Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

“TAX PLANNING – PAJAK PERTAMBAHAN NILAI”

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pasar Modal & Manajemen Keuangan
Dosen Pengampu: Bapak Dr. Nur Hidayat, Ak. CA, BKP.

Oleh:
Egidia Novitry 1617202011
Chandra Anggana 1617204005
Yuli Handayani 1617204006
Kusuma Tresna Wikandari 1617204008
Erma Maryanti 1617204013

SEKOLAH PASCASARJANA
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG ..................................................................................................... 1
1.2. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 2
1.3. TUJUAN PEMBAHASAN ............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 3
2.1. PENGERTIAN DAN MEKANISME PPN ..................................................................... 3
2.1.1. Perencanaan PPN...................................................................................................... 4
2.2. MEMAKSIMALKAN MEKANISME PENGKREDITAN PPN ................................... 4
2.2.1. Pajak Masukan yang dapat Dikreditkan ................................................................... 5
2.2.2. Pajak Masukan yang Tidak dapat Dikreditkan ......................................................... 5
2.2.3. Mekanisme Pengkreditan dan Pelaporan PPN ......................................................... 5
2.3. FAKTUR PAJAK ............................................................................................................ 8
2.3.1. Saat pembuatan Faktur Pajak ................................................................................... 9
2.3.2. Penundaan Pembuatan Faktur Pajak ...................................................................... 10
2.4. SAAT TERUTANGNYA PPN ..................................................................................... 10
2.5. BATAS WAKTU PENYETORAN PPN DAN PELAPORAN SPT MASA PPN ....... 12
2.6. MEMAKSIMALKAN FASILITAS DI BIDANG PPN................................................ 13
2.6.1. Fasilitas PPN Tidak Dipungut berlaku untuk: ........................................................ 13
2.6.2. Fasilitas PPN Dibebaskan (PP 146 Tahun 2000 jo. PP 38 Tahun 2003) ............... 14
2.6.3. Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah ................................................................... 17
2.7. SENTRALISASI TEMPAT PPN YANG TERUTANG ............................................... 18
2.8. MEMAKSIMALKAN RESTITUSI PPN ..................................................................... 19
2.9. MEMBANGUN SENDIRI TIDAK DALAM KEGIATAN USAHA .......................... 21
2.10. PPN ATAS BARANG GRATIS UNTUK KEPENTINGAN PROMOSI .................. 22
2.11. PENJAGAAN TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN ................................... 24
2.12. PENGENDALIAN PAJAK MELALUI TAX REVIEW ............................................ 25
2.12.1. Tax Review untuk Menangani Masalah Kepatuhan .............................................. 25
2.12.1. Analisis Tax Review.............................................................................................. 26
2.13. TANGGUNG JAWAB RENTENG ............................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Langkah pembaruan dan penyempurnaan UU PPN No. 8 Tahun 1983 terus dilakukan
pemerintah semenjak tahun 1994, terakhir dengan diterbitkannya Undang-Undang PPN No.
42 Tahun 2009, yang meningkatkan kepastian hokum dan keadilan bagi pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai. Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan
pola transaksi baru dalam UU PPN, namun saat ini wajib pajak masih saja menemukan
kendala dalam melaksanakan UU PPN secara benar.Perusahaan perlu mencermati dan
melakukan perencanan yang terkait dengan hak dan kewajiban PPN agar tehindar dari sanksi
perpajakan yang bisa terjadi dikemudian hari.
Sejak diterbitkannya UU PPN yang baru, ada beberapa peraturan dari dirjen pajak
yang dikeluarkannya dan telah mengalami revisi seperti terlihat dibawah ini yang mengubah
ketentuan mengenai pembuatan kode Faktur Pajak Keluaran, dan saat pembuatan Faktur
Pajak, pelaporan PPN secara manual atau melalui data elektronik (e-SPT), dan yang
disampaikan lewat e-filling, adanya kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan
kode cabang atau penandatanganan Faktur Pajak. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan
Faktur Pajak dianggap cacat, di antaranya:
• PER-146/PJ/2006 yang telah direvisi dengan PER 142/PJ/2008 dan PER-14/PJ/2010
tentang bentuk, isi dan tata cara penyampaian SPT Masa PPN.
• PER-159/PJ/2006, mengenai saat pembuatan, bentuk ukuran, pengadaan, tata cara
penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak Standar.
• PER-29/PJ/2008 yang telah direvisi dengan PER-15/PJ/2010, mengenai berlakunya
formulir 1108 SPT PPN khusus bagi PKP dengan Faktur Pajak yang jumlahnya baik
sebagai Pajak Keluaran maupun sebagai Pajak Masukan masing-masing tidak
melebihi dari 30 (tiga puluh) dalam 1 (satu) Masa Pajak. SPT Masa PPN bentuk
formulir 1108 wajib digunakan bagi PKP yang menyampaikan SPT dalam bentuk
formulir kertas (hard copy). Sedangkan apabila penyerahannya melebihi 30
penyerahan (ekspor + penyerahan dalam negeri) dalam satu Masa Pajak, maka WP
wajib menyampaikan SPT secara elektronik.

1
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka identifikasi dari masalah
yang akandibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa Pengertian PPN?
2. Bagaimana Mekanisme PPN?
3. Bagaimana Memaksimalkan Mekanisme Pengkreditan PPN?
4. Apa Pengertian Faktur Pajak?
5. Bagaimana Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN?
6. Bagaimana Sentralisasi Tempat PPN yang Terutang?
7. Bagaimana Memaksimalkan Restitusi PPN?
8. Bagaimana Membangun Sendiri Tidak Dalam Kegiatan Usaha?
9. Bagaimana Pengendalian Pajak Melalui Tax Review?

1.3. TUJUAN PEMBAHASAN


Berdasarkan identifikasi masalah sebelumnya, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui:
1. Pengertian dari PPN.
2. Mekanisme dari PPN.
3. Memaksimalkan Mekanisme Pengkreditan PPN.
4. Pengertian dari Faktur Pajak.
5. Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN.
6. Sentralisasi Tempat PPN yang Terutang.
7. Memaksimalkan Restitusi PPN.
8. Membangun Sendiri Tidak Dalam Kegiatan Usaha.
9. Pengendalian Pajak Melalui Tax Review.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGERTIAN DAN MEKANISME PPN


PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang/jasa kena
pajak di dalam daerah pabean.Setiap pembelian dan penjualan barang/ jasa dari Pengusaha
Kena Pajak dikenai PPN.Sesuai legal karakter dari PPN ini yang bersifat non komulatif, mka
dalam perlakuan pajak PPN tidak memperbolehkan terjadinya pajak berganda karena
konsumen terakhirlah yang harus menanggung PPN ini. Kalau Pajak Penjualan memang bisa
terjadi pajak berganda karena pengenaannya buka bersifat “multi stage levy”. Beda halnya
jika pembelian barang adalah pengusaha yang mengolahnya lebih lanjut atau untuk dijual
kembali, maka beban PPN yang dibayarkan dapat digeser kepada pembeli berikutnya
(forward tax shifting).PPN memiliki karakteristik sebagai pajak tidak langsung yang beban
pajaknya bisa digeser ke konsumen akhir.
PPN juga memiliki karakterisktik sebagai pajak objektif yang mengandung pengertian
bahwa timbulnya kewajiban pajak dibidang PPN sangat ditentutkan oleh adanya objek
pajak.PPN tidak mempertimbangkan kondisi subjektif dari subjek pajak.
Objek PPN, sebgaimana dijelaskan dan UU PPn No 8 Tahun 1983 yang telah diubah
terakhir kalinya dengan UU PPN No. 42 tahun 2009 (Pasar 4 ayat 1, Pasal 16C dan Pasal
16D) adalah sebagai berikut:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha (Pasal 4 ayat 1).
b. Impor Barang Kena Pajak (Pasal 4 ayat 1).
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha (Pasal 4 ayat 1).
d. Pemanfaaatan Jasa Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daeah Pabean (Pasal 4 ayat 1).
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal
4 ayat 1).
f. Ekspor Barang Kena Pajak atau Jasa Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 ayat
1).

3
g. Kegiatan membangun sendiri di luar kegiatan usaha atau pekerjaannya yang
digunakan untuk temat inggal atau tempat usaha (Pasal 16C).
h. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual-belikan,
sepanjang PPN pada saat perolehannya dapat dikreditkan (Pasal 16D).
Secara umum, mekanisme pemungutan PPN menggunakan mekanisme Indirect
Subtraction Method/Invoice Method (PK-PM), sebagaimana tercermin dalam Pasal 9 ayat (2),
ayat (8) huruf b, ayat (4), ayat (10), ayat (11) dan ayat (12) UU PPN, dan metode inilah yang
terbaik dari metode lainnya dengan alasan:
1. Adanya Kewajiban membuat faktur pajak setiap transaksi, mengingat faktur pajak
merupakan bukti terpenting.
2. Memudahkan melakukan pemeriksaan, baik oleh pemeriksaan internal maupun fiskus.
3. Tidak perlu menentukan besarnya keuntungan untuk setiap barang yang dijual.
4. Kewajiban perpajakannya dapat dihitung setiap saat.

2.1.1. Perencanaan PPN


Pembahasan tentang perencanaan PPN ini difokuskan pada beberapa upaya berikut ini:
1. Memaksimalkan mekanisme pengkreditan PPN,
2. Memaksimalkan fasilitas di Bidang PPN,
3. Sentralisasi Pengenaan PPN,
4. Memaksimalkan restusi PPN,
5. Membangun sendiri dalam kegiata usaha,
6. PPN atas barang gratis untuk keperluan promosi,
7. Penjagaan Cash Flow,
8. Pengendalian PPN,
9. Tanggung jawab renteng.

2.2. MEMAKSIMALKAN MEKANISME PENGKREDITAN PPN


Perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari
Pengusaha Kena Pajak, supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan perlu
mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak masukan yang belum dikreditkan.
PPN dikanakan atas:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
4
2. Impor BKP.
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP luar daerah di dalam daerah pabean.
4. Ekspor BKP oleh PKP.

2.2.1. Pajak Masukan yang dapat Dikreditkan


Pajak masukan yang berhubungan langsug dengan produksi, distribusi, pemasaran,
dan manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya adalah faktur pajak standar atau dokumen
yang disamakan dengan faktur pajak standar.

2.2.2. Pajak Masukan yang Tidak dapat Dikreditkan


1. Sebelum dikukuhkan menjadi PKP.
2. Fatur Pajak sederhana.
3. Faktur Pajak cacat (tidak diisi lengkap, ada coretan/ hapusan).
4. Pajak masukan atas pembelian mobil sedan, jeep, station wagon, van, dan combi.
5. Pajak masukan berkaitan dengan produksi BKP/JKP.
6. Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan usaha atas
BKP.
7. Pajak masukan yang dilaporkan pada SPT masa PPN, yang ditemukan pada saat
pemeriksaan atau yang ditagih melalui SKP.
Pajak masukan yang belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa yang sama,
dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah
berakhirnya tahun buku yang bersangkuta sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan.

2.2.3. Mekanisme Pengkreditan dan Pelaporan PPN


Pengenaan PPN berdasar Sistem Faktursehingga setiap penyerahan BKP/JKP yang
dilakukan Pengusaha Kena Pajak harus dibuatkanFaktur Pajak.Mekanisme penggeseran PPN
dilakukan melalui pemungutan kembali PPN dari pembeli berikutnya.Jika jumlah PPN yang
dipungutnya lebih besar dan PPN yang telah dibayar pada saat perolehannya, maka
kelebihannya harus disetorkan ke kas Negara.Mekanisme ini sering disebut dengan Indirect
Substraction Method (PK-PM).
Pajak Keluaran adalah PPN Terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor

5
BarangKena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak berwujud, dan atau ekspor
barang Jasa Kena Pajak.
Pajak Masukan adalah Pajak Petambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena
Pajak dan atau pemanfaatan Barang Tidak Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor
Barang Kena Pajak.
Jika PK > PM, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar. Jika PK < PM,
maka selisihnya adalah merupakan kelebihan bayar PPN yang dikompensasi dengan Masa
Pajak berikutnya atau dimintakan kembali (restitusi).
PPN yang dibayar atas perolehan barang, bukan hanya PPN atau harga barang
tersebut, tetapi termasuk juga PPN yang dibayar atas jasa angkutan, kemasan, biaya
pemasaran, biaya manajemen, dan sebagainya yang semuanya boleh diperhitungkan dengan
PPN yang dipungut dan pembeli berikutnya (Pajak Keluaran).
Secara umum mekanisme pengkreditan Pajak Masukan diatur dalam Pasal 9 UU
Nomor 42Tahun 2009 itu adalah:
a. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
b. Apabila terdapat pajak masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa
Pajak Berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulansetelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.
c. Jika dalam suatu Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran, maka Pajak Masukan
tetap dapat dikreditkan.

Pajak Masukan dapat dikreditkan apabila:


a. Memenuhi ketentuan formal, yaitu:
1. Secara formal harus berbentuk Faktur Pajak atau diperlakukan sebagai Faktur
Pajak, diisi selengkapnya dan tidak cacat.
2. Harus diperhatikan ketentua Pasal 9 ayat (8) UU PPN yag menentukan bahwa
Pajak Masukan Tidak Dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk:
a. Perolehan BKP atau JKP sebelum Pengusaha Dikukuhkan sebagai PKP.

6
b. Perolehan BKP ataj JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha.
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotir sedan,jeep, station wagon,
van, dan kombi, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
d. Pemanfaatan BKP tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
e. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak
Sederhana.
f. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5).
g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah
Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).
h. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak.
i. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilapokan dalam
surat pemberitahuan Masa PPN, yang diketemukan pada waktu dilakukan
pemeriksaan
Meskipun PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi
perusahaan, pada prinsipnya tidak terjadipemugutan pajak berganda, karena
Pengusaha Kena Pajak (Penjual) hanya wajib menyetor sebesar selisih antara PK
dengan PM sebagaimana dijelaskan diatas.

b. Memenuhi Ketentuan Material, yaitu:


Pajak Masukan yang dibayarkan atas peolehan BKP/JKP yang berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha, yang meliputi kegiatan produksi, manajemen, distribusi, dan
pemasaran.Selain itu, Pajak Masukan juga mesti didukung bukti pengeluaran berupa Invoice
dan Kuitansi pembayaran yang menyatakan bahwa transaksi sudah dipungut PPN (bukan
transaksi fiktif).
Berkaitan dengan ketentuan perpajakan di bidang PPN tersebut diatas, perlu
diperhatikan hal-hal berikut ini:

7
• Cek secara teliti Faktur Pajak Masukan yang diterima dari sebelum melakukan
pembayaran. Perlu diperhatikan persyaratan formal Faktur Pajak yang dapat
dikreditkan agar tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
• Cek secara teliti apakah semua pajak masukan yang ditransaksikan telah memiliki
bukti pendukung yang cukup kuat sebagai pajak masukan yang dapat dikreditkan
sesuai dengan peraturan perpajakan.
• Berkaitan dengan batas waktu tiga bulan masa pengkreditan, usahakan Faktur
Pajak sudah diterima sebelum lewat tiga bulan setelah berkahirnya masa pajak,
kecuali untuk Pemungut PPN.
• Makin cepat menerima Faktur Pajak dari pembelian barang, maka akan lebih baik
perusahaan karena perusahaan sudah dapat mengkreditkannya walaupun belum
melakukan pembayaran.
• Cek secara teliti semua pelaporan ke kantor pajak, terutama untuk permohonan
restitusi karena lebih bayar pajak masukan. Bila ada faktur pajak yang tidak
disetujui, segera lakukan tindakan perbaikan sebelum dilakukan Closing
Conference hasil pemeriksaan permohonan restitusi PPN tersebut, misalnya
dengan meminta pengganti faktur pajak yang cacat pembeli barang.

2.3. FAKTUR PAJAK


Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat PKP yang melakukan
penyerahan BKP atau JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang digunakan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dari definisi di atas, beberapa poin penting yang dpaat dicatat adalah:
1. Faktur pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak.
2. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP atau karena
impor BKP yang digunakan oleh DJBC.
3. PPN yang dipungut berfungsi sebagai Pajak Keluaran bagi penjual dan Pajak Masukan
bagi pembeli.
PKP perlu memperhatikan tata cara pembuatan Faktur Pajak agar tidak dikenai sanksi
perpajakan. Keterlambatan atau kekeliruan dalam pembuatan Faktur Pajak dapat dikenakan
sanksi 2% dari DPP sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UU KUP.
Secara umum, Faktur Pajak dapat dibagi menjadi tiga:

8
1. Faktur Pajak
2. Faktur Pajak Gabungan
3. Dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak (lihat juga
SE_No.43/PJ/2010 dan PER-14/PJ/2010)

2.3.1. Saat pembuatan Faktur Pajak


Untuk meringankan beban administrasi wajib pajak, saat yang tepat untuk membuat
Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan atau dalam hal
pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
Dengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur pnejualan (invoice) yang
berbeda dengan Faktur Pajak.
Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT
Masa PPN diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
Berakhir.Faktur Pajak Gabungan merupakan Faktur Pajak yang harus dibuat paling lambat
pada akhir bulan penyerahan BKP dan atau JKP.
Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan
membuat Faktur Pajak Gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun di dalam bulan penyerahan tetlah terjadi
pembayaran baik sebagian mauupun seluruhnya

Contoh I:
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan BKP kepada pengusaha B pada
tanggal 1,5,10,11,12,20,25,28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010
sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, maka Pengusaha A
diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan
yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.

Contoh II:
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 2, 7,9,10,12,20,26,28,29, dan 30 September 2010.Pada tanggal 28
September 2010 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September
2010. Jika Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak

9
gabungan tersebut sebaiknya dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh
penyerahan yang terjadi pada bulan September.

Contoh III:
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan BKP kepada pengusaha B pada
tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September
2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang
muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh pengusaha B.
dalam hal PKP A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan itu sebaiknya
penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilkaukan pada bulan September.
Saat pembuatan Faktur Pajak Standar ini sangat terkait dengan saat terutangnya PPn
dan penting untuk dimengert, karena pada saat pembuatan Faktur Pajak ini akan menentukan
kapan Pajak Keluaran ini dilaporkan di SPT masa PPN. Pajak Keluaran dilaporkan di SPT
Masa PPN pada Masa Pajak dibuatnya Faktur Pajak. Faktur Pajak yang dibuat lebih dari 3
(tiga) bulan sejak batas akhir pembuatan Faktur Pajak Standar akan berakibat hilangnya hak
pengkreditan Pajak Masukan bagi pembeli BKP dan atau penerima JKP (lihat PER-
159/PJ./2006).

2.3.2. Penundaan Pembuatan Faktur Pajak


Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diketahui, pembuatan
faktur pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah penyerahan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak. Dalam kaitan dengan saat pembuatan Faktur Pajak, maka lambat
PKP membuat Faktur Pajak, maka akan lebih baik karena PKP tidak perlu menalangi
pembayaran PPN.
Berkaitan dengan hal ini, sebaiknya PKP penjual dalam menentukan sayarat
pembayaran yang ideal, yaitu tidak lebih 45 hari setelah penyerahan BKP atau JKP
(penerbitan invoice). Jika pembayaran baru diterima PKP setelah lewat waktu 45 hari berarti
bahwa PKP penjual akan menalangi pembayaran PPN ke Kas Negara.

2.4. SAAT TERUTANGNYA PPN


Sesuai Peraturan Menkeu No. 240/PMK.03/2009, saat terutangnya PPN ditetapkan
sebagai berikut:

10
• Pemungutan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual,
artinya teurtangnya pajak terjadi pada saat penyerahan BKP atau JKP meskipun
pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima
atau pada saat impor BKP. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan
melalui electronic commerce tunduk pada ketentuan ini.
• Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan
JKP, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP
Tidak Berwujud atau JKP dari luar daerah pabean, saat terutangnya pajak adalah pada
saat pembayaran.
Dalam melakukan perencanaan pajak, penentuan saat terutangnya pajak sangat
penting diperhatikan meningkat pengaruhnya terhadap cash flow perusahaan.PPN dan
PPNBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT masa PPN disampaikan.

Contoh:
PT ABC mengikat kontrak penjualan BKP dengan customernya PT DEX pada tanggal 20
Maret 2012, dengan nilai kontrak sebesar Rp 500 juta. Penyerahan barang dilakukan lima hari
setelah kontrak ditandatangani, dengan pembayaran tunai. Tingkat bunga umum di pasar uang
atau bank komersial adalah 12% per tahun atau 1% per bulan. Pertanyaannya: keputusan apa
yang harus dilakukan oleh PT ABC untuk menegosiasikan penyerahan barangnya kepada PT
DEX:
- Apakah penyerahannya dilakukan pada 25 Maret 2012 dengan konsekuensi Faktur
Pajak harus terbit tanggal 25 Maret 2012 dan harus menyetorkannya ke Kas Negara
pada tanggal 30 Maret 2012, atau
- Menegosiasikannya dengan pihak PT DEX agar penyerahan barangnya dilakukan
pada awal bulan berikutnya, yakni 1 April 2012, dengan keuntungan pembayaran
faktur pajak dapat ditunda hampir sebulan lamanya (dilakukan penyetoran ke Kas
Negara pada tanggal 29 April 2012).

Dari perhitungan berikut ini, kita dapat menghitung berapa besar penghematan pajak yang
bisa diperoleh perusahaan dari penundaan penyetoran PPN tersebut, yang semula atas
penyerahan barang pada 25 Maret 2012 harus dilakukan setoran PPN ke Kas Negara pada 29

11
April 2012, tetapi ditunda penyerahan barangnya pada awal April 2012 sehingga setoran PPN
nya ke Kas Negara bisa ditunda hingga akhir bulan yang bersangkutan.

PPN Terutang = 10% x Rp.500 juta Rp 50.000.000


Nilai sekarang (present value)
dari uang sebesar RP.50 juta
yang harus disetor ke Kas
Negara atas PPN yang
Terutang = Rp.50 juta: (1+0.01) Rp 49.500.000
Penghematan Pajak Rp 500.000

Jadi dengan menunda penyerahan barang selama beberapa hari saja, perusahaan bisa
menghemat pajak sebesar Rp 500 ribu.

2.5. BATAS WAKTU PENYETORAN PPN DAN PELAPORAN SPT MASA PPN
Sesuai PER Dirjen Pajak No.14/PJ/2010, batas waktu penyetoran PPN dan pelaporan
SPT Masa PPN ditetapkan sebagai berikut:
- PPN dan PPNBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN
disampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
- SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak. Dalam hal akhir bulan adalah hari libur termasuk hari Sabtu
atau hari libur nasional, maka SPT Masa PPN dapat disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
Penjagaan terhadap batas waktu penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN ini
sangat penting, karena keterlambatan pelaporan SPT masa PPN tersebut akan dikenai denda
Rp.500.000, sedangkan untuk keterlambatan penyetoran PPN dikenai denda bunga 2% per
bulan dari PPN yang terutang.

12
2.6. MEMAKSIMALKAN FASILITAS DI BIDANG PPN
Sejak diberlakukannya UU Nomor 36 Tahun 2008, fasilitas di bidang PPN yang
dikenal dalam ketentuan PPN adalah PPN Tidak Dipungut, PPN Dibebaskan, dan PPN
Ditanggung Pemerintah. Bagi PKP yang mendapatakan fasilitas PPN Tidak Dipungut, PPN
Masukan yang berhubungan dengan perolehan BKP/JKP tetap dapat dikreditkan, sedangkan
bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan, PPN Masukan yang berhubungan
dengan perolehan BKP/JKP tidak dapat dikreditkan. Fasilitas yang berkaitan dengan PPN
adalah:
1. Fasilitas PPN tidak dipungut
2. Fasilitas PPN dibebaskan
3. Fasilitas PPN ditanggung pemerintah
Dalam perencanaan pajak, memaksimalkan pemanfaatan fasilitas tersebut akan
member dampak pada berkurangnya juumlah yang harus dibayar oleh pembeli terhadap
barang yang dibeli dari penjual minimal 10% dari harga jual, dan sebaliknya pemanfaatan
tersebut akan mendorong penjual untuk menurunkan harga jualnya secara proporsional
sehingga terjadi suatu keseimbangan pasar yang baru dari produk yang bersangkutan akibat
dari efisiensi harga yang diperoleh. Memaksimalkan fasilitas tersebut akan mendorong
pembentukan harga barang di pasar lebih murah sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat,
omset penjualan akan meningkat yang bermuara pada perolehan profit dan setoran pajak juga
akan lebih besar.

2.6.1. Fasilitas PPN Tidak Dipungut berlaku untuk:


a. Atas impor barang, pemasukan BKP, pengiriman hasil produksi, pengeluaran barang,
penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang Kena Cukai (BKC)
ke dan atau dari kawasan berikat atau EPTE (PP 33 Tahun 1996 jo. PP 43 Tahun 1997
jo. PP 32 Tahun 2009 KMK 291/KMK.01/1997 jo. KMK 101/KMK.04/2005).
b. Peraturan Menkeu NO.121/PMK.03/2009 tentang pemanfaatan BKP tidak berwujud
dari luar Daerah Pabean, penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP oleh kontraktor
utama dan atau subkontraktor sehubungan dengan pelaksanaan proyek pemerintah
untuk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi
Nagroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara pasca bencana

13
alam gempa bumi dan tsunami yang dibiayai dengan hibah luar negeri yang
pelaksanaannya belum selesai sampai dengan tanggal 31 Maret 2009.

2.6.2. Fasilitas PPN Dibebaskan (PP 146 Tahun 2000 jo. PP 38 Tahun 2003)
a. BKP Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN
1. Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu:
a) Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat
angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja,
kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku
cadangnya yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI, Polri atau
oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan, TNI, atau
Polri untuk melakukan impor tersebut, dan komponen ataubahan yang
belum dibuat di dalam negeri, yang diimpor oleh PT (Persero) Pindad,
yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan
Departemen Pertahanan, TNI, atau Polri.
b) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN).
c) Buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama,
kapal laut, kapal angkutan sungai, danau, dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau
keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan penangkapan Ikan Nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan
Nasional sesuai dengan kegiatan usahanya.
d) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan
atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan
Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa
perawatan atau reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan
Udara Niaga Nasional.

14
e) Kereta api dan suku cadang sertra peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT
(Persero) Kereta Api Indonesia, dan komponen atau bahan yang
diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT (Persero) Kereta Api
Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan
digunakan oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia.
f) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen
Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan photoudara
wilayah NKRI yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional,
yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI atau pihak yang
ditunjuk oleh Departemen Pertahanan atau TNI.

b. JKP Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN adalah:
1. Jasa yang diterima oleh perusahaan angkatan laut nasional, perusahaan
penangkapan ikan nasional, perusahaan penyelenggara jasa kepelabuhan
nasional atau perusahaan penyelenggara jasa angkatan sungai, danau, dan
peyelenggara nasional yang meliputi:
a) Jasa persewaan kapal.
b) Jasa kepelabuhan melipuiti jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa
labuh
c) Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.
2. Jasa yang diterima oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional yang
meliputi:
a) Jasa persewaan pesawat udara.
b) Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.
3. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (Persero) Kereta
Api Indonesia.
4. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dan pembangunan tempat
semata-mata untuk keperluan ibadah.
5. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat
sederhana.

15
6. Jasa yang diterima oleh departemen pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan
dalam rangka penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik
Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.

Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak
lain, baik sebagian atau seluruhnya, dalam angka 5 (lima) tahun sejak saat impor dan
atau perolehan, maka PPN yang dibebaskan wajib dibayar dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak barang Kena Pajak tersebut dialihkan penggunaannya atau
dipindahtangankan.
c. Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu yang bersifat Strategis (PP. 12 Tahun
2001 jo. PP 43 Tahun 2002 jo. PP 46 Tahun 2003)
Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:
1. Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan
Barang Kena Pajak, oleh Pengusahan Kena Pajak yang menghasilkan Barang
Kena Pajak tersebut, barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik
dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang.
2. Makanan ternak unggas dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan makan
ternak, unggas dan ikan.
3. Hasil pertanian.
4. Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
penangkaran, atau perikanan.
5. Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum.
6. Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt.
7. Ternak, unggas, dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan
ternak, unggas, dan ikan.
8. Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
penangkaran, atau perikanan.

d. Fasilitas pemberian restitusi atau pembebasan PPN dan PPn BM bagi


Perwakilan Diplomatik Negara asing atau Badan International serta Pejabat
atau Tenaga Ahlinya (KMK 25/KMK.01/1998).

16
e. Penyerahan Barang di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN.
Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PP No.2 Tahun 2009)
1. Pemasukan barang dari luar daerah pabean ke kawasan bebas.
2. Pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke kawasan bebas
melalui pelabuhan melalui Bandar udara yang ditunjuk.
3. Barang dari tempat penimbunan berikat ke kawasan bebas pemasukan barang
dari kawasan bebas lainnya ke kawasan bebas.
4. Pemasukan barang dari tempat penimbunan berikat ke kawasan bebas dan
pengeluaran barang dari kawasan bebas ke tempat penimbunan berikat.
2.6.3. Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah
a. Pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai oleh hibah atau dana pinjaman dari luar
negeri (PP 42 Tahun 1995 jo. PP 63 Tahun 1998 jo. PP 43 Tahun 2000 jo. PP 25
Tahun 2001).
b. Peraturan Menkeu No.22/PMK.011/2011 tentang pemberian PPN Ditanggung
Pemerintah atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas
bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi untuk tahun anggaran 2011.

Perlakuan PPN Atas Penyerahan Atau Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (PP No. 2 Tahun 2009)
1. Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan atau jasa Kena Pajak dari Luar
Daerah Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN.
2. Penyerahan barang kena pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak di dalam.
3. Kawasan bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.
4. Penyerahan barang kena pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan
Bebas ke Kawasan Bebas lainnya dibebaskan dari pengenaan PPN.
5. Penyerahan barang kena pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari tempat
lain dalam Daerah Pabean ke kawasan bebas, tidak dipungut PPN.
6. Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak berwujud dari tempat
Penimbunan Berikat ke kawasan Bebas, tidak dipungut PPN.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak berwujud dari kawasan
bebas ke tempat penimbunan berikat, dipungut PPN.

17
Untuk mendapatkan fasilitas di bidang PPN, pihak-pihak yang terkait perlu
memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Perlakuan perpajakan yang terkait dengan fasilitas tersebut, mengenai interpretasi atas
ketentuan perpajakan yang berkaitan dengan fasilitas di bidang PPN.
2. Persyaratan substantif dan administratif dari instansi pemerintahan terkait (Bea cukai,
KPP, dan lain-lain) yang harus dipenuhi agar bisa mendapatkan fasilitas di bidang
PPN.
3. Pemenuhan persyaratan administratif yang harus dilakukan berkaitan dengan
permohonan SKB, pembuatan Faktur Pajak dan sebagainya.

2.7. SENTRALISASI TEMPAT PPN YANG TERUTANG


Sebelum mengambil keputusan untuk memilih pemusatan tempat terutang, sebaiknya
perusahaan melakukan penelitian dan mempertimbangkan mana cara yang lebih
menguntungkan, apakah dalam pelaporan pajaknya perusahaan memakai sistem sentralisasi
atau desentralisasi.
Dalam pasal 1A ayat f UU PPN disebutkan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang, termasuk
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Pengecualian dari ketentuan tersebut dengan tujuan untuk mempermudah administrasi
perpajakan, wajib pajak dengan kriteria tertentu yang memiliki lebih dari satu tempat untuk
melakukan penyerahan BPK/JKP dapat mengajukan permohonan pemusatan/sentralisasi
tempat PPN terutang kepada Kanwil DJP setempat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di KPP Wajib Pajak besar dapat
melakukan sentralisasi otomatis sesuai dengan KEP-335/PJ./2002. Dalam hal PKP
tersebut mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha, tempat terutang pajak
untuk seluruh tempat kegiatan usaha tersebut ditetapkan hanya di tempat PKP
dikukuhkan oleh KPP Wajib Pajak Besar.
b. PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang (selain butir a) dapat memilih
1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN Terutang. Dalam hal PKP
memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN Terutang, PKP
dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor

18
wilayah dengan tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat-tempat PPN terutang yang akan dipusatkan (PER-19/PJ/2010).

Syarat-syarat pengajuan sentralisasi bagi Pengusaha Kena Pajak yang memiliki lebih
dari satu tempat Pajak Pertambahan Nilai (PER-19/PJ./2010):
1. Pengusaha Kena Pajak Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang yang akan dipusatkan.
2. Tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak
yang berada di Kawasan Berikat: berada di Kawasan Ekonomi Khusus, mendapatkan
fasilitas kemudahan Impor Tujuan Ekspor, tidak dapat dipilih sebagai Tempat
Pemusatan PPN Terutang atau tempat PPN terutang yang akan dipusatkan.
3. Pemberitahuan secara tertulis harus memenuhi persyaratan:
a) Memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipilih sebagai
Tempat Pemusatan PPN Terutang.
b) Memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan.
c) Surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara terpusat
pada tempat PPN terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN
Terutang.
Sentralisasi tempat terutangnya PPN tersebut pada dasarnya merupakan fasilitas yang
bisa dimanfaatkan oleh PKP. Dengan izin sentralisasi, maka akan terdapat penghematan biaya
administrasi dan pengaturan cash flow perusahaan yang lebih baik dalam melaksanakan hak
dan kewajiban di bidang PPN.

2.8. MEMAKSIMALKAN RESTITUSI PPN


Sebagai subjek PPN, salah satu hak bagi PKP adalah mengkreditkan Pajak Masukan
sesuai dengan ketentuan.Dalam mekanisme indirect substruction method, PKP hanya
membayarkan PPN ke Kas Negara sebesar selisih antara Pajak Keluaran (PK) dikurangi
dengan Pajak Masukan (PM).Perhitungan tersebut dilakukan setiap bulan.
Apabila dalam satu masa pajak terdapat kelebihan pajak (PM lebih besar dari PK)
maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat
direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN

19
akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur atau pemasok pemerintah,
diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak.
Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas perusahaan, untuk Wajib Pajak
tertentu yang memiliki risiko rendah dapat diberikan restitusi dengan pengembalian
pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu.Pemeriksaan dapat dilakukan
kemudian bila diperlukan. Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP
yatu 2% (dua persen) per bulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan, maka
sanksi yang berlaku sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.
Pemilihan restitusi atau kompensasi sangat bergantung pada kondisi masing-masing
WP atau Pengusaha Kena Pajak. Pertimbangan utama dalam menentukan pilihan tersebut
berkaitan dengan biaya pemeriksaan dan opportunity cost yang timbul dari kelebihan pajak
yang ada di Negara (time value of money). Yang dimaksud dengan biaya pemeriksaan adalah
biaya yang timbul karena pemeriksaan berkaitan dengan status lebih bayar, waktu, tenaga dan
biaya yang harus dialokasikan selama proses pemeriksaan berlangsung dalam penyelesaian
permohonan restitusi. Sedangkan opportunity cost tercermin dari tingkat bunga deposito yang
berlaku. Kriterianya adalah, jika opportunity cost lebih besar dibandingkan dengan biaya
pemeriksaannya, maka Wajib Pajak akan cenderung meminta restitusi.
Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah
dibayar atas pembelian barang modal. Namun demikian, pajak masukan yang telah
dikreditkan dan telah diberikan pengembalian untuk dibayar kembali oleh Pengusaha Kena
Pajak dalam hal pengusaha kena pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pajak masukan
dimulai. Kriteria umum bagi manajemen dalam memutuskan perlu tidaknya mengajukan
permohonan restitusi PPN:
1. Bila besarnya PPN yang lebih bayar tersebut cukup signifikan/material
jumlahnya.
Nilai sekarang dari pencairan akumulasi PPN yang lebih bayar tersebut akan lebih
besar manfaatnya saat iniketimbang harus ditunda pencairannya di tahun-tahun
mendatang, sehingga sebaiknya permohonan restitusi dilakukan. Makin besar jumlah
bayar yang ada dalam SPT Masa PPN, opportunity cost yang hilang akan makin besar
jika tidak di restitusi.
2. Bila kondisi keuangan perusahaan mengalami gangguan cash flow.

20
Restitusi PPN merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan dana segar untuk
untuk memperbaiki posisi cash flow daripada harus mengajukan kredit perbankan.
Kondisi keuangan perusahaan ini juga ikut menentukan perlu tidaknya melakukan
restitusi PPN. Jika perusahaan memiliki cukup banyak cash flow, maka kebutuhan
akan restitusi juga akan menurun.
3. Bila sudah diyakini kesiapan perusahaan untuk diperiksa oleh fiskus.
Jika melihat fakta, sebenarnya tidak semua perusahaan siap untuk diperiksa. Kesiapan
menghadapi pemeriksaan pajak ini dapat dilihat dari:
• Kelengkapan dokumen yang mendukung transaksi bisnis perusahaan yang
akan diperiksa oleh fiskus, seperti kontrak/perjanjian jual beli/service/sewa
atau PO, faktur penjualan, faktur pajak masukan dan keluaran, dokumen
pendukung, dan buku-buku pencatatan (pembelian, penjualan, dan lain-lain)
yang mendukung transaksi penjualan dan sebagainya.
• Tersedianya personil atau kuasa pajak perusahaan yang akan menangani
pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh fiskus/KPP.
4. Bila prediksi masa depan pembayaran PPN menunjukan lebih bayar PPN
• Jika diprediksikan bahwa kelebihan bayar PPN tersebut tidak dapat
dikompensasikan dengan Pajak Keluaran yang akan terutang dimasa yang akan
datang, maka sebaiknya perlu diajukan permohonan restitusi.
• Sebagai tindakan preventif, perlu dilakukan penataan ulang kebijakan
manajemen mengenai pembelian dan penjualan, dan juga pembayarannya
(terms of payment) untuk menentukan titik keseimbangan agar tidak terjadi
kelebihan/kekurangan bayar pajak yang besar.
Dalam kondisi tertentu perusahaan mungkin memiliki pertimbangan khusus untuk
meminta pengembalian kelebihan bayar PPN. Misalnya bagi wajib pajak yang melakukan
kegiatan tertentu yaitu ekspor BKP atau yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada
terpungut PPN, maka restitusi merupakan hal yang tidak terhindarkan, hanya masalah timing-
nya perlu ada perencanaan yang masak.

2.9. MEMBANGUN SENDIRI TIDAK DALAM KEGIATAN USAHA


Membangun sendiri untuk tempat tinggal atau tempat usaha oleh orang pribadi atau badan
dikenai PPN, dengan kondisi:

21
1. Luas bangunan 200 m persegi atau lebih.
2. Bangunan permanen
3. Tarif 10% x 40% x biaya bangunan (tanpa harga tanah)
4. Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan berikutnya sejak pembangunan dimulai.
Contoh penerapan tax planning yang terkait dengan hal ini dapatdibaca pada bab VII tentang
“Implikasi Pajak Penghasilan Pada Yayasan Pendidikan dan Tax Planningnya”.

2.10. PPN ATAS BARANG GRATIS UNTUK KEPENTINGAN PROMOSI


Kejadian ini sering terjadi dalam praktik, baik pada saat perusahaan baru memulai
kegiatan bisnisnya maupun pada saat perusaahan baru memulai kegiatan bisnisnya maupun
pada saat perusaahn seudah berjalan dan sebagai bagian dari implementasi marketing strategi
perusahaan mereka melakukan kegiatan promosinya untuk meningkatkan omset penjualan.
Contohnya, perusahan PT ABC yang bergerak dibidang penerbitan surat kabar. Dalam
rangka penetrasi pasar, karena perusahaan ini masing masih baru, manajemen nya mengambil
kebijakan dalam rangka sales promotion memberikan surat kabar secara gratis kepada
pelanggan dan calon pelanggan, katakanlah sebulan lamanya. Dalam undang-undang pajak
penghasilan No 36 Tahun 2008 pasal 9 (1) e, pemberian ini dikategorikan sebagai pemberian
dalam natura dan oleh sebab itu tidak bisa dibiayakan. Kebijakan ini diharapkan akan
memberikan feedback, bahwa bulan berikutnya akan mendapat tanggapan positif dari
pelanggan dan calon pelanggan berupa order atau repeat order untuk bulan-bulan berikutnya.
Masalahnya, memberikan surat kabar secara Cuma-Cuma adalah suatu transaksi penyerahan
barang yang menjadi objek PPN. Jadi PPN nya harus dibayarkan oleh perusahaan surat kabar
tersebut dari harga pokoknya (bukan dari harga jualnya) sebagai tambahan pengeluaran biaya
perusahaan karena tidak mungkin dapat ditagih dari pelanggan/calon pelanggan yang sudah
menerima surat kabar gratisan itu.
Pertanyaanya: bagaimana tax planningnya, mana yang lebih menguntungkan, apakah
langsung membayar PPN atau pemberian Cuma- Cuma tersebut diperlukan sebagai potongan
harga?
Sebagai ilustrasi, PT ABC menjual surat kabar ke pelanggannya dalam bulan Oktober 2008.
Cara I:

22
Penjualan 2000 eksemplar @ Rp.4.000 Rp 8.000.000
PPN 10% Rp 800.000
Harga di faktur (harga jual + ppn) Rp 8.800.000

Bila dalam bulan tersebut terdapat pemberian Cuma – Cuma sebanyak 200 ekslempar,
maka akan dikenakan PPN 10% dari harga pokoknya (misalkan harga pokoknya
@Rp.2.500/eks). Tambahan beban PPN atas pemberian Cuma-Cuma: 10% x 200 eks x
Rp.2.500 = Rp 50.000.

Bila cara 1 ini yang ditempuh, maka dalam bulan oktober 2008 tersebut PT ABC harus
menyetorkan pembayaran PPN ke Kas Negara sebesar Rp 850.000
Tax planningnya:
Bila PT ABC mau menghemat pajak atas pemberian Cuma-Cuma tersebut maka hal ini dapat
dilakukan dengan car mengubah invoicing atau pemakturan dalam faktur pajaknya sebagai
berikut:
Cara I:

Penjualan 2.200 eksemplar @ Rp.4.000 Rp 8.800.000


Diskon Rp 800.000
Dasar Pengenaan Pajak Rp 8.000.000
PPN 10% Rp 800.000
Harga di faktur (harga jual +
ppn) Rp 8.800.000

Keuntungannya (Cara II):


• Bagi PT ABC atau penjual, tidak perlu harus bayar PPN tambahan sebesar Rp
50.000 atas pemberian Cuma-Cuma itu. Cara ini menghemat cash flow perusahaan
karena mengurangi PPN terutang yang harus dibayar pada bulan berikutnya.
• Bagi pembeli atau distributor, tidak ada dampaknya terhadap harga yang harus
dibayar karena dengan pembayaran yang sama (RP 8.800.000) mereka
memperoleh jumlah eksemplar yang sama (2.200 eksemplar).

23
Namun secara administratif, cara II ini lebih memenuhi aspek secara internal control
bagi kedua belah pihak, khususnya bagi pembeli atau distributor karena harga pokok
pembelian barang Cuma-Cuma tersebut terdokumentasi secara intra kontabel dalam faktur
pembelian barang.

2.11. PENJAGAAN TERHADAP CASH FLOW PERUSAHAAN


Salah satu tujuan dilakukannya perencanaan pajak oleh manajemen perusahaan adalah
untuk menjaga kesehatan cash flow. Berikut ini cara-cara yang aman dalam perencanaan
pajak yang perlu diagendakan oleh manajemen perusahaan untuk diaplikasikan dalam
kerangka peningkatan eksistensi pajak dan keuangan perusahaan:
a. Menyegerakan Pengajuan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) pada
perusahaan yang baru berdiri.
Keuntungan:
• Terjadi mekanisme pengkreditan Pajak Masukan (PM) dengan Pajak Keluaran
(PK)
• Bila PK<PM akan bisa memperoleh restitusi.
b. Memilih mendirikan perusahaan dilokasi yang mendapat fasilitas perpajakan PPN.
Contoh: untuk perusahaan berorientasi ekspor mendirikan perusahaan di Pulau Batam
(Kawasan berikat), yang fasilitasnya:
• PPN masukan atas bahan baku impor (ditanggung pemerintah)
• PPN Keluaran untuk ekspor sebesar 0%
c. Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan proses produksi
(post in time)
• Usahakan agar jarak antara Pajak Masukan (PM) denga Pajak Keluaran dekat
(terjadi pada masa pajak yang sama)
d. Mengajukan Permohonan sentralisasi PPN bagi perusahaan yang mempunyai kantor
cabang
e. Penanganan faktur pajak dengan baik
Faktur pajak keluaran cacat: Sanksinya 2% x dasar pengenaan pajak (DPP)
Faktur Pajak Masukan Cacat: Sanksinya faktur pajak tidak dapat dikreditkan.

24
2.12. PENGENDALIAN PAJAK MELALUI TAX REVIEW
Setelah Perencanaan Pajak selesai disusun dan di implementasikan, masih ada satu
tahap lagi yang harus dilakukan, yaitu pengendalian pajak perlu dilakukan untuk mengetahui
apakah semua perencanaan pajak telah dilaksanakan sesuai dengan rencana.Pengendalian
pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak (tax review).
Tax Review merupakan pelayanan yang bertujuan untuk menelaah dan meneliti tingkat
kepatuhan wajib pajak secara umum dan memberikan rekomendasi untuk meminimalkan
pajak yang belum diketahui perusahaan.Tax review meliputi seluruh kewajiban perpajakan
wajib pajak termasuk PPN dan PPnBM.
Tax Review memiliki tujuan sebagai berikut:
• Untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan implementasi kewajiban dan
procedural perpajakan dan kemudian dilakukan perbaikan dan penyesuaian
dengan ketentuan peraturan perpajakan.
• Hasil tax review dapat digunakan sebagai bahan acuan dasar untuk menyususn
SPT Tahunan PPh Badan.
• Hasil tax review dapat dimanfaatkan sebagai upaya antisipasi apabila sewaktu-
waktu dilakukan pemeriksaan pajak.

2.12.1. Tax Review untuk Menangani Masalah Kepatuhan


Untuk menjaga agar tetap menjadi wajib pajak patuh maka perusahaan seharusnya
mempunyai program yang disebut Tax Review.
1. Review waktu penerbitan faktur pajak:
• Penerbitan faktur pajak berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku
• Pembayaran tidak lebih dari tanggal terakhir bulan berikutnya
• SPT masa PPN harus dimasukan pada tanggal terakhir bulan berikutnya.
2. Periksa apakah PPN Masukan atas pembelian berhubungan dengan kegiatan usaha
atau bisnis perusahaan dan telah dikreditkan dengan PPN keluaran
3. Review penyiapan SPT masa PPN
4. Memastikan memiliki system filling atau penyimpanan dokumen PPN yang cukup
untuk dapat menghadapi pemeriksaan pajak dengan baik.
5. Hasil ekualisasi harus dapat menjelaskan berkaitan dengan perbedaan antara penjualan
yag dilaporkan pada SPT PPh badan dengan penjualan yang dilaporkan pada SPT
masa PPN.

25
2.12.1. Analisis Tax Review
Tax Review diharapkan dapat mengendalian beban pajak perusahaan yang diakibatkan
tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan dengan benar dan tepat.
1. Tujuan Tax Review PPN
a. Untuk mengetahui sejauh mana unit bisnis melakukan pemenuhan kewajiban
perpajakan PPN nya, sesuai dengan peraturan perpajakan.
b. Meminimalisasi terjadinya transkasi berkaitan dengan PPN yang dapat
menimbulkan risiko permasalahan perpajakan
c. Meminimalisasikan sanksi perpajakan PPN yang diakibatkan kesalahan pencatatan
yang dilakukan oleh unit bisnis dan memperbaikinya
d. Agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu yang akan
dating
e. Mempersiapkan unit bisnis dalam menghadapi pemeriksaan yang dilakukan oleh
pihak fiskus.

2. Prosedur Tax Review PPN


Prosedur yang dilakukan dalam tax review PPN mencakup langkah-langkah antara
lain sebagai berikut:
a. Melakukan kegiatan monitoring berupa penelitian data yang telah dikirimkan oleh
unit bisnis, yaitu SPT Masa PPN dan SPT Tahunan Badan, buku besar (ledger),
laporan keuangan, meliputi hal teknis pengisian dan perhitungannya. Dari data
ledger, dilakukan ekualisasi dengan SPT masa PPN.
b. Meminta bukti atau dokumen pendukung untuk di cross cek terhadap objek PPN,
seperti Invoice Penjualan, Faktur Pajak Masukan, Faktur Pajak Keluaran, Bukti
Kas, dan Debit Nota, Kontrak Jual Beli atau Service, PO, Bukti penyerahan barang
atau jasa yang berkenaan dengan objek PPN.
c. Merekonsiliasikan atau mengkualisasikan data objek-objek pajak berupa
pendapatan atau omzet di ledger dengan SPT Masa PPN. Bila ternyata pendapatan
diledger lebih besar, berarti ada penyerahan jasa yang tidak dilaporkan di SPT
masa PPN, dan sebaliknya apabila ternyata pendapatan di ledger lebih kecil berarti
ada indikasi pendapatan yang belum dicatat dalam pembukuan.

26
Dalam melakukan monitoring terhadap pelaporan SPT masa PPN apakah sudah
sesuai dengan data pembukuan baik dari transaksi penjualan maupun pembelian barang dan
jasa, maka contoh dibawah ini akan memperlihatkan bagaimana teknik ekualisasidapat
menemukan perbedaan antara apa yang dilaporkan di SPT masa PPN dengan data dari
pembukuan.Perbedaan tersebut harus segera ditelusuri penyebabnya sebelum dilakukan tutup
buku dan disampaikannya SPT tahunan Badan perusahaan tersebut ke Kantor Pelayanan
Pajak.

Tabel 1
Ekualisasi PPN antara Buku Besar (Ledger) atau SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPN

Buku Besar (Ledger)atau SPT Menurut


Beda SPT
Masa Tahunan PPh Badan SPT Masa PPN Ledger
Masa PPN -
2011 Penjualan -
Ledger
Penjualan Pembelian Pembelian PK PM PK-PM PK-PM

Jan 1.000 600 400 100 60 40 40 -

Feb 1.200 650 550 100 65 35 55 (20)

Mar 1.300 700 600 120 70 50 60 (10)

Apr 1.400 750 650 130 75 55 65 (10)

Mei 1.500 800 700 150 80 70 70 -

Jun 1.600 850 750 140 85 55 75 (20)

Jul 1.700 900 800 150 90 60 80 (20)

Agst 1.800 950 850 180 95 85 85 -

Sept 1.900 1.000 900 150 100 50 90 (40)

Okt 2.000 1.050 950 170 105 65 95 (30)

Nov 2.100 1.100 1.000 210 110 100 100 -

Des 2.200 1.150 1.050 220 115 105 105 -

27
TOTAL 19.700 10.500 9.200 1.820 1.050 770 920 (150)

Berikut contoh ekualisasi dan rekonsiliasi antara jumlah penyerahan menurut SPT
Masa PPN dengan jumlah peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh, seperti dibawah ini.

Penyerahan Barang dan Jasa menurut SPT Masa PPn selama 12 bulan

Penyerahan terutang PPN :

Ekspor tarif (0%) 3.000.000.000

Penyerahan yang PPN nya harus dipungut sendiri 2.000.000.000


Penyerahan yang PPN nya dipungut oleh pemungut
PPN 5.000.000.000

Penyerahan yang PPN nya tidak dipungut 4.000.000.000

Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN 1.000.000.000

Jumlah penyerahan terutang PPN 15.000.000.000

Jumlah penyerahan tidak terutang PPN 500.000.000

Jumlah seluruh penyerahan 15.500.000.000


Jumlah peredaran usaha menurut SPT PPh :

Penjualan Bruto 14.000.000.000


Dikurangi :

Potongan penjualan (600.000.000)

28
Retur Penjualan (400.000.000)

Penjualan Neto 13.000.000.000

Ekspor 3.000.000.000

Jumlah peredaran usaha 16.000.000.000

Selisih (500.000.000)

Di dalam pemeriksaan, apabila terdapat selisih jumlah peredaran (omzet) antara SPT
PPh dan SPT PPN, harus dibuat rincian perbedaan tersebut, apabila tidak dibuat rincian akan
dilakukan ekualisasi, jumlah yang besar yang benar.
Beberapa penyebab terjadinya perbedaan antara kedua dokumen tersebut (Ledger atau
SPT Tahunan PPh Badan vs SPT Masa PPN), antara lain:
1. Dalam praktik sering terjadi, bahwa dalam penyusunan SPT masa PPN selalu didasarkan
pada dokumen (faktur atau invoice) yang diterima oleh bagian pajak, baik invoice
pembelian dan penjualan sedangkan bagian accountingatau pembukun dalam mencatat
pembelian dan penjualan tidak semata-mata berdasarkan invoice pembelian dan penjualan,
tetapi selalu didasarkan pada prinsip akuntansi sesuai PSAK yakni akrual basis. Bila
memang sudah timbul hak dan kewajiban secara hukum atas penyerahan barang dan jasa
kepada debitur, maka meskipun faktur atau invoice penjualan belum terbit, namun dari sisi
PSAK dan UU Pajak, atas transaksi tersebut sudah harus dibukukan sebagai penghasilan
dalam masa yang bersangkutan.

Contoh: Timbulnya hak dan kewajiban secara hukum


Atas penyerahan barang dan jasa PT ABX (penjual) kepada PT DEX (pembeli) untuk
transkasi penjualan barang senilai Rp. 50 juta pada 20 Maret 2011 :
a Adanya kontrak jual beli dan atau Purchase Order/SPK tertanggal 20 Maret 2011.
b Adanya tanda bukti Barang/Jasa sudah diserahkan dengan adanya Bukti
Penerimaan/Penyerahan Barang/Jasa (delivery order) tertanggal 27 Maret 2011,
sesuai pesanan barang/jasa.
c Barang/jasa yang ditransaksikan bukan brang/jasa illegal.
29
Sehingga meskipun invoice dan faktur penjualan baru dibuat oleh PT ABX tanggal 1 April
2011, bagian accounting atau pembukuan sudah diperbolehkan untuk membukukan
pengakuan penghasilan dalam bulan Maret 2011, sebesar Rp 50 juta. Faktur Pajak
seharusya diterbitkan selambat-lambatnya akhir bulan Maret 2011.
2. Uang muka. Dalam penyusunan SPT masa PPN, bagian pajak akan selalu
memperhtungkan PPN atas pembayaran yang diterima dimuka dalam tahun yang berjalan
sebagai pajak keluaran, sedangkan di bagian accounting mungkin baru melakukannya
pada saat membukukan adjustment di akhir bulan/tahun buku.
Contoh:
Atas penyerahan barang dan jasa oleh PT ABX (penjual) kepada PT DEX (pembeli) untuk
transaksi penjualan barang senilai Rp 50 juta pada 22 Maret 2011:
a Adanya kontrak jual beli dan atau purchase order/SPK tertanggal 22 Maret 2011
b Adanya tanda bukti barang/jasa sudah/jasa diserahkan dengan adanya bukti
penerimaan/penyerahan barang/jasa (delivery order) tertanggal 3 April 2011,
sesuai pesanan barang/jasa
c Pembayaran DP diterima dimuka tanggal 25 Maret 2011 sebesar Rp 10 Juta
d Barang/jasa yang ditransaksikan bukan barang atau jasa illegal
Sehingga meskipun invoice/faktur penjualan baru dibuat oleh PT ABX tanggal 3 April
2011, namun bagian pajak harus menerbitkan faktur pajak (keluaran) tertang 25 Maret
2011 sebesar Rp 5 juta berdasarkan kwitansi DP yang diterima sebesar Rp 50 juta, dan
selanjutnya memasukkan faktur pajak keluaran tersebut dalam SPT masa Maret 2011.
3. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya kesalahan dalam pembukuan yang
menyebabkan terjadinya kekurang atau kelebihan dalam perhitungan pembelian atau
penjualan.
4. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya retur penjualan atau retur pembelian yang
belum tercatat, baik SPT masa PPN atau dalam ledger perusahaan.
5. Potongan penjualan. Potongan penjualan yang diberikan setelah faktur pajak diterbitkan,
dalam pembukuannya dicatat mengurangi jumlah penjualan dan peredaran usaha di buku
besar penjuaalan atau SPT Tahunan PPh Badan, tetapi tidak dapat mengurangi DPP PPN.
6. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya faktur pajak (masukan) yang cacat, tidak
benar atau tidak lengkap pengisiannya sehingga tidak dapat dikreditkan.
7. Penjualan dalam valuta asing. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya faktur
penjualan (invoice) yang dalam mata uang asing selalu menggunakan kurs konversi

30
berdasarkan nilai tukar (kurs) realisasi, sedangkan faktur pajak selalu dibuat berdasarkan
kurs menteri keuangan.
8. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya barang konsinyasi yang belum dibuatkan
faktur pajak. Pengiriman barang konsinyasi untuk dijual belum dapat dibukukan sebagai
penghasilan, tetapi sudah terutang PPN dan karena itu harus diterbitkan faktur pajak.
9. Pemakaian sendiri BKP/JKP. Pemberian secara cuma-cuma atau disumbangkan bukan
untuk tujuan produktif terutang PPN dihitung berdasarkan harga poko, dan harus
diterbitkan faktur pajak. Sedangkan dari sisi fiskal, pengeluaran tersebut tidak bisa
dibiayakan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
10. Cabang yang belum masuk sentralisasi PPN. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena
adanya kantor cabang yang belum terdaftar dalam sentralisasi PPN yang telah mendapat
persetujuan dari Dirjen Pajak, sehingga terjadi perbedaan jumlah penyerahan atau
peredaran usaha antara SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT masa PPN.
11. Tidak menutupi kemungkinan ada potensi penyelewengan (fraud) dalam tubuh internal
perusahaan yang dilakukan oleh oknum tertentu sehingga jumlah transaksi penjualan tidak
dilaporkan secara seutuhnya SPT masa PPB yang berdampak pada kurang bayar PPN ke
kas Negara.
12. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya rekayasa yang dilakukan oleh pihak
perusahaan untuk mengecilkan setoran PPN yang harus dibayar ke kas Negara dengan
cara memperkecil omzet penjualan yang dilaporkan di SPT masa PPN.
13. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena ada rekayasa yang dilakukan oleh pimpinan
perusahaan untuk mendapatkan restitusi PPN dengan cara melakukan penggelembungan
terhadap PPN masukan dari pembelian fiktif yang dilaporkan di SPT masa PPN.

2.13. TANGGUNG JAWAB RENTENG


Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur dalam Pasal 33 UU KUP
No 16 tahun 2000, kemudian ketentuan ini dihapus dalam UU KUP No 28 tahun 2007,
kemudian dihidupkan lagi melalui penambahan Pasal 16 F ke dalam UU PPN NO 42 tahun
2009, yakni:
“Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertangung jawab secara renteng
atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah
dibayar”.

31
Contoh:
Pada tahun 2006 pemeriksa pajak dari KPP A melakukan pemeriksaan SPT masa PPN
untuk masa pajak Januari sampai Desember 2004 dari KPP D, ditemukan fakta bahwa KPP D
dalam suatu masa pajak melakukan penyerahan BKP dengan harga jual Rp 300 juta, ternyata
tidak membuat faktur pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, KPP A menerbitkan SKPKB
terhadap PKP D disertai sanksi bunga sebesar 2 % perbulan, dan denda 2 % dari dasar
pengenaan pajak karena PKP D menyerahkan BKP tidak membuat faktur pajak.
Pada tahun 2007, pemeriksa pajak dari KPP B tempat PKP E dikukuhkan sebagai PKP
melakukan pemeriksaan SPT masa PPN masa pajak Januari sampai Desember 2004,
ditemukan fakta dari pembukuannya bahwa ketika dalam suatu masa pajak PKP E membeli
BKP dari PKP D tapi tidak membayar PPN. Hal ini diyakini oleh pemeriksa karena PKP E
tidak dapat menunjukan faktur pajak sebagai bukti bahwa dia telah membayar PPN kepda
PKP D. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, KPP B menerbitkan SKPKB berdasarkan
ketentuan tanggung jawab renteng yang pada waktu itu diatur dalam pasal 33 UU KUP.
Dalam SKPKB ini ditagih pokok pajak sebesar Rp 30 juta (yakni 10 % x Rp 300 juta),
ditambah sanksi bunga sebesar 2 % per bulan.
Dari contoh di atas dapat kita pahami bahwa ketentuan tanggung jawab renteng ini
berlaku bagi pihak pembeli maupun penjual. Dalam memori penjelasannya di UU KUP
tersebut dijelaskan bahwa “sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ada pada
pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila
pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas
pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak
dapat ditagih kepada penjual dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti
telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa”.
Kesannya, ketentuan tanggung jawab renteng tersebut menimbulkan ketidakadialn
pajak, karena:
1. Sanksi perpajakan untuk satu objek pajak PPN dikarenakan lebih dari satu kali, dimana
penjual dan pembeli sama-sama dikenakan. Ini tidak sesuai dengan karakter legal dari
PPN yang bersifat non kumulatif, yang tidak menimbulkan pajak berganda.
2. Sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak konsumsi atau pajak tidak langsung yang
senantiasa menjaga sifat netralitasnya, maka tanggung jawab pemungutan pajak (serta
penyetoran dan pelaporannya) dalam hal ini berada dipundak penjual yang melakukan

32
penyerahan BKP/JKP, sedangkan beban pajak itu sendiri memang terjadi tanggungan
pembeli BKP/JKP. Tapi apakah adil bila kesalahan dai penjual dibebankan kepada
pembeli (yang mesti menanggung sanksi perpajakan dari PPN, yang tidak dipungut
danndisetor oleh penjual) padahal pembeli sudah melaksanakan kewajiban pelunasan
harga BKP/JKP sesuai kesepakatan yang telah dicapai kedua belah pihak.

Dengan memperhatikan contoh kasus diatas, maka dalam melakukan tax review,
seorang tax manager perusahaan (PKP) harus melakukan pengawasan secara lebih cermat
dengan memastikan:
• Jangan pernah ada satu pun faktur penjualan (commercial invoice) yang diterbitkan
perusahaan tanpa disertai faktur pajak.
• Setiap transaksi penjualan harus ada kontrak atau sales agreement-nya dan atau purchase
order (PO), sehingga dispuse tentang syarat penjualan (harga, pajak, termin pembayaran,
dan lain-lain) bisa dihindari dikemudian hari.

33
DAFTAR PUSTAKA

Muljono, Djoko. 2010. Tax Planning – Menyiasati Pajak dengan Bijak. Yogyakarta: Andi
Publisher.

Pohan, Chairil Anwar. 2013. Manajemen Perpajakan – Strategi Perencanaan Pajak dan
Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia.

Sukardji, Untung. 2015. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) – Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

34

Anda mungkin juga menyukai