Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

Tranfusi darah merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan kesehatan

modern. Bila digunakan degan benar, transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan

meningkatkan derajat kesehatan. Namun, seperti halnya intervensi terapeutik yang lain, transfusi

dapat mengakibatkan komplikasi berupa reaksi akut atau lambat dan membawa berbagai risiko

penularan infeksi, seperti HIV, virus hepatitis, dan sifilis. Transfusi darah umumnya

berhubungan dengan kehilangan darah dalam jumlah besar yang disebabkan oleh trauma,

operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah(1).

Lebih dari 100 juta unit darah dikumpulkan diseluruh dunia setiap tahunnya(2).

Berdasarkan data dari WHO (2017), dari 112,5 juta sumbangan darah yang dikumpulkan secara

global, sekitar setengahnya diperoleh dari negara-negara maju. Di negara-negara berpenghasilan

rendah, hingga 65% transfusi darah diberikan kepada anak-anak di bawah usia 5 tahun;

sedangkan di negara-negara berpenghasilan tinggi, kelompok pasien yang paling sering

ditransfusi berusia di atas 65 tahun, terhitung hingga 76% dari semua transfusi.

Tranfusi darah adalah salah satu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam

sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan. Tranfusi darah merupakan tindakan

pengobatan pada pasien (anak, bayi dan dewasa) yang diberikan atas indikasi. Kesesuaian

golongan darah antara resipien dan donor merupakan salah satu hal mutlak yang harus

diperhatikan.

Tranfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam

banyak hal, namun tranfusi bukanlah tanpa resiko, meskipun telah dilakukan berbagai upaya

untuk memperlancar tindakan tranfusi, namun efek samping reaksi tranfusi atau infeksi akibat
tranfusi tetap mungkin terjadi. Maka bila diingat dan dipahami mengenai keamanannya,

indikasinya perlu diperketat (1,2). Banyak hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan sehingga

tranfusi dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, salah satu tugas besar dimasa yang

akan datang adalah meningkatkan pemahaman akan penggunaan tranfusi darah sehingga

penatalaksanaannya sesuai dengan indikasi dan keamanannya dapat ditingkatkan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Darah

Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan
sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam system kardiovaskular, tersusun dari
(1)komponen korpuskuler atau seluler, (2)komponen cairan. Komponen korpuskuler yaitu materi
biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan
keping trombosit, yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam
sumsum tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika masa
hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala pada waktu-
waktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbaharui dengan sel sejenis yang
baru. Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50 volume % organ darah,
dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya terdiri dari protein plasma
dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah albumin, berbagai fraksi globulin
serta protein untuk faktor pembekuan dan untuk fibrinolisis.1,3

1. Sel darah merah atau eritrosit (sekitar 99%).


Eritrosit tidak mempunyai nukleus sel ataupun organela. Eritrosit mengandung
hemoglobin dan mengedarkan oksigen. Sel darah merah juga berperan dalam
penentuan golongan darah. Jumlah pada pria dewasa sekitar 5 juta sel/cc darah dan
pada wanita sekitar 4 juta sel/cc darah. Eritrosit berusia sekitar 120 hari.

2. Keping-keping darah atau trombosit (0,6 - 1,0%)


Trombosit bertanggung jawab dalam proses pembekuan darah. Normal berkisar
antara 200.000-300.000 keping/mm³

3. Sel darah putih atau leukosit (0,2%)


Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk
memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh, misal virus
atau bakteri. Fungsi utama dari leukosit tersebut adalah untuk Fagosit bibit penyakit/
benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Peningkatan jumlah lekosit merupakan
petunjuk adanya infeksi. Jumlah sel pada orang dewasa berkisar antara 6000 – 9000
sel/cc darah.

Plasma darah adalah bagian yang tidak mengandung sel darah. Komposisi plasma darah :

1. Air
2. Protein
Protein plasma terdiri dari :
1. Albumin ( 57% )
2. Globulin ( 40% )
3. Fibrinogen ( 3% )

2.2 Fungsi darah

1. Sebagai organ transportasi, khususnya oksigen (O2), yang dibawa dari paru- paru dan
diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa pembakaran (CO2) dari
jaringan untuk dibuang keluar melalui paru- paru. Fungsi pertukaran O2 dan CO2 ini
dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein plasma ikut
berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang bebas dalam
plasma, untuk metabolisme organ- organ tubuh.1,3
2. Sebagai organ pertahanan tubuh (imunologik), khususnya dalam menahan invasi berbagai
jenis mikroba patogen dan antigen asing. Mekanisme pertahanan ini dilakukan oleh
leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein plasma khusus (immunoglobulin).1,3
3. Peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis) sebagai upaya
untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah.
Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitas
homeostasis yang berlebihan.1,3
Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah korpuskuler
maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang didapat, yang
tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan
penggantian dengan jalan transfusi darah, khususnya dari komponen yang diperlukan.1,3
2.3 Definisi Tranfusi Darah

Tranfusi darah pada hakekatnya adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu
individu (donor) ke individu lainnya (resipien) 4,5. Tranfusi darah hendaklah dilakukan dengan
indikasi yang jelas dan tepat sehingga diperoleh manfaat yang jauh lebih besar dari pada risiko
yang mungkin terjadi.

Komponen darah yang biasa ditransfusikan ke dalam tubuh seseorang adalah sel darah
merah, trombosit, plasma, sel darah putih. Transfusi darah adalah suatu pengobatan yang
bertujuan menggantikan atau menambah komponen darah yang hilang atau terdapat dalam
jumlah yang tidak mencukupi.

Transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan utama berdasarkan


sumbernya,yaitu transfusi allogenic dan transfusi autologus1,6. Transfusi allogenic adalah darah
yang disimpan untuk transfusi berasal dari tubuh orang lain. Sedangkan transfusi autologus
adalah darah yang disimpan berasal dari tubuh donor sendiri yang diambil 3 unit beberapa hari
sebelumnya, dan setelah 3 hari ditransferkan kembali ke pasien.

Transfusi Darah Masif

Perdarahan massif adalah perdarahan lebih dari sepertiga volume darah dalam waktu <30 menit.
Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang hilang, dengan volume darah yang
lebih besar daripada total volume darah resipien dalam waktu 24 jam (dewasa: 70 ml/kg,
anak/bayi: 80-90 ml/kg). Definisi tentang transfusi darah massif masih tidak jelas dan banyak
versi misalnya :

1. Transufusi darah sebanyak lebih dari 1-2kali volume darah dalam waktu lebih dari
24jam. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20 unit.
2. Transfusi darah lebih besar dari 50% volume darah dalam waktu singkat (misalnya 5
unit dalam 1jam untuk berat 70kg)

Beberapa peneliti meninjau kemungkinan komplikasi dan manajemennya, terutama yang


berhubungan dengan transfusi masif pada pasien trauma.Terdapat banyak masalah terkait
dengan transfusi masif, termasuk infeksi, imunologi, dan komplikasi fisiologis yang
berhubungan dengan pengumpulan, pengujian, pemeliharaan, dan penyimpanan produk darah.
Dokter harus menyadari komplikasi ini dan strategi untuk mencegah dan mengobatinya.
Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan oleh
banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan dan
organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat
perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri.
Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi. Penyebab utama perdarahan
setelah transfusi darah masif adalah dilutional thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor
koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien
normal. Koagulopati di definisikan sebagai nilai PT lebih besar dari 14,2 atau nilai APTT l
ebih lama dari 38,4 detik.

2.4 Tujuan Transfusi Darah

Tujuan dari transfusi darah antara lain :

1. Meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen


2. Memperbaiki volume darah sirkulasi (setelah pembedahan, trauma).
3. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin
pada pasien anemia.
4. Memberikan komponen seluler tertentu sebagai terapi (misalnya: faktor pembekuan
untuk membantu mengontrol perdarahan pada pasien hemofilia).
5. Memperbaiki fungsi Hemostatis.

2.5 Indikasi Transfusi Darah

Secara garis besar indikasi transfusi darah adalah:

1. Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran darah yang


normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma bedah, atau luka bakar luas.

2. Untuk mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, misalnya pada
anemia, trombositopenia, hipoprotrombinemia, hipofibrinogenemia, dan lain-lain
Dalam pedoman WHO, disebutkan :
1.Transfusi tidak boleh diberikan tanpa indikasi kuat.
2.Transfusi hanya diberikan berupa komponen darah pengganti yang hilang/kurang.

Berdasarkan pada tujuan di atas, maka saat ini transfusi darah cenderung memakai
komponen darah disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya kebutuhan akan sel darah merah,
granulosit, trombosit, dan plasma darah yang mengandung protein dan faktor-faktor pembekuan.

Keadaan yang memerlukan Tranfusi darah :


a. Anemia karena perdarahan, biasanya digunakan batas Hb 7-8 g/dL. Bila telah turun hingga
4,5 g/dL, maka penderita tersebut telah sampai kepada fase yang membahayakan dan
tranfusi harus dilakukan secara hati-hati.
b. Anemia haemolitik, biasanya kadar Hb dipertahankan hingga penderita dapat
mengatasinya sendiri. Umumnya digunakan patokan 5g/dL. Hal ini dipertimbangkan untuk
menghindari terlalu seringnya tranfusi darah dilakukan.
c. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen.
d. Plasma loss atau hipoalbuminemia.
e. Kehilangan sampai 20% EBV umumnya dapat diatasi dengan cairan elektrolit saja.
Kehilangan lebih daripada itu, setelah diberi cairan elektrolit perlu dilanjutkan dengan
transfusi jika Hb<8 gr/dl.
Sedangkan indikasi transfusi darah lainnya adalah :
 Kehilangan darah >20% dengan volume darah lebih dari 1000 ml.
 Hemoglobin < 8 gr/dl.
 Hemoglobin <10 gr/dl dengan kelainan paru dan jantung.
 Hemoglobin <12 gr/dl dan tergantung pada ventilator.
 Pada bayi dan anak dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah sebanyak 10-
15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi tubuh maka cukup diberi
cairan koloid atau kristaloid, sedangkan diatas 15% perlu tranfusi darah karena adanya
gangguan pegangkutan oksigen.
 Sedangkan untuk orang dewasa dengan kadar Hb normal angka patokannya ialah 20%.
Kehilangan darah sampai 20% dengan gangguan faktor pembekuan maka diberi cairan
kristaloid sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid diberikan
dengan jumlah sama.

2.6 Persyaratan Pendonor Darah

Tujuan menggunakan pedoman seleksi pendonor darah adalah (1) untuk melindungi donor dari
potensi kerugian yang mungkin terjadi sebagai akibat langsung dari proses donasi dan (2)untuk
melindungi penerima transfusi darah dari efek samping, seperti penularan penyakit infeksi atau
resiko medis lainnya7. Kriteria pendonor adalah sebagai berikut:
• Penampilan umum: calon pendonor tampak dalam kondisi fisik dan mental yang baik.
• Usia: donor harus berusia antara 18 dan 60 tahun.
• Hemoglobin: Hb harus tidak kurang dari 12,5 g / dL untuk laki-laki dan 11,5 g / dL untuk
perempuan.
• Berat: minimal 45 kg.
• Tekanan darah: tekanan sistolik dan diastolik harus normal (sistolik: 100-140 mm Hg dan
diastolik: 60-90 mm Hg dianjurkan), tanpa bantuan obat anti-hipertensi.
• Temperatur: suhu oral tidak melebihi 37,50C / 99,50F.
• Pulse: denyut nadi harus antara 60 dan 100 denyut per menit dan teratur.
• Interval donasi: interval antara donor darah harus 3 hingga 4 bulan.

Pengumpulan Darah7
Pendonor tidak boleh puasa sebelum memberikan darah. Jika makanan terakhir diambil lebih
dari empat jam sebelumnya, donor harus diberikan sesuatu untuk dimakan dan minum sebelum
diambil darahnyai. Darah mengalir ke dalam tas dicampur dengan antikoagulan dalam rasio 1: 7
(antikoagulan: darah). Total volume darah yang dikumpulkan berkisar 405-495 mL dan
biasanya sebanyak 450 mL darah disumbangkan jumlah ini sekitar 12% dari total volume darah
atau 10,5 mL / kg berat badan.

Prosedur Pelaksanaan Tranfusi Darah


Untuk menghindari berbagai kesalahan, maka perlu diperhatikan :
a. Identitas pasien harus dicocokan secara lisan maupun tulisan
b. Identitas dan jumlah darah dalam kemasan dicocokkan dengan formulir permintaan darah
c. Tekanan darah, frekuensi denyut jantung dan suhu harus diperiksa sebelumnya, serta
diulang secra rutin.
d. Observasi ketat, terutama pada 15menit pertama setelah tranfusi darah dimulai. Sebaiknya
1unit darah diberikan dalam waktu 1-2 jam tergantung status kardiovaskuler dan
dianjurkan tidak lebih dari 4 jam mengingat kemungkinan proliferasi bakteri pada suhu
kamar.
2.7 Jenis Darah yang Ditransfusikan
 Darah lengkap (Whole Blood)
- Deskripsi
Darah lengkap ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit, dan plasma. Satu unit
kantong darah lengkap berisi 450 mL darah dan 63 mL antikoagulan dengan kadar Hb sekitar 1.2
gr/dL dan hematokrit sebesar 35-45%8. Di Indonesia, satu kantong darah lengkap berisi 250 mL
darah dengan 37 mL antikoagulan, ada juga yang satu kantong darah lengkap berisi 350 mL
darah dengan 49 mL antikoagulan. Menurut masa simpan terdapat 3 macam darah lengkap, yaitu
darah segar, darah baru, dan darah simpan.
Darah Segar (Fresh Whole Blood): darah yang baru diambil dari donor sampai 6 jam
sesudah pengambilan. Keuntungan Pemakaian darah segar yaitu faktor pembekuannya lengkap
termasuk faktor labil (V, VIII) dan fungsi eritrosit relaitif masih baik. Indikasi pemberian darah
ini adalah misalnya pada pasien dengan Hb dan platelet rendah serta trombositopenia.
Kerugiannya sulit diperoleh dalam waktu tepat dan penularan penyakit relatif banyak.
Darah Baru: darah yang disimpan antara 6 jam sampai 6 hari sesudah diambil dari donor.
Faktor pembekuan disini sudah hampir habis dan juga dapat meningkat kadar kalium, amonia,
asam laktat.
Darah Simpan: darah yang disimpan lebih 6 hari. Keuntungan penggunaannya mudah
(setiap saat tersedia), bahaya penularan lues cytomegalovirus hilang, sedangkan kerugiannya
yaitu faktor pembekuan terutama faktor V dan VIII sudah hampir habis.
-Penyimpanan8
Suhu simpan antara 2-6o Celcius dalam lemari pendingin. Transfusi harus dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 30 menit setelah darah dikeluarkan dari lemari pendingin.
Lama simpan dari darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong
darah, pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama simpan adalah 21 hari, sedangkan
dengan CPD adenine (CPDA) adalah 35 hari.
- Indikasi8
 Pasien dengan perdarahan masif dan telah Kehilangan darah lebih dari 25-30% volume
darah total.
 Anemia akut
 Transfusi tukar

- Kontraindikasi8
Sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang
bertujuan meningkatkan sel darah merah dan pada pasien gagal jantung karena dapat
menimbulkan volume overload.
- Pemberian8
Dewasa : 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb 1 gr/dl atau hematokrit 3-4%.
Anak : 8 mL/kg darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl.
Unit kantong darah yang dipakai yaitu antara lain 250 ml, 350 ml, 450 ml. Setiap unit darah
lengkap diberikan dalam 4 jam dengan tetesan sesuai keadaan klinis.

Rumus kebutuhan whole blood

6 x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB

Ket :

-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal

-Hb pasien : Hb pasien saat ini

 Sel darah merah pekat (packed red blood cell)


-Deskripsi

Sel darah merah pekat terdiri eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma. Sel darah
merah ini didapat dengan memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap (WB), sehingga
diperoleh sel darah merah dengan nilai hematokrit 55-75% dan kadar Hb 20 gr/100mL.Volume
nya diperkirakan 150-300 mL tergantung besarnya kantung darah yang dipakai, dengan massa
sel darah merah 150-200 mL8. Pemberian transfusi bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi
jaringan dan organ tubuh. Biasanya tercapai bila kadar Hb sudah di atas 8 g%. Tujuan transfusi
PRC adalah untuk menaikkan Hb pasien tanpa menaikkan volume darah secara nyata.
Keuntungan menggunakan PRC dibandingkan dengan darah jenuh adalah:

1. Mengurangi kemungkinan penularan penyakit


2. Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis
3. Volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga kemungkinan overload
berkurang
4. Komponen darah lainnya dapat diberikan pada pasien lain.
Jenis-jenis PRC:

 Frozen Wash Concentrated Red Blood Cells (Sel Darah Merah Pekat Beku yang Dicuci)
Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan glisero pada darah yang usianya
kurang dari 6 hari. Karena pada proses penyimpaan beku, pencairan dan pencuciannya ada sel
darah merah yang hilang maka kandungan sel darah merah minimal 80% dari jumlah sel darah
merah pekat asal, dan hematokrit kurang lebih 70-80%. Proses pencucian dapat menggunakan
larutan glukosa dan salin. Suhu simpan 1-6oC dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 jam.
Darah ini biasa diberikan untuk penderita yang mempunyai antibodi terhadap sel darah merah
yang menetap.8

 Washed red cell (sel darah merah pekat cuci)


Washed red cell diperoleh dengan mencuci packed red cell 2-3 kali dengan saline, dan
sisa plasma terbuang habis (untuk menghilangkan antibodi) dengan kandungan sel darah merah
150-20 0mL dan hematokrit 70-80%8. Berguna untuk penderita yang tak bisa diberi human
plasma. Pencucian dengan salin membuang hampir seluruh plasma (98%), menurunkan
konsentrasi leukosit, dan trombosit serta debris. Kelemahan washed red cell yaitu bahaya infeksi
sekunder yang terjadi selama proses serta masa simpan yang pendek (4-6 jam). Pada suhu 40C,
karena itu harus segera diberikan. Washed red cell dipakai dalam pengobatan aquired hemolytic
anemia dan exchange transfusion9. Untuk penderita yang alergi terhadap protein plasma

 Darah merah pekat miskin leukosit (Leukocytes depleted-red cells)


Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 109 leukosit. Sel darah merah pekat
disebut dengan sedikit leukosit jika kandungan leukosit kurang dari 5x106 leukosit/unit8. Sel
darah merah ini diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel darah merah dengan garam
fisiologis. Suhu simpan darah ini 1°-6°C. Sel darah merah pekat dengan sedikit leukosit berguna
untuk meningkatkan jumlah eritrosit pada pasien yang sering memerlukan transfusi atau sudah
mendapat transfusi berulang. Manfaat komponen darah ini untuk mengurangi reaksi panas dan
alergi akibat kandungan leukosit6.

-Penyimpanan
Sel darah merah disimpan dalam suhu 1-6o Celcius. Bila menggunakan antikoagulan
CPDA maka masa simpanan dari sel darah merah ini 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80 %,
sedangkan bila menggunakan antikoagulan CPD masa simpan dari sel darah merah ini 21 hari.
Komponen sel darah merah yang disimpan dalam larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenine,
manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60% dan masa simpan 42 hari. Sediaan ini bukan
merupakan sumber trombosit dan granulosit, namun memiliki kemampuan oksigenasi seperti
darah lengkap8.

-Indikasi

Meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan gejala anemia,
Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin (Hb) <7 g/dl,
terutama pada anemia akut dan pada keadaan yang hanya memerlukan massa sel darah merah
pembawa oksigen (Hb) misalnya pada pasien dengan gagal ginjal atau anemia karena
keganasan10. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu,
misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit
paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat)10. Serta dapat digunakan
bersama cairan kristaloid ataupun koloid untuk menangani kehilangan darah akut (pasien syok)

-Kontraindikasi

Dapat menyebabkan hipervolemi jika diberikan dalm jumlah banyak dalam waktu
singkat8.

-Dosis dan cara pemberian

Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat menaikkan
kadar hematokrit 3-5 %. Diberikan selama 2 sampai 4 jam dengan kecepatan 1-2 mL/menit,
dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui.

Kebutuhan darah (ml) :

3 x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB


Ket :

-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal

-Hb pasien : Hb pasien saat ini


 White Blood Cells (WBC atau leukosit)
Komponen ini terdiri dari darah lengkap dengan isi seperti PRC, plasma dihilangkan 80 % ,
biasanya tersedia dalam volume 150 ml. Dalam pemberian perlu diketahui golongan darah ABO
dan sistem Rh.

Indikasi

Diberikan pada pasien dengan jumlah leukosit turun berat,Pasien sepsis yang tidak berespon
dengan antibiotik (khususnya untuk pasien dengan kultur darah positif, demam persisten lebih
dari 38,3° C dan granulositopenia).

 Platelet
Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >55 x 109 platelet per kantong,
dan 50-60 mL plasma8. Pemberian trombosit seringkali diperlukan pada kasus perdarahan yang
disebabkan oleh kekurangan trombosit. Pemberian trombosit yang berulang-ulang dapat
menyebabkan pembentukan thrombocyte antibody pada penderita. (9) Transfusi trombosit
terbukti bermanfaat menghentikan perdarahan karena trombositopenia. Komponen trombosit
mempunyai masa simpan sampai dengan 3 hari.(1)

Dosis: pada kasus trombositopenia cukup 1 kantong, atau sesuai target kadar platelet
biasanya 40.000-50.000/mm3. 1 kantong dapat meningkatkan platelet sekitar 50-100.000/mm3.

Penggunaan dalam kasus kegagalan sumsum tulang8:


• Pengobatan perdarahan, pasien trombositopeni.
• Penggunaan profilaksis pada pasien trombositopeni.
- Pertahankan jumlah trombosit> 10 x 109 / L pada pasien yang tidak berdarah, tidak terinfeksi.
- Menjaga jumlah trombosit> 20 x 109 / L pada pasien yang terinfeksi / pyrexial.

Penggunaan dalam kasus DIC8:


 Untuk DIC akut, di mana perdarahan dikaitkan dengan trombositopenia, pertahankan
jumlah trombosit di atas 20 x 109 / L bahkan tanpa adanya perdarahan terbuka.
 Gunakan dalam transfusi darah besar-besaran:
 Pertahankan jumlah trombosit> 50 x 109 / L pada pasien yang menerima transfusi masif

Profilaksis untuk operasi8:


• Pastikan jumlah trombosit> 50 x 109 / L untuk prosedur seperti pungsi lumbal, epidural
anestesi, biopsi trans-bronkial, biopsi hati, biopsi ginjal dan laparotomi.
• Pertahankan jumlah trombosit> 100 x 109 / L untuk bedah neurologis dan mata.

-Penyimpanan8

Platelet dapat disimpan hingga 72 jam pada 20 ° C hingga 24 ° C. Penyimpanan yang lebih lama
meningkatkan risiko proliferasi bakteri dan septikemia pada resipien transfusi.

-Pemberian8

Tergantung pada kondisi penerima, 1 unit kantong platelet harus ddiberikan tidak lebih dari 30
menit.

Indikasi: untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet, Indikasi pemberian
komponen trombosit ialah :

1. Setiap perdarahan spontan atau suatu operasi besar dengan jumlah trombositnya kurang
dari 50.000/mm3 pada dewasa dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus11. Misalnya
perdarahan pada trombocytopenic purpura, leukemia, anemia aplastik, demam berdarah,
DIC dan aplasia sumsum tulang karena pemberian sitostatika terhadap tumor ganas.
2. Splenektomi pada hipersplenisme penderita talasemia maupun hipertensi portal juga
memerlukan pemberian suspensi trombosit prabedah.

Rumus Transfusi Trombosit


BB x 1/13 x 0.3

Kontraindikasi: autoimun trombositopenia, trombotik trombositopeniapurpura


Macam sediaan:

o Platelet Rich Plasma (Plasma Kaya Trombosit)


Platelet Rich Plasma dibuat dengan cara pemisahan plasma dari darah segar. Penyimpanan
dalam suhu 34°C sebaiknya 24 jam.

o Platelet Concentrate (Trombosit Pekat)


Kandungan utama yaitu trombosit, volume 50 ml dengan suhu simpan 20°±2°C. Berguna
untuk meningkatkan jumlah trombosit. Peningkatan post transfusi pada dewasa rata-rata
5.000-10.000/ul. Efek samping berupa urtikaria, menggigil, demam, alloimunisasi Antigen
trombosit donor.(9)
Dibuat dengan cara melakukan sentrifugasi pada Platelet Rich Plasma, sehingga diperoleh
endapan yang merupakan pletelet concentrate dan kemudian memisahkannya dari plasma
yang diatas yang berupa Platelet Poor Plasma. Masa simpan ± 48-72 jam.9

 Plasma
Plasma darah bermanfaat untuk memperbaiki volume dari sirkulasi darah (hypovolemia,
luka bakar), menggantikan protein yang terbuang seperti albumin pada nephrotic syndrom dan
cirrhosis hepatis, menggantikan dan memperbaiki jumlah faktor-faktor tertentu dari plasma
seperti globulin.9

Macam sediaan plasma adalah:

1. Plasma cair
Diperoleh dengan memisahkan plasma dari whole blood pada pembuatan packed red cell.

2. Plasma kering (lyoplylized plasma)


Diperoleh dengan mengeringkan plasma beku dan lebih tahan lama (3 tahun).
3. Fresh Frozen Plasma
Dibuat dengan cara pemisahan plasma dari darah segar dan langsung dibekukan pada suhu
-25°C atau kurang dari 8 jam sejak waktu pengambilan. Pemakaian yang paling baik untuk
menghentikan perdarahan (hemostasis)9. Kandungan utama berupa plasma dan faktor
pembekuan, albumin, imunoglobulin dan faktor VIII dengan volume 200-300 ml. Suhu
simpan -25°C dengan lama simpan 1 tahun. Berguna untuk meningkatkan faktor
pembekuan bila faktor pembekuan pekat/kriopresipitat tidak ada dan meningkatkan volume
plasma. Ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Fresh frozen plasma (FFP)
mengandung semua protein plasma (faktor pembekuan), terutama faktor V dan VII11. FFP
biasa diberikan setelah transfusi darah masif, setelah terapi warfarin dan koagulopati pada
penyakit hepar. Setiap unit FFP biasanya dapat menaikan masing-masing kadar faktor
pembekuan sebesar 2-3% pada orang dewasa. Sama dengan PRC, saat hendak diberikan
pada pasien perlu dihangatkan terlebih dahulu sesuai suhu tubuh.

Pemberian dilakukan secara cepat, pada pemberian FFP dalam jumlah besar
diperlukan koreksi adanya hypokalsemia, karena asam sitrat dalam FFP mengikat kalsium.
Perlu dilakukan pencocokan golongan darah ABO dan system Rh.

Dosis: diberikan 10cc/kg satu jam pertama, dilanjutkan 1cc/kgBB perjam hingga PT dan APTT
mencapai nila ≥1,5 x nilai kontrol normal.8

Indikasi :

 Untuk mengganti beberapa defisiensi faktor koagulasi, seperti:


— Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila ada perdarahan yang
mengancam nyawa.
— Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi
massif
— Pasien dengan penyakit hati dan mengalami defisiensi faktor pembekuan
 Koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
 Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
 Perdarahan masif (mengganti volume plasma)

4. Cryopresipitate
Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic factor. Didapatkan dengan
mencairkan FFP pada suhu 1-60C dan disimpan pada -250C dan dapat bertahan selama 1
tahun. Mengandung 150-300 IU/pack fibrinogen, faktor VIII 80-100 IU/pack , faktor
pembekuan XIII, faktor Von Willbrand, fibronectin, dan 5-20 mL plasma. Penggunaannya
ialah untuk menghentikan perdarahan karena kurangnya faktor VIII di dalam darah
penderita hemofili A. Cara pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena langsung,
tidak melalui tetesan infus, pemberian segera setelah komponen mencair, sebab komponen
ini tidak tahan pada suhu kamar. 1 Suhu simpan -18°C atau lebih rendah dengan lama
simpan 1 tahun, ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek samping berupa
demam, alergi. Satu kantong (30 ml) mengadung 75-80 unit faktor VIII, 150-250 mg
fibrinogen, faktor von wilebrand, faktor XIII

Indikasi11

-Hemophilia A (defisiensi faktor viii)


-Def. Faktor XIII
-Perdarahan akibat gangguan faktor koagulasi (DIC)
-Penyakit von wilebrand

Dosis: kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1 kantong per 7-


10 kgBB.

Rumus Kebutuhan Cryopresipitate :

0.5x ∆Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB

5. Albumin

Albumin merupakan protein plasma yang dapat diperoleh dengan cara fraksionisasi Cohn.
Dibuat dari plasma, setelah gamma globulin, AHF dan fibrinogen dipisahkan dari plasma.
Kemurnian 96-98%. Dalam pemakaian diencerkan sampai menjadi cairan 5% (mengandung 50
mg/ml albumin) . Larutan 5% albumin bersifat isoosmotik dengan plasma, dan dapat segera
meningkatkan volume darah. Komponen ini digunakan juga untuk hipoproteinemia (terutama
hipoalbuminemia), luka bakar hebat, pancreatitis, dan neonatus dengan hiperbilirubinemia. Dosis
disesuaikan dengan kebutuhan, misal pada neonatus hiperbilirubinemia perlu 1-3g/kgBB dalam
bentuk larutan albumin 5%.4,6

Rumus Kebutuhan Albumin

∆ albumin x BB x 0.8

 Konsentrat factor VIII (factor anti hemofilia A)

Komponen ini merupakan preparat kering yang mengandung konsentrat factor VIII, dan
diproduksi melalui teknologi rekombinan. Hasil dimurnikan dengan teknik monoclonal, dan
dilakukan penonaktifan virus melalui misalnya pemanasan (heattreated). Pengemasan dalam
botol berisi 250 dan 1.000 unit. Dosis pemberian sama dengan kriopresipitat. 12,13

 Kompleks factor IX

Komponen ini disebut juga kompleks protrombin, mengandung factor pembekuan yang
tergantung vitamin K, yang disintesis di hati, seperti factor VII, IX, X, serta protrombin.
Komponen ini biasanya digunakan untuk pengobatan hemofilia B. Kadang diberikan pada
hemofilia yang mengandung inhibitor factor VIII dan pada beberapa kasus defisiensi factor VII
dan X. Dosis yang dianjurkan adalah 80-100 unit/kgBB setiap 24 jam.1,9

 Imunoglobulin

Komponen ini merupakan konsentrat larutan materi zat anti dari plasma, dan yang baku
diperoleh dari kumpulan sejumlah besar plasma. Komponen yang hiperimun didapat dari donor
dengan titer tinggi terhadap penyakit seperti varisela, rubella, hepatitisB, atau rhesus. Biasanya
diberikan untuk mengatasi imunodefisiensi, pengobatan infeksi virus tertentu, atau infeksi
bakteri yang tidak dapat diatasi hanya dengan antibiotika dan lain-lain. Dosis yang digunakan
adalah 1-3 ml/kgBB.14,15

2.8 Komplikasi Tranfusi Darah


1. Reaksi Transfusi Darah Secara Umum
Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu yang perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun demikian tetap diperlukan
kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi yang mungkin terjadi. Ada
beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang
tindih. Oleh karena itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang pertama kali
dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap memasang infus untuk pemberian cairan NaCl
0,9%.6,15

2. Reaksi Transfusi Hemolitik


Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah yang
ditransfusikan oleh antibodi resipien. Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan akut (
intravascular) atau delayed (extravascular).13
 Reaksi hemolisis akut
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan
golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena
kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan diberikan.2,3
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau tanpa
menggigil, kemerahan pada muka, bendungan vena leher, mual, muntah, nyeri dada, sesak
napas, takikardi, hemoglobinuria, oligouri, hipotensi, dan perdarahan yang tidak bisa
diterangkan asalnya. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock), koagulasi
intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal akut yang dapat berakibat kematian.1
Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada
pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat,
tachycardia tak dapat dijelaskan, hypotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan
operasi. Gejala yang berat dapat terjadi setelah transfusi 10 – 15 ml darah yang ABO
inkompatibel.

Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut:

(a) meningkatkan perfusi ginjal,


(b) mempertahankan volume intravaskuler,
(c) mencegah timbulnya DIC1.
Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;

 Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan segera.
 Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
 Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
 Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh
darah.
 Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP

Terapi reaksi transfusi hemolitik : pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan
digunakan untuk mempertahankan jumlah urine yang keluar. Diuretika yang digunakan ialah:

a. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian diikuti pemberian


40 mEq Natrium bikarbonat.
b. Furosemid

Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat, albumin dan darah yang
cocok. Bila volume darah sudah mencapai normal penderita dapat diberi vasopressor. Selain itu
penderita perlu diberi oksigen. Bila terjadi anuria yang menetap perlu tindakan dialysis

 Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat


Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi yang
beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah. Reaksi
yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk meningkatkan produksi antibodi tersebut.
Hemolisis yang terjadi biasanya ekstravaskuler.15
Reaksi hemolisis pada tipe lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi. Gejala dan tanda yang
dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat,malaise, ikterus, dan kadang-kadang
hemoglobinuria. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya
perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin
Biasanya tidak terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi
ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Penanganan reaksi hemolisis lambat
adalah suportif
Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct antiglobulin
test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalysis. Fungsi ginjal harus dimonitoring
ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan, hanya saja pada transfusi selanjutnya perlu
berhati-hati dengan melakukan screening golongan darah dan antibodi16, Bila terjadi hipotensi,
renjatan, dan gagal ginjal, penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.15

3. Reaksi Transfusi Non-Hemolitik


a. Demam
Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi transfusi. Sensitisasi leukosit atau platelet
secara khas manifestasinya adalah reaksi febris.Reaksi ini ditandai oleh suatu peningkatan
temperatur tanpa adanya hemolisis. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya
sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang sintesis
prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat
peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). Umumnya reaksi demam tergolong ringan dan akan hilang
dengan sendirinya.
b. Reaksi alergi
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak disertai
gejala lainnya. Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, gatal bintik merah dan
bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus
menghentikan transfusi. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di dalam
plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE resipien di permukaan sel-sel mast dan
eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi
mengakibatkan rasa tidak nyaman dan menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat
menunda transfusi. Pemberian antihistamin dan steroid dapat menghentikan reaksi tersebut.
c. Reaksi anafilaktik
Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi). Reaksi yang
berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA
atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya
beberapa menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada saluran napas yang
dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah periorbital dan
laryngeal edema, angioedema, muka merah (flushing), mual & muntah, nyeri dada, nyeri
absomen, eritema, urtikaria, bronkospasme, dispneau, hipotensi, dan renjatan.
Penatalaksanaannya adalah :
(1) menghentikan transfusi dengan segera,
(2) tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid,
(3) berikan antihistamin dan epinefrin.
Pemberian adrenalin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan. Apabila terjadi
hipoksia, berikan oksigen dengan kateter hidung atau masker atau bila perlu
melalui intubasi.2,3

Pasien dengan defisiensi IgA perlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen
red cells, atau IgA-Free blood Unit .16

d. Overload Cairan
Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal jantung ventrikel kiri
akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering, peningkatan JVP, ronki basal
paru, hipertensi, dan takikardi.11

Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan oksigen dan diuretik.

e. Iron Overload
Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang hidupnya bergantung pada
transfusi darah seperti talasemia dan sickle cell. Komplikasi ini terjadi bila transfusi sudah
mencapai 10-50 kantong.11

Manajemen: dilakukan iron chelation therapy dengan desferoxamine 30-50 mg subkutan


atau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu.11

4. Efek samping lain dan resiko lain transfusi


a. Komplikasi dari transfusi massif
Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan, dengan volume darah
yanglebih besar daripada volume darah resipien dalam waktu 24 jam. Pada keadaan ini dapat
terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan
kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan factor- factor pembekuan.
Penggunaan darah simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya beberapa
komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung
injury.17
b. Penularan penyakit Infeksi
1) Hepatitis virus
Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar pada transfusi darah.
Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase,
yang merupakan bukti infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi
disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca
transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi donor yang baik dan ketat, serta penapisan virus
hepatitis B dan C, kasus tertular masih tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B
sekitar 1 dari 200.000 dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000. 1
2) AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)
Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu
dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang baik dan ketat. Virus
yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1. Semua darah dites untuk mengetahui adanya
anti-HIV-1 dan - 2 antibodi
3) Infeksi CMV
Cytomegalovirus (CMV) umumnya menyebabkan penyakit sistemik ringan atau
asimptomatik. Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir premature atau
pasien dengan imunodefisiensi. Pada beberapa individu yang menjadi pembawa infeksi
asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat menularkan virus Biasanya virus ini
menetap di leukosit donor, hingga penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah atau
mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel darah merah rendah leukosit merupakan
hal terbaik mencegah CMV ini.1

4) Penyakit infeksi lain yang jarang


Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi adalah
malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas (disebabkan oleh
trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob Disease).
Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi saat pengumpulan darah yang akan
ditransfusikan. Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Untuk
mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu kurang dari
4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi sifilis,
brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia. Pasien yang terinfeksi ini
dapat mengalami reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan. Keadaan ini perlu
ditangani seperti pada RTHA ditambah dengan pemberian antibiotic yang adekuat.

Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotik sesuai bakteri
penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi berikut dapat dipertimbangkan:

- Bakteri gram negatif: piperacillin 4,5 g tds iv; atau ceftriaxone 1 g 1x/hari; atau meropenem
1 g tds iv.
- Bakteri gram positif: teicoplain 400mg bd iv x2; atau vancomycin 1 g bd iv.11

5) GVHD(Graft versus Host disease)


GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien dengan
imunosupresif atau pada bayi premature. Hal ini terjadi oleh karena limfosit donor dalam tubuh
resipien mampu mengaktifkan respon imun. Iradiasi (1500-3000 cGy) sel darah merah,
granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi limfosit tanpa mengubah efikasi
dari transfusi.16
BAB III
KESIMPULAN

Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam
sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan, Transfusi darah memang merupakan upaya
untuk menyelamatkan kehidupan dalam banyak hal, dalam bidang anestesi misalnya dalam
proses pembedahan besar. Dalam pembedahan, pasien dapat mengalami perdarahan dari yang
paling ringan sampai perdarahan massif.

Penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis darah yang digantikan tepat dan
sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi
dalam reaksi transfusi darah penggantian darah ataupun komponen-komponen darah merupakan
suatu tindakan yang sangat berarti bagi pasien sesuai dengan tujuan utama transfusi yaitu
memelihara dan mempertahankan kesehatan donor, memelihara keadaan biologis darah atau
komponen agar lebih bermanfaat, memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal
pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah). mengganti kekurangan komponen seluler atau
kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi hemostatis.

Anda mungkin juga menyukai