan mengambil hasil hutan, serta kuli atau buruh dan

berdagang. Berladang dilakukan dengan sistem tebang (tebas) dan bakar, setelah itu

ditugali dengan menanam ubi nanggalo atau tembakau. Peralatannya parang, tombak,

panah dan juga memakai jerat sentak. Hasil buruan dibagi-bagi, tapi juga ada yang

dijual. Binatang buruan yang dijerat seperti kijang dan rusa. Ikan dicari dengan

mempergunakan lukah dan kail. Hasil hutan yang paling suka mereka cari ialah kayu

Universitas Sumatera Utara


gaharu disamping damar dan rotan. Pekerjaan menjadi buruh dilakukan oleh orang

Sakai dengan mengambil upah menebang kayu.

Tabel 2

Mata Pencaharian Masyarakat Sakai Berdasarkan Pembagian Desa

No Desa/Kelurahan KK Berladang Menangkap Beburu Kuli Jumlah


Ikan
1. Bumbung 61 32 8 15 6 61
2. Kesumbo Ampai 101 55 20 15 11 101
3. Sebanggar 129 70 - 30 29 129
4. Petani 116 70 6 15 25 116
5. Harapan Baru 85 45 15 10 15 85
6. Pematang Pudu 265 165 30 40 30 265
7. Titian Antui 29 19 - 5 5 29
8. Talang Mandi 15 10 - 5 - 15

Jumlah 801 446 79 135 120 801

Sumber : Dinas Sosial Propinsi Riau, 2008.

Berdasarkan dari tabel diatas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat Sakai

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya rata-rata berladang, dan hanya sebagian kecil

menagkap ikan,berburu dan kuli.

Berladang adalah kehidupan yang sangat penting bagi kehidupan orang Sakai.

Saat ini rata-rata sebagian masyarakat Suku Sakai lebih suka berladang untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, karena hanya dengan berladanglah sumber

Universitas Sumatera Utara


kehidupan yang sangat mudah dilakukan oleh masyarakat Sakai.62 Sebuah ladang

biasanya dibangun dari sebuah keluarga inti (Suami-isteri dan anak-anak) atau

dibangun secara gotong-royong atau saling membantu diantara dua keluarga sampai

lima keluarga. Pembuatan ladang dilakukan melalui tahap-tahap :

1. Memilih tempat untuk membuat ladang

Tradisi mereka dalam pemilihan wilayah hutan untuk dijadikan ladang,

wilayah hutan yang dipilih adalah tidak begitu banyak semak belukarnya, dan tanah

yang gak miring dan mereka memilih dekat air adalah lebih baik dan tidak ada rumah

semutnya, atau dalam bahasa mereka sesab dengan busut.

2. Tahap-tahap membuka hutan untuk ladang

Jika orang Sakai telah menemukan hutan yang mereka anggap baik untuk

persyaratan berladang, mereka pergi melapor kepada batin, serta menunjukan hutan

yang akan mereka buka. Setelah batin tidak berperan lagi mereka melapor kepada

penghulu atau kepala desa. Dalam penebangan pohon-pohon kayu hutan yang besar

dilakukan secara bersama-sama dengan menggunakan kapak atau beliung. Masing-

masing keluarga telah menentukan kira-kira berapa luas masing-masing ladang yang

hendak dibuatnya.

3. Menugal Padi

62
Wawancara dengan A. Yani, Kepala Bagian Dinas Sosial, tanggal 18 Agustur 2010.

Universitas Sumatera Utara


Bila ladang sudah dipersiapkan dan bibit tanaman padi sudah siap untuk

ditanam, maka ditentukanlah hari untuk mempersiapkan kegiatan menunggal padi

secara bersama-sama. Satu hari sebelum dilakukan kegiatan menanam padi di ladang

dilakukan upacara “mematikan tanah” dengan tujuan agar ladang tersebut tanahnya

dingin dan subur serta mereka yang tinggal di daerah ladang tersebut terhindang dari

mara bahaya. Upacara mematikan tanah ini dilakukan oleh masing-masing kepala

keluarga dengan meminta perlindungan kepada “Poti Soi” (Putri Sri, Dewi Padi)

yaitu bacaan mantera untuk kesuburan ladang mereka, yang lafalnya sebagai berikut :

Poti Soi
Gemolo Soi
Siti Dayang Sempono
Tuan, Engkau Nak Besuko-suko Ati
Kotongah Ladang.

(Indonesianya:)
Putri Sri (Dewi Sri)
Gembala Sri (Penunggu dan Penguasa Tanah)
Siti Dayang Sempurna
Tuan engkau hendak bersukaria
Ketengah ladang.

4. Panen Padi

Panen padi dilakukan dengan tahap-tahap tertentu. Sebelum dimulai menuai

padi, pemilik ladang menghubungi “dukun” atau “bomo” memimpin upacara

pemanenan untuk menghindari keluarga tersebut dari segala marabahaya. Upacara

dimulai dengan membaca mantra sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


Poti Soi
Gemolo Soi
Siti Dayang Sempono
Tuanku Engkau Nak Basuko-suko Ati
Kotongah Ladang
Ambo Ko Nak Bao
Tuanku Samo Hayatnyo

(Indonesianya:)
Putri Sri
Gembala Sri
Siti Dayang Sempurna
Tuanku hendak bersuka ria
Ke tengah ladang
Saya ini hendak membawa
Tuanku bersama hayatnya

5. Memperluas Ladang

Setelah kegiatan panen padi selesai, setiap anggota keluarga peladang yang

bersangkutan menanami setiap jengkal bekas ladang padi yang masih kosong. Pada

waktu musim kering datang, mulailah para peladang yang tergabung dalam satu

ketetanggaan ladang mempersiapkan pembuatan ladang baru untuk memperluas

ladang pertama yang telah mereka panen hasil padinya.

Bila telah terjadi kata sepakat bahwa merak masih akan hidup bersama dalam

satu ketetanggaan ladang maka pada tahap berikutnya adalah menentukan luas ladang

mereka. Bila ada diantara mereka tersebut berniat memisahkan diri dari ketetanggaan,

maka dicari keluarga lain untuk menggantikannya. Bila ternyata tidak ada keluarga

lain yang mau menggantikan tempat keluarga yang memisahkan diri maka

Universitas Sumatera Utara


ketetanggaan harus dibubarkan, karena menurut kepercayaan orang Sakai pantang

bagi mereka untuk meneruskan perluasan ladang yang salah satu anggota

ketetanggaan ladang tersebut mengundurkan diri.

Pemukiman masyarakat Sakai sudah mulai mengalami kemajuan, rumah-

rumah mereka tidak lagi terbuat dari kulit kayu, rotan, atau bambu dan beratapkan

rumbia akan tetapi mereka sudah ada yang memiliki rumah yang terbuat dari batu dan

telah beratapkan seng. Mereka juga sudah mengenal kendaraan bermotor sebagai alat

transportasi.

Sistem kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan yang penting

dalam menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan bekerjasama

dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang Sakai kelompok-

kelompok kekerabatan dalam kehidupan mereka terwujud dalam kegiatan

pengelolaan ladang, biasanya satuan pemukiman dihuni oleh satu atau dua kelompok

keluarga.63

Sistem kekerabatan Suku Sakai menganut matrilineal yaitu dititik beratkan

menurut garis keturunan ibu/perempuan. Yang lebih diutamakan adalah kedudukan

anak perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan penerus keturunan ibunya,

sedangkan anak laki-laki hanya seolah-olah pemberi bibit keturunan kepada isteri.

Dalam budaya Sakai hak perempuan Sakai besar, semua barang milik baik yang

63
Isjoni, Orang Sakai Dewasa Ini, Unri Press, Pekanbaru, 2005, Hal. 34.

Universitas Sumatera Utara


bergerak maupun tidak bergerak adalah milik wanita. Kedudukan kepala suku

diwariskan dari wanita, dan anak-anak mengikuti ibu, bukan ayah. Karena itu

menurut masyarakat Sakai apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan,

maka seolah-olah hidup tidak berkesinambungan. Namun demikian bukan berarti

anak laki-laki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak laki-laki membantu orang tua

meringankan beban hidup keluarga.64

Pengaruh adat istiadat leluhur mereka sehari-hari juga masih sangat dominan.

Menurut kepercayaan mereka apabila ada adat istiadat yang dilanggar maka akan

menyebabkan mereka sengsara. Selain itu juga ada sanksi atas pelanggaran adat

berupa denda yang berbentuk materi atau menyelenggarakan upacara adat, dan

bahkan lebih dari itu dapat dipermalukan di tengah-tengah masyarakat. Untuk

menjaga tata tertib mereka juga memiliki lembaga adat. Ketua lembaga adat

dahulunya dipilih berdasarkan turun-temurun tetapi sekarang dipilih berdasarkan

musyawarah.

Agama yang dianut sebagian besar adalah agama Islam akan tetapi masih

diselimuti dengan keyakinan animisme adanya kekuatan gaib. Mereka percaya bahwa

lingkungan hidup dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan “antu”.65 Antu

itu ada yang baik ada juga yang jahat. Makhluk itu tinggal dan menjadi penghuni
64
Kini dalam adat Perkawinan asli Sakai tidak tampak lagi, peran Batin dalam menikahkan
diganti oleh ayah kandung, Qadhi atau KUA (Kepala Urusan Agama). Pada masa lalu masyarakat
Sakai tidak mengenal uang hantaran, tetapi kini mengenalnya yang sudah dipepolerkan sejak zaman
kerajaan Sultan Siak.
65
Antu= Hantu / roh-roh halus.

Universitas Sumatera Utara


pepohonan, sungai-sungai, rawa-rawa, wilayah hutan, ladang, tempat pemukiman

rumah dan sebagainya.

3. Hak-Hak Atas Tanah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten

Bengkalis

Tanah ulayat dalam bahasa Sakai disebut dengan popah yaitu pembatasan.66

Telah sejak zaman dahulu nenek moyang Suku Sakai telah membentuk popah dalam

suatu lingkungan hidup dan menjaga popah tersebut agar tidak berbenturan dengan

suku-suku lainnya. Adapun wilayah popah ini terdiri dari :

a. Pangkal popah, dari tepi sungai Rokan yang disebut dengan Bromban Petani.

b. Ujung popah, yaitu Bromban Mineh.

c. Pertengahan, yaitu Potongan Popah.

Terhadap tanah ulayat (popah) tersebut terdapat tanda-tanda adat yang

dikuasai masing-masing batin nan delapan dan batin nan limo dan tiap-tiap batin

tersebut memiliki tanah ulayat. Yang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia

saat ini disebut dengan daerah Kabupaten Bengkalis dan dalam wilayah Kecamatan

Mandau. Yang kemudian kecamatan Mandau dimekarkan menjadi Kecamatan Minas,

Kecamatan Kandis, Kecamatan Pinggir.

Modernisasi merupakan sebuah proses yang melanda kehidupan manusia saat

ini, diseluruh bidang dan berbagai tempat, akan tetapi masyarakat Sakai tertinggal

66
Popah (Pembatasan) dalam bahasa Sakai = Tanah Ulayat

Universitas Sumatera Utara


jauh dari proses modernisasi tersebut. Suku Sakai tidak bisa mengimbangi lajunya

perputaran hidup disekitarnya. Perubahan sosial yang terus terjadi di sekeliling

mereka masih terasa asing bagi mereka, yang pada akhirnya mereka tetap menutup

diri mereka memang tidak bisa bersaing.

Bagi masyarakat Sakai, hutan adalah detak kehidupan bagi mereka tempat

mereka melakukan pemenuhan kebutuhan hidup dan mengandung unsur magis

sehingga penuh arti bagi mereka. Budaya inilah yang sangat melekat dan sulit

dipisahkan dari setiap unsur kehidupan mereka. Sehingga orang Sakai mengelola

hutan sedemikian rupa agar rantai kehidupan mereka terus berlanjut. Oleh karena itu

masyarakat Sakai membagi hutan tanah menjadi 3 bagian yaitu :

a) Tanah Peladangan (tanah perkarangan dan rumah).

b) Rimba Kepungan Sialang.

c) Rimba Simpanan.

Ketiga bagian kawasan ini pemakaiannya diawasi oleh kepala suku atau batin.

Setiap suku mempunyai tanah ulayatnya masing-masing berupa tanah peladangan dan

rimba kepungan sialang, sedangkan rimba simpanan dipunyai bersama. Maka tiap

warga yang memakai tanah peladangan diberikan dengan hak pakai yang apabila

tidak dipergunakan lagi maka akan diberikan kepada warga lain yang masih

merupakan bagian dari masyarakat Sakai. Sedangkan rimba kepungan sialang

merupakan bagian-bagian hutan yang membatasi hutan dengan tanah peladangan

Universitas Sumatera Utara


mereka dan juga tempat lebah bersarang. Selain itu juga sebagai panahan erosi dan

tempat reboisasi kembali setelah tanah peladangan ditinggal sementara, karena

mereka berladang dengan sistem tebang bakar, sehingga pada akhirnya akan tetap

kembali keladang yang pertama.

Di dalam masyarakat hukum adat, maka antara masyarakat hukum sebagai

suatu kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali,

hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat magis religio. Hubungan

inilah yang menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai

tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga

berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat hukum atas

tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.67

Dilihat dari pola kehidupan masyarakat Sakai dalam Kecamatan Mandau Desa

Kesumbo Ampai, dari penelitian yang dilakukan melalui wawancara dengan Kepala

Desa Kesumbo Ampai, diketahui bahwa sebagian besar diantaranya masih tetap

hidup memisahkan diri dari suku-suku lainnya. Mereka lebih cenderung untuk

memilih hidup berkelompok dengan sesama anggotanya dan terpisah dari masyarakat

luar yang kehidupannya relatif sudah maju.68

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Batin, bahwa pola kehidupan

dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Suku Sakai sebagai sumber mata

67
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, Hal.35.
68
Wawancara Penulis dengan Anita, di Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 26 Maret 2010.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai