Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan konversi juga disebut disosiatif karena dahulu di anggap terjadi


hilangnya asosiasi antara berbagai proses mental seperti identitas pribadi dan
memori, sensori dan fungsi motorik. Ciri utamanya adalah hilangnya fungsi yang
tidak dapat dijelaskan secara medis. Pada penderita didapatkan hilangnya fungsi
seperti memori (amnesia psikogenik), berjalan-jalan dalam keadaan trans (fugue),
fungsi motorik (paralisis dan pseudoseizure), atau fungi sensorik (anesthesia
sarung tangan dan kaus kaki, glove and stocking anaesthesia). Istilah konversi
didasarkan pada teori kuno bahwa perasaan dan anxietas dikonversikan menjadi
gejala-gejala dengan akibat terselesaikannya konflik mental (keuntungan primer)
dan didapatkannya keuntungan praktis seperti perhatian dari orang lain
(keuntungan sekunder).1,2
Gangguan konversi berkaitan dengan gangguan kecemasan. Dalam DSM
IV gangguan konversi merupakan bagian dari gangguan somatoform, sedangkan
pada PPDGJ III gangguan konversi merupakan gangguan disosiatif. Pada
gangguan somatoform, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang
terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis.
Pada gangguan disosiatif, individu mengalami gangguan kesadaran, ingatan, dan
identitas. Munculnya kedua gangguan ini biasanya berkaitan dengan beberapa
pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang gangguan ini muncul
secara bersamaan.1,2
Gangguan konversi dianggap menjadi ekspresi dari konflik psikologis
atau kebutuhan dasar. Gejala konversi dianggap hasil dari proses bawah sadar.
Etiologi yang sebenarnya belum diketahui, tetapi kebanyakan menganggap
gangguan konversi disebabkan oleh stress yang berat sebelumnya, konflik
emosional atau gangguan kejiwaan yang terkait. Seseorang dengan gangguan
konversi sering memiliki tanda-tanda fisik tetapi tidak memiliki tanda-tanda
neurologis untuk mendukung gejala mereka seperti kelemahan otot, gangguan

1
fungsi sensorik maupun motorik. Kemungkinan penyebab organik harus
disingkirkan lebih dahulu dan hal ini dapat berakibat pemeriksaan yang ekstensif.3
Namun, setelah evaluasi menyeluruh, yang mencakup pemeriksaan
neurologis rinci dan laboratorium yang sesuai dan tes diagnostik radiografi, tidak
ada penjelasan neurologis yang ada untuk gejala, atau temuan pemeriksaan tidak
sesuai dengan keluhan. Dengan kata lain, gejala gangguan medis organik atau
gangguan dalam fungsi neurologis yang normal tidak berkaitan dengan penyebab
medis atau neurologis organik.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan konversi (conversion disorders) menurut DSM-IV didefinisikan
sebagai suatu gangguan yang ditandai oleh adanya satu atau lebih gejala
neurologis (sebagai contohnya paralisis, kebutaan, dan parastesia) yang tidak
dapat dijelaskan oleh gangguan neurologis atau medis yang diketahui. Disamping
itu diagnosis mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan awal
atau eksaserbasi gejala.5
Gangguan konversi menurut DSM-V adalah suatu gangguan yang
menunjukkan penyakit neurologis, tetapi tidak ada penjelasan untuk gejala ini
setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan uji diagnostik. Dalam beberapa situasi,
sumber stres yang langsung menjadi pencetus dapat diungkapkan, seperti
kehilangan pekerjaan atau perceraian. Pasien mungkin memiliki kehidupan rumah
tangga yg tidak harmonis. Riwayat pelecehan seksual atau fisik tidak jarang dan
dapat dilihat pada sebanyak sepertiga hingga setengah dari pasien dengan
gangguan disosiatif. Oleh karena itu, sejarah psikososial yang lengkap dan
komprehensif sangat penting. Pasien dengan kelainan konversi dikatakan
memiliki kekuatiran relatif terhadap sifat atau implikasi gejala; Freud
menggambarkan ini sebagai ketidak pedulian la belle. Ini bukan karakteristik
diagnostik yang membantu karena tidak spesifik atau sensitif untuk konversi dan
seharusnya tidak memiliki peran terisolasi dalam memisahkan organik dari
penyakit kejiwaan. 6
Adapun menurut PPDGJ III gangguan konversi atau disosiatif adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal antara: ingatan masa
lalu,kesadaran akan identitas dan penghayatan segera (awareness of identity and
immediate sensations), dan kendali terhadap gerakan tubuh.5,7
Secara normal terdapat pengendalian secara sadar, sampai taraf tertentu,
terhadap ingatan dan penghayatan, yang dapat dipilih untuk digunakan segera,
serta gerakan-gerakan yang harus dilaksanakan. Pada gangguan konversi
diperkirakan bahwa kemampuan mengendalikan secara sadar dan selektif ini

3
terganggu, sampai suatu taraf yang dapat bervariasi dari hari ke hari atau bahkan
dari jam ke jam. Biasanya sangat sulit untuk menilai sejauh mana beberapa
kehilangan fungsi masih berada dalam pengendalian volunter. Dalam penegakan
diagnosis gangguan konversi harus ada gangguan yang menyebabkan kegagalan
mengkordinasikan identitas, memori persepsi ataupun kesadaran, dan
menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan dan
memanfaatkan waktu senggang.2

2.2 Epidemiologi
Gangguan konversi bukan merupakan gangguan psikiatri yang
umum,namun tidak jarang ditemukan. DSM-IV-TR memberikan kisaran dari yang
paling rendah 11 kasus sampai yang tertinggi 500 kasus gangguan konversi per
100.000 populasi. Di antara populasi khusus, keberadaan gangguan konversi
bahkan dapat lebih tinggi dari itu bahkan mungkin membuat gangguan konversi
menjadi gangguan somatoform yang paling lazim ditemukan pada beberapa
populasi.5
Rasio perempuan banding laki-laki di antara pasien dewasa adalah
sedikitnya 2:1 dan paling tinggi 10:1 pada anak bahkan terdapat predominasi yang
lebih tinggi pada anak perempuan. Laki-laki dengan penggunaan konversi
biasanya pernah mengalami kecelakaan kerja atau militer. Gangguan konversi
dapat memiliki awitan kapanpun dari masa kanak hingga usia tua, tetapi lazim
pada masa remaja dan dewasa muda. Data menunjukkan bahwa gangguan
konversi adalah gangguan yang paling lazim di antara populasi pedesaan, orang
dengan sedikit edukasi, orang dengan IQ rendah, orang dalam kelompok
sosioekonomi rendah, dan anggota militer yang telah terpajang situasi perang.
Gangguan konversi lazim dikaitkan dengan diagnosis komorbid gangguan depresi
berat, gangguan anxietas,dan skizofrenia.5,8

2.3 Etiologi

a) Faktor Psikoanalitik. Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi


disebabkan oleh represi konflik intrapsikis yang tidak disadari dan konversi
anxietas menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah antara impuls

4
berdasarkan insting (contohnya agresi atau seksualitas) dan larangan
pengungkapan ekspresi. Gejalanya memungkinkan ekspresi parsial keinginan
atau dorongan terlarang, tetapi menyamarkannya sehingga pasien dapat
menghindari secara sadar untuk menghadapi impuls yang tidak dapat diterima
tersebut yaitu gejala gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan
konflik yang tidak disadari. Gejala gangguan konversi juga memungkinkan
pasien menyampaikan bahwa mereka membutuhkan perhatian atau perlakuan
khusus. Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara nonverbal untuk
mengendalikan atau memanipulasi orang lain.5

b) Faktor Biologis. Semakin banyak data yang mengaitkan fakor biologis dan
neuropsikologis di dalam timbulnya gejala gangguan konversi. Studi
pencitraan otak sebelumnya menemukan adanya hipometabolisme hemisfer
dominan dan hipermetabolisme hemisfer nondominan dan mengaitkan
hubungan hemisfer yang terganggu sebagai penyebab gangguan konversi.
Gejalanya dapat disebabkan oleh bangkitan korteks berlebihan yang
mematikan lengkung umpan balik negative antara korteks serebri dengan
formasio retikularis batang otak. Selanjutnya, peningkatan kadar keluaran
kortikofugal menghambat kesadaran pasien akan sensasi yang berkaitan
dengan tubuh, yang pada sebagian pasien dengan gangguan konversi dapat
menjelaskan adanya defisit sensorik yang dapat diamati.5

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi Gangguan Konversi dibagi menjadi PPDGJ III dan The Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) dan DSM-V-TR .
Menurut PPDGJ III gangguan konversi dibagi menjadi yaitu :8
a) F44.0 Amnesia Disosiatif
Pedoman Diagnostik :
 Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai kejadian
penting yang baru terjadi (selective) yang bukan disebabkan oleh
gangguan mental organik dan terlalu luas untuk dapat dijelskan atas dasar
kelupaan yang umum terjadi atau dasar kelelahan.

5
 Diagnosis pasti memerlukan:
- Amnesia, baik total atau parsial, mengenai kejadian yang stressful atau
traumatik yang baru terjadi (hal ini mungkin hanya dapat ditanyakan
bila ada saksi yang memberi informasi)
- Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi atau kelelahan
berlebihan (sindrom amnesik organik, F04, F1x.6)
- Yang paling sulit dibedakan adalah “amnesia buatan” yang disebabkan
oleh stimulasi secara sadar (malingering). Untuk penilaian secara rinci
dan berulang mengenai kepribadian premorbid dan motivasi diperlukan.
Amnesia buatan (conscious stimulation of amnesia) biasanya berkaitan
dengan problem yang jelas mengenai keuangan, bahaya kematian dalam
peperangan atau kemungkinan hukuman penjara atau hukum mati.

b) F44.1 Fugue Disosiatif


Pedoman diagnostik :
 Untuk diagnosis pasti harus ada :
- Ciri-ciri amnesia disosiatif (F44.0)
- Memelakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang umum
dilakukannya sehari-hari dan
- Kemampuan mengurus diri yang dasar tetap ada (makan, mandi, dsb) dan
melakukan interaksi sosial sederhana dengan orang-orang belum
dikenalnya (misalnya membeli karcis atau bensin, menanyakan arah,
memesan makanan).
- Harus dibedakan dari “postictal fugue” yang terjadi setelah serangan
epilepsi lobus temporalis, biasanya dapat dibedakan dengan cukup jelas
atas dasar riwayat penyakitnya, tidak adanya problem atau kejadian yang
“stressful” dan kurang jelasnya tujuan (fragmented) berpergian serta
kegiatan dari penderita epilepsi tertentu.

c) F44.2 Stupor Disosiatif


Pedoman Diagnostik
Untuk diagnostik pasti harus ada :

6
- Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter dan
respon normal terhadap rangsangan luar seperti misalnya cahaya, suara,
dan perabaan (sedangkan kesadaran tidak hilang).
- Tidak ditemukan adanya gangguan fisik ataupun gangguan jiwa lain yang
dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut.
- Adanya problem atau kejadian-kejadian baru yang “stressful”
(psychogenic caustion).
- Harus dibedakan dari stupor katatonik (pada skizofrenia), dan stupor
depresif atau manik (pada gangguan afektif, berkembang sangat lambat,
sudah jarang ditemukan).

d) F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan


Pedoman diagnostik :
 Gangguan ini menunjukkan adanya kehilangan sementara aspek
penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap lingkungannya,
dalam beberapa kejadian, individu tersebut berperilaku seakan-akan
dikuasi oleh kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat atau “kekuatan
lain”.
 Hanya gangguan trans yang involunter (diluar kemauan individu) dan
bukan merupakan aktivitas yang biasa, dan bukan merupakan kegiatan
keagamaan ataupun budaya, yang boleh dimasukkan dalam pengertian ini.
 Tidak ada penyebab organik (misalnya, epilepsi lobus temporalis, cedera
kepala, intoksikasi zat psikoaktif) dan bukan bagian dari gangguan jiwa
tertentu ( misalnya, skizofrenia, gangguan kepribadian multiple ).

e) F44.4 Gangguan Motorik Disosiatif


 Bentuk yang paling umum dari gangguan ini adalah ketidak mampuan
untuk menggerakkan seluruh atau sebagian dari anggota gerak ( tangan
atau kaki).
 Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari penderita
mengenai gangguan fisik yang berbeda dengan prinsip fisiologik maupun
anatomik.

7
f) F44.5 Konvulsi Disosiatif
 Konvulsi disosiatif (pseudo seizures) dapat sangat mirip dengan kejang
epileptik dalam hal gerak-gerakannya, akan tetapi sangat jarang disetai
lidah tergigit, luka serius karna jatuh saat serangan dan mengompol. Juga
tidak dijumpai kehilangan kesadaran atau hal tersebut diganti dengan
keadaan seperti stupor atau trans.

g) F44.6 Anestesia dan kehilangan sensorik dosiatif


 Gejala anestesi pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang tegas
(menggambarkan pemikiran pasien mengenai fungsi tubuhnya dan bukan
menggambarkan kondisi klinis sebenarnya).
 Dapat pula terjadi perbedaan antara hilangnya perasaan pada berbagai
jenis modalitas penginderaan yang tidak mungkin disebabkan oleh
kerusakan neurologis, misalnya hilangnya perasaan dapat disertai dengan
keluhan parestesia.
 Kehilangan penglihatan secara total lebih banyak berupa gangguan
ketajaman penglihatan, kekaburan atau “tunnel vision” ( area lapangan
pandangan sama, tidak tergantung pada perubahan jarak mata dari titik
fokus). Meskipun ada gangguan penglihatan, mobilitas penderita dan
kemampuan motoriknya seringkali masih baik.
 Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi dibandingkan dengan
hilang rasa dan penglihatan.

h) F44.7 Gangguan Disosiatif (Konversi) Campuran


Campuran dari gangguan-gangguan tersebut diatas (F44.0-F44.6)
i) F44.8 Gangguan Disosiatif (Konversi) Lainnya
j) F44.9 Gangguan Disosiatif (konversi) YTT

Pada sebagian besar keadaan disosiatif, gambaran kontradiksi mengenai diri,


yang bertentangan satu sama lain, tersimpan di dalam kompartemen jiwa yang
terpisah. Terdapat 4 tipe :

8
1. Amnesia disosiatif ditandai dengan ketidakmampuan mengingat informasi,
biasanya disebabkan oleh peristiwa traumatik atau yang penuh tekanan, yang
tidak diakibatkan oleh keadaan lupa biasa, konsumsi zat atau keadaan medis
umum.
2. Fugue disosiatif ditandai dengan bepergian jauh dari rumah atau pekerjaan
secara tidak disangka dan tiba-tiba, disertai ketidakmampuan mengingat masa
lalu serta bingung mengenai identitas pribadi seseorang atau disertai
pengadopsian suatu identitas baru.
3. Gangguan identitas disosiatif (juga disebut gangguan kepribadian multiple).
Umumnya dianggap sebagai gangguan disosiatif yang paling berat dan kronis,
ditandai dengan adanya dua kepribadian atau lebih yang khas pada satu orang.
4. Gaangguan depersonalisasi ditandai dengan rasa berulang atau menetap
mengenai lepas dari tubuh atau pikiran.
Revisi teks Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-
TR) edisi keempat mencantumkan kategori diagnostik gangguan disosiatif yang
tidak tergolongkan untuk gangguan diagnostik lainnya. DSM-IV-TR juga
mencantumkan pedoman diagnostik untuk gangguan trance (kesurupan) disosiatif
didalam lampirannya, yang saat ini digolongkan sebagai gangguan disosiatif yang
tidak tergolongkan. Isi mental terdapat dalam kesadaran yang sama.5
Menurut DSM V gangguan disosiatif dibagi menjadi beberapa jenis
sebagai berikut.6
1. GangguanDepersonalisasi/Derealization
(Depersonalization/Desealization Disorder)
2. Amnesia Disosiatif (Dissociative Amnesia)
3. Fugue Disosiatif (Dissociative Fugue)
4. Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative Identity Disorder)
5. Gangguan Disosiatif Lainnya (Other Specified Dissociative
Disorder)

2.4 Gejala Klinis


Gejala konversi menunjukkan gangguan neurologi dari sistem sensorik atau
motorik yang paling umum : paresis, kelumpuhan, aphonia, kejang, kebutaan,dan

9
anestesi. Gangguan konversi mungkin paling sering disertai gangguan kepribadian
pasif-agresif, dependen, anti sosial, dan histrionik. Gejala gangguan depresif dan
anxietas sering dapat menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien ini memiliki
rasio bunuh diri.5,8
 Gejala sensorik. Gejala yang sering timbul adalah anestesi dan parestesi
terutama pada ekstremitas. Semua modilitas sensorik dapat terkena, distribusi
tidak sesuai penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala gangguan konversi dapat
melibatkan organ sensorik khusus dan menimbulkan ketulian, kebutaan, dan
penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejalanya dapat unilateral maupun
bilateral, namun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intak.
5,8

- Kebutaan: penglihatan yang buram atau kesukaran untuk membaca pada


saatpemeriksaan.
- Halusinasi visual: halusinasi visual seringnya terlihat orang, sering disebut
histerikal (setelah menyingkirkan halusinasi karena zat).
- Ketulian: sering pada tentara.
- Kehilangan sensori nevus periferal: pasien bisa tidak merasa sentuhan,
tekanan, tusukan pin, atau getaran.

 Gejala motorik. Terdiri atas gerak abnormal, gangguan gaya berjalan,


kelemahan dan paralisis. Mungkin dapat tremor ritmik kasar, gerak
koreoform, tik, dan menghentak hentak. Gerakan memburuk bila mendapat
perhatian. Palingsering adalah paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua
atau seluruh anggota tubuh, meskipun demikian distribusi dari otot yang
terlibat tidak sesuai dengan jaras persarafan. Refleks tetap normal.5,8
- Aphonia: gangguan pembicaraan. Pasien tidak bisa berbisik tetapi bisa
batuk.
- Astasia–abasia: kesulitan berdiri atau berjalan meskipun pergerakan
semuakaki normal saat pasien duduk atau tiduran.
- Paralisis: bisa flasid atau dengan kontraksi. Pada spasme histerikal, kedua
lengan dan tungkai kontraksi pada bagian tubuh yang sama, tangan
mengepal kuat, lutut fleksi, tungkai dan kaki ketarik ke atas.

10
- Tremor histerikal: pergerakan positif yang berulang tipe volunter, tetapi
rapidity yang bervariasi.
- Gerakan yang abnormal: tiks pada wajah, blepharospasm, dyskinesia dan
tourette’s syndrome.
- Kejang histerikal: kejang yang berlaku saat ada yang lihat atau dekat.
- Hiperventilasi: respons terhadap fobia. Pasien berasa kesulitan untuk
bernafas.
- Pusing: ketidakstabilan
- Globus histerikus: kesukaran untuk menelan.

 Gejala bangkitan. Sulit membedakan gejala dari gangguan konversi yaitu


pseudo-seizure dengan bangkitan sebenarnya. Pada pseudo-seizure pasien
tergigit lidah, inkontinensia urin, cedera karena jatuh, refleks tercekik dan
pupil bertahan setelah pseudo-seizure, tidak terjadi peningkatan konsentrasi
prolaktin pasca bangkitan.5,8

 Gejala visceral. Gejala visceralnya adalah muntah psikogenik, pseudociesis,


globus histerikus, sinkop, retensi urin dan mencret. 5,8

Gambaran klinis lain nya :


- Keuntungan primer
Pasien peroleh keuntungan dengan mempertahankan konflik internal di luar
kesadarannya.
- Keuntungan sekunder
Pasien peroleh keuntungan nyata dengan menjadi sakit. Misalnya dibebaskan
dari kewajiban dalam situasi kehidupan yang sulit, mendapat dukungan dan
bimbingan, dapat mengontrol perilaku orang lain.

 La belle indifference
Sikap angkuh yang tidak sesuai terhadap gejala serius yang dialami.
Pasien tampak tidak peduli dengan hendaya berat yang dialaminya. Dapat

11
juga dilihat pada pasien yang menderita penyakit medis yang serius yang
menunjukkan sikap tabah.
 Identifikasi
Secara tidak disadari meniru gejala dari seseorang yang bermakna bagi
dirinya. Misalnya, seseorang yang baru meninggal menjadi model untuk
mengembangkan gejala konversi terutama selama reaksi berkabung yang
patologis.

Menurut PPDGJ III gejala utama dari gangguan konversi adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah
kendalikesadaran) antara :
- Ingatan masa lalu
- Kesadaran identitas dan penginderaan segera (awareness of identity and
immediate sensations), dan
- Kontrol terhadap gerakan tubuh
Pada gangguan konversi kemampuan kendali dibawah kesadaran dan kendali
selektif tersebut terganggu sampai ketaraf yang dapat berlangsung dari hari kehari
atau bahkan jam ke jam.5,8

2.6 Kriteria Diagnostik


Mungkin agak sulit menentukan diagnosis dan penatalaksanaan pada
gangguan ini. Kemungkinan penyebab organik harus disingkirkan lebih dahulu
dan hal ini dapat berakibat pemeriksaan yang ekstensif. Hal lain yang perlu
dipertimbangkan adalah kemungkinan dibuat-buatnya gejala tersebut. Di sini ada
dua kemungkinan, gangguan buatan (factitiousdisorder) atau berpura-pura
(malingering).1
Pada gangguan buatan, gejala-gejala dibuat dengan sengaja yang bertujuan
untuk mendapatkan perawatan medis (secondary gain),dimana prevalensi sering
pada perempuan umur 20-40 tahun dan orang yang bekerja di bidang kesehatan.
Dengan gejala tidak konsisten, gejala yang dimiliki berbagai jenis penyakit, gejala
sering yang tidak biasa dan susah untuk dipercaya dengan kesadaran yang
baik(volunter). Sedangkan pada berpura-pura (malingering) untuk mendapatkan

12
keuntungan pribadi. Menentukan hal ini tidaklah mudah dan mungkin
memerlukan bukti bahwa ada inkonsistensi dalam gejalanya. Namun umumnya
gejala bervariasi tetapi paling sering gangguan jiwa yang ringan.6
Gangguan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa
gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi dari energi
seksualatau agresif yang direpresikan ke gejala fisik seperti adanya gangguan
neurologis.
Untuk diagnosis pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada :
a) Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang
tercantum pada F44-; (misalnya F44.0 Amnesia disosiatif).
b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala
tersebut;
c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu
yang jelas dengan problem dan kejadian-kejadian yang “stressful” atau
hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal
penderita).

Tabel Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Konversi :9


1) Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi fungsi sensorik atau
motorik volunter yang mengesankan adanya keadaan neurologis atau keadaan
medis lainnya.
2) Faktor psikologis dinilai terkait dengan gejala maupun defisit didahului
konflik atau stressor lain.
3) Gejala atau defisit ditimbulkan tanpa sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau malingering).
4) Setelah pemeriksaan yang sesuai, gejala atau defisit tidak dapat benar-benar
dijelaskan oleh keadaan medis umum atau oleh efek langsung suatu zat,
maupun sebagai perilaku atau pengalaman yang disetujui budaya.
5) Gejala atau defisit menyebabkan distress yang bermakna secara klinis atau
hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lain, atau
memerlukan evaluasi medis.

13
6) Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak hanya
terjadi selama perjalanan gangguan somatisasi, dan sebaiknya tidak
disebabkan gangguan jiwa lain.

Tentukan tipe gejala atau defisit :


- Dengan gejala atau defisit motorik
- Dengan gejala atau defisit sensorik
- Dengan bangkitan atau kejang
- Dengan tampilan campuran

Kriteria Diagnosis menurut DSM-V adalah :


1. 1 atau lebih gejala motorik yang berubah atau fungsi sensorik.
2. Temuan klinis memberikan bukti ketidakcocokan antara gejala dan kondisi
neurologis atau medis yang ada.
3. Gejala atau defisit tidak dapat dijelaskan dengan gangguan medis atau
mental yang lain.
4. Gejala atau defisit menyebabkan distress signifikan atau penurunan fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya atau memerlukan evaluasi
medis.

2.7 Diagnosis Banding


Salah satu masalah utama di dalam mendiagnosis gangguan konversi adalah
kesulitan untuk benar-benar menyingkirkan gangguan medis. Pemeriksaan
neurologis dan medis yang menyeluruh penting dilakukan pada semua kasus. 1,3
Diagnosis banding untuk gangguan konversi seperti: gangguan neurologis
seperti demensia atau penyakit degeneratif lainnya, tumor otak, dan penyakit
ganglia basalis. Contohnya kelemahan pada gangguan konversi dapat juga
didiagnosis banding dengan miastenia gravis, polimiositis, miopati yang didapat,
dan bahkan multiple sklerosis. Kebutaan pada gangguan konversi dapat di
diagnosis banding dengan neuritis optik.

14
Gejala gangguan konversi terdapat pada skizofrenia, gangguan depresif,
dan gangguan anxietas, tetapi gangguan ini disertai gejala khas yang akhirnya
membuat diagnosis menjadi mungkin.3
Memasukkan differensial diagnosis terutama gangguan somatisasi sangat
sulit ketika yang mendasari karakterisitik penyakit ini dapat dengan gejala
neurologi yang tidak khas. Mendiagnosis gangguan konversi disarankan ketika
gejala somatik tidak sesuai dengan gangguan somatik sebenarnya. Dimana
gangguan somatisasi adalah penyakit kronis yang dimulai pada masa kehidupan
awal dan mencakup gejala pada banyak sistem organ lain dan tidak terbatas pada
gejala neurologis saja. 1,2,3
Pada hipokondriasis, pasien tidak mengalami distorsi atau kehilangan fungsi
yang sebenarnya, melainkan terdapat perilaku serta keyakinan yang khas. Pada
gangguan buatan atau malingering, gejala di dalam kendali kesadaran dan
volunter. Riwayat seorang yang melakukan malingering biasanya lebih tidak
konsisten dan kontradiktif daripada pasien dengan gangguan konversi, perilaku
menipu seorang yang melakukakan melingering jelas memiliki tujuan3

Malingering
Pada malingering, dibedakan dari gangguan sakit buatan dengan adanya
tujuan dalam melaporkan gejala-gejala untuk keuntungan pribadi (misal uang,
waktu bebas kerja). Malingering atau berpura-pura sakit adalah suatu perilaku
yang disengaja untuk tujuan eksternal. Hal ini tidak dianggap sebagai bentuk
penyakit mental atau psikopatologi, meskipun penyakit mental dapat disertai
dengan malingering. Malingering dapat dinyatakan dalam beberapa bentuk yaitu,
pure malingering di mana individu memalsukan semua gejala, dan partial
malingering di mana individu memiliki gejala yang nyata tetapi melebih-lebihkan
gejala yang nyata tersebut. Bentuk lain dari malingering adalah simulasi. Di mana
individu tersebut meniru gejala cacat tertentu, dalam hal ini individu paling sering
meniru gejala-gejala penderita penyalahgunaan obat. Selain itu ada bentuk lain
lagi dari berpura-pura sakit yaitu tuduhan palsu, di mana individu memiliki gejala
yang nyata tetapi tidak jujur mengenani penyebab gejala tersebut, misalnya
individu mengalami suatu gejala yang dikatakannya akibat kecelakaan mobil
padahal sebenarnya individu tersebut jatuh dari tangga. Malingering tidak

15
dianggap sebagai penyakit mental. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR). Malingering
diberi kode V sebagai salah satu kondisi yang bisa menjadi fokus perhatian klinis.
Kriteria dari DSM-IV-TR menambahkan beberapa faktor tambahan yang
dapat digunakan untuk seseorang yang diduga kuat berpura-pura sakit (
malingering ) yaitu antara lain: (1) Penderita datang dengan adanya surat penyerta
dari pihak kepolisian atau penderita datang sementara proses hukum terhadap
dirinya masih sementara berjalan, (2) Ada ketidaksesuaian antara keluhan yang
secara subjektif dipaparkan oleh penderita dengan temuan objektif yang dilihat
oleh pemeriksa, (3) Penderita sering menampakkan kesan sebagai penderita yang
tidak kooperatif selama pemeriksaan dan tidak mengeluh ketika telah diberikan
resep pengobatan, (4) Penderita dengan gangguan personal antisosial.10
Hal penting lainnya yang harus diketahui yaitu perbedaan antara malingering
dan gangguan serupa yang ditemukan dalam DSM - IV - TR . Misalnya ,
gangguan buatan ( factitious disorder). Untuk gejala pada gangguan buatan,
motivasi berasal dari insentif internal yang menganggap dirinya memainkan peran
sebagai orang sakit dengan tidak adanya insentif eksternal sama sekali. Perilaku
umum individu yang berpura-pura sakit dan orang-orang dengan gangguan buatan
sering tidak mungkin untuk dibedakan, sehingga sangat penting untuk benar-benar
menilai apa insentif berupa insentif internal atau eksternal. Selain itu, berpura-
pura sakit juga berbeda dari gangguan konversi dan gangguan somatoform, karena
gejala pada malingering disengaja dibuat dan sekali lagi karena adanya insentif
eksternal. Meskipun malingering mungkin mudah untuk ditentukan, namun
deteksi dan diagnosis dalam praktek klinis tidaklah sesederhana yang
dibayangkan. Pemeriksa hampir selalu perlu mempertimbangkan data dari luar di
samping wawancara klinis dasar untuk mampu mendeteksi dan mendiagnosa
malingering. Bahkan Rogers dan Vitacco (2002) menganjurkan menggunakan
faktor-faktor tambahan yang diduga kuatsebagaimana yang disusun pada DSM -
IV - TR untuk diagnosa malingering sebagai strategi deteksi, karena tanpa hal itu
bisa saja menghasilkan tingkat kesalahan klasifikasi lebih dari 80 persen.10

16
Factitious Disorder
Pasien memalsukan sakit mereka. Mereka mensimulasi, menginduksi, atau
memperburuknya penyakitnya, sering memberikan cedera yang menyakitkan,
membuat cacat, ataupun yang mengancam nyawa pada diri mereka sendiri atau
orang yang berada di bawah asuhan. Berbeda dengan malingering yang memiliki
tujuan materiil, seperti mendapatkan uang atau menghindari tugas, pasien dengan
gangguan sakit buatan melakukan tindakan yang menyengsarakan ini utamanya
untuk mendapatkan asuhan emosional dan perhatian dengan memainkan peran
sebagai pasien. Pasien ini dianggap tidak sadar atas motif yang mendorong
mereka untuk melakukan perilaku ini dan membiarkan stimulasi atau induksi
penyakit mereka tersembunyi. Kriteria diagnosis berdasarkan DSM V:
1) Pemalsuan dari gejala atau tanda fisik atau psikis, atau induksi cedera atau
penyakit, yang berkaitan dengan tipu muslihat yang diidentifikasi.
2) Individu menunjukkan dirinya ke orang lain sebagai orang sakit,
terganggu, atau tercederai.
3) Perilaku yang menipu ini terlihat jelas meskipun tidak ada ganjaran
eksternal yang jelas.
4) Perilaku ini tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lainnya,
seperti gangguan waham atau ganggu psikotik lainnya.1,11
DIFFERENTIAL GANGGUAN MALINGERING FACTITIOUS
DIAGNOSIS KONVERSI DISORDER
Tujuan Bisa ada niat Manfaat sekunder Tidak ada niat atau
atau manfaat manfaat sekunder
Prevalensi Sering pada Sering pada laki- Sering pada
umur 20-40 laki utamanya yang perempuan umur
tahun, memiliki masalah 20-40 tahun. Sering
sosioekonomi hukum, pekerjaan, pada orang yang
rendah. dan ketergantungan bekerja di lapangan
obat. kesehatan.
Gejala klinis Lebih sering Gejala bervariasi, Gejala tidak
gejala biasanya dengan konsisten,
neurologis. gejala psikotik memiliki berbagai
yang dipalsukan. jenis penyakit yang
susah dipercaya
kebenarannya.
Kesadaran akan gejala tanpa gejala disadari gejala disadari
gejala disadari

17
2.8 Penatalaksanaan
Penting dalam penatalaksanaan adalah menerima gejala pasien sebagai
halyang nyata, tetapi menjelaskan bahwa itu reversible. Diupayakan untuk
kembali ke fungsi semula secara bertahap. Apabila ada depresi komorbid, hal ini
harus diobati dengan baik. Psikoterapi dapat bermanfaat untuk gangguan disosiatif
dan dalam beberapa kasus kronis yang mengenai fungsi motorik mungkin
diperlukan rehabilitasi medis.1
Perbaikan gejala gangguan konversi biasanya terjadi spontan, walaupun
mungkin dipermudah oleh terapi perilaku atau terapi suportif berorientasi
tilikan.Ciri terapi yang paling penting adalah hubungan dengan terapis yang
penuh perhatian dan dapat dipercaya. Terhadap pasien yang resisten terhadap
gagasan psikoterapi, dokter dapat memberi usul bahwa psikoterapi akan berfokus
pada stress dan koping. Mengatakan pada pasien bahwa gejala mereka adalah
khayalan sering membuat mereka bertambah buruk.5
Hypnosis, ansiolitik, dan latihan relaksasi perilaku efektif pada beberapa kasus.
Lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh informasi historic tambahan,
terutama ketika seorang pasien baru-baru ini mengalami peristiwa traumatik.
Pendekatan psikoterapeutik mencakup psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi
tilikan. Pada terapi ini pasien menggali konflik intrapsikis dan simbolisme gejala
gangguan konversi. Bentuk singkat dan langsung psikoterapi jangka pendek juga
digunakan untuk menatalaksana gangguan konversi. Semakin lama durasi
penyakit pasien dan semakin banyak mereka mengalami regresi,semakin sulit
terapinya.5

2.9 Prognosis
Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi, mungkin
90-100 % membaik dalam beberapa hari atau kurang darisatu bulan. Prognosis
baik jika awitan mendadak, stressor mudah diidentifikasi,penyesuaian premorbid
baik, tidak ada gangguan medis atau psikiatri komorbid dan tidak sedang
menjalani proses hukum. Sedangkan semakin lama gangguan konversi ada,
prognosisnya lebih buruk.5

18
BAB III
ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien laki-laki usia 41 tahun, memiliki riwayat medis koma post
trauma, epilepsi post trauma dengan Todd’s paralisis selama tiga hingga empat
hari, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan gangguan bipolar
datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang dan kelumpuhan sisi kiri post-iktal.
Pasien memiliki riwayat beberapa kali masuk ke rumah sakit karena kejang.
Pasien mengatakan bahwa mulai mengalami kejang-kejang setelah kejadian 24
tahun yang lalu, di mana saat itu pasien mengalami beberapa luka tembak di
kepala, dan mengklaim bahwa pasien dalam keadaan koma selama satu tahun.
Sejak itu, ia di diagnosa epilepsi pasca-trauma selama lebih dari 20 tahun. Pasien
melaporkan mengalami kejang delapan hingga sembilan kali per bulan terkait
dengan “Todd’s paralisis,” yang menurutnya, sembuh dengan sendirinya setelah
tiga hingga empat hari. Pasien sudah konsultasi ke beberapa ahli saraf dan telah
mengkonsumsi beberapa obat antiepilepsi ( fenitoin 400 mg dan levetiracetam
1000 mg). 12

Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan saraf kranial dalam batas normal,
pemeriksaan motorik signifikan untuk kelumpuhan, dan kekuatannya adalah 0 di
lengan dan kaki kiri. Pasien juga mengatakan kehilangan sensorik pada sisi kiri
tubuh yang signifikan. Pemeriksaan Refleks +2 bilateral. Pasien tidak dapat
berjalan karena kelemahan. Pemeriksaan kejiwaan signifikan untuk kecemasan
dan halusinasi pendengaran. Selama wawancara, pasien sedikit defensif, mudah
tersinggung, dan banyak bicara tetapi dialihkan.12

Hasil pemeriksaan Magnetic resonance imaging (MRI) otak normal;


secara khusus, tidak ada bukti cedera otak traumatis atau cedera peluru seperti
yang dilaporkan pasien. Hasil Electroencephalography rutin (EEG) normal.
Karena kurangnya bukti pasti epilepsi, video-EEG dengan titrasi obat dilakukan
terus menerus selama lima hari. Penelitian ini normal, tanpa ada abnormalitas
epileptiform fokal atau general yang tercatat. Selama perekaman, tidak ada
korelasi EEG dengan keluhan pasien tentang kelemahan sisi kiri. Karena tidak ada

19
bukti epilepsi dan kelemahan psikogenik, semua obat anti-kejang pasien
dihentikan.12

Laporan kasus ini menunjukkan banyak karakteristik penting dari


gangguan konversi, seperti manifestasi defisit somatik setelah trauma psikologis
yang tidak dapat dijelaskan, kurangnya diagnosis organik yang pasti, kelumpuhan
psikogenik yang berkepanjangan, dan episode dari kejang non-epilepsi psikogenik
yang menyerupai kejang epilepsi. Teori psikoanalitik mengatakan bahwa
gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik intrapsikis bawah sadar dan
konversi kecemasan menjadi gejala fisik. Tidak seperti kejang epilepsi, kejang
non-epilepsi psikogenik bukan hasil dari penyakit otak organik. Sebaliknya, hal
ini diinduksi oleh stress dan hasil dari pengalaman psikologis traumatis, kadang-
kadang dari masa lalu yang terlupakan.12

Dalam kasus ini, pasien mengalami kelumpuhan psikogenik tanpa korelasi


EEG dan memiliki kelemahan meskipun tidak ada perlambatan hemisfer
unilateral yang tercatat. EEG normal selama pengamatan ini menunjukkan
penyebab non-organik. Selain itu, fakta bahwa Todd’s Paralisis biasanya tidak
bertahan lebih dari 24-48 jam adalah bukti lain yang membantu menegakkan
diagnosis. Kriteria diagnostik DSM-V untuk gangguan konversi dapat membantu
dokter dalam mendiagnosis gangguan konversi setelah menyingkirkan penyebab
organik. 12

Banyak pasien yang mengalami gejala yang berkaitan dengan gangguan


konversi tidak dapat memahami adanya konflik batin, yang mungkin terjadi pada
alam bawah sadar. Oleh karena itu, penting untuk mengedukasi pasien untuk
memahami keberadaan dasar psikologis, tetapi yang lebih penting pasien harus
dibuat sadar akan hubungan antara konflik batin dan gejala fisik, dan ini harus
dikomunikasikan kepada pasien melalui pendekatan empati dan tidak ambigu.
Setelah pasien mengenali hubungan ini, mereka lebih cenderung untuk menerima
diagnosis dan menanggapi pengobatan yang tepat.Selain itu, pendekatan
psikoterapi, termasuk terapi individu atau kelompok, terapi perilaku, hipnosis,
biofeedback, dan pelatihan relaksasi, dilaporkan menjadi metode pengobatan yang
paling efektif . Sampai saat ini, di antara semua metode psikoterapi, terapi

20
kognitif-perilaku telah menunjukkan tingkat kemanjuran tertinggi untuk
pengobatan pasien .Untuk pasien dengan gejala motorik, terapi fisik dapat
memperbaiki gejala fisik dan mencegah komplikasi sekunder; Namun, faktor
prognostik yang paling penting adalah penerimaan dan pemahaman diagnosis.
Metode pengobatan lain yang efektif adalah penggunaan antidepresan, anxiolytic,
dan obat-obatan psikiatrik lainnya, yang diperlukan untuk pengobatan masalah
kejiwaan yang mendasarinya . Untuk kasus ini, pengobatan dengan meyakinkan
pasien dan keluarga bahwa tidak ada kondisi neurologis yang mendasari dan tidak
ada bukti epilepsi, menekankan dan membantu mereka memahami diagnosis
gangguan konversi.12

21
BAB IV
KESIMPULAN

Secara umum gangguan konversi (dissociative disorders) bisa


didefinisikan sebagai adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi
normal (dibawah kendali sadar) meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas
dan penginderaan segera (awareness of identity and immediate sensations) serta
kontrol terhadap gerak tubuh.Gangguan konversi bukanlah penyakit yang umum
ditemukan dalam masyarakat. Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus
gangguan konversi ini mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan konversi bisa
terkena oleh orang dibelahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya
bervariasi.
Ada beberapa penggolongan dalam gangguan konversi, antara lain adalah
Amnesia Disosiatif, Fugue Disosiatif, Stupor Disosiatif, Gangguan Trans
danKesurupan, Gangguan Motorik Disosiatif, Konvulsi Disosiatif dan juga
Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif.
Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologinya. Terapi
obat sangat baik untuk dijadikan penanganan awal, walaupun tidak ada obat yang
spesifik dalam menangani gangguan konversi ini. Biasanya pasien diberikan resep
berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk membantu mengontrol gejala
mental pada gangguan konversi ini. Bila tidak ditemukan kelainan fisik, perlu
dijelaskan pada pasien dan dilakukan pendekatan psikologis terhadap
penanganangejala-gejala yang ada.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadisukanto Gitayanti. Gangguan Konversi. Dalam: Buku Ajar Psikiatri.


Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;
2010.
2. WHO. Gangguan Disosiatif (Konfersi). Dalam : Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan Pertama. Jakarta :
Dept. Kesehatan RI;1993
3. Buku Ajar Psikiatri. 2nd Ed. Jakarta: FKUI; 2013.
4. Marshall SA, Bienenfeid D., et all. Conversion Disorder. Medscape
Reference.http:/emedicine.medscape.com/article/287464overview#showal.
Updated at Mar 23, 2018.
5. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New
York.Lippincot William&Wilkins.
6. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) DSM V.
2013. APA.
7. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
dari PPDGJ III, Jakarta; 2001.
8. Jerald Kay, Tasman Allan. Convertion Disorder. Essential of Psychiatry.
Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. New York; 2006.
9. Rubin, Eugene H. Zorumski, Charles F. Convertion Disorder, Adult
Psychiatry, second edition. Blackwell Publishing; 2005.
10. Duffy S. Malingering psychological symptoms an empirical review.
Illinois State University; 2011

11. Dahale AB, Hatti S, Thippeswamy H, Chaturvedi SK. Factitious disorder-

experience at a neuropsychiatric center in Southern India. Indian J Psychol

Med 2014

23
12. Pourkalbassi, D. Patel, P. Espinosa, Patricio S. Conversion Disorder: The

Brain’s Way of Dealing with Psychological Conflicts. Case Report of a

Patient with Non-epileptic Seizures. Cureus. 2019

24

Anda mungkin juga menyukai