Anda di halaman 1dari 2

[9/7 11.

52] Kresnady: Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan
bahwa pasal 158 UU Pilkada Serentak sudah seharusnya dihapuskan.

Adanya pembatasan angka untuk melayangkan gugatan sengketa perselisihan hasil


pilkada, merupakan tindakan yang menghalangi pencari keadilan.

"Pasal ini sudah sangat menghalangi orang mencari keadilan. Makanya sudah
seharusnya ini dihapus atau setidaknya ada pihak yang menggugat pasal ini," kata
Yusril di Kantornya, Jakarta, Rabu (8/3/2017)

Dampaknya, urainya, akan sangat signifikan, pembatasan selisih hasil dalam pilkada,
akan membuat pasangan calon justru akan melakukan kecurangan secara paripurna.

Pasangan calon, harus mengeluarkan kecurangan ekstra agar selisih perolehan suara
di luar angka-angka yang tertera dalam pasal tersebut.

"Jika pasangan calon merupakan petahana, ya sudah kerahkan saja ASNnya atau
aparatnya. Sehingga MK nantinya tidak akan melihat hal-hal seperti itu," jelasnya.
[9/7 11.54] Kresnady: Pakar Tata Negara Usulkan Kompilasi UU Pemilu

OLEH: TEMPO.CO

MINGGU, 1 JUNI 2014 06:45 WIB

Sejumlah petugas KPPS di TPS 35 Karangsari melakukan penghitungan suara dalam


Pilkada kota Tangerang, di Neglasari, Tangerang, Banten (31/8). ANTARA/Lucky.R

TEMPO.CO, Padang - Pakar tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra,
mengatakan aturan penyelenggaraan pemilu serentak harus secepatnya dibahas dan
disahkah. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilihan umum anggota
legislatif dan pemilihan presiden harus serentak pada 2019.

"Agar persiapannya matang sebelum tahun 2019," ujarnya di sela Konferensi Nasional
Hukum Tata Negara dan Anugerah Konstitusi Mohammad Yamin di Sawahlunto, Sabtu, 31
Mei 2014.

Menurut dia, pilkada juga harus dilakukan serentak, sehingga bisa dilakukan
kompilasi Undang-Undang Pemilu. Kompilasi ini akan mencakup aturan tentang pemilu
legislatif, pemilihan presiden, pilkada, dan penyelenggaraan pemilu. "Sehingga
terbentuk kitab Undang-Undang Pemilu," ujarnya.

Saldi berharap DPR dan pemerintah mulai membahas kompilasi UU Pemilu ini sejak awal
2015. "Paling lama akhir 2015 sudah selesai," ujarnya.

Pelaksanaan pemilu serentak menjadi solusi untuk pemecahan masalah mahalnya biaya
pelaksanaan pilkada. Menurut Saldi, jika pilkada dikembalikan ke DPRD, itu menjadi
hal yang keliru. "Masalahnya yang harus diselesaikan, di antaranya dengan mengubah
sistem," ujarnya.

Guru besar tata negara Unand ini mengatakan Sumatera Barat pernah mencoba pilkada
serentak. Hak ini menghemat 50 persen biaya. "Kritik anggaran yang besar bisa
terjawab dengan pemilu serentak," katanya.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro,
mengatakan keputusan MK tidak menyinggung masalah pilkada serentak. Padahal,
seperti halnya pemilu presiden dan legislatif, pilkada serentak sangat penting.
Sebab, pilkada serentak tak hanya mengurangi fragmentasi politik dalam masyarakat
dan mendorong pemilih bersikap rasional. Namun untuk mengefektifkan kontrol pemilih
terhadap partai politik dan menyeimbangkan beban pekerjaan penyelenggaran pemilu.
(Baca:Pilkada Serentak Mulai 2020)

Selain mengurangi biaya penyelenggaraan dan biaya politik, pilkada serentak juga
dapat mengurangi kesibukan partai politik dalam menangani konflik internal dan
mengiring partai politik menjalin hubungan dengan konstituen. "Ini bisa
memperbanyak kesempatan kader-kader partai politik berkompetesi, membentuk
pemerintahan yang solid dan efektif, membangun oposisi yang konstruktif, serta
menciptakan agenda politik lima tahunan yang jelas," ujarnya.

Menurut Siti, pilkada serentak juga dapat mengurangi jumlah calon secara signifikan
dan mempermudah pemilih untuk menjatuhkan pilihan. "Partai politik juga lebih mudah
menyiapkan calon-calon yang akan diajukan dalam pemilu," tuturnya dalam Seminar
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi
(Pusako) Unand.

Pilkada serentak akan meningkatkan daya kritis pemilih terhadap partai politik.
Jadi, partai tedorong untuk meningkatkan kinerjanya, agar tak dihukum pemilih
melalui pemilu.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie mengatakan pemilu


serentak bisa menjadi momentum untuk melakukan konsolidasi kebijakan dan sistem
pemilu ke depan. Dengan demikian, sistem demokrasi semakin sehat dan kredibel.

Menurut guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Indonesia, pemilu serentak
bisa berupa pemilihan presiden, gubernur, bupati/wali kota, serta anggota DPR, DPD,
dan DPRD. "Pilihan kedua yaitu pemilihan bertingkat," ujarnya saat pembukaan
Konferensi Nasional Hukum Tata Negara dan Anugerah Mohammad Yamin, Kamis lalu.
(Baca: Pilkada Serentak, Sengketa Akan Diselesaikan MA)

Jimly mengatakan, pada tingkat pertama pemilu bertingkat, dilakukan pemilu presiden
serta anggota DPR dan DPD. Tingkat kedua, pemilihan gubernur dan anggota DPRD
provinsi. Sedangkan tingkat ketiga, pemilihan bupati/wali kota dan DPRD
kabupaten/kota.

Mantan anggota MPR RI, Slamet Effendy, mengatakan pemilu serentak bisa mendorong
terbentuknya penyerdehanaan partai politik secara alamiah dan bertahap. Jadi, pada
pemilu 2019 nanti, peserta pemilu lebih sedikit. Begitu juga dengan DPR dan DPRD
yang diisi partai politki dalan jumlah kecil.

Menurut Slamet, putusan MK harus ditindaklanjuti dengan merevisi UU Pemilu atau


pembentukan UU baru, seperti UU tentang partai politik, penyelenggaran pemilu,
pilpres, dan pemilu legislatif.

"Apabila terjadi perbahan konstitusi, perlu dimasukkan rumusan serentak ke dalam


pasal atau ayat dalam bab pemiliham umum UUD 1945, agar terjamin konstitusional
yang lebih kuat," tuturnya.

Selain itu, kapasitas lembaga penyelenggara pemilu harus ditingkatkan. Secara


sistem, yang harus ditingkatkan adalah organisasi dan kepemipinannya, agar mampu
mengemban tugas secara optimal.

Anda mungkin juga menyukai