Anda di halaman 1dari 9

KONSTRUKSI MELAYU SAAT REVOLUSI SOSIAL SUMATERA

TIMUR DI KESULTANAN LANGKAT DALAM SURAT KABAR


(Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera
Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat)

Andika Bakti - 090904006

ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur
di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar (Analisis Framing tentang Konstruksi
Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat
Kabar Pandji Ra’jat). Tujuan untuk melihat bagaimana Melayu dikontruksi dalam
teks berita di Pandji Ra’jat terkait Revolusi Sosial Sumatera Timur di Langkat.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan pisau
analisis framing model Gamson dan Modigliani. Gamson dan Modigliani
memahami media sebagai satu gagasan interpretasi saat mengkonstruksi dan
memberi makna pada suatu isu. Dengan demikian peneliti akan menganalisis
struktur-struktur yang dimilikinya untuk mendapat jalinan konstruksi dari naskah
ini. Revolusi Sosial Sumatera Timur merupakan sebuah gerakan sosial di
Sumatera Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang mencapai
puncaknya pada Maret 1946. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis
yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme.
Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota
keluarga kesultanan Melayu. Banyak bangsawan meregang nyawa seperti di
Kerajaan Langkat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam
pemberitaannya, Pandji Ra’jat mengkonstruksi Pemerintah sengaja mengadakan
revolusi sosial untuk menghilangkan sistem kerajaan di Indonesia, khususnya di
Langkat. Akibatnya, banyak bangsa Melayu di kerajaan menjadi korban
penculikan, perampokan, hingga pembunuhan.

Kata Kunci : Media, Framing,Revolusi Sosial, Sumatera Timur

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sebelum menjadi negara kesatuan, Indonesia sempat menyandang status
sebagai negara federalis, Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949.
Saat itulah terdapat banyak negara bagian di Indonesia, salah satunya adalah
Negara Sumatera Timur (NST) (Sinar: 565).
NST didirikan oleh Belanda dalam usaha mempertahankan daerah kaya
minyak, perkebunan tembakau dan karet. NST saat ini telah menjadi Provinsi
Sumatera Utara. Bagi Belanda, hasil perkebunan karet dan minyak sangat penting
dalam usaha penjajahan wilayah Indonesia saat itu. Sebelumnya pada 8 Oktober
1947, Belanda juga mendeklarasikan Daerah Istimewa Sumatera Timur dengan
gubernur Dr. Tengku Mansur, seorang bangsawan Kesultanan Asahan yang juga
ketua organisasi Persatuan Sumatera Timur (Blackwell, 2008: 172).

1
Sebelum resmi menjadi negara bagian, Sumatera Timur (ST) dikenal
dengan daerah yang memiliki beberapa wilayah kerajaan seperti Kerajaan
Langkat, Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang, (kini Kabupaten Deli Serdang dan
Serdang Bedagai), Kerajaan Asahan, Kedatukan di Batubara, Kerajaan Panai,
Kerajaan Bilah, Kerajaan Kota Pinang dan Kerajaan Kualuh-Leidong di
Kabupaten Asahan dan Kabupaten Labuhan Batu, Kerajaan Simalungun dan
kerajaan-kerajaan lain di Tanah Tinggi Karo (Sinar: i).
Banyak sejarah penting mengiringi perjalanan ST, yang paling
meninggalkan jejak karena dianggap sebagai peristiwa paling kejam hingga saat
ini adalah Revolusi Sosial Sumatera Timur (Aziddin, 1948: 6), sebuah gerakan
sosial di ST oleh rakyat terhadap penguasa Kesultanan Melayu yang mencapai
puncaknya pada bulan Maret 1946.
Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak
menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme, anti dengan sistem
sosial politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan.
Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota
keluarga Kesultanan Melayu, yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan
menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia
(Kahin, 2003: 412). Banyak bangsawan meregang nyawa dengan cara brutal. Dan
yang paling „berdarah‟ adalah Kerajaan Langkat (www.lenteratimur.com).
Terjadinya Revolusi Sosial di Langkat, bermula saat Soekarno-Hatta
memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 di
Jakarta. Kabar tersebut sampai di Langkat setelah utusan dari Sumatera, M. Amir
dan Tengku Hassan kembali dari Jawa. Setelah informasi kemerdekaan tersebut
menyebar di ST, barulah pada 4 Oktober 1945 bendera Merah Putih dikibarkan di
Sumatera dan sekitarnya (Pandji Ra’jat, 1947). Pada 5 Oktober 1945, Sultan
Mahmud yang saat itu menjabat sebagai pimpinan Istana Kerajaan Langkat
kemudian menyatakan penggabungan negaranya dengan Negara Republik
Indonesia.
Selanjutnya, sejak tanggal 22 Oktober 1945, beberapa tentara Sekutu
menduduki beberapa tempat penting untuk melucuti senjata dan memulangkan
tentara Jepang. Operasi tersebut dimulai dari Gebang, Berahrang, hingga ke
beberapa tempat lainnya. Pada akhir tahun, tentara Sekutu melakukan razia di
Tebingtinggi, dan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Sultan Langkat
yang saat itu sebagai penguasa daerah. Kemudia kaum Komunis dan Kaum Kiri
lainnya menggunakan peristiwa ini sebagai fitnah adanya konspirasi bahwa Sultan
Langkat adalah orang yang anti Republik (Sinar: 492-493). Walaupun, pada
beberapa literatur mengataan penyebab revolusi sosial adalah lalainya para Sultan
dan Raja menjalankan sistem pemerintahan baru, yaitu demokrasi yang telah
dijanjikan sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia (Prihantoro, 1984:
167)
Gesekan dan perang dingin antara Kerajaan Langkat dengan laskar-
laskarpun terjadi, hingga ketegangan memuncak pada 3 Maret 1946. Malam itu,
Bupati Tengku Amir Hamzah beserta seluruh pembesar kerajaan diculik dan
dibawa ke Kebon Lada (daerah Pungai). Amir Hamzah adalah Pangeran Langkat
Hilir sekaligus seorang penyair besar yang turut menggelorakan gerakan anti

2
kolonialisme melalui gagasan Indonesia. Mereka kemudian disiksa dan dipancung
oleh algojo Mandor Iyang, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana
Kerajaan Langkat (Sinar: 494).
Akan tetapi, Sultan Mahmud tak turut dibunuh. Ia ditangkap dan
diasingkan hingga kemudian wafat karena sakit. Dari artikel Maret Berdarah di
Sumatera Timur, 67 Tahun Silam yang dipublikasikan oleh media online
lenteratimur.com pada 19 Maret 2013, dijelaskan bahwa kedua putri Sultan
Mahmud sempat diperkosa di depan Sultan Mahmud sendiri, dan kisah
pemerkosaan itu menjadi cerita turun temurun di keluarga mereka hingga saat ini.
Pada memoar itu juga tercantum kutipan dari Tengku Amaliah, istri Tengku Amir
Hamzah, yang menceritakan kisah suaminya yang diculik. Kutipan itu diambil
dari buku hariannya (www.lenteratimur.com);
Kini, jika berkunjung ke Mesjid Azizi di Tanjung Pura, Sumatera Utara,
kita akan menemukan makam Tengku Amir Hamzah dan petinggi Kerajaan
Melayu lainnya, yang telah dipindahkan dari kuburan korban pembantaian di
Kebon Lada pada tahun 1948 lalu.
Itulah alasan mengapa Aziddin dalam bukunya Revolutie Antie Sociaal
(1948) mengatakan bahwa hari itu adalah hari yang tidak boleh dilupakan oleh
seluruh rakyat Indonesia. Ia menyebutnya sebagai hari paling jahat dan paling
kejam yang dilakukan oleh Volksfront. Volksfront adalah front rakyat yang
dimotori oleh Partai Komunis Indonesia. Mereka juga kerap disebut-sebut berasal
dari Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo),
Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Hizbullah, dan buruh-buruh Jawa dari
perkebunan serta kaum tani (www.lenteratimur.com).
Dari rentetan peristiwa yang terjadi di ST saat terjadi revolusi sosial,
khususnya di Langkat, sudah barang tentu media yang ada pada saat itu turut
ambil peran, baik itu sebagai pelapor, interpreter, wakil publik, watchdog,
ataupun advokator. Yang (idealnya) melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar
pengetahuan masyarakat dengan netral tanpa prasangka (Ishwara, 2005: 7-8).
Para wartawan pun terjun langsung ke tempat kejadian sebagai pengamat
pertama, dengan persepsi dan interpretasi berbeda-beda untuk kemudian
disebarluaskan melalui media massa tempat ia bekerja. Media massa adalah agen
sosialisasi sekunder yang dampak penyebarannya paling luas dibanding agen
sosialisasi lain. Meskipun dampak yang diberikan media massa tidak secara
langsung terjadi, namun cukup signifikan dalam memengaruhi seseorang, baik
dari segi kognisi, afeksi maupun konatifnya (Gerbner, 2007: 8).
Media massa memiliki peran besar dalam membentuk opini masyarakat
tentang tokoh atau sekelompok orang tertentu. Pesan yang terus disampaikan
melalui simbol-simbol atau istilah tertentu secara berulang-ulang dapat
membentuk pandangan tersendiri bagi masyarakat. Pandangan ini bisa positif atau
negatif. Pencitraan yang sudah begitu melekat dalam masyarakat ini kemudian
berkembang menjadi stereotip yang kemudian diteruskan intra dan inter generasi
(Gerbner, 2007: 9).
Begitu halnya dengan Revolusi Sosial Sumatera Timur, khususnya di
Langkat. Pandangan yang berkembang dari peristiwa tersebut adalah terhapusnya
sistem kerajaan yang ada merupakan keinginan kelompok tertentu yang menganut

3
paham antifeodal, dengan membunuh para petinggi Kesultanan Melayu. Lantas
informasi itulah yang berkembang di masyarakat, dengan latar belakang peristiwa
yang bermacam-macam.
Penulis memilih Pandji Ra’jat sebagai salah satu media yang ikut ambil
peran dalam menyebarluaskan peristiwa Revolusi Sosial Sumatera Timur. Pandji
Ra’jat adalah surat kabar yang terbit pertama kali pada 15 November 1945.
Awalnya surat kabar yang beralamat di Jalan Gambir 9 Jakarta ini terbit sekali
dalam sepekan, yaitu hari Kamis. Namun sejak 18 Juni 1946, surat kabar ini terbit
dua kali dalam seminggu yaitu hari Selasa dan Jumat. Pandji Ra’jat memuat
empat halaman di tiap edisinya, dan tak jarang ada halaman tambahannya juga.
Awalnya Pandji Ra’jat terbit dengan 1000 eksemplar dan hanya dapat
disirkulasikan di lingkungan masyarakat yang kecil, tapi seiring berjalannya
waktu jumlahnya bertambah menjadi 20.000 eksemplar dan tersebar di tempat
yang dapat dikunjungi di seluruh Indonesia, Malaysia, Thailand, China, Australia,
Arab, serta Belanda (Pandji Ra’jat, 1946). Kini koran ini, sebagai mana koran-
koran terbitan lama, dikumpulkan oleh lembaga bernama Institute for War,
Holocaust and Genocide Studies di Belanda, dan dapat diakses melalui situs
resminya http://noid.x-cago.com.
Dalam situs itu, terbukti bahwa Pandji Ra’jat adalah satu-satunya surat
kabar yang bertahan cukup lama, yaitu mulai tahun 1945 hingga akhir tahun 1948.
Dalam rentang waktu tersebut, revolusi sosial di ST terjadi dan menjadi alasan
penulis memilih surat kabar ini menjadi subjek penelitian. Surat kabar lainnya
yang terbit dengan waktu hampir bersamaan adalah Berita Republik Indonesia,
yang merupakan surat kabar terbitan resmi pemerintah Republik Indonesia dan
berisi tentang kebijakan-kebijakan baru milik negara. Surat kabar ini terbit sejak
Januari 1945 hingga Maret 1947, dan tidak ada menampilkan berita revolusi sosial
di ST.
Maka, untuk melihat konstruksi media tentang Melayu saat Revolusi
Sosial Sumatera Timur, Pandji Ra’jat dinilai cukup mewakili. Oleh karena itu
peneliti tertarik untuk melihat konstruksi Melayu di Pandji Ra’jat, khususnya saat
Revolusi Sosial Sumatera Timur yang terjadi di Kesultanan Langkat sejak Maret
1946 sampai Desember 1948.

Perumusan Masalah
Bagaimana Konstruksi Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di
Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis naskah
tentang rakyat Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan
Langkat dalam surat kabar Pandji Ra’jat.

4
KAJIAN LITERATUR
Berita
Adalah apa yang pemberita buat. Penyajian berita merefleksikan sesuatu,
dan refleksi itu adalah praktik pekerja dalam organisasi yang memproduksi berita
(Eriyanto, 2002: 100).

Jenis-jenis Berita
Elementary yang mencakup pelaporan berita langsung, berita mendalam,
dan berita menyeluruh. Intermediate yang meliputi pelaporan berita
interpretatifdan pelaporan karangan-khas. Advance yang menunjuk pada
pelaporan mendalam, pelaporan penyelidikan, dan penulisan tajuk rencana
(Sumadiria, 68-69).

Paradigma
Adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia
nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya.
Paradigma menunjukkan apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma
juga bersifat normatif, menunjukkan, kepada praktisinya apa yang harus dilakukan
tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang
(Mulyana, 2003: 9).

Fenomenologi
Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan,
termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa
yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada
persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang. (Bungin,
2003).

Interaksionisme Simbolik
Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif,
yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-
struktur lain yang ada di luar dirinya, tapi bersifat aktif, reflektif dan kreatif,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan (Mulyana, 2001: 59).

Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial


Realitas Sosial adalah hasil kostruksi sosial dalam proses komunikasi
tertentu. Sementara konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa,
namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).

Media Massa Sebagai Arena Sosial


Ada tiga frame yang mampu memengaruhi gerakan social. Pertama,
aggregate frame: proses pendefenisian isu mengenai masalah sosial. Kedua,
Consensus Frame: proses pendefenisian yang berkaitan dengan masalah sosial
yang hanya bisa diselesaikan secara kolektif. Ketiga, Collective Action Frame:
proses pendefenisian yang berkaitan dengan alasan mengapa dibutuhkan tindakan

5
kolektif serta tindakan kolektif apa yang seharusnya dilakukan (Eriyanto, 2002
:221-222).

Faktor Faktor yang Membentuk Isi Media


Apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh
yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam
Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content,
menyusun berbagai faktor yang memmengaruhi pengambilan keputusan dalam
ruang pemberitaan: Individu; Rutinitas media; Organisasi; Ekstra media; dan
Ideologi.

Analisis Framing
Analisis framing adalah salah satu metode penelitian yang termasuk baru
dalam dunia ilmu komunikasi. Para ahli menyebutkan bahwa analisis framing ini
merupakan perpanjangan dari analisis wacana yang dielaborasi terus menerus ini,
menghasilkan suatu metode yang up to date untuk memahami fenomena-
fenomena media mutakhir (Sudibyo, 2001: 23).

METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
framing, yaitu metode analisis yang melihat wacana sebagai konstruksi realitas
sosial. Penelitian ini dikelompokkan dalam kategori penelitian konstruktivisme
karena sesuai dengan dimensi ontologis, epistemologis, dan metodologis dari
paradigma konstruktivis itu sendiri.

Objek Penelitian
Objek penelitiannya adalah kumpulan naskah berita yang terbit di surat
kabar Pandji Ra’jat selama Revolusi Sosial Sumatera Timur berlangsung, yaitu
Maret 1946 sampai Pandji Ra’jat tutup usia pada Desember 1948.

Subjek Penelitian
Subjek penelitiannya adalah surat kabar Pandji Ra’jat.

Kerangka Analisis
Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan model analisis milik
Gamson dan Modigliani. Gamson dan Modigliani memahami media sebagai satu
gagasan interpretasi (interpretative package) saat mengkonstruksi dan memberi
makna pada suatu isu. Model ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang
melihat representasi media seperti berita dan artikel terdiri atas interpretative
package yang mengandung konstruksi makna tertentu.

Pelaksanaan Penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini berlangsung di Medan, Sumatera Utara,
sejak Mei hingga September 2013.

6
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan, studi dokumen, dan keabsahan data.

Teknik Analisis Data


Gamson dan Modigliani didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang
melihat representasi media seperti berita dan artikel. Terdiri atas interpretative
package yang mengandung konstruksi makna tertentu, serta terdapat dua struktur
yaitu Core Frame dan Condensing Symbols.
Core frame (gagasan sentral) pada dasarnya berisi elemen-elemen inti
untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa dan mengarahkan
makna isu yang dibangun condensing symbol. Condensing symbol (simbol yang
dimampatkan) adalah hasil pencermatan terhadap interaksi perangkat simbolik
(framing device dan reasoning devices) sebagai dasar digunakan perspektif simbol
dalam wacana terlihat wacana transparan apabila dalam dirinya terdapat perangkat
bermakna yang mampu berperan sebagai panduan untuk menggantikannya
sesuatu yang lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis dan Hasil Pembahasan
Teks pertama yang dianalisis berjudul Evolusi dan Revolusi dalam
Praktijk (Evolusi dan Revolusi dalam Praktik). Frame yang dibentuk Pandji
Ra’jat adalah Revolusi sosial merupakan aliran baru di Indonesia. Teks berisi
tentang perbedaan antara evolusi dan revolusi. Evolusi dianggap sistem yang
seharusnya diterapkan oleh bangsa Timur, khususnya Indonesia. Kaitannya
Melayu pada artikel adalah; Langkat menjadi salah satu wilayah yang disebutkan
dalam peristiwa revolusi sosial. Di sana, banyak raja-raja dan diturunkan dan
dibunuh.
Perubahan sosial atau revolusi sosial yang terjadi di Indonesia dianggap
sebagai hasil pengadopsian dari bangsa Barat, seperti yang telah terjadi di Jawa
dan Sumatera.
Langkat adalah salah satu wilayah yang disebutkan dalam peristiwa
revolusi sosial. Di sana, banyak raja-raja dan diturunkan dan dibunuh. Raja yang
ada di Langkat adalah bangsa Melayu. Penulis mengatakan bahwa revolusi sosial
adalah suatu proses perubahan yang tidak banyak diketahui oleh rakyat, begitu
pula dengan penyebabnya. Yang diketahui oleh rakyat hanyalah raja-raja yang
diturunkan dari jabatannya.
Akibat Revolusi Sosial di Sumatera Timur, 34 orang familie Sultanaat
Langkat Dibunuh (Akibat Revolusi Sosial di Sumatera Timur, 34 Orang Keluarga
Kesultanan Langkat Dibunuh) menjadi judul teks ke dua. Jika artikel pertama
membingkai revolusi sosial lebih luas, pada teks ini penulis membingkainya
dengan lebih spesifik. Frame yang terbentuk adalah Republik menutupi kebenaran
revolusi sosial di Sumatera Timur. Berita ini menceritakan kronologis, mulai dari
Indonesia merdeka sampai terbentuk laskar-laskar yang akhirnya menjatuhkan
para raja dari bangku Kesultanan. Bangsa Melayu yang terlibat dalam
pemerintahan Kesultanan menjadi sasaran dari peristiwa revolusi sosial.

7
Dalam artikel dijelaskan bahwa tak ada satu raja pun di Sumatera Timur
yang keberatan untuk menyerahkan kekuasaan pada Komite Nasional. Tapi yang
terjadi adalah penyembelihan besar-besaran, perampokan hak milik bangsa
Indonesia, penangkapan-penangkapan yang ditaksir berjumlah tidak kurang dari
7000 orang. Begitulah peristiwa Revolusi Sosial Sumatera Timur digambarkan.
Secara transparan penulis mengatakan jumlah rakyat Melayu yang
menyadi korban Sumatera Timur. di Langkat sendiri ada 34 orang dari keluarga
serta atasan Kesultanan Langkat yang terbunuh, begitu juga di kesultanan lain
seperti Asahan dan Labuhan Batu. Disebutkan pula sebanyak lima orang wakil
Republik yang diangkat Presiden Sukarno juga menemui ajalnya. Meninggal.
Secara keseluruhan, informasi yang disampaikan wartawan melalui media
Pandji Ra’jat memang tidak berlebihan. Hanya saja sudut pandang yang dipilih
terkesan memihak kepada bangsa Melayu yang posisinya menjadi korban. Ada
beberapa kata di teks ke dua yang dapat memancing pembaca kepada emosional
tertentu. Pemaparan-pemaparan seperti itu yang memberi kesan bahwa ada pihak-
pihak dari luar kesultanan yang menjadi pelaku, dan bangsa Melayu menjadi
korban. Penulis benar-benar terpengaruh kerangka berpikir dan subjektivitasnya
sendiri dengan kuat.

PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil temuan data yang telah disajikan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan sosial yang terjadi mengakibatkan
banyak bangsa Melayu menjadi korban penculikan, perampokan, hingga
pembunuhan. Dari berita yang ditampilkan, menghapuskan sistem kerajaan di
Langkat merupakan keinginan Pemerintah Republik yang saat itu dipimpin oleh
Presiden Soekarno.
2. Bangsa Melayu tidak pernah dipaparkan secara langsung, penulis cenderung
menggunakan diksi lain seperti keluarga kesultanan. Dengan mengacu pada latar
belakang masalah yang menyebutkan penduduk asli Sumatera Timur adalah suku
bangsa Melayu, artinya seluruh korban dari peristiwa Revolusi Sosial adalah
bangsa Melayu itu sendiri.
3. Makna yang didapatkan dari hasil konstruksi penulis berita dapat dilihat dari fakta
yang dibangun. Dari sudut pandang yang dipilih oleh penulis, revolusi sosial
terjadi atas keinginan pemerintah Indonesia untuk menghilangkan sistem kerajaan
di Indonesia. Pandji Ra’jat membenarkan bangsa Melayu di Langkat diturunkan
paksa oleh Pemerintah Indonesia.

Saran
1. Penelitian ini menggunakan surat kabar tempoe doeloe sebagai subjek penelitian.
Tidak mudah mendapatkan arsip-arsipnya. Untuk itu peneliti menyarankan agar
khalayak dapat ikut mempromosikan tempat mengakses surat kabar tersebut
sebagai kebutuhan akademis dan pribadi.

8
2. Peneliti menyarankan agar ada pembahasan mengenai jurnalistik yang lebih
mendalam seperti genre dan teknik peliputan. Jika melihat media zaman dulu
dengan sekarang, kita dapat menemui banyak perbedaan.
3. Tidak ada wartawan yang objektif. Untuk itu, peneliti menyarankan agar khalayak
memiliki kesadaran akan hal ini dan bisa mencermati sebuah naskah berita
sebelum membuat pemahaman tertentu atas informasi dari media massa. Menjadi
paling penting bagi setiap wartawan adalah menuliskan berita dengan memenuhi
prinsip sembilan elemen jurnalisme.

DAFTAR REFERENSI
Sumber Buku
Aziddin, Joesoef. 1948. Revolutie Antie Sociaal.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis data peneltian kualitatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
_____________. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.
Blackwell, Oxford, Anthony Milner. 2008. The Malays.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.
Yogyakarta: Lkis
Gerbner, George. 2007. Cultivation Analysis dalam West and Turner.
Introducing Communication Theory. New York : McGraw Hill.
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas
Media Nusantara
Kahin, George McTurnan. 2003. Nationalism and Revolution in Indonesia.
Cornell University Press.
Mulyana, Deddy. 2001. Human Communication, Konteks-konteks Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
_____________. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Prihantoro, Moegi. 1984. Perang Kemerdekaan di Sumatera 1945-1950. Medan:
Dinas Sejarah Kodam II Bukit Barisan
Sinar, Luckman. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumater Timur.
Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta:
LkiS
Sumadiria, AS Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Internet :
http://lenteratimur.com (diakses pada Selasa, 28 Mei 2013 pukul 14.00 Wib).
http://noid.x-cago.com(diakses pada Selasa, 28 Mei 2013 pukul 12.00 Wib).

Anda mungkin juga menyukai