Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit infeksi kronis yang menjadi
masalah kesehatan dan perhatian dunia. Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi oleh bakteri ini, sehingga merupakan salah satu masalah dunia (Depkes RI,
2009).1
Data dari WHO (2005), angka prevalensi tuberkulosis paru di Indonesia 1,3 per
1000 penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ke tiga setelah
penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan. Dilaporkan bahwa pada tahun
2009 terdapat sebanyak 660 ribu kasus TB di Indonesia dengan penemuan 430 ribu
kasus baru dan jumlah kematian akibat TB sebanyak 61 ribu kasus.2
Perlu diketahui bahwa selain itu di negara dengan prevalens TB paru yang
tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang sembuh setelah pengobatan TB, namun
pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada
aktivitas, radiologi menunjukkan gambaran bekas tuberkulosis paru (fibrotik,
kalsifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan
napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori
penyakit sindrom obstruksi pasca tuberkulosis (SOPT) dengan gejala dan tanda mirip
dengan PPOK.2 Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang
melibatkan neutrofil, makrofag dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator
inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel structural dalam saluran udara dan parenkim
paru.1,2
Adapun pathogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada
penelitian terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang
dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi mekanisme

1
makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan
yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru berupa adanya sputum,
terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi menurun, perubahan postur tubuh,
berat badan menurun dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal.1,2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Paru
Paru-paru dikelilingi oleh dinding dada. Dinding dada terdiri daripada iga
dan otot-otot antara iga. Paru-paru dipisahkan oleh mediastinum, dimana terletaknya
jantung dan organ-organ lain. Di bawah paru-paru, terletaknya diafragma, iaitu
lapisan otot tipis yang memisahkan rongga dada dari perut.2,3

Gambar 2.1. Anatomi Paru

Pleura
Paru-paru dibungkus oleh lapisan pleura yang dibagi menjadi 2 jenis
yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Pleura viseral adalah pleura yang menempel
erat pada dinding paru sedangkan pleura parietal adalah pleura yang tidak menempel
langsung pada paru. Pleura parietal lebih tebal dibanding pleura viseral. Di antara
pleura visceral dan pleura parietal terdapat rongga yang disebut kavum pleura. 2,3

Paru
Paru-paru dibagi menjadi 2 yaitu paru kanan dan paru kiri. Di paru
kanan terdiri dari 2 fissura: fissure horizontal dan fissura oblique yang membahagi
paru kepada 3 lobus yaitu: lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Paru

3
kanan lebih luas dan pendek karena dome diafragma kanan lebih tinggi dibanding
dome diafragma kiri. Paru kiri terdiri dari 1 fissura yaitu fissura oblique dan 2 lobus.
Fissura oblique terletak di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri. Di batas
anterior paru kiri terdapat deep cardiac notch karena deviasi apeks jantung ke arah
kiri. 2,3

Bronkus
Bronkus terdiri dari dua bagian yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.
Di setiap bronkus akan terbentuk lobar bronkus sekunder, dua di kiri dan tiga di
kanan. Setiap lobar bronkus sekunder akan bercabang menjadi tertiary segmental
bronchi yang kemudian akan membentuk bronkiolus. Di akhir brokiolus, terdapat
jutaan kantung kecil udara yang disebut alveoli. Alveoli diselaputi oleh kapiler dan
memiliki dinding yang tipis. Fungsi alveoli adalah untuk mentransportasi udara dan
memastikan terjadinya pertukaran gas. 2,3,4,5

Perdarahan
Setiap paru mempunyai satu arteri pulmonari dan dua vena pulmonari. Arteri
pulmonari akan membawa darah yang kadar oksigennya kurang ke paru dan vena
pulmonari akan mengalirkan darah yang mempunyai kadar oksigen yang tinggi dari
paru ke jantung. Arteri bronkial menyuplai darah untuk kebutuhan metabolisme.
Arteri bronkial merupakan cabang dari aorta torakalis. Vena bronkial kanan
mengalirkan darah ke vena azygos dan vena bronkial kanan mengalirkan darah ke
vena hemiazygos atau vena superior intercostalis kiri. 2,3,4,5

Aliran Getah Bening


Terdapat beberapa kumpulan nodus limfa yang merupakan bagian dari
sistem limfatik, drainase cairan yang diproduksi oleh paru. 2,3,4,5
- Nodus bronkial: kelenjar getah bening di sekitar bronkus utama

4
- Nodus hilus: kelenjar getah bening di daerah di mana trakea terbagi
menjadi bronkus utama
- Nodus mediastinal (Superior): kelenjar getah bening di bagian atas
mediastinum
- Nodus mediastinal subkarinal : kelenjar getah bening di bawah trakea
dimana trakea terbagi menjadi bronkus utama
- Nodus mediastinal (Inferior) : kelenjar getah bening di bagian bawah
mediastinum.

B. Fisiologi Paru
Fungsi utama paru-paru adalah untuk pertukaran gas. Udara masuk ke mulut
atau hidung ke trakea, bronki dan bronkiolus dan akhirnya alveoli. Di alveoli terjadi
pertukaran gas antara alveoli dan darah di kapilari pulmonari dan sebaliknya. Oksigen
akan berdifusi dari alveoli ke aliran darah sedangkan karbon dioksida akan berdifusi
ke alveoli dari aliran darah. Saat inspirasi, terjadi pertukaran gas untuk menggantikan
oksigen yang telah masuk ke dalam aliran darah dan karbon dioksida yang ada di
alveolus. 2,3,4,5
Paru juga memainkan peranan dalam sistem pertahanan tubuh. Apabila
terdapat benda asing yang masuk ke dalam bronki akan terjadi refleks bronkial
konstriksi dan batuk. Di epitelium saluran nafas satu pertiga dari anterior hidung
bronkiolus terdapat silia dan periciliary fluid. Dibahagian atas silia dan
periciliaryfluid dapat dijumpai lapisan mukus yang fungsinya untuk memerangkap
dan mengeluarkan benda asing dengan bantuan silia. 2,3,4,5
Fungsi paru adalah tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida pada
pernafasan melalui paru/pernafasan eksterna. Tubuh melakukan usaha memenuhi
kebutuhan O2 untuk proses metabolisme dan mengeluarkan CO2. 2,3,4,5

5
1. Ventilasi
Sebagai hasil metabolisme dengan perantara organ paru dan saluran napas bersama
kardiovaskuler sehingga dihasilkan darah yang kaya oksigen. Terdapat 3 tahapan
dalam proses respirasi, yaitu: Proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta
keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar. Alveoli yang sudah
mengembang tidak dapat mengempis penuh karena masih adanya udara yang tersisa
didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat.
Volume udara yang tersisa ini disebut dengan volume residu. Volume ini penting
karena menyediakan O2. 2,3,4,5

2. Difusi
Dalam alveoli untuk menghasilkan darah. Proses berpindahnya oksigen dari alveoli
ke dalam darah, serta keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli. Dalam keadaan
beristirahan normal, difusi dan keseimbangan antara O2 di kapiler darah paru dan
alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup cadangan waktu
difusi. 2,3,4,5

3. Perfusi
Yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk
dialirkan ke seluruh tubuh. 2,3,4,5

C. Defenisi SOPT
SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculososis) Adalah penyakit obstruksi
saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberculosis dengan lesi paru
yang minimal.1,2
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan tuberkulosis termasuk di antara
sepuluh besar pertama di dunia penyakit yang lazim, beban utama dari negara-negara
berkembang, dalam bentuk paru tuberkulosis. Pada penyakit beban global, PPOK dan

6
tuberkulosis telah menduduki peringkat keenam dan kedelapan masing-masing,
dalam hal cacat dan kematian pada komunitas berpenghasilan rendah sampai
menengah di seluruh dunia.1,2
Namun, dampak tuberkulosis paru pada prevalensi PPOK seringkali tetap
diabaikan. Gangguan fungsional paru sebagai komplikasi tuberkulosis bermanifestasi
dalam berbagai pola tetapi terutama sebagai keterbatasan aliran udara.1,2
Penyakit saluran napas obstruktif kronik sebagai komplikasi tuberkulosis paru
telah dipelajari kembali baru-baru ini di banyak wilayah di dunia. Dalam eksekutif
ringkasan pembaruan 2006 dari inisiatif Global untuk Pedoman penyakit paru
obstruktif kronik (GOLD), peran tuberkulosis dalam perkembangan kronis obstruksi
saluran napas telah diakui. Menurut workshop GOLD, bronkitis kronis atau
bronchiolitis dan emfisema dapat terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru.
Sebuah penelitian yang dilakukan untuk menilai dampak tuberkulosis paru pada
prevalensi PPOK, menemukan bahwa prevalensi PPOK meningkat dari 3,7-5%
dengan memasukkan peserta dengan riwayat pengobatan TB.1,2
Pakistan adalah salah satu dari 22 negara di dunia itu menyumbang 80% kasus
TB menurut World Health Organization. Di Pakistan, pernapasan pasca-tuberkulosis
morbiditas sering terjadi dan merupakan sub kelompok signifikan dari pasien
penyakit paru kronis. Mengenal gangguan pernafasan ini dan menilai tingkat
keparahannya akan merasionalisasikan manajemen dan dapat meminimalkan
frekuensi pengobatan yang tidak perlu diberikan kepada pasien dengan anggapan
tuberkulosis aktif atau reaktivasi.1,2

D. Etiologi SOPT
Penyebab dari penyakit tuberkulosis ini adalah bakteri Mycobacterium
Tuberculosis dan Mycobacterium Bovis. Bakteri ini mempunyai sifat istimewa yaitu
dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering
disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimiajuga tahan dalam
keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob. 1,2

7
E. Patomekanisme SOPT
TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut: 1-5
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat
ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti
yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy.

8
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan: 1-5
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
- Meninggal
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

TUBERKULOSIS POST-PRIMER
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer
mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis
inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: 1-5
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti

9
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Nasib kaviti ini:
- Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas
- Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,
tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
- Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).

Gambar 2.2. Skema Perkembangan Sarang TB post primer dan


Perjalanan Penyembuhannya
Untuk lebih memahami berbagai aspek tuberkulosis, perlu diketahui proses
patologik yang terjadi. Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru,

10
terjadi karena kelainan patologik pada saluran pernapasan akibat kuman
M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di
dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi. 1-5
Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi
jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel
makrofag. Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa
sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit
mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit.
Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman
berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit
mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi
terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan. Sel
monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah
banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat
mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan
bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel. 1-5
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel
datia ini berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian
berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). 1-5
Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler
dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan
jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma
dapat mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang akan
terbentuk simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi
penimbunan garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk
konsentrik maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba virulen atau resistensi
jaringan rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit
yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid dan makrofag
menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada

11
saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan
penyakit. 1-5
Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah
terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi
sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis
jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tretahan dan penyebaran infeksi terhalang.
Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti. 1-5
Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian
terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang
dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi mekanisme
makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan
yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru berupa adanya sputum,
terjadinya perubahan pola pernapasan, relaksasi menurun, perubahan postur tubuh,
berat badan menurun, dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal. 1-5
Apabila tubuh terinfeksi M. tuberculosis maka sistem imun host akan bekerja
melawan infeksi tersebut. Akibatnya M. tuberculosis akan melepasan komponen
toksik ke dalam jaringan yang akan menginduksi hipersensitivitas seluler sehingga
akan meningkatkan respons terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan
jaringan, nekrosis, dan penyebaran bakteri lebih lanjut. 1-5
Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag bertemu dengan
M. tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk
mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh bakteri. Makrofag
aktif melepaskan IL-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan IL-2 yang
selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk bereplikasi, matang, dan memberi
respons lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan
imunitas melalui peranan yang kompleks dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan
seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul
anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat
dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, dan

12
radikal hidroksil yang menimbulkan kerusakan pada membran sel dan dinding sel M.
tuberculosis. Beberapa hasil infeksi M. tuberculosis dapat bertahan dan tetap
mengaktifkan makrofag sehingga tetap terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi
matriks alveoli. Diduga proses proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab destruksi
matriks di mana proteolisis mendestruksi protein yang membentuk matriks dinding
alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dari suatu
molekul.Kehilangan elektron pada suatu struktur mengakibatkan fungsi molekul akan
berubah. 1-5
Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan anti
protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease, yaitu: 1) Elastase, yang paling kuat
memecah elastin dan protein jaringan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan
dinding alveoli; 2) Catepsin G, menyerupai elastase, tetapi potensinya lebih rendah
dan dilepas bersama elastase; 3) Kolagenase, cukup kuat tetapi hanya bisa memecah
kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema; 4) Plasminogen
aktivator, urokinase dan tissue plasmin activator yang merubah plasminogen menjadi
plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan
bekerja sama dengan elastase. 1-5
Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara langsung, seperti peningkatan
beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel terutama pneumosit I,
modifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis, berinteraksi dengan
1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya menurun.6,7
Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistem imun diaktifkan
untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat
untuk waktu lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan
paru menahun (kronik) dan gangguan faal paru yang akhirnya dapat dideteksi dengan
spirometri. 6,7

13
F. Diagnosis SOPT
Gejala dan tanda SOPT sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi
paru.8

Diagnosis SOPT di tegakkan berdasarkan:8


1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
- Pemeriksaan fisis
b. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan rutin
- Pemeriksaan khusus

A. Gambaran Klinis
1. Anamnesis
- Riwayat infeksi tuberculosis paru
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

2. Pemeriksaan fisis
SOPT dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas

14
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater

Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah

Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lips breathing

Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

Pursed - lips breathing

15
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP 8,9,10
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
SOPT dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau
tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih
dari 20%.

Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan < 200 ml. 8,9,10
- Uji bronkodilator dilakukan pada SOPT stabil. 8,9,10

b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

16
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran: 8,9,10
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Pemeriksaan khusus (tidak rutin) 8,9,10


1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner


- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus


Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil SOPT
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.

17
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison
atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada
SOPT umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid.

5. Analisis gas darah terutama untuk menilai:


- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.

8. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan

9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang

18
tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita SOPT di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin


Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

Tabel 2.1. Perbedaan Asma, PPOK dan SOPT

G. Penatalaksanaan SOPT
1. Penatalaksanaan umum
Tujuan penatalaksanaan: 8,9,10
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita

19
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi: 8,9,10
- Edukasi
- Obat – obatan
- Terapi oksigen
- Ventilasi mekanik
- Nutrisi
- Rehabilitasi

SOPT merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga


penatalaksanaan SOPT terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.8,11,12

a. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada SOPT
stabil. Edukasi pada SOPT berbeda dengan edukasi pada asma. Karena SOPT
adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus
dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari
asma. 8,11,12

Tujuan edukasi pada pasien SOPT : 8,11,12


1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup

Edukasi SOPT diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara


berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi

20
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat
darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik
rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan
memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien SOPT, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualiti hidup pasien SOPT. 8,11,12
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita. 8,11,12
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah: 8,11,12
1. Pengetahuan dasar tentang SOPT
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala priority bahan edukasi sebagai berikut: 8,11,12
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis SOPT
ditegakkan
2. Pengunaan obat – obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebulizer)
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen

21
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,


langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi
sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada
setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada SOPT stabil, karena SOPT merupakan penyakit kronik progresif yang
ireversibel. 8,13,14

2. Obat - Obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting). 8,13,14

22
Macam - macam bronkodilator: 8,13,14
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti
uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator
meningkat > 20% dan minimal 250 mg. 8,13,14

23
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan: 8,13,14
Lini I:
Amoksisilin
Makrolid
Lini II:
Amoksisilin dan asam klavulanat
Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
d. Amoksilin dan klavulanat
e. Sefalosporin generasi II & III injeksi
f. Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
g. Aminoglikose per injeksi
h. Kuinolon per injeksi
i. Sefalosporin generasi IV per injeksi

j. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.8,15,16,17

k. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.

24
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin. 8,15,16,17

l. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal
yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. 8,15,16,17

Manfaat oksigen: 8,15,16,17


- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematocrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi: 8,15,16,17
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen: 8,15,16,17


- Pemberian oksigen jangka panjang

25
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi


oksigen di rumah diberikan kepada penderita SOPT stabil derajat berat dengan gagal
napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada SOPT eksaserbasi
akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk
penderita SOPT yang dirawat di rumah dibedakan: 8,15,16,17
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian
oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan
mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada
waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse
oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.8,15,16,17

Alat bantu pemberian oksigen: 8,15,16,17


- Nasal kanul
- Sungkup venture
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis
gas darah pada waktu tersebut. 8,15,16,17

26
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada SOPT digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien SOPT derajat berat
dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU
atau di rumah. 18

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara: 18


- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi


Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada SOPT dengan gagal napas kronik
dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi
adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure
Ventilation (NPV). 18

NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi: 18


- Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
- Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT /
Long Term Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada: 18
- Analisis gas darah
- Kualiti dan kuantiti tidur
- Kualiti hidup
- Analisis gas darah

27
Indikasi penggunaan NIPPV: 18
- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan
abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana. 18

Ventilasi mekanik dengan intubasi


Pasien SOPT dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit
bila ditemukan keadaan sebagai berikut: 18,19
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat
diperbaiki, misalnya pneumonia
- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif: 18,19


- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan
pergerakan abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
- Henti napas
- Samnolen, gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura masif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

28
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien SOPT dengan kondisi
sebagai berikut: 18,19
- SOPT derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik: 18,19


- VAP (ventilator acquired pneumonia)
- Barotrauma
- Kesukaran weaning

Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan: 18,19


- Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi
- Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
- Nutrisi seimbang
- Dibantu dengan NIPPV

5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada SOPT, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi
akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi
paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan: 18,19,20
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

29
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada SOPT tidak dapat mengeluarkan
CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara
kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi
semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni.
Tetapi pada SOPT dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat
menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada SOPT
karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari
gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah: 18,19,20
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian


nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang
lebih sering. 18,19,20

6. Rehabilitasi SOPT
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita SOPT. Penderita yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang
disertai: 18,19,20
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun

30
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan
latihan pernapasan. 18,19,20
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen.
Latihan fisis yang baik akan menghasilkan: 18,19,20
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobic
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery

Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan: 18,19,20


a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan Latihan ini
diprogramkan bagi penderita SOPT yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup
untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot
pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. 18,19,20
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot
pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa
dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan
pada penderita SOPT bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot
pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila
didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka
latihan endurance yang diutamakan. 18,19,20

31
Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita SOPT.
Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada
orang sehat. 18,19,20
Latihan jasmani pada penderita SOPT akan berakibat meningkatnya toleransi
latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal
dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan
resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap
asam laktat. 18,19,20
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi
otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan
kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik.
Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya
oxygen uptake dan control kardiovaskuler. 18,19,20
Latihan fisis bagi penderita SOPT dapat dilakukan di dua tempat:
Di rumah: 18,19,20
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda

Rumah sakit: 18,19,20


- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe
latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan
subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting
daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah
6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif
tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah
adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada
walkingjogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama

32
2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal.
Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70%
maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat.
Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5
hari perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat
diperkecil. walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat
berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.

Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan: 18,19,20


- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan
koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan

2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan
dapat diberikan obat. 18,19,20

3. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik
latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki
ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga
untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti. 18,19,20

33
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit infeksi kronis yang menjadi
masalah kesehatan dan perhatian dunia. Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi oleh bakteri ini, sehingga merupakan salah satu masalah dunia (Depkes RI,
2009).1
SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculososis) Adalah penyakit obstruksi
saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberculosis dengan lesi paru
yang minimal.1,2
Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian
terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang
dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi mekanisme
makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan
yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru berupa adanya sputum,
terjadinya perubahan pola pernapasan, relaksasi menurun, perubahan postur tubuh,
berat badan menurun, dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal. 1-5

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan


RI Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes RI. Jakarta: Balai
Pustaka
2. Irawati Anastasia. 2013. Naskah Publikasi Kejadian Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis di RSU Dr. Soedarso Pontianak. (Thesis). Pontianak:
Fakultas kedokteran Universitas Tanjung Pura
3. Global initiative for chronic obstructive lung disease. Global strategy for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease
(GOLD). Barcelona: GOLD Inc; 2011.p. 2-90.
4. Barnes PJ, Celli BR. Systemic manifestations and comorbidities of COPD. Eur
Respir J. 2014;33:1165-85.
5. Nelson SB, LaVange LM, Nie Y, Walsh JW, Enright PL, Martinez FJ,
et al. Questionnaires and pocket spirometers provide an alternative approach for
COPD screening in the general population. Chest. 2015;142(2):358-66.
https://doi.org/10.1378/chest.11-1474
6. Inghammar M, Löfdahl CG, Winqvist N, Ljungberg B, Egesten A,
Engström G. Impaired pulmonary function and the risk of tuberculosis: a
population-based cohort study. Eur Respir J. 2016;37(5):1285-7.
https://doi.org/10.1183/09031936.00091110
7. Qaseem A, Wilt TJ, Weinberger SE, Hanania NA, Criner G, van
der Molen T, et al. Diagnosis and management of stable chronic obstructive
pulmonary disease: a clinical practice guideline update from the American
College of Physicians, American College of Chest Physicians, American Thoracic
Society, and European Respiratory Society. Ann Intern Med. 2016;155(3):179-91.
https:// doi.org/10.7326/0003-4819-155-3-201108020-00008

35
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika; 2013.p.1-12.
9. Lee SW, Kim YS, Kim DS, Oh YM, Lee SD. The risk of obstructive
lung disease by previous pulmonary tuberculosis in a country
with intermediate burden of tuberculosis. J Korean Med Sci.
2014;26(2):268-73. https://doi.org/10.3346/jkms.2011.26.2.268
10. Global initiative for chronic obstructive lung diseases. Global Strategy
for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive
pulmonary diseases (Revised 2013).
11. Mets OM, Schmidt M, Buckens CF, et al. Diagnosis of chronic obstructive
pulmonary disease in lung cancer screening Computed Tomography scans:
independent contribution of emphysema, air trapping and bronchial wall
thickening. Respir Res 2013;14(1):59.
12. Kurashima K, Fukuda C, Nakamoto K, et al. CT-diagnosed emphysema and
prognosis of chronic airflow obstruction: a retrospective study. BMJ Open
2013;3(11):e003541.
13. Smith BM, Austin JHM, Newell JD, et al. Pulmonary Emphysema Subtypes on
Computed Tomography: The MESA COPD Study. Am J Med
2014;127(1):94.e7–94.e23.
14. D.R. Seals, K. Chakraborty, K.M. Das, S. Ganguly, A. Ballav,
A low cost pulmonary rehabilitation program for COPD
patients: is it any good?, IJPMR 17 (2) (2016) 26–32
15. V. Singh, D.C. Khandelwal, R. Khandelwal, S. Abusaria,
Pulmonary rehabilitation in patients with chronic obstructive
pulmonary disease, Indian J. Chest Dis. Allied Sci. 45 (2013) 13–
17.
16. K. Sircar, E. Hnizdo, E. Petsonk, M. Attfield, Decline in lung
function and mortality: implications for medical monitoring,
Occup. Environ. Med. 64 (2014) 461–466

36
17. K.T. Yassin, Correlation between respiratory muscles strength
and quality of life after pulmonary rehabilitation program in
COPD (M.D. thesis), Faculty of Physical Therapy, Cairo
University, 2017
18. D. Stav, M. Raz, I. Shpirer, Three years of pulmonary
rehabilitation: inhibit the decline in airflow obstruction,
improves exercise endurance time, and body-mass index, in
chronic obstructive pulmonary disease, BMC Pulm. Med. 9
(2014) 26.
19. Pasipanodya JG, Miller TL, Vecino M, Munguia G, Garmon R, Bae S, Drewyer
G, Weis SE. Pulmonary impairment after tuberculosis. Chest. 2014; 131(6): 1817-
24.
20. Miller MR. Pedersen OF, Pellegrino R, Brusaco V. Debating the defenition of
airflow obstruction:time to move on? Eur Respir J. 2014; 34: 527-529

37

Anda mungkin juga menyukai

  • Kebutuhan Cairan
    Kebutuhan Cairan
    Dokumen1 halaman
    Kebutuhan Cairan
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Ukm
    Ukm
    Dokumen7 halaman
    Ukm
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Ukm
    Ukm
    Dokumen7 halaman
    Ukm
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Obgyn
    Jurnal Obgyn
    Dokumen29 halaman
    Jurnal Obgyn
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Referat Anak
    Referat Anak
    Dokumen30 halaman
    Referat Anak
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen9 halaman
    Bab I Pendahuluan
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Dayu - 2
    Laporan Kasus Dayu - 2
    Dokumen2 halaman
    Laporan Kasus Dayu - 2
    day dayu
    Belum ada peringkat
  • Lapsus
    Lapsus
    Dokumen38 halaman
    Lapsus
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Black Note UJIANB
    Black Note UJIANB
    Dokumen20 halaman
    Black Note UJIANB
    Sari Miftahul Jannah
    100% (1)
  • LAPORAN Koass IKM
    LAPORAN Koass IKM
    Dokumen13 halaman
    LAPORAN Koass IKM
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Lapsus
    Lapsus
    Dokumen42 halaman
    Lapsus
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen31 halaman
    Bab I
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Kulit
    Lapsus Kulit
    Dokumen30 halaman
    Lapsus Kulit
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Anastesi
    Jurnal Anastesi
    Dokumen15 halaman
    Jurnal Anastesi
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Silikonoma Penis
    Silikonoma Penis
    Dokumen22 halaman
    Silikonoma Penis
    Anonymous 8Z9A4f
    Belum ada peringkat
  • Care Bundle
    Care Bundle
    Dokumen28 halaman
    Care Bundle
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen15 halaman
    Jurnal
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Kasus Mata
    Kasus Mata
    Dokumen24 halaman
    Kasus Mata
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Psikiatri
    Jurnal Psikiatri
    Dokumen20 halaman
    Jurnal Psikiatri
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Bedah
    Jurnal Bedah
    Dokumen20 halaman
    Jurnal Bedah
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen9 halaman
    Bab I Pendahuluan
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Efek Kafein
    Efek Kafein
    Dokumen9 halaman
    Efek Kafein
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Rotator Cuff
    Rotator Cuff
    Dokumen19 halaman
    Rotator Cuff
    Michyal Karepesina
    Belum ada peringkat
  • Referat Vanya
    Referat Vanya
    Dokumen37 halaman
    Referat Vanya
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Congenital Talipes Equinovarus
    Congenital Talipes Equinovarus
    Dokumen28 halaman
    Congenital Talipes Equinovarus
    Siska Teurupun
    Belum ada peringkat
  • Fadilah Jurnal Pad
    Fadilah Jurnal Pad
    Dokumen23 halaman
    Fadilah Jurnal Pad
    Ayu Fadhel
    Belum ada peringkat
  • Anamnesis Kejang
    Anamnesis Kejang
    Dokumen6 halaman
    Anamnesis Kejang
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Gerd MR
    Gerd MR
    Dokumen14 halaman
    Gerd MR
    Riqqah US
    Belum ada peringkat
  • Hernia Inguinalis Lateralis
    Hernia Inguinalis Lateralis
    Dokumen21 halaman
    Hernia Inguinalis Lateralis
    Riqqah US
    Belum ada peringkat