Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

BIOTEKNOLOGI FARMASI

“Hewan Transgenik”

Dosen Pengampu: Rosmaya Dewi, M.Si

Disusun Oleh:

Kelompok 11

Anggota: Diah Rosmayanti (31116110)

Sifa Ulfasari (31116139)

Siti Homsatun (31116141)

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI

STIKES BAKTI TUNAS HUSADA

TASIKMALAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya,
sehingga makalah yang berjudul “Hewan Transgenik” ini dapat tersusun hingga selesai.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Rosmaya Dewi, M.Si selaku dosen matakuliah Bioteknologi Farmasi.


2. Orang tua yang selalu mendukung dan memberikan semangat serta doa demi
keberhasilan makalah ini.
3. Anggota grup yang telah memberikan bantuan ide-idenya.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Penyusun yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Tasikmalaya, 19 Februari 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hewan transgenic adalah hewan yang satu atau lebih gen akan di perkenalkan ke dalam
sel non reproduktifnya. Para hewan transgenic pertama diproduksi pada tahun 1983 ketika
gen untuk hormone pertumbuhan manusia diperkenalkan ke tikus. Hewan transgenic dapat
digunakan untuk menghasilkan produk berharga.
Tujuan dari transgenic adalah untuk mendpatkan sifat yang diinginkan dan peningkatan
produksi. Meskipun banyak potensi dan manfaat yang dapat di ambil dari hewan transgenic,
akan tetapi proses yang dilibatkan dalam pengembangan hewan transgenic di laboratorium
berpotensi atau memiliki dampak yang buruk terhadap masa depan hewan yang dilibatkan.
Sebagai contoh hewan transgenic, yaitu babi transgenic telah di produksi dengan
kemampuan untuk mensintesis hemoglobin manusia digunakan untuk pengganti darah. Juga,
sapi transgenic telah dibesarkan dengan kemampuan untuk menghasilkan manusia laktoferin,
suatu protein susu-bangunan besi dan agen antibakteri yang potensial. Seekor domba
transgenik dapat mensintesis protein yang membantu pasien emfisema bernafas lega, dan
kambing transgenik telah dikembangkan untukmenghasilkan protein yang dibutuhkan oleh
pasien cystic fibrosis.
Saat ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di negara negara maju.
Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi semisal rekayasa
genetika, kultur jaringan, DNA, rekombinan pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-
lain. Teknologi ini memungkinkan kita untuk memperoleh penyembuhan penyakit-penyakit
genetik maupun kronis yang belum dapat disembuhkan, seperti kanker ataupun
AIDS. Penelitian di
bidang pengembangan sel induk juga memungkinkan para penderita stroke ataupun penyakit
lain yang mengakibatkan kehilangan atau kerusakan pada jaringan tubuh dapat sembuh
seperti sediakala. Di bidang pangan, dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika,
kultur jaringan dan rekombinan DNA, dapat dihasilkan tanaman dengan sifat dan produk
unggul karena mengandung zat gizi yang lebih jika dibandingkan tanaman biasa, serta juga
lebih tahan terhadap hamamaupun tekanan lingkungan. Penerapan bioteknologi dimasa ini
juga dapat dijumpai pada pelestarian lingkungan hidup dari polusi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hewan transgenic?
2. Bagaimana metode transfer gen pada hewan?
3. Bagaimana proses pembentukan hewan transgenic?
4. Apa saja produk dari hewan transgenic dari berbagai bidang?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hewan transgenic.
2. Untuk mengetahui metode dalam transfer gen pada hewan.
3. Untuk mengetahui proses pembentukan hewan transgenic.
4. Untuk mengetahui produk dari hewan transgenic dari berbagai bidang (terutama bidang
farmasi).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hewan Transgenic

Aplikasi bioteknologi peternakan dilakukan pada tiga bidang utama, yaitu bioteknologi
reproduksi (inseminasi buatan, transferembrio dan rekayasa genetik), bioteknologi pakan
ternak dan bioteknologi bidang kesehatan hewan. Bioteknologi peternakan dapat digunakan
mempercepat pembangunan peternakan melalui peningkatan daya reproduksi dan mutu
genetikternak, perbaikan kualitas pakan dan kualitas kesehatan ternak. (Sudrajat,2003)

Hewan transgenic merupakan satu alat riset biologi yang potensial dan sangat menarik
karena menjadi model yang unik untuk mengungkap fenomena biologi yang spesifik.
Beberapa hewan transgenic diproduksi untuk mempunyai sifat ekonomis tertentu, misalnya
untuk memproduksi susu yang mengandung protein khusus manusia yang dapat membantu
dalam perawatan penyakit tertentu. Hewan transgenic lainnya diproduksi sebagai model
penyakit (secara genetic hewan dimanipulasi untuk menunjukkan gejala penyakit sehingga
perawatan dapat lebih efektif untuk dipelajari). Hewan transgenic dapat dijadikan andalan
sebagai hewan yang potensial dalam memajukan dunia peternakan. Berawal dari mencit
sampai pengembangan ke ternak-ternak seperti domba, sapi, kelinci dan babi. Produksi sapi
transgenic sangat tergantung pada kualitas embrio satu sel yang akan di injeksi. Bila embrio
diperoleh secara in vivo maka prosedur diawali dengan superovulasi ternak donor (untuk
mendapatkan banyak embrio), koleksi zigot (embrio satu sel), mikro injeksi DNA pada
embrio, kultur embrio sampai fase blastosis, di transfer pada induk resipien dan diperoleh
sapi transgenic (Bondioli et.al., 1991)

2.2 Metode Transfer Gen Pada Hewan


Metode yang dikemukakan Dish Gardon (1994) antara lain: menggunakan sperma
sebagai media transfer gen, mikoinjeksi pada pronukleus, dengan menggunakan particle gun
(Particle bombardment, media virus, injeksi pada germinal vesicle, injeksi pada sitoplasma
oosit).
1. Spermatozoa sebagai pembawa gen.
Spermatozoa merupakan sarana seluler yang spesifik dirancang untuk mentransfer
DNA asing kedalam oosit. Metode sperma sebagai media tranfser gen ditemukan oleh
Brackett di Amerika Serikat. Penemuan ini menarik minat peneliti dari Italia Mereka
mendemonstrasikan sel sperma tikus yang berasal dari epididimis sebagai vektor untuk
membawa gen asing kedalam oosit. Pengikatan gen oleh sperma secara optimal bila
sperma dalam keadaan motil dan konsentrasi DNA cukup tinggi. Brinster et. al., (1989)
melaporkan penelitian transfer gen dengan sperma sebagai media menghasilkan seekor
tikus transgenik dari 1300 tikus yang dicoba. Di New Zealand mengemukakan waktu
yang tepat untuk resorpsi DNA setelah dilakukan kapasitasi terhadap sperma. Di Canada
Gagne et. al 1991) dengan menggunakan elektroporasi menunjukkan DNA asing dapat
stabil didalam sperma dan lebih menguntungkan karena dapat mengurangi trauma akibat
mikro injeksi (Gambar 4). Di Australia, mendemonstrasikan sperma sapi dapat mengikat
DNA asing meskipun keberhasilannya cukup rendah.
Yang sangat menarik adalah pengikatan antara sperma dan DNA tidak terjadi secara
acak. Dalam beberapa spesies molukel DNA melekat pada satu lokasi dibagian belakang
akrosom kepala spermatozoa. Sepertinya terdapat suatu reseptor pada bagian belakang
akrosom yang berfungsi sebagai media interaksi antara DNA dengan sel sperma. Cairan
spermatozoa diduga menghambat permiabilitas membran sel sperma dengan DNA.
Berdasarkan pengamatan sperma hasil ejakulasi lebih permiabel dibanding sperma dari
epididimis (Pinkert, 1994) . Didukung oleh penelitian pada mamalia menunjukkan bahwa
spennatozoa yang diejakulasikan memiliki sifat impermiabel terhadap DNA asing kecuali
jika seminal plasma dihilangkan.
2. Mikroinjeksi pada pronukleus
Kemampuan genetik ternak secara nyata dapat dimanipulasi melalui pembedahan
mikro pada embrio stadium awal (embrio satu sel). Pertama sekali metode mikroinjeksi
dilakukan oleh Gurdon (1963) pada telur amphibi dengan menginjeksikan sitoplasma
kedalam zygot, namun hasilnya tidak berpengaruh pada perkembangan embrio
selanjutnya. Kemudian dicoba lagi dengan cara menginjeksi mRNA pada oosit amphibi,
ternyata mampu mengkode peptida. Penelitian-penelitian lain mulai menyusul dengan
menggunakan hewan laboratorium terutama embrio mencit dan selanjuynya berkembang
pada embrio mamalia (Pinkert, 1994).
Pada mamalia dialoprkan aleh Sreenan dan Mc Evoy dari 11 resipien dilahirkan dua
puluh sapi yang tidak menunjukkan integrasi gen. Injeksi molekul DNA kedalam
pronukleus juga sekaligus mempelajari transkripsi dan kontrol translasi selama
perkembangan embrio. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada embrio stadium
awal mampu mentranskrip gen baru yang diinjeksikan kedalam pronukleus ( Hill, et. al,
1992). Metode mikroinjeksi DNA pada pronukleus dapat dilihat pada Gambar 5. DNA
langsung diinjeksikan pada pronukleus jantan dengan kecepatan 15.000 g (Eppendorf
microcentrifuge). Materi DNA langsung diinjeksikan pada pronukleus dengan selang
waktu 21 -25 jam setelah fertilisasi, hasil penelitian menunujkkan 4.4% (131/2931)
embrio yang diinjeksi dapat berkembang menjadi blastosit.

Pinkert (1994) mengemukakan bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi


keberhasilan mekroinjeksi DNA pada pronukleus antara lain:
1. Integrasi fragmen DNA linier lebih efisien dibandingkan DNA yang super coil.
2. Buffer untuk mikroinjeksi terutama pH (disarankan 10 mM Tris, pH 7.4 dengan 0.1
0.3 mM EDTA.
3. Mikroinjeksi DNA pada pronukleus jantan lebih efisien dibandingkan dengan
pronukleus betina.
4. Mikroinjeksi DNA pada pronukleus lebih efisien dibandingkan dengan injeksi pada
sitoplasma.
3. Injeksi gen pada germinal vesikel
Visualisasi dari pronukleus pada sapi sangat sulit dan pertu pertakuan khusus yaitu
sentrifugasi. Pada metode ini penampakan germinal vesikel meski agak sulit menentukan
waktunya tapi penelitian di Polandia berhasil dilakukan oleh Jura et. al. (1990) dengan
dimana DNA dilarutkan dalam larutan buffer dan diinjeksikan pada mature oesit. Gagne
et. al., (1991) melaporkan bahwa injeksi pada germinal vesikel bisa menjadi alternatif
bila ditemukan waktu yang tepat untuk injeksi dan ini spesifik untuk setiap spesies.
4. Injeksi gen pada sitoplama
Beberapa peneliti mengemukakan kemungkinan injeksi DNA kedalam sitoplasma.
Galli et. al., 1991 melakukan metode ini pada sapi, domba dan babi yaitu injeksi DNA
pada stadium berbeda yaitu pada oosit dan zygot, dan hasil yang diperoleh sangat rendah
persentsenya. Injeksi gen pada sitoplasma banyak dilakukan pada ikan.
5. Particle gun
Metode ini banyak digunakan pada tanaman dengan cara DNA diikat pada suatu
mikropartikel. Metode ini pernah dicobakan pada sapi untuk menguji viabilitas sperma
dan pengaruhnya akibat adanya mikropartikel (Hough dan Foote, 1990 dalam Gordon
1994). Transfer gen dengan metode ini mempunyai banyak keuntungan yaitu mudah
ditangani dengan satu kali tembakan akan menghasilkan beberapa sasaran , partikel dapat
mencapai sasaran yang lebih dalam dan dapat digunakan pada berbagai macam jaringan
(Potrykus, 1996).

6. Virus sebagai media


Seperti pada mikroinjeksi DNA, integrasi gen pada vieur lebih cepat karena
kemampuannnya mentranskripsi gen. Efektivitas penggunaan virus telah dicoba pada
embrio tikus pada sapi pertama sekali dilakukan oeh Kim et. al dengan Murine Leukemia
Virus (MLV). Infeksi tidak hanya pada tryphectoderm tapi sampai ICM. Kubisch et. al.,
(1995) menginduksikan materi DNA yang mengandung promotor SV40 atao pb
ActinLacZ yang dikendalikan oleh bakteri beta galatosidase. Pada sapi perah induksi gen
bGH terbukti dapat meningkatkan produksi susu sebanyak 18% (Kar1, 1989). Transkripsi
jaringan spesifik mammae dari Mouse Mammary Tumor Virus (MMTV) dapat
menghasilkan susunan Long Terminal Repeat (LTR) pada genom. Gen dengan struktur c-
myc yang berikatan dengan promotor MMTV dan diinduksikan pada embrio tikus
menghasilkan tikus transgenik yang mengalami adenocarcinoma pada mammae.
Sumber lain, menjelaskan pembentukkan hewan transgenik melalui transfer “DNA
contruct” dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah :
a. Microinjection (Mikroinjeksi)
Microinjection (Mikroinjeksi) adalah metode yang paling banyak digunakan karena
mempunyai keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode yang lain.
Pertama kali, metode mikroinjeksi dilakukan oleh Gurd on (1963) pada telur amphibia
dengan menginjeksikan sitoplasma ke dalam zygot katak, namun hasilnya tidak
berpengaruh pada perkembangan embrio selanjutnya
b. Retroviral Infection (Infecksi pada Virus)
Retroviral Infection (Infeksi pada virus) atau dengan kata lain introduksi gen melalui
virus sebagai mediator. Pada metode ini, virus ditumpangi oleh gen yang dikehendaki dan
diintroduksikan ke dalam embrio hewan. Virus mempunyai ukuran yang sangat kecil dan
mampu menembus inti sel dan virus mempunyai genom yang terdiri dari RNA yang
mempunyai kemampuan untuk mentraskripsikan DNA. Bila satu sel diinfeksi dengan
retrovirus maka akan menghasilkan DNA virus, setelah DNA ditranskripsikan akan
berintegrasi dan menjadi bagian dari genome induk.
c. Sperm-mediated Gene Transfer (Sperma sebagai Pembawa Gen)
Spermatozoa merupakan sarana seluler yang spesifik dirancang untuk mentransfer
DNA asing ke dalam oosit, sperma terlibat langsung dalam proses fertilisasi. Matriks
DNA diikat pada daerah postacrosomal oleh komponen protein spesifik dan akan
bergabung dengan genome induk setelah terjadi fertilisasi. Pengikatan gen oleh sperma
secara optimal bila sperma dalam keadaan motil dan konsentrasi DNA cukup tinggi.
d. Particle Bombardment (Partikel Gun atau Biolistik)
Metode ini banyak digunakan pada tanaman dengan cara DNA diikat pada suatu
mikropartikel. Transfer gen dengan metode ini mempunyai banyak keuntungan yaitu
mudah ditangani dengan satu kali tembakan akan menghasilkan beberapa sasaran,
partikel dapat mencapai sasaran yang lebih dalam dan dapat digunakan pada berbagai
macam jaringan.
e. Electroporation (Elektroporasi)
Metode ini gamet atau embrio ditempatkan pada suatu cuvet yang mana membran
selnya permiabel terhadap molekul DNA bila mendapatkan aliran listrik pendek
(beberapa saat). Ketika aliran listrik dihilangkan dan membran selnya kembali seperti
semula, beberapa fragment DNA asing akan tinggal dalam gamet atau embrio. Metode ini
mudah dan cepat dan memungkinkan untuk melakukannya pada ratusan oosit ikan atau
telur ikan yang telah difertilisasi dalam satu kali kejutan.
2.3 Proses Pembentukan Hewan Transgenik
Produksi sapi transgenik sangat tergantung pada kualitas embrio satu sel yang akan
diinjeksi. Bila embrio diperoleh secara in vivo maka prosedur diawali dengan superovulasi
ternak donor (untuk mendapatkan banyak embrio). Koleksi zigot (embrio satu sel). Mikro
injeksi DNA pada embrio, kultur embrio sampai fase blastosis, ditransfer pada ternak resipient
dan diperoleh sapi transgenik (Bondioli., et all. 1991).
Pada produksi embrio secara in vitro dimulai dengan koleksi oosit. Oosit
diaspirasi dari folikel berdiameter 2 - 5 mm dengan menggunakan jarum berukuran 18 G.
Oosit dicuci dengan 3 kali dengan medium aspirasi 10 mM TALP-Hepes dan TCM-199
(dengan garam Eagle's dan L glutamin) ditambah dengan 0.3% BSA dan 2 mM NaHC03,
sedangkan untuk IVM digunakan TCM 199 yang telah diimbuhi dengan hormon FSH dan
estradiol. Kultur oosit dilakukan selama 22 - 24 jam dalam inkubator suhu 39°C dan 5% CO2.
Spermatozoa yang akan digunakan untuk fertilisasi dipersiapkan dengan metode swim-up
dan konsentrasi akhir spermatozoa 1,6 x 106/ml sperma motil (Rexroad and Harold, 1994).
IVF dilakukan dalam medium BSA, setelah 18 jam diharapkan telah terjadifertilisasi,
kemudian divortex selama 2 menit dalam 2 ml medium TALP-Hepes. Pada tahapan
selanjutnya mikro injeksi DNA. Han .et. al., (1996) melakukan penelitian dengan fragmen
pBLi (5,5 Kb) yang mengandung promotor gen β casein, lactoferin dan SV40. Metode yang
digunakan mikroinjeksi pada nukleus, diawali dengan penampakan pronukleus yang jelas
dan embrio satu sel telah bebas dari kumulus oophorus. Setelah disentrifugasi dalam
mikrosentrifuse (15000 G) selama 7 menit, embrio diinjeksi dengan larutan yang
mengandung DNA tepat pada pronukleus yaitu sekitar 21-25 jam setelah inseminasi buatan.
Pembengkakan pronukleus mengindikasikan keberhasilan injeksi materi DNA, Hasil
penelitian Han, et. al, (1996) menunjukkan rataan zigot hasil lVF yang diijeksi dengan
DNA 85,5% mengalami pembengkakan pronukleus (setelah satu jam injeksi DNA). Rataan
embrio sapi yang berkembang menjadi 2 - 8 sel 72,0% (1804/2505) dan yang mampu
membentuk blastosit sekitar 5,2% (131/2505).
Tahapan selanjutnya kultur dari embrio hasil injeksi DNA. Ada 2 cara yang bisa
dilakukan yaitu melalui induk perantara (intermediated host) maupun in vitro dengan
coculture. Pada cara pertama embrio sapi ditransfer kedalam UTJ (utero tuba junction).
Embrio diflushing 6 - 9 hari setelah transfer. Bondioli, et. al.(1991) menemukan kembali
56% embrio yang telah ditransfer dan 50% dari yang ditemukan dapat berkembang sampai
fase blastosis. Tujuh hari setelah transfer lebih dari separuhnya berkembang menjadi
elongated bastocyts, cara kedua yaitu dengan in Vitro coculture, antara lain dengan
menggunakan sel - sel granulosa (Goto, et. Al 1992) dan sel- sel oviduct (Bondioli, et. al
1991). Pada awalnya para peneliti mengkultur embrio yang telah diinjeksi DNA dengan
medium GR1aa (Rosenkrans, 1993), tetapi hasil penelitian menunjuk rendahnya embrio
hasil injeksi yang berkembang menjadi blastosit. Pada perkembangan selanjutnya medium
kultur embrio mengarah pada co-kultur yang berasal dari ringan fibroblast. Goto, et. Al
(1992) mengemukakan bahwa dengan menggunakan co-kultur :rataan perkembangan
embrio yang telah diinjeksi DNA sampai tahap blastosit meningkat dari 4% (4/98) menjadi
11% (12/108). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah periode kultur dari embrio sapi yang
telah diinjeksi DNA" Swanson, et. al., (1992) memperoleh rataan kebuntingan tinggi dari
embrio sapi yang telah dikultur selama 7 hari. Hal yang sama dilakukan oleh Han, et. (1996)
juga memperoleh hasil rataan kebuntingan tertinggi dari embrio sapi yang dikultur selama 7
hari di bandingkan dengan embrio yang dikultur selama 8 hari (Tabel 4).
Tabel 4. Rataan Kebuntingan Dari Blastosis Sapi Hail Injeksi DNA yang Dikultur
Secara in Vitro.
Day of Culture No. of Embryos No. of Embryos Pragnancy Rate
Transferred /Recipient (%)
Day 6 11 1/11 9,0
Day 7 29 10/29 34,5
Day 8 19 7/19 36,8
Tahapan terakhir adalah transfer embrio sapi pada ternak resipien. Embrio yang telah
berkembang membentuk blastosit baik secara in vivo (melalui induk perantara) maupun yang
dikultur secara in vitro ditransfer pada ternak resipien yang telah disinkronisasi sebelumnya
(Eyestone, 1999). Penelitian yang dilakukan Han, et. al., (1996) dengan cara
mengklasifikasikan blastosit yang berkembang menjadi 4 grade (hanya kualitas fair -
excelent ) dan ditranfer pada ternak resipien. Rataan kebuntingan yang diperoleh dari tranfer
blastosis dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Kebuntingan Sapi Berdasarkan Kualitas Blastosit yang Diinjeksi DNA
Embrio Quality No. of Embryos No. of Embryos Pragnancy Rate
Transferred /Recipients (%)
Excellent 25 10/25 40,0
Good 28 7/28 25,0
Fair 6 1/6 16,7
Total 59 18/59 30,5
Rataan kebuntingan yang diperoleh dari embrio yang telah diinjeksi DNA yang dikultur
selama 6 dan 7 hari secara statistik tidak menunjukan perbedaan nyata. Data-data yang
ditunjukan tidak menerangkan lebih lanjut jumlah keturunan transgenik yang dihasilkan dari
sejumlah embrio dari injeksi DNA.
Skema produksi sapi transgenik dengan metode mikroinjeksi pronukleus dapat dilihat
pada Gambar 6. Setelah zigot diperoleh dari hasil flushing sapi donor, gen aging yang
diinginkan diinjeksikan kedalam pronukleus zygot yang telah disentrifugasi. Kultur embrio
yang biasa dilakukan dengan menggunakan host sebagai perantara kemudian ditransfer pada
ternak resipien. Identifikasi gen yang yang diinjeksikan dilakukan pada keturunan ternak
transgenik dengan PCR, dilanjutkan dengan analisa DNA yang berintegrasi untuk
mengetahui kemampuan transkripsi dari mRNA dan produksi protein. Eyestone (1999)
mengemukakan bahwa produksi sapi-sapi transgenik secara invitro dapat mereduksi biaya-
sekitar 50 - 60% bila dibandingkan dengan aplikasi pemuliaan secara konvensional.
Pada perkembangan selanjutnya telah dikemukakan keberhasilan generasi ternak
transgenik melalui transfer somatik inti pada domba (Schieke, et. al., 1997) dan sapi (Cibelli,
et. al., 1998). Pendekatan teknologi ini selangkah lebih maju sebagai upaya meningkatkan
efisiensi produksi temak transgenik. Pengujian performance dari generasi pertama dan kedua
ternak transgenik dengan metode transfer inti somatik telah dilakukan oleh Su, et.al.,(1998).
DNA yang diinjeksikan mengandung gen IGF-I cDNA yang terikat pada promotor keratin
tikus. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan produksi dan kualitas wool.

Inti somatik yang digunakan berasal dari fibroblast fetus yang di-transfection secara
invitro. Pada metode ini verifikasi gen yang diinginkan dilakukan sebelum gen ditransfer,
dan tahap selanjutnya transfergen pada oosit tanpa inti (telah dienukleasi). Tahap ini
memberi waktu pada kedua gen dari masing-masing inti somatik fibroblast untuk
melakukan fusi. Setelah kedua komponen fusi, fibroblast transgenik dikultur sampai stadium
blastosit dan ditransfer pada ternak resipient yang telah disinkronisasi sebelumnya (Gambar
7).
Pada metode kedua yaitu transfer gen melalui fibroblast fetus. Jika dibandingkan dengan
prosedur mikroinjeksi pada pronukleus, maka metode kedua memberikan hasil yang lebih
maksimal terhadap ekspresi gen yang diinginkan karena screening gen dilakukan sebelum
ditransfer pada oosit yang telah dienukleasi dan memungkinkan dilakukan kloning
sehingga dapat meningkatkan jumlah keturunan transgenik. Pada metode injeksi inti
permasalahan rendahnya teturunan transgenik (sekitar 4 - 5%) belum dapat diatasi karena
indentifikasi dari gen yang terkandung pada keturunan transgenik dilakukan setelah
dihasiikan anak dari ternak resipien, sedangkan pada metode transfer gen melalui inti
somatik sel- sel fibroblastfetus, verifikasi dari gen yang berintegrasi dilakukan sebelum
terjadi fusi sehingga sangat memungkinkan hanya gen-gen yang diinginkan yang akan
mengalami fusi dan berkembang menjadi blastosit. Karena gen-gen yang diinginkan telah
diverifikasi pada tahap awal maka ekspresi gen setelah fusi lebih optimal dan membuka
peluang lain yaitu pembuatan kloning sebelum blastosit ditransfer pada ternak resipien
sehingga baik secara kualitas dan kuantitatif keturunan ternak transgenik lebih meningkat.
2.4 Produk Hewan Transgenik pada Berbagai Bidang
Dua alasan umum mengapa hewan transgenic tetap diproduksi :
a. Beberapa hewan transgenic diproduksi untuk mempunyai sifat ekonomis spesifik.
Contoh, ternak transgenic diciptakan untuk memproduksi susu yang mengandung
protein khusus manusia, dimana mungkin dapat membantu dalam perawatan penyakit
emphysema pada manusia (penyakit pembengkakan paru-paru karena pembuluh darah).
b. Hewan transgenic lainnya diproduksi sebagai model penyakit (secara genetic hewan
dimanipulasi untuk menunjukkan gejala penyakit sehingga perawatan efektif dapat
dipelajari). Contoh, ilmuwan Harvard membuat terobosan besar secar ilmiah ketika
mereka diterima sebuah paten U.S. untuk keahlian tikus secara genetic, dimana tikus
membawa gen yang mengembangkan variasi kanker manusia. Kemampuan untuk
mengintroduksi gen-gen fungsional ke dalam hewan menjadi alat berharga untuk
memecah proses dan sistem biologi yang kompleks. Transgenik mengatasi kekurangan
praktek pembiakan satwa secara klasik yang membutuhkan waktu lama untuk
modifikasi genetik.
Aplikasi hewan transgenik melingkupi berbagai disiplin ilmu dan area riset diantaranya:
1. Basis genetik penyakit hewan dan manusia, disain dan pengetesan terapinya;
2. Resistensi penyakit pada hewan dan manusia;
3. Terapi gen Hewan transgenik merupakan model untuk pertumbuhan, immunologis,
neurologis, reproduksi dan kelainan darah);
4. Obat-obatan dan pengetesan produk;
5. Pengembangan produk baru melalui “molecular farming” Introduksi gen ke dalam
hewan atau mikroorganisme dapat merubah sifat dari hewan atau organisme tersebut
agar dapat menghasilkan produk tertentu yang diperlukan oleh manusia seperti factor IX
dan hemoglobin manusia.
A. Produksi peternakan
1) Ternak Pemanfaatan teknologi transgenik memungkinkan diperolehnya ternak
dengan karakteristik unggul (Pinkert, 1994; Prather et al, 2003). Petani selalu
menggunakan peternakannya yang selektif untuk menghasilkan hewan yang sesuai
dengan keinginan. Misalnya meningkatkan produksi susu, meningkatkan kecepatan
pertumbuhan. Peternakan tradisional memakan waktu dan sulit memenuhi
permintaan. Ketika teknologi menggunakan biologi molekuler untuk
mengembangkan karakteristik hewan dengan waktu yang singkat dan tepat.
Disamping itu, transenik hewan menyediakan cara yang mudah untuk meningkatkan
hasil.
2) Kualitas produksi Sapi transgenic bisa memproduksi susu yang banyak dan rendah
laktosa dan kolesterol, babi dan unggas menghasilkan daging yang lebih banyak, dan
domba yang memiliki wool yang tebal. Di masa lampau, petani menggunakan
hormone pertumbuhan untuk memacu perkembangan hewan tetapi teknik ini
bermasalah, khususnya sejak residu hormone masih terkandung dalm produk.
3) Resistensi penyakit Ilmuwan mencoba menghasilkan hewan yang resisten terhadap
penyakit, seperti babi yang resisten terhadap influenza, tetapi jumlah gen yang
berperan masih terbatas jumlahnya.
B. Aplikasi Kesehatan
1) Pasien yang meninggal tiap tahun karena butuh pengganti jantung, hati, atau ginjal.
Contoh, sekitar 5000 organ dibutuhkan tiap tahun di UK. Babi transgenic
menyediakan transpalantasi organ yang dibutuhkan untuk meredakan.
Xenotransplantation adalah wadah yang diproduksi oleh protein babi yang dapat
menyebabkan alergi pada penerima donor, tetapi bisa dihindarkan dengan mengganti
protein babi dengan protein manusia.
2) Suplement nutrisi dan Obat-obatan Produk seperti insulin, hormone pertumbuhan,
factor anti penggumpalan darah mungkin terkandung dalam susu sapi, kambing, dan
domba transgenic. Penelitian merupakan cara untuk menghasilkan susu melalui
transgenesis untuk penyembuhan penyakit seperti phenylketonuria (PKU), penyakit
pembengkakan paru-paru yang menurun, dan penyakit kista. Contoh : Pada tahun
1997, sapi transgenic pertama kali, memproduksi yang kaya akan protein 2,4 gr per
liter. Susu sapi transgenic ini lebih bernutrisi daripada susu sapi biasa. Susu ini dapat
diberikan pada bayi atau dan orang dewasa dengan gizi yang dibutuhkan dan mudah
dicerna. Karena mengandung gen alpha-lactalbumin.
3) Terapi Gen Manusia Terapi gen manusia meliputi penambahan copyan gen normal
pada genome orang yang memiliki gen yang tidak normal. Perlakuan tersebut
berpotensi pada 5000 penyakit genetic yang besar dan hewan transgenic. Contoh,
salah satu institute di finladia memproduksi gen anak sapi mampu memacu
pertumbuhan sel darah merah di manusia (Margawati,2009).
C. Aplikasi industry
Pada tahun 2001, 2 ilmuwan di Canada menyambung gen laba-laba ke dalam sel
penghasil susu kambing. Kambing mulai menghasilkan strand seperti serabut sutra saat
pemerahan susu. Dengan mengekstrak polimer strand dari susu dan menenunnya
menjadi benang, kemudian ilmuwan membuatnya menjadi mengkilat, keras, dan
fleksibel dan diaplikasikan pada pembuatan kain, kasa steril, dan string raket tenis.
Hewan transgenic yang sensitive terhadap racun telah diproduksi untuk uji keamanan
kimia. Mikroorganisme telah dirancang untuk meproduksi varietas protein yang dapat
memproduksi enzim untuk mempercepat reaksi kimia pada industri.
D. Kualitas produk transgenic Di masa yang akan datang hewan transgenik akan diproduksi
dengan penyisipan gen pada lokasi yang spesifik dalam genom. Teknik ini telah terbukti
berhasil pada mencit tetapi masih Iintensif diteliti pada hewan-hewan besar.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Hewan transgenic merupakan satu alat riset biologi yang potensial dan sangat menarik
karena menjadi model yang unik untuk mengungkap fenomena biologi yang spesifik.
Aplikasi bioteknologi peternakan dilakukan pada tiga bidang utama, yaitu bioteknologi
reproduksi (inseminasi buatan, transferembrio dan rekayasa genetik), bioteknologi pakan
ternak dan bioteknologi bidang kesehatan hewan. Transfer gen pada hewan dapat
menggunakan beberapa metode, antara lain: menggunakan sperma sebagai media transfer
gen, mikoinjeksi pada pronukleus, dengan menggunakan particle gun (Particle
bombardment, media virus, injeksi pada germinal vesicle, injeksi pada sitoplasma oosit).
DAFTAR PUSTAKA

Bondioli,K.R, Biery, KA., Hill, KG., Jones, KB. and De Mayo, F.G., 1991. Production of
Transgenic Cattle by Pronuklear Injection in "Transgenic Animals. pp. 265 -273.

Bonster, RL. E. P. Sandgren, RD. Palmiter. 1989. No simple solution for making
transgenic mice. Cell. 59 : 239 - 241.

Cibelli, J.B.[et.al] 1998. Cloned Calves Product from Nonquisencent Fetal Fibroblast.
Science 28. 1256 -1258.

Eyestone, W.H., 1999. Production and Breeding of Transgenic Cattle Using in Vitro
Embryo Production Technology. Theriogenology, 51 : 509 - 517.

Gagne. M.B., F. Pother dan M.A. Sirard. 1991. Effect of microinjection in in vitro
matured bovine oocytes on in vitro development of embryos. Biol of
reproduction 44 : 76.
Gagne, M. and Sirard M., 1995. Nuclear Injection of Bovine Oocytes after In Vitro
Maturation. J. Report. Fertil. 4 1 : 211 - 212.
Galli.,C D.J. Powel dan RM. Moor. 1991. Stability of DNA injected in oocyte and
embryos of domestic animal. Proc. Abstr. 6: 24.
Gurdon, JP., 1963. Pronuclear Transplantation in Amphibia and the Importance of Stable
Nuclear Changes in Promoting Cellular Differentiation. J. Biol. Rep. 233: 177 -
182.
Gordon I. 1994. Laboratory Production of cattle embryos. Cab International Walingford
Goto, K., Iwai, N., Takuma, Y. and Nakanishi, Y., 1992. Co Culture of In Vitro Fertilized
Bovine Embryos with Different Cell Monolayers. J. Anim. Sci. 70: 1449 -1453.
Han, Y.M.[et.al] 1996. Factors affecting in vivo viability of DNA injected Bovine
Blastocysts Produced in vitro. Theriogenology. 46 : 764 - 778.

HiII, K. G.[et.al]. 1992. Production of transgenic cattle by pronuclear injection.


Theriogenology. 37 : 222
Jura, J. [et.al] 1990. In vitro maturation of bovine oocyte following buffer microinjection
into germinal vesicle or cytoplasm. Theriogenology. 33 : 93.
Kubisch , H.M., MA Larson, H. Funahashi dan RM. Robert, 1995. Pronuclear Visibility,
Development and Transgene Expresion in IVM/IVF Porcine Embryos.
Theriogenology. 44 : 391-396.
Karl, M.E., 1989. Gene transfer through embryo microinjection in Animal
Biotechnology. Oxford. pp: 233-249.
Margawati, Endang Tri. 2009. Transgenic Animals: Their Benefits To Human Welfare
Pinkert, CA, 1994. Transgenic Animal Technology. A Laboratory Handbook. Academic
Press. San Diego. pp : 339 - 354.
.Potrykus, I. 1996. Gene transfer to plants: Assesment and Prepectives. Physiol. Plant.
79: 125-134.
Rexroad C.E and Harold W., 1994. Production of Transgenic Ruminants. In Transgenic
Animal Technology. Pp: 344-345.
Schnieke A.E., A.J. Kind, W.A. Ritchi, 1997. Human Factor Transgenic Sheep
Produced by Transfer of Nucleic from Transfected Fetal Fibroblast. Anim. Sci.
278: 2130-2132.
Su. N.Y.[et.al] 1998. Wool production in transgenic sheep: Result from first generation
adult and second generation lamb. Anim. Biotech. 9 :135-147.
Sudrajat. 2003. Beternak ayam pelung. Kanisius. Yogyakarta
Swanson M.E[et.al]. 1992. Production of functional human hemoglobin in transgenic
swine. Bio. Tech. 10 : 557.

Anda mungkin juga menyukai