Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KEBIJAKAN POLITIK ATAS KEGIATAN

IMPOR GARAM PADA EKONOMI INDONESIA

Dosen Pengampu :

Dra. Margaretha Suryaningsih, MS

Disusun oleh :

Faisal Azis Ramadhan ( 21030118140133)

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mendefiniskan Ekonomi Politik berarti eksplorasi interface antara ‘pasar dan negara’
dengan ‘kapital dan kekuasaan’. Secara garis besar ekonomi politik menggambarkan tentang
pemerataan dan menekankan efisiensi, bukan sekedar pertumbuhan. Dalam ekonomi politik
objek studinya adalah bagaimana mengorganisasikan proses produksi dan redistribusi
dibawah aturan yang dibuat dan diterapkan oleh negara. Dengan kata lain, objek studi
ekonomi politik tidak hanya tentang bagaimana kemakmuran ditingkatkan, tetapi juga
bagaimana produksi, distribusi dan konsumsi kemakmuran itu diorganisasikan. Selain itu,
ekonomi politik mengupayakan peran lembaga sosial dan politik, kekuasaan dan manisfestasi
sosio kultural dalam kehidupan ekonomi dengan demikian lembaga yang dipakai manusia
tersebut memproduksi kemakmuran.
Pendekatan ekonomi politik diperlukan untuk analisis kebijakan publik dikarenakan
bila berbicara mengenai kebijakan publik juga berbicara mengenai urusan kultural, ekonomi,
politik, sosial dan lain sebagainya. Dalam hal ini akan melibatkan dan mempertimbangkan
berbagai aspek dan faktor. Sehingga kebijakan publik itu harus bersifat logis (bisa dipahami
dalam sebab akibat) dan emperical support (didukung oleh bukti-bukti). Dengan melakukan
pendekatan ekonomi politik akan memberikan sensitivitas atau kepekaan terhadap setiap
kebijakan yang menghasilkan dampak positif atau dampak negatif karena setiap kebijakan
tidak akan memuaskan semua pihak, selalu ada yang merasa dirugikan atau diuntungkan,
terutama untuk dampak negatif sekiranya dapat diantisipasi dan dikelola dengan baik.
Sebagai contoh, isu strategis mengenai “impor garam” yang terjadi beberapa tahun
belakangan.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana dampak dari kegiatan impor impor di Indonesia yang sedang tidak
baik atas pelaksanaannya?
b. Bagaimana solusi atas kebijakan impor saat ini yang mengandung pro dan
kontra?
BAB II
PEMBAHASAN

Jakarta - Indonesia adalah negara kepulauan dengan panjang garis pantai terpanjang di
dunia mencapai 99.093 km. Dengan garis pantai sepanjang itu, kok RI masih impor garam?
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita blak-blakan soal alasan Indonesia masih impor
garam meskipun punya garis pantai terpanjang di dunia.Menurut Enggar, ada 2 faktor utama
yang menyebabkan produksi garam Indonesia tak mampu memenuhi kebutuhan nasional
sehingga mengharuskan pemerintah melakukan impor.Pertama adalah iklim atau cuaca di
Indonesia yang dianggap kurang mendukung untuk memproduksi garam."Kita (Indonesia)
iklim kita, di Jawa ini hujan itu 4 sampai 5 bulan dalam setahun," ujar Enggar dalam blak-
blakan di kantor detikcom, Jakarta, Kamis (13/9/2018).Kondisi ini jauh berbeda dengan
wilayah di belahan bumi lain seperti Darwin yang hanya hujan satu bulan dalam
setahun.Faktor lainnya adalah kualitas air laut alias tingkat kemurnian air laut yang menjadi
bahan baku utama untuk memproduksi garam. Wilayah sentra produksi garam seperti
Cirebon misalnya, kualitas garamnya kurang maksimal lantaran kualitas air lautnya yang
kotor karena sudah banyak tercemar."Mana mungkin (menghasilkan garam berkualitas), coba
lihat lautnya saja cokelat," jelas pria 66 tahun ini. Punya Garis Pantai Terpanjang di Dunia,
Kok RI Impor Garam?

Foto: Sudirman Wamad


Sehingga menurutnya, panjang garis pantai tak bsa jadi patokan RI bisa meniadi
produsen garam terbesar di dunia."Jadi memang areal (pertambakan garam) itu tidak
ditentukan panjang garis pantai. Tapi apakah mungkin atau tidak (menjadi sentra produksi
garam)? Di situ dilihat dari iklim," tutur dia.Meski demikian, bukan berarti Indonesia bakal
selamanya menjadi budak impr garam. Ada cara lan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan
produksi garam nasional, salah satunya adalah menetapkan lokasi yang tepat untuk dijadikan
sentra roduksi garam.Salah satu wilayah yang paling mungkin jadi sentra produksi garam
adalah Nusa Tenggara Timur."Yang paling efektif dan yang paling memungkinkan adalah dari
NTT," jelas Enggar.NTT memiliki dua faktor utama yang paling memungkinkan untuk
menjadi sentra produksi garam nasional. Pertama adalah iklim cuaca.
"Di Timor, satu tahun dua bulan setengah hujan. Kemudian di Flores satu tahun 3
bulann hujan," jelas dia.

Begitulah salah satu pendapat dari menteri perdagangan saat diwawancarai. Berbicara
mengenai Impor memang tiada habisnya. Terutama Impor garam. Hal ini berkaitan dengan
kurangnya stock garam di Indonesia lengkap dengan berbagai polemiknya. Kebutuhan akan
garam konsumsi sebanyak 1,4 juta ton sedang untuk garam industri 1,6 juta ton, maka total
untuk kebutuhan garam di Indonesia kurang lebih sebanyak 3 juta ton. Namun mirisnya, pada
tahun 2010 saja produksi garam Indonesia hanya mampu menembus angka sekitar 30.000
ton. Oleh karena itu, Kementrian Perdagangan memutuskan untuk mengimpor garam
beberapa tahun terakhir ini.
Kebijakan ini hadir dengan pro dan kontra. Yang pro berpendapat bahwa benar memang
impor harus dilakukan guna menjaga stabilitas harga dan kebutuhan dalamnegeri. Selain itu,
kualitas garam yang diimpor dari luar negeri pun mempunyai kualitas yang baik khususnya
bagi kebutuhan garam industri. Mau dari mana kita memenuhi jutaan ton kekurangan garam
jika bukan dari impor? Berbeda dengan yang kontra, berargumen dengan latar belakang
geografis Indonesia yang didominasi oleh lautan, namun sungguh memalukan untuk garam
saja harus diimpor. Selain itu ketidakberpihakan pada petani pun menjadi alasan bahwa
pemerintah lebih berpihak kepada importir daripada petani yang akhir-akhir ini kebingungan
karena anomali cuaca.
Menarik memang pro dan kontra ini. Menurut saya, dalam masalah ini, kebijakan
impor itu sah-sah saja jika dilakukan situasional, maksudnya tergantung bagaimana kondisi
dalam negeri akan garam. Jika memang kenyataannya Indonesia membutuhkan tambahan
garam dari luar negeri karena dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Apabila hal ini tidak dilakukan maka harga dari garam bisa tidak stabil. Jadi untuk jangka
pendek saya setuju dengan impor garam tersebut dan menyayangkan sikap beberapa pihak
yang cenderung anti dengan yang namanya ‘impor’. Namun pendapat pihak kontra pun ada
benarnya. Saya berfikir jika memang petani sudah tidak mampu memproduksi garam untuk
dalam negeri, kewajiban pemerintah bukan hanya menyelamatkan stabilitas bahan pangan
tersebut dengan impor, melainkan mencarikan solusi yang efektif dan produktif agar bisa
bersama-sama keluar dari masalah garam ini. Misalnya dengan pembangunan lahan
pembuatan garam dan lain-lain. Maka harapannya, impor garam tersebut adalah kebijakan
perdagangan jangka pendek bukan jangka panjang, demi kemandirian dan kesejahteraan
petani Indonesia. Belum selesai masalah pro kontra impor garam tersebut. Awal tahun 2011
ini pembebasan bea masuk impor garam menjadi berita baru yang ramai diperdebatkan.
Pembebasan mengenai bea masuk pangan tersebut bukan tanpa alasan, pertama,
pemerintah berharap pembebasan bea masuk garam tersebut dapat membantu pengusaha
yang mengalami tekanan bahan baku impor karena adanya lonjakan harga di pasar
internasional. Kebijakan bea masuk pangan dan pupuk akan disesuaikan dengan harga
komoditas di pasar internasional. Oleh karena itu, peraturan menteri keuangan itu
menyebutkan, jika harga komoditas pangan dan pupuk di dalam negeri tidak lagi
membutuhkan kebijakan stabilisasi harga, 57 pos tarif keempat komoditas pangan itu akan
dikenakan bea masuk sebesar 5% yang rencananya akan diterapkan mulai 1 Januari 2012.
Saya setuju dengan hal ini bahwasanya kebijakan dilakukan sesuai dengan situasi dan
kondisi, karena pada dasarnya kebijakan pembebasan bea masuk sejumlah barang
dimaksudkan untuk menjaga daya saing industri domestik, meskipun kebijakan itu berpotensi
menurunkan pendapatan negara.
Isu strategis mengenai “impor garam” yang terjadi beberapa tahun belakangan.
Kebijakan yang ada di Indonesia mengenai “impor garam” mengakibatkan petani garam
indonesia terpuruk dengan situasi ini. Pada desember tahun 2015 harga garam perkilo hanya
mencapai Rp. 200, inilah titik terendah harga garam yang dirasakan oleh petani garam lokal.
Hal ini terjadi karena membludaknya garam impor di Indonesia yang disertai dengan
penurunan permintaan garam lokal. Padahal sudah ada harga patokan yang ditetapkan oleh
pemerintah sebesar Rp. 750/Kg. Untuk saat ini, kebijakan yang diambil oleh pemerintah
hanya mengijinkan satu pabrik importir yakni PT. Garam dan menutup impor garam sampai
musim panen.
Dengan menggunakan kerangka pendekatan ekonomi politik kasus impor garam ini
dapat dianalisis terdapat konflik kepentingan dalam kebijakan impor garam. Menurut teori
proses pemilihan alternatif dipengaruhi oleh tiga variabel yakni nilai, kepentingan dan
kekuasaaan.
Perlu dipahami bahwa kebijakan publik bukan sekedar permasalahan teknik, tetapi
juga non teknikal. Artinya tetap mempertahankan dimensi sosial (hubungan antara manusia).
Didalamnya juga terdapat nilai, apakah didalam proses kebijakan impor garam tersebut
dilakukan atas dasar nilai yang mengutamakan ‘persaingan’ atau atas dasar yang
mengutamakan ‘kerjasama’. ‘Persaingan’ dalam hal ini menekankan pada ketimpangan harga
garam dari petani garam dengan harga garam dipasar adalah suatu keadaan yang memang
tidak terelakan, sedangkan ‘kerjasama’ dalam hal ini menekankan pada memfokuskan pada
pemerataan, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi petani garam lokal.
Berikutnya, masalah kepentingan menyangkut siapa yang diuntungkan dan dirugikan
atas kebijakan impor garam. Menurut (Baihaki, 2013) kepentingan merupakan suatu tujuan
atau sesuatu yang ingin dicapai oleh aktor-aktor tertentu yang terlibat dalam sistem politik.
Dengan menggunakan suatu kebijakan tertentu, aktor-aktor tersebut berharap kepentingannya
bisa tercapai atau terpenuhi. Kepentingan aktor tersebut bisa tercermin dalam usulan
kebijakan atau tindakan yang akan diambil oleh pemerintah. Suatu aktor akan
memperjuangkan kebijakan tertentu agar kepentingannya bisa tercapai. Dalam kasus impor
garam, kepentingan yang diuntungkan adalah para importir garam dan semakin mendesak
posisi petani garam lokal.
Variabel terakhir yakni kekuasaan. Kekuasaan yang berkuasa dalam kasus impor
garam adalah kekuasaan PT. Garam dikarenakan konflik antara PT. Garam (perusahaan
importir), kementerian-kementerian dan asosiasi petani garam pada akhirnya menghasilkan
kebijakan yang lebih mengakomodasi kepentingan perusahaan importir. Meskipun kebijakan
impor garam lahir atas keadaan desakan kebutuhan garam untuk industri yang belum bisa
dipenuhi oleh pemerintah sehingga mengharuskan untuk mengimpor garam, tetapi perlu
menjadi pertimbangan pemerintah petani garam lokal masih bisa memenuhi kebutuhan garam
konsumsi. Kenyataan dilapangan, harga garam lokal jatuh dikarenakan ada penumpukan
garam impor sehingga harga garam lokal jatuh.
Pemerintah memberikan izin impor garam industri sebesar 3,7 juta ton untuk tahun
2018. Pemerintah juga mempermudah pengaturan impor garam industri sehingga pengusaha
lebih mudah memasukkan garam industri dari luar negeri.
Keputusan ini dihasilkan dari rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Jumat (19/1). Kuota impor ini diberikan karena kebutuhan garam industri
berbeda dibandingkan garam rakyat. Kuota impor juga disesuaikan dengan kebutuhan
industri pada tahun ini, sehingga tidak terjadi keterlambatan pasokan.
Rapat itu juga memutuskan, importir garam industri tidak perlu menunggu
rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan. Proses impor akan dilakukan oleh masing-
masing industri setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri Perindustrian, dan izin impor
dari Menteri Perdagangan. "Impor 3,7 juta ton ini tidak sekaligus, akan bertahap, tergantung
kemampuan dan kebutuhan bulanan," terang Menteri Koordinator Perekonomian Darmin
Nasution, usai rapat, kemarin (19/1).
Kuota tersebut meningkat pesat dibandingkan realisasi impor garam industri tahun
2017. Badan Pusat Statistik mencatat, impor garam industri hingga November 2017 mencapai
2,12 juta ton atau senilai US$ 68,88 juta. "Keputusan kuota ini sudah memperhatikan
rekomendasi Kementerian Perindustrian dan BPS," jelas Darmin.
Adapun rekomendasi dari Menteri Perikanan dan Kelautan dihilangkan karena selama
ini model rekomendasi tersebut malah menghambat. Kementerian Kelautan dan Perikanan
punya data berbeda dengan Kementerian Perindustrian, sehingga rekomendasi impor tak
sinkron.

Teguran investor
Di sisi lain, kebutuhan garam untuk industri tidak boleh terganggu. Hal tersebut diatur
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 41 tahun 2015 serta berdasarkan Undang-Undang
(UU) Perindustrian, UU Investasi dan UU Perdagangan. Apalagi, garam dari dalam negeri
tidak bisa memenuhi kebutuhan industri, karena semua produksi lokal terserap untuk
konsumsi.
"Tahun lalu terjadi penundaan karena masalah rekomendasi sehingga beberapa
investor termasuk negara yang terkait dengan investasi Indonesia sudah melayangkan surat,"
terang Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam
Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk berpendapat, kebijakan impor garam industri sudah tepat.
Kuota yang diberikan juga sesuai dengan kebutuhan industri. "Angka kebutuhan garam
industri 3,7 juta ton, itu data dari AIPGI," ujar Tony.

Industri yang menggunakan garam sebagai bahan baku, antara lain farmasi, petrokimia,
industri kaca, dan industri makanan dan minuman. Berdasarkan Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) Nomor 125 tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam, garam
dibagi menjadi dua jenis. Kedua jenis tersebut adalah garam konsumsi dan garam industri
yang digunakan untuk kebutuhan bahan baku industri.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dengan menggunakan kerangka pendekatan ekonomi politik kasus impor garam ini
dapat dianalisis terdapat konflik kepentingan dalam kebijakan impor garam. Menurut teori
proses pemilihan alternatif dipengaruhi oleh tiga variabel yakni nilai, kepentingan dan
kekuasaaan.
Perlu dipahami bahwa kebijakan publik bukan sekedar permasalahan teknik, tetapi
juga non teknikal. Artinya tetap mempertahankan dimensi sosial (hubungan antara manusia).
Didalamnya juga terdapat nilai, apakah didalam proses kebijakan impor garam tersebut
dilakukan atas dasar nilai yang mengutamakan ‘persaingan’ atau atas dasar yang
mengutamakan ‘kerjasama’. ‘Persaingan’ dalam hal ini menekankan pada ketimpangan harga
garam dari petani garam dengan harga garam dipasar adalah suatu keadaan yang memang
tidak terelakan, sedangkan ‘kerjasama’ dalam hal ini menekankan pada memfokuskan pada
pemerataan, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi petani garam lokal.

3.2. Saran
Suatu kebijakan akan berdampak positif jika institusinya tepat. Kebijakan impor
garam akan berdampak baik jika institusi (kementerian-kementerian) menjalankannya dengan
tepat. Kementerian-kementerian seharusnya mengatur lebih tegas mengenai impor garam
tidak dilakukan jika pada waktu masa panen garam lokal. Kurangnya koordinasi pemerintah
dengan asosiasi petani garam lokal semakin membuat kebijakan garam lebih berpihak pada
importir dan membuat pemerintah terlihat tidak melindungi petani garam lokal.

SUMBER :
 Amri, Qayum.2011.Pemerintah Hentikan Impor Garam. http://www.indonesiafinance
today.com/read/14079/Pemerintah-Hentikan-Impor-Garam#
 Sigit.2011.Nasib Petani Kebijakan yang Tak Berpihak. http://www.businessreview.co.i
d/
 Baihaki, Lukman. 2013. Ekonomi-Politik Kebijakan Impor Garam Indonesia Periode
2007-2012. Yogyakarta : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 1
 Mas’oed, Mohtar. 2002. Bahan Kuliah Ekonomi Politik Pembangunan. Yogyakarta:
Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada
 Caporaso, James A. David P. Levine. 1992. Theories of Political Economy.
Cambridge University Press, Cambridge.
 http://kanopi-febui.org/2015/08/19/polemik-impor-garam-di-indonesia/
 https://nasional.kontan.co.id/news/impor-garam-industri-dipermudah
 http://library.uinsby.ac.id/?p=2884

Anda mungkin juga menyukai