Anda di halaman 1dari 33

Keselamatan Pasien dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Disusun oleh:

Benita Rosalie (102014168)

Kelompok E4

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
No. Telp (021) - 5694 2061
benita.2014fk168@civitas.ukrida.ac.id

Abstract

Safety has become a global issue as well as for hospitals. There are five important issues related
to safety in hospitals. The five aspects of safety are very important to be implemented in every
hospital. However, patient safety is a key priority to be implemented in hospitals. Patient safety is
the basic principle of health care. The definition of patient safety is an absence of error or is free
of injury due to an accident. Infectious diseases are dynamic and will reappear from time to time.
The spread of infections in health care facilities affects hundreds of millions of people around the
world. Tuberculosis (TB) is one of the infectious diseases, which can invade the lungs, primarily
attack the lung parenchyma tissue. Pulmonary TB can be transmitted through the air, when
someone with active TB cough, sneezes or talks. Implementation of infection control in health
care facilities aims to protect patients, health workers, visitors and the community through
general precautions and transmission-based precautions.
Keywords : Patient safety, Infection control, Health care facilities

Abstrak

Keselamatan telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu penting
yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit. Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah
penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama

!1
untuk dilaksanakan di rumah sakit. Patient safety adalah prinsip dasar dari perawatan kesehatan.
Keselamatan pasien adalah tidak adanya kesalahan atau bebas dari cedera karena kecelakaan.
Penyakit infeksi bersifat dinamis dan tetap muncul kembali dari waktu ke waktu. Penyebaran
infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan memengaruhi ratusan juta orang di seluruh dunia.
Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit infeksi, yang dapat menyerang paru terutama
menyerang jaringan parenkim paru. TB paru dapat menular melalui udara, pada saat seseorang
dengan TB aktif pada paru batuk, bersin atau bicara. Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan,
pengunjung yang menerima pelayanan kesehatan serta masyarakat dalam lingkungannya melalui
kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi.
Kata kunci : Keselamatan pasien, Pengendalian infeksi, Fasilitas pelayanan kesehatan

Pendahuluan

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu
penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit, yaitu keselamatan pasien
(patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan
peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas,
keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan
dan keselamatan “bisnis” rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. c
dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan.1

Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien sesuai
dengan yang diucapkan Hippocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu, yaitu “Primum, non nocere”
yang artinya “First, do no harm”. Namun diakui dengan semakin berkembangnya ilmu dan
teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi semakin kompleks dan
berpotensi terjadinya kejadian tidak diharapkan atau KTD (adverse event) apabila tidak
dilakukan dengan hati-hati.1

Di Indonesia data tentang KTD apalagi kejadian nyaris cedera (near miss) masih langka, namun
dilain pihak terjadi peningkatan tuduhan malpraktik, yang belum tentu sesuai dengan pembuktian
akhir. Dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit dibentuklah Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) yang telah aktif melaksanakan langkah-langkah

!2
persiapan pelaksanaan keselamatan pasien rumah sakit dengan mengembangkan laboratorium
program keselamatan pasien rumah sakit.1

Adapun tujuan dari penyusunan tinjauan pustaka ini adalah agar pembaca dapat memahami lebih
lanjut mengenai keselamatan pasien di rumah sakit dan pengendalian infeksi.

Definisi Patient Safety

Patient safety adalah prinsip dasar dari perawatan kesehatan. Keselamatan pasien adalah tidak
adanya kesalahan atau bebas dari cedera karena kecelakaan.2 Keselamatan pasien (patient safety)
rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem
tersebut meliputi assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut
diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. Tujuan
dari patient safety antara lain:1,3

• terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit;

• meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat;

• menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit;

• terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangna


kejadian tidak diharapkan.1

Pentingnya akan keselamatan pasien dirumah sakit, maka dibuatlah standar keselamatan pasien
di rumah sakit. Standar keselamatan pasien di rumah sakit ini akan menjadi acuan setiap asuhan
yang akan diberikan kepada pasien. Terdapat tujuh standar keselamatan pasien yaitu:1

1. Hak pasien

2. Mendidik pasien dan keluarga

!3
3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan

4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program


peningkatan keselamatan pasien

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

Selain standar keselamatan, yang menjadi poin penting dalam pelaksanaan keselamatan pasien
adalah sasaran keselamatan pasien atau patient safety goals. Sasaran keselamatan pasien
merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh komisi
akreditasi rumah sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety
Solutions dari World Health Organization.4-6 Dalam Permenkes RI Nomor 1691/Menkes/Per/
VIII/2011 menyatakan bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran
keselamatan pasien. Maksud dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong perbaikan
spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan
keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran
secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh. Terdapat enam sasaran
keselamatan pasien yaitu:5,6

1) Identifikasi pasien dengan benar

2) Meningkatkan komunikasi yang efektif

3) Meningkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai

4) Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi

5) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

6) Pengurangan risiko pasien jatuh

!4
Rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Proses perancangan
tersebut harus mengacu pada visi, misi dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas
pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor- faktor lain yang
berpotensi risiko bagi pasien.6,7 Dalam rangka menerapkan standar keselamatan pasien, rumah
sakit melaksanakan 7 (tujuh) langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit yang terdiri dari:7

a. membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;

b. memimpin dan mendukung staf;

c. mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;

d. mengembangkan sistem pelaporan;

e. melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;

f. belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien;

g. mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.7

Panduan Kurikulum WHO8

Panduan kurikulum mencakup 11 topik, termasuk 16 dari total 22 topik ajar yang dipilih dari
Australian Patient Safety Education Framework atau Kerangka Kerja Pendidikan Keselamatan
Pasien di Australia (APSEF). Topik tambahan yang tidak terdapat pada APSEF dipilih untuk
mendukung pembelajaran, seperti misalnya cara pengendalian infeksi yang dianggap oleh WHO
bahwa lebih baik melakukan pencegahan dan pengendalian dalam kasus infeksi. Profesional di
bidang pelayanan kesehatan yang menjadi pengajar mungkin tidak segera memahami mengapa
topik-topik tertentu termasuk dalam kurikulum ini. Mereka mungkin telah mengajar topik
tertentu, tetapi tidak mengkatagorikannya sebagai keselamatan pasien. Pendidik mungkin juga
menemukan bahwa banyak dari prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang dibahas dalam

!5
kurikulum ini sama untuk materi pendidikan yang ada, tetapi dengan penekanan berbeda.
Pentingnya masing- masing topik untuk proses pembelajaran dijelaskan di bawah ini.

Topik 1: Apa itu Keselamatan Pasien?

Mengingat semakin pentingnya profesional kesehatan untuk menerapkan prinsip-prinsip


keselamatan pasien dan konsep ke dalam praktek sehari-hari, topik ini menyajikan kasus-kasus
tentang keselamatan pasien. Pada tahun 2002, negara-negara anggota WHO menyepakati
resolusi Majelis Kesehatan Dunia mengenai keselamatan pasien atas kebutuhan untuk
mengurangi kerugian dan penderitaan pasien dan keluarga mereka. Hal ini didukung bukti bahwa
manfaat ekonomi dapat dimaksimalkan dengan peningkatan keselamatan pasien. Studi
menunjukkan bahwa tambahan rawat inap, biaya proses pengadilan, pengobatan infeksi,
kehilangan pendapatan, cacat, dan biaya pengobatan menelan biaya di beberapa negara antara
US$ 6 miliar dan US$ 29 milyar per tahun.

Beberapa negara telah menerbitkan studi menyoroti banyak bukti yang menunjukkan bahwa
sejumlah besar pasien yang dirugikan karena pelayanan kesehatan mereka, baik mengakibatkan
cedera permanen, meningkatkan lama tinggal di fasilitas kesehatan, atau bahkan kematian. Kami
telah belajar selama dekade terakhir bahwa insidens terjadi bukan karena tenaga medis sengaja
mencederai pasien, sebaliknya hal itu terjadi karena kompleksitas sistem pelayanan kesehatan
saat ini, terutama di negara-negara maju, dimana pengobatan berhasil dan tidak untuk setiap
pasien tergantung berbagai faktor dan bukan hanya kompetensi penyedia pelayanan kesehatan
individu.

Ketika begitu banyak jenis penyedia layanan kesehatan (dokter, perawat, apoteker dan pekerja
kesehatan) terlibat, sangat sulit untuk memastikan pelayanan yang aman kecuali sistem
pelayanan dirancang untuk memfasilitasi informasi yang tepat waktu dan lengkap serta
pemahaman oleh semua profesional kesehatan. Demikian pula, di negara berkembang,
kombinasi berbagai faktor yang tidak menguntungkan seperti kurangnya staf medis, struktur
yang tidak memadai dan kepadatan penduduk, kurangnya komoditas pelayanan kesehatan dan
kekurangan peralatan dasar, buruknya kebersihan

!6
Topik 2: Mengapa Menerapkan Faktor Manusia dalam Keselamatan Pasien itu Penting?

Faktor manusia adalah bidang keahlian insinyur dan psikolog kognitif. Topik ini dapat
memberikan beberapa tantangan untuk para profesional serta pelajar kesehatan. Kami
merekomendasikan bahwa Anda mengundang

orang yang sesuai dengan keahlian faktor manusia untuk memberikan kuliah kepada pelajar.
Faktor manusia, teknik atau ergonomi adalah ilmu hubungan timbal balik antara manusia,
peralatan dan lingkungan di mana mereka tinggal dan bekerja [4]. Rekayasa faktor manusia akan
membantu pelajar memahami bagaimana orang-orang bereaksi di bawah keadaan yang berbeda
sehingga sistem dan produk dapat dibangun untuk meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan.
Hal ini mencakup interaksi antar manusia-mesin dan manusia ke manusia seperti komunikasi,
kerja tim dan budaya organisasi.

Industri lainnya seperti penerbangan, manufaktur dan militer telah berhasil menerapkan
pengetahuan tentang faktor manusia untuk memperbaiki sistem dan layanan. Pelajar perlu
memahami faktor-faktor bagaimana faktor manusia dapat digunakan untuk mengurangi insidens
dan kesalahan dengan mengidenti kasi bagaimana dan mengapa sistem tidak bekerja optimal
serta bagaimana dan mengapa manusia mengalami miskomunikasi. Menggunakan pendekatan
faktor manusia, hubungan antar manusia-sistem dapat ditingkatkan dengan memberikan
rancangan sistem kerja yang lebih baik. Hal ini termasuk penyederhanaan proses, standarisasi
prosedur, memberikan cadangan ketika ada kesalahan medis, meningkatkan komunikasi,
mendesain ulang peralatan dan mendorong kesadaran tentang keterbatasan perilaku, organisasi
dan teknologi yang menyebabkan kesalahan.

Topik 3: Memahami Sistem dan Efek dari Kompleksitas Pelayanan kesehatan pada Pasien

Pelajar diperkenalkan kepada konsep bahwa sistem pelayanan kesehatan tidak satu, tapi banyak
sistem dan terdiri dari organisasi, departemen, unit layanan, dan unit praktik. Sebagian besar
hubungan antara pasien, keluarga, penyedia layanan kesehatan, staf pendukung, administrator,
ekonom dan anggota masyarakat, serta hubungan antara berbagai pelayanan kesehatan dan di
luar pelayanan kesehatan, menambah kompleksitas sistem ini. Topik ini memberikan pelajar

!7
pemahaman dasar tentang kompleksitas organisasi dengan menggunakan pendekatan sistem.
Pembelajaran dari industri lain digunakan untuk menunjukkan manfaat dari pendekatan sistem
kepada pelajar.

Ketika pelajar berpikir tentang 'sistem', mereka akan lebih mampu memahami mengapa hal-hal
tidak berjalan baik sehingga mereka dapat memahami konteks untuk berpikir tentang 'solusi'.
Pelajar perlu menghargai bagaimana, sebagai penyedia layanan kesehatan, bekerja di rumah sakit
atau klinik kesehatan pedesaan, melakukan yang terbaik untuk mengobati dan merawat pasien
mereka. Tidak itu saja mereka akan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan
berkualitas. Hal ini karena pasien tergantung pada sejumlah orang yang melakukan hal yang
tepat, pada waktu yang tepat untuk mereka. Dengan kata lain, mereka bergantung pada sistem
pelayanan.

Topik 4: Menjadi Pemeran yang Efektif dalam Tim

Pemahaman pelajar tentang kerja sama melibatkan lebih dari identi kasi dengan tim yang terdiri
dari profesi mereka sendiri. Hal ini memerlukan pengetahuan tentang manfaat dari tim
multidisiplin dan bagaimana tim multidisiplin yang efektif dapat meningkatkan pelayanan dan
mengurangi kesalahan atau terjadinya insidens. Tim yang efektif adalah dimana para anggota
tim, termasuk pasien, berkomunikasi dengan satu sama lain serta menggabungkan pengamatan,
keahlian dan tanggung- jawab pengambilan keputusan untuk mengoptimalkan pelayanan
terhadap pasien. Tugas komunikasi dan arus informasi antara penyedia layanan dan pasien bisa
rumit karena penyebaran tanggung jawab klinis di antara berbagai anggota tim. Hal ini dapat
berefek pada pasien untuk mendapatkan informasi yang sama pada beberapa penyedia layanan
kesehatan. Lebih penting lagi, miskomunikasi dapat mengakibatkan keterlambatan dalam
diagnosis, pengobatan yang salah, serta kegagalan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan.

Pelajar perlu tahu seberapa efektif kerja tim, serta teknik untuk melibatkan pasien dan keluarga
mereka sebagai bagian dari tim. Ada beberapa bukti bahwa tim multidisiplin dapat meningkatkan
kualitas layanan dan menekan biaya menjadi lebih rendah. Kerjasama tim yang baik juga telah
ditunjukkan untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap
pasien, terutama mereka yang memiliki penyakit kronis. Topik ini menyajikan pengetahuan dasar

!8
yang diperlukan untuk menjadi anggota atau pemeran yang efektif dalaam btim. Namun,
pengetahuan sendiri tidak akan membuat seorang pelajar menjadi anggota tim yang baik. Mereka
perlu memahami budaya tempat kerja mereka dan bagaimana hal itu berdampak pada dinamika
dan fungsi tim.

Topik 5: Belajar dari Kesalahan Untuk Mencegah Cedera

Untuk dapat memahami mengapa profesional kesehatan membuat kesalahan medis terhadap
pasien diperlukan pemahaman bagaimana sistem yang buruk dan faktor lain berkontribusi
terhadap terjadinya insidens dalam sistem kesehatan. Insidens memang sulit dihindari, namun
konsekuensi dari insidens pada kesejahteraan pasien dan staf dapat fatal.

Profesional kesehatan dan pelajar perlu memahami bagaimana dan mengapa sistem tak berjalan
optimal dan mengapa insidens terjadi, sehingga mereka dapat bertindak untuk mencegah dan
belajar dari insidens tersebut. Pemahaman tentang insidens dalam pelayanan kesehatan juga
menjadi dasar untuk membuat perbaikan dan menerapkan sistem pelaporan yang efektif.

Topik 6: Menjadi Pemeran yang Efektif dalam Tim

Manajemen risiko klinis terutama berkaitan dengan menjaga sistem pelayanan kesehatan berjalan
aman. Manajemen risiko klinis biasanya melibatkan sejumlah organisasi dalam sistem atau
proses yang dirancang untuk mengidenti kasi, mengelola dan mencegah hasil yang merugikan.
Manajemen risiko klinis yang berfokus pada peningkatan kualitas dan keamanan layanan
kesehatan dilakukan dengan mengidenti kasi keadaan yang dapat menempatkan pasien pada
risiko mengalami insidens dan bertindak untuk mencegah atau mengendalikan risiko tersebut.
Manajemen risiko melibatkan setiap tingkat organisasi, sehingga sangat penting bahwa pelajar
memahami tujuan dan relevansi strategi manajemen risiko klinis di tempat kerja mereka.

Topik 7: Menggunakan Metode-Metode Peningkatan Kualitas untuk meningkatkan Pelayanan

Selama dekade terakhir, bidang pelayanan kesehatan telah berhasil mengadopsi berbagai metode
peningkatan kualitas yang digunakan oleh industri lainnya. Metode ini membekali profesional
medis pengetahuan dan cara untuk: (i) mengidenti kasi masalah; (ii) mengukur masalah; (iii)

!9
mengembangkan berbagai intervensi yang dirancang untuk memperbaiki masalah; dan (iv)
menguji apakah intervensi medis tersebut bekerja. Ahli Kesehatan, seperti Tom Nolan, Brent
James, Don Berwick, dan lain-lain, telah menerapkan prinsip-prinsip peningkatan mutu untuk
mengembangkan metode peningkatan kualitas kesehatan dokter dan manajer. Identi kasi dan
pemeriksaan setiap langkah dalam proses pelayanan kesehatan adalah fondasi dari metodologi
ini. Ketika pelajar meneliti setiap langkah dalam proses pelayanan, mereka mulai melihat
bagaimana tiap tahap pelayanan kesehatan terhubung dan terukur. Pengukuran penting untuk
peningkatan keselamatan. Topik ini memperkenalkan pelajar ke prinsip-prinsip peningkatan,
teori dan caranya, kegiatan dan teknik yang dapat diterapkan ke dalam praktek.

Topik 8: Melibatkan Pasien dan Keluarga

Pelajar diperkenalkan kepada konsep bahwa tim kesehatan termasuk pasien dan/atau keluarga,
dan bahwa pasien dan keluarga memainkan peran kunci dalam menjamin Pelayanan
kesehatanaman yakni dengan cara: (i) membantu dengan diagnosis; (ii) memutuskan tentang
perawatan yang tepat; (iii) memilih penyedia layanan yang berpengalaman dan aman; (iv)
memastikan bahwa perawatan yang tepat diberikan; dan (v) mengidenti kasi efek samping dan
mengambil tindakan yang tepat. Sistem pelayanan kesehatan dapat menggunakan informasi
terkait pasien, seperti pengetahuan tenaga medis tentang gejala, nyeri, preferensi dan sikap
terhadap risiko klinis pada pasien.

Penelitian telah menunjukkan bahwa kesalahan medis dapat diminimalisir dan hasil pengobatan
dapat lebih baik dapat dihasilkan ketika ada komunikasi yang baik antara pasien dan penyedia
layanan kesehatan. Dan ketika pasien sepenuhnya paham tentang informasi dan dididik tentang
obat-obatan yang mereka konsumsi. Komunikasi yang buruk antara profesional kesehatan,
pasien, serta mereka yang merawatnya juga telah muncul sebagai alasan umum bagi pasien
mengambil tindakan hukum terhadap penyedia layanan kesehatan yang melakukan malpraktek
terhadap mereka.

Topik 9: Menggunakan Metode-Metode Peningkatan Kualitas untuk meningkatkan Pelayanan

!10
Pencegahan infeksi dan pengendaliannya merupakan upaya dari WHO untuk mengurangi
tingginya risiko infeksi, itu dianggap penting, maka isu ini dimasukkan dalam panduan
kurikulum. Fakta menunjukkan bahwa karena perawatan bedah dan obat, risiko infeksi
menyumbang persentase yang signi kan terjadinya insidens yang diderita oleh pasien. Masalah
pengendalian infeksi dalam kesehatan sekarang mulai diperhatikan karena risiko infeksi yang
menjadi penyebab utama kematian dan cacat di seluruh dunia.

Ada banyak pedoman tersedia untuk membantu dokter, perawat, dokter gigi dan tenaga medis
lainnya untuk meminimalkan risiko infeksi silang. Pasien yang mengalami operasi atau prosedur
invasif dianggap sangat rentan terhadap infeksi sekitar 40%. Topik ini membahas penyebab
utama dan jenis infeksi, dan memungkinkan pelajar untuk mengidenti kasi tindakan medis pasien
dengan risiko infeksi serta mempersiapkan pelajar untuk mengambil tindakan yang sesuai untuk
mencegah penularan.

Topik 10: Keselamatan Pasien dan Prosedur Invasif

Dengan mengenali kemungkinan cedera akibat pembedahan, WHO telah berhasil berkampanye
untuk mengurangi insidens pada proses pembedahan. Salah satu penyebab utama kesalahan yang
menyebabkan cedera pada pasien adalah kegagalan penyedia layanan kesehatan untuk
berkomunikasi secara efektif (proses yang tidak memadai dan kurangnya pengecekan) pada saat
prosedur prabedah.

Beberapa contoh salah penempatan/prosedur pada pasien adalah: (i) salah pasien di ruang operasi
(atau); (ii) operasi yang dilakukan di sisi yang salah; (iii) salah prosedur; (iv) kegagalan
berkomunikasi tentang perubahan kondisi pasien; (v) perselisihan antar tenaga medis tentang
penghentian prosedur; dan (vi) kegagalan untuk mengidentifikasi kesalahan.

Meminimalkan kesalahan yang disebabkan oleh misidentifikasi adalah dengan cara


mengembangkan pedoman praktek terbaik untuk memastikan bahwa pasien yang benar
menerima perawatan yang tepat. Pelajar dapat belajar memahami nilai bagi semua pasien yang
dirawat harus sesuai dengan kebijakan dan protokol tepat pasien/lokasi/prosedur. Pembelajaran
seperti itu akan memberikan pemahaman tentang pentingnya penggunaan daftar tilik atau

!11
protokol, serta pengetahuan tentang prinsip yang mendasari pendekatan yang seragam dalam
mengobati dan merawat pasien. Sebuah studi oleh para ahli bedah menemukan bahwa 21% dari
ahli bedah yang disurvei (n = 1050) melaporkan melakukan salah lokasi operasi setidaknya
sekali selama karir mereka.

Topik 11: Meningkatkan Keamanan Pengobatan

Reaksi obat yang merugikan pasien telah ditetapkan oleh WHO sebagai isu yang serius. Kondisi
tersebut tentu tidak diinginkan dan kerap terjadi pada penggunaan dosis obat untuk profilaksis,
diagnosis atau terapi. Pasien rentan terhadap kesalahan yang dibuat dalam salah satu dari banyak
langkah terlibat dalam pemesanan, pengeluaran dan pemberian obat-obatan. Kesalahan
pengobatan telah disorot dalam penelitian yang dilakukan di banyak negara, yang menunjukkan
bahwa sekitar 1% dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit , mengalami kejadian yang
tidak diharapkan (KTD) yang berkaitan dengan pemberian obat [36]. Penyebab kesalahan
mencakup berbagai macam faktor termasuk: (i) pengenalan pasien dan kondisi klinisnya; (ii)
kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan; (iii) kesalahan dosis obat; (iv) tulisan yang tidak
terbaca pada resep; (v) kebingungan tentang nama obat; dan (vi) dan lemahnya anamnesis
tentang riwayat pengobatan.

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi8-10

Penyakit infeksi sifatnya dinamis dan tetap muncul kembali dari waktu ke waktu. Sekarang,
karena munculnya penyakit serius seperti human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis B,
C, dan D, sehingga fokus pengendalian infeksi telah berubah. Di masa lalu, pengendalian infeksi
utamanya difokuskan untuk melindungi pasien, terutama selama operasi, tapi sekarang juga
penitng untuk melindungi penyedia layanan kesehatan dan orang lain dalam masyarakat.
Penyebaran infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan memengaruhi ratusan juta orang di seluruh
dunia. Infeksi ini meningkatkan penderitaan pasien dan dapat memperpanjang lama tinggal di
rumah sakit. Banyak pasien yang terinfeksi menderita cacat permanen dan sebagian besar mati.
Peningkatan jumlah infeksi disebabkan oleh resisten mikroba terhadap pengobatan konvensional.

!12
Infeksi terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infection) juga meningkatkan biaya
untuk pasien dan rumah sakit. Tinggal di rumah sakit lebih lama dan kebutuhan perawatan medis
yang lebih meningkat bisa menekan sistem kesehatan. Tren yang mengkhawatirkan ini telah
menyebabkan penyedia layanan kesehatn, manajer layanan kesehatan, lembaga dan pemerintah
untuk meningkatkan perhatian terhadap upaya mencegah infeksi.

WHO mendefinisikan infeksi terkait pelayanan kesehatan (juga disebut infeksi rumah sakit)
sebagai infeksi pada pasien yang diperoleh di rumah sakit saat dirawat yang mana infeksi
sebelumnya tidak muncul atau terinkubasi pada saat masuk rumah sakit. Infeksi jenis ini tidak
hanya muncul saat pasien masuk rumah sakit, tetapi muncul juga saat pasien keluar rumah sakit,
serta infeksi yang muncul dari staf dan fasilitas pelayanan kesehatan. Semua orang, tenaga
medis, pasien dan anggota masyarakat lainnya, memiliki tanggung jawab untuk mengurangi
peluang kontaminasi infeksi dari tangan dan peralatan. Selain itu, pelajar-pelajar kesehatan medis
dan lainnya perlu tahu metode sterilisasi peralatan dan teknologi yang memungkinkan mereka
untuk menggunakan instrumen yang aman untuk digunakan pada pasien. Pencegahan infeksi
harus selalu menjadi prioritas semua pekerja medis dan menjadi kunci dari program keselamatan
pasien.

Seperti dijelaskan sebelumnya, infeksi terkait pelayanan kesehatan adalah ancaman besar bagi
keselamatan pasien di seluruh dunia, dampak terhadap keluarga, masyarakat dan sistem
kesehatan. Biaya akibat HCAI tetap tinggi meskipun ada peningkatan kesadaran dan tindakan
untuk mengurangi infeksi ini. Infeksi ini paling sering disebabkan oleh berbagai jenis bakteri,
termasuk yang menyebabkan tuberculosis, jamur, dan virus. Peningkatan terjadinya infeksi
terkait pelayanan kesehatan diamati di negara berkembang dan maju selama masa 20 tahun dan
telah memunculkan tantangan baru untuk pelayanan kesehatan modern. Saat ini, antibiotik sering
tidak efektif dan lebih dari 70% dari bakteri dalam infeksi terkait pelayanan kesehatan resisten
terhadap obat yang biasa digunakan untuk mengobati infeksi tersebut. Sejumlah organisme AMR
yang ditemukan dalam pengaturan rumah sakit, seperti MRSA dan Enterococcus yang resisten
vancomisin (VRE), sangat sulit diobati. Multidrug-resistant tuberculosis (TB) merupakan
masalah yang signifikan karena obat standar yang telah digunakan untuk mengobati penyakit ini

!13
tidak lagi efektif. Solusi praktis sebenarnya sudah tersedia. Ada beberapa praktik yang harus
digunakan untuk menghindari kontaminasi, menghilangkan mikroorganisme dari peralatan dan
lingkungan, dan mencegah transimisi silang. Penggunaan beberapa metode ini secara bersamaan
diperlukkan untuk pencegahan dan pengendalian infeksi terkait pelayanan kesehatan secara
efektif. Namun, intervensi kesehatan yang semaking kompleks membuat pengendalian infeksi
menjadi tantangan tersendiri.

Berdasarkan sumber infeksi, maka infeksi dapat berasal dari masyarakat/komunitas (Community
Acquired Infection) atau dari rumah sakit (Healthcare-Associated Infections/HAIs). Penyakit
infeksi yang didapat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu disebut sebagai Infeksi
Nosokomial (Hospital Acquired Infection). Saat ini penyebutan diubah menjadi Infeksi Terkait
Layanan Kesehatan atau “HAIs” (Healthcare-Associated Infections) dengan pengertian yang
lebih luas, yaitu kejadian infeksi tidak hanya berasal dari rumah sakit, tetapi juga dapat dari
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Tidak terbatas infeksi kepada pasien namun dapat juga
kepada petugas kesehatan dan pengunjung yang tertular pada saat berada di dalam lingkungan
fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk memastikan adanya infeksi terkait layanan kesehatan
(Healthcare-Associated Infections/HAIs) serta menyusun strategi pencegahan dan pengendalian
infeksi dibutuhkan pengertian infeksi, infeksi terkait pelayanan kesehatan (Healthcare-
Associated Infections/HAIs), rantai penularan infeksi, jenis HAIs dan faktor risikonya.

1. Infeksi merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen,


dengan/tanpa disertai gejala klinik. Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan (Health Care
Associated Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs merupakan infeksi yang terjadi
pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
dimana ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk infeksi
dalam rumah sakit tapi muncul setelah pasien pulang, juga infeksi karena pekerjaan
pada petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan kesehatan di
fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Rantai infeksi (chain of infection) merupakan rangkaian yang harus ada untuk
menimbulkan infeksi. Dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi

!14
dengan efektif, perlu dipahami secara cermat rantai infeksi. Kejadian infeksi di fasilitas
pelayanan kesehatan dapat disebabkan oleh 6 komponen rantai penularan, apabila satu
mata rantai diputus atau dihilangkan, maka penularan infeksi dapat dicegah atau
dihentikan. Enam komponen rantai penularan infeksi, yaitu:

• Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme penyebab infeksi. Pada


manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur dan parasit. Ada tiga
faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu:
patogenitas, virulensi dan jumlah (dosis, atau “load”). Makin cepat diketahui agen
infeksi dengan pemeriksaan klinis atau laboratorium mikrobiologi, semakin cepat
pula upaya pencegahan dan penanggulangannya bisa dilaksanakan.

• Reservoir atau wadah tempat/sumber agen infeksi dapat hidup, tumbuh,


berkembang-biak dan siap ditularkan kepada pejamu atau manusia. Berdasarkan
penelitian, reservoir terbanyak adalah pada manusia, alat medis, binatang,
tumbuh-tumbuhan, tanah, air, lingkungan dan bahan-bahan organik lainnya.
Dapat juga ditemui pada orang sehat, permukaan kulit, selaput lendir mulut,
saluran napas atas, usus dan vagina juga merupakan reservoir.

• Portal of exit (pintu keluar) adalah lokasi tempat agen infeksi (mikroorganisme)
meninggalkan reservoir melalui saluran napas, saluran cerna, saluran kemih serta
transplasenta.

• Metode transmisi atau cara penularan adalah metode transport mikroorganisme


dari wadah/reservoir ke pejamu yang rentan. Ada beberapa metode penularan
yaitu: (1) kontak: langsung dan tidak langsung, (2) droplet, (3) airborne, (4)
melalui vehikulum (makanan, air/minuman, darah) dan (5) melalui vektor
(biasanya serangga dan binatang pengerat).

• Portal of entry (pintu masuk) adalah lokasi agen infeksi memasuki pejamu yang
rentan dapat melalui saluran napas, saluran cerna, saluran kemih dan kelamin atau
melalui kulit yang tidak utuh.

!15
• Susceptible host (pejamu rentan) adalah seseorang dengan kekebalan tubuh
menurun sehingga tidak mampu melawan agen infeksi. Faktor yang dapat
mempengaruhi kekebalan adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit
kronis, luka bakar yang luas, trauma, pasca pembedahan dan pengobatan dengan
imunosupresan.

• Faktor lain yang berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status
ekonomi, pola hidup, pekerjaan dan herediter.

Gambar 1. Skema rantai penularan penyakit infeksi


Sumber: https://www.isopharm.co.uk/sites/default/files/Chain%20of%20Infection.png

3. Jenis dan faktor risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan atau “Healthcare-Associated
Infections” (HAIs) meliputi:

• Jenis HAIs yang paling sering terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan, terutama
rumah sakit mencakup:

1. Ventilator associated pneumonia (VAP)

!16
2. Infeksi Aliran Darah (IAD)

3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

4. Infeksi Daerah Operasi (IDO)

• Faktor risiko HAIs meliputi:

1. Umur: neonatus dan orang lanjut usia lebih rentan.

2. Status imun yang rendah/terganggu (immunocompromised): penderita


dengan penyakit kronik, penderita tumor ganas, pengguna obat-obat
imunosupresan.

3. Gangguan/interupsi barier anatomis:

a. Kateter urin: meningkatkan kejadian infeksi saluran kemih (ISK).

b. Prosedur operasi: dapat menyebabkan infeksi daerah operasi (IDO)


atau “surgical site infection” (SSI).

c. Intubasi dan pemakaian ventilator: meningkatkan kejadian


“ventilator associated pneumonia” (VAP).

d. Kanula vena dan arteri: phlebitis, IAD.

e. Luka bakar dan trauma.

4. Implantasi benda asing:

a. Pemakaian mesh pada operasi hernia.

b. Pemakaian implant pada operasi tulang, kontrasepsi, alat pacu


jantung.

c. Cerebrospinal fluid shunts.

d. Valvular or vascular prostheses.

!17
5. Perubahan mikroflora normal: pemakaian antibiotika yang tidak bijak dapat
menyebabkan pertumbuhan jamur berlebihan dan timbulnya bakteri
resisten terhadap berbagai antimikroba.

Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan


untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan kesehatan
serta masyarakat dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus penularan penyakit infeksi
melalui kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi. Bagi pasien yang memerlukan isolasi,
maka akan diterapkan kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan standar dan
kewaspadaan berdasarkan transmisi.

Kewaspadaan Standar

Kewaspadaan standar yaitu kewaspadaan yang utama, dirancang untuk diterapkan secara rutin
dalam perawatan seluruh pasien di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik
yang telah didiagnosis,diduga terinfeksi atau kolonisasi. Diterapkan untuk mencegah transmisi
silang sebelum pasien di diagnosis, sebelum adanya hasil pemeriksaan laboratorium dan setelah
pasien didiagnosis.Tenaga kesehatan seperti petugas laboratorium, rumah tangga, CSSD,
pembuang sampah dan lainnya juga berisiko besar terinfeksi. Oleh sebab itu penting sekali
pemahaman dan kepatuhan petugas tersebut untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar agar
tidak terinfeksi. Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC merekomendasikan 11 (sebelas) komponen
utama yang harus dilaksanakan dan dipatuhi dalam kewaspadaan standar, yaitu kebersihan
tangan, Alat Pelindung Diri (APD), dekontaminasi peralatan perawatan pasien,kesehatan
lingkungan, pengelolaan limbah, penatalaksanaan linen, perlindungan kesehatan petugas,
penempatan pasien, hygiene respirasi/etika batuk dan bersin, praktik menyuntik yang aman dan
praktik lumbal pungsi yang aman.

1. Kebersihan Tangan

Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan air
mengalir bila tangan jelas kotor atau terkena cairan tubuh, atau menggunakan alkohol
(alcohol-based handrubs) bila tangan tidak tampak kotor. Kuku petugas harus selalu

!18
bersih dan terpotong pendek, tanpa kuku palsu, tanpa memakai perhiasan cincin. Cuci
tangan dengan sabun biasa/antimikroba dan bilas dengan air mengalir, dilakukan pada
saat:

a. Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien yaitu darah, cairan
tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, ganti verband, walaupun telah
memakai sarung tangan.

b. Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area lainnya yang
bersih, walaupun pada pasien yang sama.

Indikasi kebersihan tangan:

• sebelum tindakan aseptik;

• setelah kontak darah dan cairan tubuh;

• setelah kontak pasien;

• setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.

Kriteria memilih antiseptik:

• memiliki efek yang luas, menghambat atau merusak mikroorganisme secara luas
(Gram positif dan Gram negatif, virus lipofilik, bacillus dan tuberkulosis, fungi
serta endospora);

• efektivitas;

• kecepatan efektivitas awal;

• efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan;

• tidak menyebabkan iritasi kulit;

• tidak menyebabkan alergi.

!19
Hasil yang ingin dicapai dalam kebersihan tangan adalah mencegah agar tidak terjadi
infeksi, kolonisasi pada pasien dan mencegah kontaminasi dari pasien ke lingkungan
termasuk lingkungan kerja petugas.

Gambar 2. Cara membersihkan tangan


Sumber: http://guidance.college-optometrists.org/public/images/handwashing-
handrubbing-800x1121-120914.jpg

!20
2. Alat Pelindung Diri

a. Umum

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai berikut:

1) Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di pakai
petugas untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan
infeksius.

2) APD terdiri dari sarung tangan, masker/respirator partikulat, pelindung mata


(goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun pelindung/apron,
sandal/sepatu tertutup (sepatu boot).

3) Tujuan pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membran mukosa dari
resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan
selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya.

4) Indikasi penggunaan APD adalah jika melakukan tindakan yang


memungkinkan tubuh atau membran mukosa terkena atau terpercik darah atau
cairan tubuh atau kemungkinan pasien terkontaminasi dari petugas.

5) Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai dilakukan.

6) Tidak dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung tangan


sambil menulis dan menyentuh permukaan lingkungan.

b. Jenis-jenis APD

1) Sarung tangan

Terdapat tiga jenis sarung tangan antara lain:

• Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu melakukan tindakan


invasif atau pembedahan.

!21
• Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk melindung petugas
pemberi pelayanan kesehatan sewaktu melakukan pemeriksaan atau
pekerjaan rutin.

• Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses peralatan,


menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan
permukaan yang terkontaminasi.

Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan lateks karena elastis, sensitif
dan tahan lama serta dapat disesuaikan dengan ukuran tangan. Bagi mereka yang
alergi terhadap lateks, tersedia dari bahan sintetik yang menyerupai lateks, disebut
‘nitril’. Terdapat sediaan dari bahan sintesis yang lebih murah dari lateks yaitu
‘vinil’ tetapi sayangnya tidak elastis, ketat dipakai dan mudah robek. Sedangkan
sarung tangan rumah tangga terbuat dari karet tebal, tidak fleksibel dan sensitif,
tetapi memberikan perlindungan maksimum sebagai pelindung pembatas.

2) Masker

Masker digunakan untuk melindungi wajah dan membran mukosa mulut dari
cipratan darah dan cairan tubuh dari pasien atau permukaan lingkungan udara
yang kotor dan melindungi pasien atau permukaan lingkungan udara dari petugas
pada saat batuk atau bersin. Masker yang di gunakan harus menutupi hidung dan
mulut serta melakukan fit test (penekanan di bagian hidung). Terdapat tiga jenis
masker, yaitu:

• masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah penularan melalui


droplet;

• masker respiratorik, untuk mencegah penularan melalui airborne;

• masker rumah tangga, digunakan di bagian gizi atau dapur.

Cara memakai masker:

!22
• Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga jika menggunakan
kaitan tali karet atau simpulkan tali di belakang kepala jika
menggunakan tali lepas).

• Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala atau leher.

• Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung dengan
kedua ujung jari tengah atau telunjuk.

• Membetulkan agar masker melekat erat pada wajah dan di bawah dagu
dengan baik.

• Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker telah melekat dengan


benar.

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care
particular respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk
melindungi seseorang dari partikel berukuran <5 mikron yang dibawa melalui
udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai
menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan
pemakai menjadi lebih berat. Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan
perlu melakukan fit test. Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan fit test:

• Ukuran respirator perlu disesuaikan dengan ukuran wajah.

• Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat


adanya cacat atau lapisan yang tidak utuh. Jika cacat atau terdapat
lapisan yang tidak utuh, maka tidak dapat digunakan dan perlu diganti.

• Memastikan tali masker tersambung dan menempel dengan baik di


semua titik sambungan.

• Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam dapat disesuaikan


bentuk hidung petugas.

!23
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif dan kurang aman bila tidak menempel
erat pada wajah. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan keadaan demikian,
yaitu:

• adanya janggut dan jambang;

• adanya gagang kacamata;

• ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat mempengaruhi
perlekatan bagian wajah masker.

Pemeriksaan segel positif dilakukan dengan menghembuskan napas kuat-kuat.


Tekanan positif di dalam respirator berarti tidak ada kebocoran. Bila terjadi
kebocoran atur posisi dan/atau ketegangan tali. Uji kembali kerapatan respirator.
Ulangi langkah tersebut sampai respirator benar-benar tertutup rapat. Sedangkan
untuk pemeriksaan segel negatif dengan menaarik napas dalam-dalam. Bila tidak
ada kebocoran, tekanan negatif di dalam respirator akan membuat respirator
menempel ke wajah. Kebocoran akan menyebabkan hilangnya tekanan negatif di
dalam respirator akibat udara masuk melalui celah- celah segelnya. Lamanya
penggunaan maksimal 1 (satu) minggu dengan pemeliharaan yang benar. Cara
pemeliharaan dan penyimpanan yang benar adalah setelah dipakai diletakkan di
tempat yang kering dan dimasukkan dalam kantong berlubang berbahan kertas.

3) Gaun pelindung

Gaun pelindung digunakan untuk melindungi baju petugas dari kemungkinan


paparan atau percikan darah atau cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau melindungi
pasien dari paparan pakaian petugas pada tindakan steril. Jenis-jenis gaun
pelindung antara lain:

• gaun pelindung tidak kedap air;

• gaun pelindung kedap air;

• gaun steril;

!24
• gaun non steril.

Indikasi penggunaan gaun pelindung adalah pada tindakan atau penanganan alat
yang memungkinkan pencemaran atau kontaminasi pada pakaian petugas, seperti
membersihkan luka, tindakan drainase, menuangkan cairan terkontaminasi ke
dalam lubang pembuangan atau WC/toilet, menangani pasien perdarahan masif,
tindakan bedah, dan perawatan gigi. Segera ganti gaun atau pakaian kerja jika
terkontaminasi cairan tubuh pasien. Cara memakai gaun pelindung yang baik
dengan menutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga bagian
pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang punggung. Ikat di bagian
belakang leher dan pinggang.

4) Goggle dan perisai wajah

Goggle dan perisai wajah harus terpasang dengan baik dan benar agar dapat
melindungi wajah dan mata untuk melindungi mata dan wajah dari percikan
darah, cairan tubuh, sekresi dan eksresi. Indikasi penggunaannya adalah pada saat
tindakan operasi, pertolongan persalinan dan tindakan persalinan, tindakan
perawatan gigi dan mulut, pencampuran B3 cair, pemulasaraan jenazah,
penanganan linen terkontaminasi di laundry, di ruang dekontaminasi CSSD.

5) Sepatu pelindung

Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah melindung kaki petugas dari


tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah dari
kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan, sepatu tidak
boleh berlubang agar berfungsi optimal. Jenis sepatu pelindung seperti sepatu
boot atau sepatu yang menutup seluruh permukaan kaki.

Indikasi pemakaian sepatu pelindung antara lain:

• penanganan pemulasaraan jenazah;

• penanganan limbah;

!25
• tindakan operasi;

• pertolongan dan tindakan persalinan;

• penanganan linen;

• pencucian peralatan di ruang gizi;

• ruang dekontaminasi CSSD.

6) Topi pelindung

Tujuan pemakaian topi pelindung adalah untuk mencegah jatuhnya


mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-alat/
daerah steril atau membran mukosa pasien dan juga sebaliknya untuk melindungi
kepala/rambut petugas dari percikan darah atau cairan tubuh dari pasien.

Indikasi pemakaian topi pelindung:

• tindakan operasi;

• pertolongan dan tindakan persalinan;

• tindakan insersi CVL;

• intubasi trakea;

• penghisapan lendir masif;

• pembersihan peralatan kesehatan.

c. Pelepasan APD

Langkah-langkah melepaskan APD adalah sebagai berikut:

• lepaskan sepasang sarung tangan;

• lakukan kebersihan tangan;

• lepaskan apron;

!26
• lepaskan perisai wajah dan/atau goggle;

• lepaskan gaun bagian luar;

• lepaskan penutup kepala;

• lepaskan masker;

• lepaskan pelindung kaki;

• lakukan kebersihan tangan.

Cara melepas sarung tangan:

• Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan telah terkontaminasi.

• Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung tangan lainnya, kemudian
lepaskan.

• Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan menggunakan tangan yang
masih memakai sarung tangan.

• Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai sarung tangan di bawah sarung
tangan yang belum dilepas di pergelangan tangan.

• Lepaskan sarung tangan di atas sarung tangan pertama.

• Buang sarung tangan di tempat limbah infeksius.

Cara melepas goggle atau perisai wajah:

• Ingatlah bahwa bagian luar goggle atau perisai wajah telah terkontaminasi.

• Untuk melepasnya, pegang karet atau gagang goggle.

• Letakkan di wadah yang telah disediakan untuk diproses ulang atau dalam
tempat limbah infeksius.

Cara melepas gaun pelindung:

!27
• Ingatlah bahwa bagian depan gaun dan lengan gaun pelindung telah
terkontaminasi

• Lepas tali pengikat gaun.

• Tarik dari leher dan bahu dengan memegang bagian dalam gaun pelindung
saja.

• Balik gaun pelindung.

• Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan di wadah yang telah di
sediakan untuk diproses ulang atau buang di tempat limbah infeksius.

Cara melepas masker:

• Ingatlah bahwa bagian depan masker telah terkontaminasi, JANGAN


SENTUH!

• Lepaskan tali bagian bawah dan kemudian tali/karet bagian atas.

• Buang ke tempat limbah infeksius.

Penggunaan APD pada pasien harus ditetapkan melalui Standar Prosedur Operasional
(SPO) di fasilitas pelayanan kesehatan terhadap pasien infeksius sesuai dengan indikasi
dan ketentuan Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI), sedangkan penggunaan APD
untuk pengunjung juga ditetapkan melalui SPO di fasilitas pelayanan kesehatan terhadap
kunjungan ke lingkungan infeksius. Pengunjung disarankan untuk tidak berlama-lama
berada di lingkungan infeksius.

3. Penempatan Pasien

a) Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non infeksius.

b) Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi infeksi penyakit pasien


(kontak, droplet, airborne) sebaiknya ruangan tersendiri.

!28
c) Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat bersama pasien lain yang
jenis infeksinya sama dengan menerapkan sistem cohorting. Jarak antara tempat
tidur minimal 1 meter. Untuk menentukan pasien yang dapat disatukan dalam satu
ruangan, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Komite atau Tim PPI.

d) Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda kewaspadaan berdasarkan


jenis transmisinya (kontak, droplet, airborne).

e) Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau lingkungannya seyogyanya
dipisahkan tersendiri.

f) Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya melalui udara (airborne) agar
dibatasi di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghindari terjadinya
transmisi penyakit yang tidak perlu kepada yang lain.

g) Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan pasien TB dalam satu
ruangan tetapi pasien TB-HIV dapat dirawat dengan sesama pasien TB.

4. Etika Batuk dan Bersin

Diterapkan untuk semua orang terutama pada kasus infeksi dengan jenis transmisi
airborne dan droplet. Fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan sarana cuci
tangan, seperti wastafel dengan air mengalir, tisu, sabun cair, tempat sampah infeksius,
dan masker bedah. Petugas, pasien, dan pengunjung dengan gejala infeksi saluran napas,
harus melaksanakan dan mematuhi langkah-langkah di bawah ini.

a) Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan atau lengan atas.

b) Tisu dibuang ke tempat sampah infeksius dan kemudian mencuci tangan.

Edukasi dan penyuluhan dapat dilakukan melalui audio visual, leaflet, poster, banner,
video melalui TV di ruang tunggu atau lisan oleh petugas.

!29
Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi

Kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai tambahan kewaspadaan standar yang dilaksanakan


sebelum pasien didiagnosis dan setelah terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan
berdasarkan transmisi sebagai berikut:

1. Melalui kontak

2. Melalui droplet

Transmisi droplet terjadi ketika partikel droplet berukuran >5 µm yang dikeluarkan pada
saat batuk, bersin, muntah, bicara, selama prosedur suction, bronkhoskopi, melayang di
udara dan akan jatuh dalam jarak <2 m dan mengenai mukosa atau konjungtiva, untuk itu
dibutuhkan APD atau masker yang memadai, bila memungkinkan dengan masker 4 lapis
atau yang mengandung pembunuh kuman (germ decontaminator). Jenis transmisi
percikan ini dapat terjadi pada kasus antara lain common cold, Respiratory Syncitial Virus
(RSV), Adenovirus, H5N1, H1N1.

3. Melalui udara (Airborne Precautions)

Transmisi melalui udara secara epidemiologi dapat terjadi bila seseorang menghirup
percikan partikel nuklei yang berdiameter 1-5 µm (<5 µm) yang mengandung mikroba
penyebab infeksi. Mikroba tersebut akan terbawa aliran udara >2 m dari sumber, dapat
terhirup oleh individu rentan di ruang yang sama atau yang jauh dari sumber mikroba.
Penting mengupayakan pertukaran udara >12 x/jam (12 Air Changes per Hour/ACH).

Pertukaran udara alamiah (natural ventilation) dapat dikombinasikan dengan pertukaran


udara mekanis yang menggunakan kipas angin dan exhaust fan untuk mengatur udara di
dalam suatu ruangan agar menghindari/meminimalkan terjadinya penularan. Hal ini
selaras dengan rekomendasi dari WHO. Langkah-langkah penerapan kewaspadaan
transmisi melalui udara antara lain:

!30
a) Pengaturan penempatan posisi pemeriksa, pasien, dan ventilasi mekanis di dalam
suatu ruangan dengan memperhatikan arah suplai udara bersih yang masuk dan
keluar.

b) Penempatan pasien TB yang belum pernah mendapatkan terapi OAT, harus


dipisahkan dari pasien lain, sedangkan pasien TB yang telah mendapat terapi OAT
secara efektif berdasarkan analisis resiko tidak berpotensi menularkan TB baru
dapat dikumpulkan dengan pasien lain.

c) Peringatan tentang cara transmisi infeksi dan penggunaan APD pada pasien,
petugas dan pengunjung penting dicantumkan di pintu ruangan rawat pasien
sesuai kewaspadaan transmisinya.

d) Ruang rawat pasien TB/MDR TB sebaiknya menggunakan ruangan bertekanan


negatif. Untuk RS yang belum mampu menyediakan ruang tersebut, harus
memiliki ruang dengan ventilasi yang memadai, minimal terjadi pertukaran udara
12x/jam (diukur dengan alat Vaneometer).

Jenis transmisi airborne ini dapat terjadi pada kasus antara lain tuberkulosis, measles atau
campak, SARS. Pencegahan dan pengendalian transmisi TB dilakukan strategi TEMPO.
Strategi TEMPO merupakan strategi yang mengutamakan pada komponen administratif
pengendalian infeksi TB. Kunci utama dari strategi TEMPO adalah menjaring,
mendiagnosis dan mengobati TB segera dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan
TB secara efektif. Penerapannya mudah, tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk
diterapkan oleh layanan kesehatan primer dengan keterbatasan sumber daya yang belum
dapat menjalankan komponen PPI lainnya secara lengkap. Dengan menggunakan strategi
TEMPO akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB resisten obat yang belum
teridentifikasi.

4. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)

5. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)

!31
Kesimpulan

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Patient safety
adalah prinsip dasar dari perawatan kesehatan. Keselamatan pasien adalah tidak adanya
kesalahan atau bebas dari cedera karena kecelakaan. Panduan keselamatan pasien telah diatur
oleh World Health Organization. Keselamatan pasien dapat diterapkan pada pasien berusia 50
tahun dengan suspek infeksi TB. Diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dan pekerja
rumah sakit untuk mengendalikan infeksi dengan prinsip kewaspadaan, untuk menghindari
penyebaran infeksi dan terjadinya infeksi terkait pelayanan kesehatan.

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan RI. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2008. h.17-8,20,22-7

2. Sunaryo. Malpraktik dalam keperawatan. Jakarta: EGC; 2009. h.9

3. Mitchell PH, Hughes RG. Patient safety and quality: an evidence-based handbook for nurses.
Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2681/. Diakses tanggal 14 Oktober
2017.

4. WHO. Patient identification: patient safety solutions. 2007. Diunduh dari http://
www.who.int/patientsafety/solutions/patientsafety/PS- Solution2.pdf?ua=1. Diakses tanggal
15 Oktober 2017.

5. Joint Commission International. Joint commission international accreditation standards for


hospital. 2014. Diunduh dari https://www.jointcommissioninternational.org/assets/3/7/
Hospital-5E-Standards-Only-Mar2014.pdf. Diakses tanggal 16 Oktober 2017.

6. Sutanto H. Analisis implementasi keselamatan pasien di rumah sakit umum deli medan.
Medan : Universitas Sumatera Utara; 2014. [Tesis]

7. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/
Menkes/Per/VIII/2011 tanggal 8 Agustus 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011.

!32
8. WHO. Panduan kurikulum keselamatan pasien. Jakarta: Lembaga Kesehatan Budi
Kemuliaan; 2015. h.25-31,210-25

9. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 tahun
2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Diunduh dari http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._27_-
ttg_Pedoman_Pencegahan_dan_Pengendalian_Infeksi_di_FASYANKES_.pdf. Diakses
tanggal 16 Oktober 2017.

10. Stelfox HT, Bates DW, Redelmeier DA. Safety of patients isolated for infection control.
JAMA. 2003 Oct 8;290(14):1899-905.

!33

Anda mungkin juga menyukai