Anda di halaman 1dari 16

SIMULASI DISTRIBUSI TEGANGAN PETIR DI JARINGAN

DISTRIBUSI TEGANGAN MENENGAH 20 KV PENYULANG


KENTUNGAN 2 YOGYAKARTA

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH KUALITAS DAYA
yang dibina oleh Ibu Sulistyowati

Oleh

Mochamad Fatoni Azharudin 1541150098


Mohammad Edi Junaidi 1541150002

POLITEKNIK NEGERI MALANG


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
PROGRAM STUDI SISTEM KELISTRIKAN
APRIL 2018

1
I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Daerah dengan lingkungan yang lembab seperti di Indonesia ini, kemungkinan
terjadinya sambaran petir sangatlah tinggi. Seiring dengan tingginya curah hujan, semakin
tinggi pula intensitas sambaran petir yang terjadi. Hal ini disebabkan karena hujan akan
membuat udara menjadi lembab dan petir akan semakin mudah menyambar bumi. Tercatat
bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah hari guruh terbanyak di dunia yaitu mencapai
180-260 hari guruh per tahun.Oleh karena itu gangguan terhadap jaringan tenaga listrik akibat
sambaran petir atau yang disebut dengan surja petir, juga banyak terjadi [1].
Surja petir merupakan faktor yang lebih dominan dalam menimbulkan tegangan lebih
transien pada jaringan tenaga listrik dengan tingkat tegangan di bawah 230 kV, dibandingkan
dengan faktor surja hubung. Sedangkan pada tingkat tegangan 230 kV ke atas, surja hubung
merupakan faktor yang lebih dominan dalam menimbulkan tegangan lebih transien
dibandingkan dengan faktor surja petir [2].
Maka penelitian mengenai tegangan lebih transien akibat sambaran petir yang terjadi
di sepanjang saluran distribusi tegangan menengah 20 kV sangat diperlukan untuk mengetahui
profil dan karakteristik tegangan lebih tersebut. Karena informasi mengenai profil dan
karakteristik tegangan lebih transien yang terjadi pada suatu jaringan tenaga listrik diperlukan
sekali dalam perencanaan koordinasi isolasi dan sistem proteksi [3].
Dalam penelitian ini distribusi tegangan surja petir yang terjadi di penyulang
Kentungan 2 diamati ketika terjadi sambaran petir. Hal ini dapat digunakan untuk bahan
pertimbangan dalam merencanakan peralatan perlindungan terhadap kerusakan peralatan
karena sambaaran petir.

2
II. DASAR TEORI
A. Petir
Muatan awan bawah yang negatif akan menginduksi permukaan tanah menjadi positif
sehingga terbentuklah medan listrik antara awan dan tanah (permukaan bumi). Semakin besar
muatan yang terdapat di awan, semakin besar pula medan listrik yang terjadi dan bila kuat
medan listrik tersebut telah melebihi kemampuan isolasi udara antara awan dan tanah, maka
akan terjadi pelepasan muatan listrik. Peristiwa inilah yang disebut dengan petir [4]. Secara
lebih detil, proses sambaran petir digambarkan seperti Gambar 1

Gambar 1.Proses terjadinya petir

B. Jaringan Distribusi
Sistem Distribusi Tegangan Menengah mempunyai tegangan kerja di atas 1 kV dan setinggi-
tingginya 35 kV. Jaringan distribusi Tegangan Menengah berawal dari Gardu Induk/Pusat Listrik
pada sistem terpisah/isolated. Pada beberapa tempat berawal dari pembangkit listrik. Bentuk jaringan
dapat berbentuk radial atau tertutup (radial open loop) seperti tampak padaGambar 2.

Gambar 2. Konsep umum sisten tenaga listrik [5]

3
C. Teori Tegangan Lebih
Dalam pengoperasian sistem tenaga listrik perlu mendapat perhatian lebih mengenai proteksi
terhadap tegangan lebih [6].Magnitude tegangan lebih tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap
ketahanan bahan isolasi pada peralatan sistem tenaga listrik.

1) Surja Petir : Surja Petir adalah gejala tegangan lebih transien yang disebabkan oleh sambaran
petir baik secara langsung maupun tidak langsung yang terjadi pada sebuah rangkaian listrik.
Bentuk gelombang Surja Petir dapat didefinisikan sebagai sebuah tegangan impuls yaitu,
tegangan yang naik dalam waktu yang sangat singkat disusul dengan penurunan ke nilai
tegangan nol yang lambat. Bentuk gelombang Surja Petir seperti tampak pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk gelombang impuls petir

Menurut Gambar 3 ini, Vs adalah tegangan puncak (volt), V’ adalah tegangan


overshoot (lebih) yang nilainya kurang lebih 5% dari tegangan puncak (volt), Tf adalah
waktu muka yang dalam hal ini bernilai 1,2 µs dan Tt adalah waktu ekor yang bernilai 50
µs.

2) Gelombang Berjalan: Gelombang tegangan bergerak maju secara gradual ke ujung saluran
dengan menimbulkan gelombang arus ekivalen juga akibat dari proses pemuatan-peluahan
(charge-discharge) komponen kapasitans dan induktans yang ada pada saluran distribusi.
Propagasi gelombang tegangan dan arus ini disebut gelombang berjalan (traveling wave)
dan gelombang ini kelihatan seolah-olah tegangan dan arus berjalan sepanjang saluran.
Propagasi gelombang berjalan bergantung pada impedans karakteristik saluran yang nilainya
dapat dihitung dengan persamaan (1).

Dengan Zc adalah impedans surja atau karakteristik (ohm), L adalah induktans saluran (H/m),
dan C adalah kapasitans saluran (F/m)

3) Gelombang Pantul: Jika suatu saluran distribusi tersambar petir pada salah satu ujungnya,
maka suatu gelombang tegangan VR+mulai berjalan sepanjang saluran kemudian diikuti oleh
suatu gelombang arus IR+. Dengan adanya resistansi penutup ZR akan menimbulkan
gelombang-gelombang yang berjalan ke belakang atau gelombang-gelombang pantulan
4
yang nilainya di ujung adalah VR- dan IR-. Persamaan (2) menunjukkan ρR sebagai
perbandingan amplitudo gelombang pantul terhadap gelombang datang yang disebut dengan
koefisien pantul. Dengan menghitung nilai koefisien pantul menggunakan persamaan(3),
maka nilai amplitudo gelombang pantul bisa dihitung. Kemudian, nilai amplitudo
gelombang yang ditimbulkan di sisi penerima merupakan penjumlahan amplitudo
gelombang datang dan gelombang pantul seperti persamaan(4).

dengan V- adalah amplitude gelombang pantul (volt), V+ adalah amplitude gelombang datang
(volt), ρR adalah koefisien gelombang pantul, ZR adalah impedans penutup sisi penerima
(ohm), dan ZC adalah impedans karakteristik atau surja(ohm).

D. Parameter Saluran

1) Resistans :Jika tidak ada keterangan lain, maka yang dimaksud dengan istilah
resistans adalah resistans efektif. Resistan efektif sebuah penghantar adalah sama dengan resistans
arus searah (DC) pada penghantar tersebut jika terdapat distribusi arus yang merata di seluruh
penghantar. Resistans DC diberikan oleh persamaan. Resistans dari suatu penghantar saluran tenaga
listrik adalah penyebab yang utama untuk rugi-rugi daya pada saluran tersebut.

2) Induktans :Suatu penghantar yang dialiri arus listrik akan menghasilkan fluks
gandeng (flus linkages) per satuan arus saluran sepanjang penghantar tersebut. Di sisi lain, sebuah
penghantar juga bersifat layaknya sebuah induktor karena bentuknya yang berserat. Nilai induktans
saluran bisa dihitung dengan persamaan (5) dengan nilai jarak ekivalen yang bisa dihitung dengan
persamaan(6).

Dengan deq adalah nilai jarak ekivalen (m), d1 d2 dan d3 adalah jarak antar penghantar (m), dan L
adalah indukatns saluran (H/m)

3) Kapasitans : Suatu penghantar pada saluran tenaga listrik mempunyai beda potensial
Antara penghantar yang satu dengan penghantar yang lainnya. Apabila dua buah penghantar yang
mempunyai beda potensial dan dipisahkan oleh suatu ruang bebas atau bahan dielektrik, maka akan
5
menghasilkan muatan kapasitif di antara kedua penghantar tersebut yang nilainya biasa dihitung
dengan persamaan (7).

dengan C adalah kapasitansi saluran (F/m), k adalah permitivitas bahan dielektrik (8,855x10-12),
deq adalah nilai jarak ekivalen (m), dan r adalah jari-jari penghantar (m)

E. Analysis Transients Program


Analisis mengenai tegangan lebih transien secara numeris merupakan permasalahan yang
sangat rumit.. Untuk itu, digunakan ATP ( Analysis Transients Program) untuk
mensimulasikan kondisi transien tersebut, karena ATP sangat baik digunakan untuk analisis
tegangan lebih transien yang diakibatkan oleh surja hubung dan surja petir. ATP
menyediakan fasilitas pemodelan yang cukup lengkap seperti, pemodelan generator,
pemutus tenaga, arrester, sumber
surja hubung maupun petir, serta pemodelan untuk saluran tenaga listrik [7].

6
III. METODE PENELITIAN

Permasalahan yang dikaji pada penelitian ini adalah mengenai distribusi tegangan lebih
yang terjadi pada jaringan distribusi tegangan menengah 20 kV penyulang Kentungan 2
Yogyakarta, yang memiliki panjang kurang lebih 17,3 kms, pada saat terjadi sambaran petir
pada saluran tersebut. Untuk itu dilakukan simulasi terhadap jaringan distribusi tegangan
menengah 20 kV penyulang Kentungan 2 Yogyakarta dengan menggunakan ATP. Diawali
dengan memodelkan saluran tersebut menjadi rangkaian ekivalen seperti Gambar 4

Gambar 4. Rangkaian ekivalen jaringan tegangan menengah 20 Kv penyulang Kentungan 2 Yogyakarta

Dari gambar tersebut, satu unit LCC mewakili saluran distribusi 20 kV 3 fasa 4 kawat
dengan panjang yang berbeda-beda, yaitu:
1. Antara A dan B panjangnya 2,44 km
2. Antara B dan C panjangnya 0,90 km
3. Antara C dan D panjangnya 1,30 km
4. Antara D dan E panjangnya 0,65 km
5. Antara E dan F panjangnya 0,20 km
6. Antara F dan G panjangnya 2,00 km
7. Antara B dan H panjangnya 0,10 km
8. Antara C dan I panjangnya 2,44 km
9. Antara D dan J panjangnya 2,44 km
10. Antara E dan K panjangnya 2,44 km
11. Antara F dan L panjangnya 2,44 km

7
Kemudian dilanjutkan dengan simulasi dengan memvariasikan lokasi sambaran,
tegangan puncak, waktu muka dan waktu ekor gelombang impuls petir. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat melalui diagram alir pada Gambar 5.

Gambar 5.Diagram alir penelitian

8
IV. HASIL PEMBAHASAN

Pada kenyataannya petir tidak bisa diprediksi.Petir bisa menyambar dimana saja dan
dengan spesifikasi gelombang impuls yang sangat bervariasi. Oleh karena itu, pada penelitian
ini, akan disimulasikan berbagai kondisi yang mungkin terjadi.

A. Variasi Lokasi Sambaran


Variable yang divariasikan pertama adalah lokasi sambaran petir. Dilakukan simulasi
sambaran petir di setiap titik yang sudah didefinisikan sebelumnya yaitu titik A hingga L.
Hingga diperoleh hasil nilai tegangan lebih surja petir di seluruh titik pengukuran (A hingga
L). Sebagai bahan untuk perhitungan, diambil sebuah nilai yaitu ketika petir menyambar fasa
C di titik B. Kemudian dilakukan pengukuran tegangan lebih fasa C di titik A. Dari hasil
simulasi dengan ATP diperoleh nilai tegangan lebih surja petir yang timbul sebesar 67048 V.
Nilai tersebut bisa dihitung dengan teori gelombang berjalan dan gelombang pantul maka harus
menghitung nilai indutansi dan kapasitansi saluran terlebih dahulu. Nilai induktansi dan
kapasitansi saluran bisa kita hitung jika kita tahu nilai d1, d2, dan d3 pada Gambar 6.

Gambar 6. Konfigurasi kawat jaringan distribusi 3 fasa 4 kawat


tampak depan yang terpisah jarak d1, d2, dan d3

Jaringan distibusi tegangan menengah 20 kV penyulang Kentungan 2 menggunakan kawat


dengan spesifikasi:

9
Setelah diketahui nilai induktans dan kapasitans saluran, maka bisa dihitung nilai
impedans karakteristiknya (Zc).

Nilai koefisien pantul di ujung penerima bisa dihitung dengan persamaan 2.6, dengan
asumsi nilai impedans di ujung penerima adalah impedans standar (default) yang diberikan
oleh ATP sama yaitu 500 Ω, maka :

Jika dibandingkan dengan hasil simulasi dengan ATP yang bernilai 67.048 kV maka
error yang terjadi sebesar

10
Hasil lain yang diperoleh yaitu lokasi sambaran petir yang menghasilkan tegangan lebih
surja petir yang paling tinggi di tiap fasanya seperti yang tampak pada Tabel 1.

TABEL 1.LOKASI SAMBARAN PETIR DENGAN TEGANGAN LEBIH SURJA PETIR TERTINGGI DI TIAP FASA

Disisi lain, fasa A dan B akan mengalami tegangan lebih yang disebabkan oleh induksi
elektromagnetik, kopling kapasitif, dan beberapa faktor lain. Induksi elektromagnetik
disebabkan oleh adanya arus yang mengalir di fasa C akibat sambaran petir, Ketika ada arus
mengalir pada sebuah penghantar, maka akan timbul fluks magnet dan menginduksi
penghantar lain di dekatnya. Sedangkan kopling kapasitif disebabkan oleh timbulnya
kapasitansi karena adanya perbedaan tegangan antara dua penghantar (antar fasa) yang terpisah
oleh udara (bahan dielektrik) atau bisa disebut dengan stray capacitors.

B. Variasi Tegangan Puncak Gelombang Impuls Petir


Variabel kedua yang divariasikan dalam simulasi ini adalah tegangan puncak
gelombang impuls petir.tidak semua lokasi sambaran disimulasikan lagi dengan tegangan
puncak gelombang impuls petir yang berbeda. Dari hasil simulasi dengan variasi lokasi
sambaran sebelumnya diperoleh lokasi sambaran dengan nilai tegangan lebih surja petir yang
paling tinggi di setiap fasanya seperti yang ditunjukkan Tabel 1.Hasilnya bisa
dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Grafik pengaruh perubahan tegangan puncak petir terhadap tegangan lebih surja petir

11
Hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan tegangan puncak gelombang impuls petir akan
menyebabkan kenaikan tegangan lebih surja petir yang bersifat linear. Hal ini disebabkan
karena jaringan dalam kondisi tidak bertegangan sehingga ketika tegangan puncak sambaran
petir naik, tegangan lebih juga akan meningkat. Kondisi ini berlaku untuk semua kondisi dan
lokasi baik untuk sambaran langsung maupun tidak langsung (tegangan lebih surja petir akibat
induksi). Standard PT. PLN menyebutkan bahwa BIL untuk trafo distribusi adalah 125 kV,
maka system proteksi petir untuk jaringan distribusi tegangan menengah 20 kV harus mampu
mengatasi sambaran petir langsung dengan tegangan puncak 70 kV (menimbulkan tegangan
lebih sebesar 146 kV) dan sambaran petir tidak langsung dengantegangan puncak 140 kV
(menimbulkan tegangan lebih sebesar 127-139 kV). Karena tegangan lebih surja petir yang
timbul dari hasil simulasi menunjukkan nilai yang melebihi BIL.

C. Variasi Waktu Muka


Masih dengan asumsi yang sama, yaitu menggunakan lokasi dimana diperoleh nilai
tegangan lebih surja petir yang tertinggi di tiap fasanya, maka dilakukan simulasi selanjutnya
dengan memvariasikan nilai waktu muka gelombang impuls petir. Waktu muka divariasikan
dengan nilai mulai dari 0,5-30 µs. Sedangkan waktu ekor tetap sesuai dengan standar IEC yaitu
50 µs (Arismunandar, 2001). Hasil simulasi, digambarkan dalam bentuk grafik seperti di
tunjukkan pada Gambar 8

Hasilnya menunjukkan bahwa Kenaikan waktu muka dimulai dari 10 µs akan


menurunkan tegangan lebih surja petir yang timbul, sebelum itu kenaikan waktu muka akan
meningkatkan tegangan lebih surja petir yang timbul.Hal ini disebabkan karena waktu muka
yang singkat membuat osilasi yang terjadi belum maksimal. Sedangkan ketika waktu

12
mukalebih besar dari 10 µs, membuat gelombang impuls secara keseluruhan akan semakin
landai sehingga osilasi yang terjadi juga tidak maksimal.

D. Variasi Waktu Ekor


Variable terakhir yang divariasikan dalam tugas akhir ini adalah waktu ekor gelombang
impuls petir. Waktu ekor gelombang impuls petir divariasikan dari 25 µs-10 ms. Dengan nilai
waktu muka tetap sesuai standar IEC yaitu 1,2 µs.Skenario yang digunakan pada simulasi ini
juga masih sama yaitumenggunakan lokasi dimana diperoleh nilai tegangan lebih surja petir
yang tertinggi di tiap fasanya. Hasilnya ditampilkan melalui grafik garis pada Gambar 9.

Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan nilai tegangan lebih surja petir sebanding
dengan perubahan waktu ekor gelombang impuls petir.Semakin besar nilai waktu ekor
gelombang impuls petir menyebabkan nilai tegangan lebih surja petir juga meningkat.Hal ini
disebabkan karena waktu ekor yang panjang akan menghasilkan osilasi yang lama sehingga
amplitude puncaknya akan lebih besar. Layaknya memberikan kesempatan lebih lama untuk
gelombang impuls petir membentuk osilasi.Kondisi ini terjadi pada semua fasa baik A, B,
maupun C.

13
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa diperoleh dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Sambaran petir pada jaringan distribusi tegangan menengah 20 kV baik secara langsung
maupun tidak langsung, akan menimbulkan tegangan lebih surja petir di sepanjang
saluran tersebut.
2. Tegangan lebih surja petir paling tinggi yang timbul di fasa A terjadi di titik K ketika
petir menyambar titik E yaitu 31875 V, di fasa B terjadi di titik L ketika petir menyambar
titik F yaitu 34931 V, dan di fasa C terjadi di titik A ketika petir meynabar titik C yaitu
73365 V.
3. Kenaikan tegangan puncak gelombang impuls petir akan meningkatkan tegangan lebih
surja petir secara linear. Hal ini disebabkan karena jaringan dalam kondisi tidak
bertegangan sehingga ketika tegangan puncak sambaran petir naik, tegangan lebih juga
akan meningkat.
4. Kenaikan waktu muka dimulai dari 10 µs akan menurunkan tegangan lebih surja petir
yang timbul, sebelum itu kenaikan waktu muka akan meningkatkan tegangan lebih surja
petir yang timbul. Hal ini disebabkan karena waktu muka yang singkat membuat osilasi
yang terjadi belum maksimal. Sedangkan ketika waktu mukalebih
besar dari 10 µs, membuat gelombang impuls secara keseluruha akan semakin landai
sehingga osilasi yang terjadi juga tidak maksimal.
5. Semakin lama waktu ekor sebuah gelombang impuls petir, akan meningkatkan tegangan
lebih surja petir yang timbul. Hal ini disebabkan karena waktu ekor yang panjang akan
menghasilkan osilasi yang lama sehingga amplitude puncaknya akan lebih besar.

14
B. Saran

Beberapa saran yang bisa penulis sampaikan berdasarkan penelitian ini adalah:

1. Ada jenis konfigurasi jaringan distribusi lain yang ada di Indonesia seperti
konfigurasi loop yang mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga tegangan
lebih surja petir yang timbul juga akan berbeda.
2. Selain jenis jaringan distribusi 3 fasa 4 kawat, masih ada jenis 3 fasa 3 kawat yang
akan mengasilkan karakteristik tegangan lebih surja petir yang berbeda pula.

15
DAFTAR PUSTAKA

[1] Hermawan, A. D. (2010). Optimalisasi Sistem Penangkal Petir Eksternal


Menggunakan Jenis Early Streamer (Studi Kasus UPT LAGG BPPT). Jakarta:
Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

[2] Stevenson, W. D. (1990). Analisis Sistem Tenaga Listrik. Jakarta: Penerbit Erlangga.

[3] Yuniarto. (2002). Analisis Tegangan Lebih Transien Karena Proses Pemberian Tenaga
Pada Saluran Transmisi 500 kV Dengan Menggunakan EMTP. Semarang: Program
Studi Diploma III Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

[4] BMKG, B. M. (2010). Petir. Retrieved Oktober 12, 2013, from Badan Meteorolodi,
Klimatologi dan Geofisika:
http://www.bmkg.go.id/RBMKG_Wilayah_10/Geofisika/petir.bmkg

[5] PT PLN, P. (2010). Buku 1 Kriteria Disain Enjinering Konstruksi Jaringan Distribusi
Tenaga Listrik. Jakarta: PT PLN (Persero).

[6] Arismunandar, A. (2001). Teknik Tegangan Tinggi. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

[7] Herman W., a. D. (1996). Electromagnetic Transient Program. Vancouver, Canada..

16

Anda mungkin juga menyukai