Anda di halaman 1dari 35

PEMICU 4

MODUL PENGINDERAAN

Kelompok 5

DISUSUN OLEH: KELOMPOK II

ERVI AUDINA MUNTHE

AULIA RUSDI AL MUTTAQIEN

INES CARELLA VERZA

CHAIRIZIA RIANTIARNO

DIAN ROSIKIN HASIBUAN

PINIEL FRIMANTAMA

TIRZA SOSANTA

SRI ASTUTI

FASILITATOR/TUTOR : drg. Helena Jelita, MM.,MDSc.,Sp.Perio

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS PALANGKARAYA

2015
PEMICU 4

Seorang laki-laki, Pak Amin berusia 46 tahun datang ke dokter dengan keluhan pusing

berputar saat bangun dari tidur 3 hari yang lalu. Keluhan tersebut disertai dengan keluar

keringat dingin, mual, dan kadang muntah. Sekarang kalau berjalan, atau kalau menoleh ke

kiri merasa oleng. Rasa oleng bertambah ketika ia menutup mata dan membaik bila berjalan

sambil berpegangan pada tembok. Pak Amin merasa tidak nyaman saat menonton TV atau

ketika berada ditempat orang ramai lalu-lalang. Kadang-kadang telinga kiri Pak Amin

mendengar bunyi denging, tetapi tidak ada keluhan gangguan pendengaran. Pak Amin

bekerja sebagai operator mesin generator di menara pembangkit listrik. Dari anamnesis tidak

didapatkan riwayat infeksi di telinga, trauma kepala, dan pemakaian obat yang mengganggu

fungsi telinga. Dokter kemudian memeriksa pasien dengan tes dik Hallpike dan memberikan

hasil positif (+)


1. Definisi dan etiologi gangguan keseimbangan

 Gangguan keseimbangan / vertigo adalah suatu sensasi berputar, pasien merasa

bahwa dia ataupun lingkungannya berputar. Sering kali vertigo terjadi dengan

seketika, kadang-kadang, dan ketika berat disertai dengan mual, muntah, dan jalan

yang terhuyung-huyung.

 Etiologinya :

* akibat obat-obatan

* proses inflamasi pada apparatus vestibular

* kelaianan neurologis

* faktor lingkungan

2. Faktor resiko gangguan keseimbangan

- usia terkait/degeneratif

- trauma kepala

- infeksi/ gangguan telinga

- riwayat operasi kepala

- konsumsi alkohol

- obat obatan

- penyakit sistemik

Tanda gejala:

- sensasi pening/vertigo (berputar)

- terjatuh/perasaan terjatuh

- pusing/perasaan pusing

- penglihatan kabur

- disorintasi
3. Patofisiologi gangguan keseimbangan

Proses keseimbangan dipengaruhi oleh vestibuler, visual, dan propioseptif. Hal ini

dapat terjadi karena adanya gerakan/perubahan posisi tubuh atau kepala 

penekukan/pembelokan dari sel rambut menyebabkan perubahan permeabilitas membran

sel  depolarisasi sel saraf sebagai impuls melalui n. vestibularis ke pusat keseimbangan

di otak. Apabila terjadi kesalahan persepsi antara posisi tubuh dengan susunan saraf pusat,

maka akan terjadi gangguan keseimbangan.

4. Pemeriksaan gangguan keseimbangan ?

5. Penegakan diagnosis gangguan keseimbangan?

 Tanda dan Gejala

A. Gejala primer.

Gejala primer yang merupakan akibat utama dari gangguan sensorik.

1. Sensasi berputar baik dirinya sendiri maupun lingkungannya. Vertigo dapat

horizontal, vertikal atau melingkar.

2. Sensasi pergerakan, biasanya digambarkan sebagai perasaan didorong atau miring

yang singkat. Perasaan ini menunjukkan adanya disfungsi dari apparatus otolith di

telinga dalam atau proses sentral yang merangsang otolith.

3. Osilopsia adalah ilusi pergerakan lingkungan sekitar yang dipicu oleh pergerakan

kepala. Pasien dengan gangguan vestibuler bilateral tidak dapat melihat apabila

kepalanya sedang bergerak karena osilopsia. Pasien dengan gangguan vestibuler

unilateral selalu mengeluhkan “lingkungan sekitar berputar” apabila mereka memutar

kepalanya berlawanan dengan telinga yang sakit.


4. Ataksia, cara berjalan yang tidak stabil, hampir secara universal terdapat pada pasien

dengan vertigo sentral atau perifer.

5. Gangguan pendengaran. Vertigo sering diikuti oleh tinnitus, reduksi atau distorsi

pendengaran, dan aura.

B. Gejala sekunder, termasuk mual, gejala otonom, lelah, sakit kepala, dan penglihatan

yang sensitif.

C. Perasaan kepala terasa ringan seperti hamper pingsan. Biasanya disebabkan oleh

kelainan yang berhubungan dengan gangguan kardiovaskuler

D. Pusing dan perasaan ringan yang tidak spesifik. Istilah ini tidak memiliki arti yang

tepat dalam penggunaan umum. Sering ditemukan pada pasien dengan ganguan

psikologis.

 Anamnesa

1. Definisi. Apakah pasien mengeluhkan vertigo (rasa berputar), gejala sekunder

(seperti mual), gejala non spesifik (pusing atau kepala terasa ringan).

2. Pengaruh terhadap perubahan posisi

3. Waktu. Apakah gejala menetap atau episodik. Apabila episodik, berapa lama baru

berakhirnya.

4. Pencetus atau faktor eksaserbasi.

5. Riawayat gangguan pendengaran.

6. Riwayatmenderitapenyakitlainnya.

7. Riwayat pengobatan. Banyak obat yang dapat menginduksi vertigo, termasuk obat
ototoksik, obat anti epilepsi, anti hipertensi, dan sedatif dan paparan zat ototoksik.

8. Riwayat penyakit keluarga.

 Pemeriksaan fisik

Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab; apakah

akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat korteks

serebri, serebelum, batang otak atau berkaitan dengan sistim vestibuler/otologik; selain

itu harus dipertimbangkan pula faktor psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari

keluhan vertigo tersebut. Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus

ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat

diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai.

1. Pemeriksaan umum. Ukur tekanan darah dan nadi dengan posisi pasien berdiri.

Apabila tekanan darah saat berdiri rendah, periksa tekanan darah dengan posisi berbaring

dan duduk. Auskultasi arteri karotis dan subklavia. Faktor sistemik yang juga harus

dipikirkan/dicari antara lain aritmi jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif,

anemi, hipoglikemi, infeksi dan trauma kepala.

2. Pemeriksaanneurologis

a. Tes menulis vertikal :

Pasien duduk di depan meja, tubuh tidak menyentuh meja dan tangan yang satu

berada diatas lutut, penderita disuruh menulis selajur huruf dari atas ke bawah,

mula-mula dengan mata terbuka lalu tertutup. Pada kelainan labirin satu sisi akan

terjadi deviasi dari tulisan dari atas kebawah sebesar 10 derajad atau lebih.

Sedangkan Penderita kelainan serebelum maka tulisannya menjadi semakin besar

(macrographia) atau tulisan menjadi kacau.

b. Tes Romberg
Pasien berdiri tegak kedua kaki sejajar bersentuhan dan mata lalu dipejamkan.

Apabila gangguan vestibuler pasien tidak dapat mempertahankan posisinya, ia akan

bergoyang menjauhi garis tengah dan akan kembali ke posisi duduk dan berdiri

seketika, jika ada lesi pasien akan jatuh ke sisi lesi. Test Romberg sangat berguna.

Kemampuan normal minimal dengan mata tertutup selama sekitar 6 detik. Dewasa

muda seharusnya dapat melakukannya sekitar 30 detik, dan kemampuan menurun

seiring usia.Pasien dengan gangguan vestibuler bilateral secara moderat mengalami

ataksia menjadi sangat tergantung terhadap penglihatan dan merasa tidak seimbang

apabila mata tertutup. Tidak ada pasien dengan gangguan bilateral yang dapat berdiri

dengan mata tertutup pada test Romberg selama 6 detik.

c. Tes Tandem Gait

Pasien kaki saling menyilang dan tangan menyilang didada. Pasien di suruh berjalan

lurus, pada saat melangkah tumit kaki kiri djiletakkan pada ujung jari kaki kanan dan

seterusnya. Adanya gangguan vestibuler akan menyebabkan arah jalanannya

menyimpang.

d. Stepping test

Berjalan di tempat dengan mata terbuka dan lalu tertutup sebanyak 50 langkah. Test

dianggap abnormal ada kelainan vestibuler jika pasien berjalan beranjak miring

sejauh 1 meter atau badan berputar lebih 30 derajat. Jika penderita stabil test diulang

dengan tangan terentang. Juga berjalan diatas kasur. Penderita dengan kelainan

vestibular bilateral yang di sebabkan intoksikasi obat – obatan dapat berjalan dengan

mata terbuka akan tetapi sulit dengan mata tertutup

e. Past pointing test

Dengan mata terbuka pasien di minta untuk mengangkat lengannya lurus keatas

dengan telunjuk ekstensi. Kemudian lengan tersebut di turunkan sampai menyentuh


telunjuk pemeriksa. Selanjutnya dengan mata tertutup pasien di minta untuk

mengulang gerakan tersebut. Adanya gangguan vestibuler menyebabkan

penyimpangan tangan pasien sebhingga telunjuknya tidak dapat menyentuh telunjuk

pemeriksa.

f. Pemeriksaan Quik : Pasien berdiri di depan pemeriksa. Kedua lengan

direntangkan ke depan setinggi bahu, dan kedua jari telunjuk menunjukkan ke

telunjuk pemeriksa. Selanjutnya pasien disuruh menutup mata. Perhatikan

timbulnya penyimpangan arah pada kedua tangan pasien.

g. Finger to finger test : bila kelainan labirin satu / dua sisi maka kelainan test ini

selalu pada kedua jari kiri dan kanan, bila sumber kelainannya dari serebelum satu

sisi maka jari yang menunjukkan kelainan hanya pada sisi maka jari yang

menunjukkan kelainan hanya pada sisi yang sesuai dengan sisi kelainan serebelum.

3. Pemeriksaan mata untuk menilai nistagmus. Nistagmus menunjukkan gangguan

telinga bagian dalam, otak, dan otot okuler. Evaluasi nistagmus yang optimal

memerlukan kacamata Frenzel, dimana kacamata ini dipakai oleh pasien dan

mengaburkan penglihatan pasien, namun memperjelas munculan nistagmus. Dari dua

jenis kacamata Frenzel yang ada, optikal dan video, kacamata frenzel video jauh lebih

unggul.

1. Nistagmus Spontan. Dengan kacamata frenzel mata diamati untuk nistagmus

spontan selama 10 detik. Nistagmus tipikal yang dihasilkan oleh disfungsi telinga

dalam adalah nistagmus posisi primer, mata secara perlahan deviasi dari tengah

dengan kemudian terdapat sentakan cepat yang membawa bola mata kembali ke

posisi tengah. Banyak nistagmus dengan pola–pola lain (seperti sinusoidal, gaze

evoked dan saccadic) bersumber dari sentral.


Bilakacamata frenzel tidak tersedia, tanda- tanda serupa tentang nistagmus spontan

biasanya didapat dari pemeriksaan optalmoskop yaitu dengan memonitor gerakan

balik bola mata seperti bola mata belakang bergerak ke depan, untuk gerakan

horizontal dan vertikal. Seseorang harus mengingatkan untuk membalikkan arah

nistagmus ketika membuat catatan. Fiksasi dapat dihilangkan dengan menutup mata

sebelahnya. Nistagmus yang berasal dari telinga dalam meningkat dengan

menghilangkan fiksasi.

2. Tes Posisi Dix Hallpike. Pasien diposisikan di meja pemeriksaan yang datar,

kepala diekstensikan melalui ujung meja. Jika kacamata Frenzel tersedia, gunakan,

tapi biasanya tidak digunakan. Pasien kemudian digerakkan dengan cepat dengan

posisi kepala tergantung. Jika pasien tidak pusing atau nistagmus yang terjadi setelah

20 detik, pasien didudukkan. Kepala kemudian diposisikan 45o ke kanan dan pasien

ditidurkan dengan posisi supinasi dengan kepala ke kanan. Setelah 20 detik, pasien

duduk kembali dan prosedur diulang ke kiri ( posisi kepala ke kiri). Serangan

nistagmus dapat diprovokasi dengan posisi kepala ke kanan dan ke kiri. Nistagmus

tipe BPPV (kanal posterior) bergerak ke atas dan mempunyai komponen berputar,

gerakan bola mata ke bawah ketika pasien duduk. Ada beberapa jenis BPPV dengan

arah berbeda. Jenis BPPV kanal lateral dikaitkan dengan nistagmus horizontal yang

kuat yang berubah arah kepala kiri dan kanan. Jenis kanal anterior dihubungkan

dengan nistagmus ke bawah degan Dix Hallpike. Selanjutnya tes nistagmus

membutuhkan kacamata frenzel video.


1. Tes Gelengan Kepala. Tes ini dilakukan jika tidak ada nistagmus spontan atau

nistagmus posisi. Dengan kacamata Frenzel, kepala pasien diputar oleh pemeriksa

dengan arah horizontal dan seterusnya sebanyak 20 x putaran. Dilakukan dengan deviasi

kepal 45o ke sisi lain untuk 2 x putaran per detik.Nistagmus berlangsung 5 detik atau

lebih adalah indikasi adanya gangguan organik telinga atau sistem saraf pusat dan

membantu pemeriksaan lebih lanjut.

2. Tes Arteri Vertebre untuk Vertigo servikal. Dengan posisi pasien tegak lurus dan

memakai kacamata. Kepala diputar maksimal ke satu sisi dan biarkan selama 10 detik.

Mata tetap di tengah. Tes positif bila nistagmus terjadi dengan posisi kepala sejajar

tubuh.

3. Tes Valsava. Dilakukan jika ada gejala tekanan sensitif kompleks dalam riwayat

penyakit. Ketika memakai kacamata frenzel, pasien diminta bernafas dalam dan menahan

nafas selama 10 detik sambil diamati nistagmus dengan kacamata frenzel. Tes positif bila

nistagmus pada saat onset berkurang.


4. Tes Hiperventilasi. Dilakukan jika pemeriksaan semuanya normal. Pasien diminta

bernafas dalam selama 30 x. Segera setelah hiperventilasi, mata dilihat apakah ada

nistagmus dengan menggunakan kacamata dan pasien ditanya bila tes menimbulkan

gejala. Tes positif tanpa nistagmus menunjukkan gejala hiperventilasi. Nistagmus yang

dipicu oleh hiperventilasi dapat berupa tumor nervus cranial VIII atau medulla spinalis.

5. Tes fungsi pendengaran. Biasanya dengan menggunakan garpu tala. Tes ini digunakan

untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes Rinne, Weber dan

Schwabach.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Tes Audiologik, tidak dibutuhkan untuk untuk setiap pasien dengan keluhan pusing,

tapi mungkin lebih tepat jika ada masalah pendengaran.

a. Audiogram, menilai pendengaran. Abnormalitas memberikan kesan vertigo

otologik. Sering cukup untuk penegakkan diagnosis. Upaya untuk memisahkan

otologik dari sumber vertigo lain.

b. Brainstem Auditory Evoked Potensial (BAEP). Test nurofisiologi ini

dipergunakan bila diduga adanya carebello pontine tumor, terutama neuroma akus

tikus atau multiple sklerosis. Kombinasi pemeriksaan BERA dan CT Scan dapat

menunjukkan konfirmasi diagnostik tumor.

c. Otoacoustic Emission (OAE) menilai suara oleh telinga pasien sendiri. Cara ini

cepat dan sederhana. OAE berguna dalam mendeteksi malingering, gangguan

pendengaran sentral dan orang- orang dengan neuropati auditorik. Dalam situasi ini,

OAE dapat dilakukan bahkan bila pendengaran subjektif berkurang. Ketika ada

potensi malingering, sering audiologist melakukan beberapa tes untuk uji

pendengaran objektif, tes dapat mendeteksi kehilangan pendengaran psikogenik.


OAE biasanya tidak membantu padang orang- orang usia > 60 tahun karena OAE

menurun dengan usia.

d. Electrocochleografi (ECOG) adalah sebuah potensi bangkitan yang menggunakan

electrode perekam yang diposisikan dalam gendang telinga. ECOG membutuhkan

frekuensi pendengaran yang tinggi. ECOG yang abnormal memberi kesan penyakit

Meniere. ECOG itu sulit dan interpretasi dari hasil harus memnuhi penilaian bentuk

gelombang.

2. Tes Vestibular tidak dibutuhkan untuk setiap pasien dengan keluhan pusing.

Penelitian primer- Tes Elektronystagmography (ENG), membantu bila diagnosis masih

belum jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan. ENG secara bertahap digantikan dengan

tes VEMP.

a. ENG merupakan prosedur beruntun yang dapat mengidentifikasi vestibular

asimetris (seperti yang disebabkan oleh neuritis vestibular) dan membuktikan

nistagmus spontan dan posisi (seperti yang disebabkan oleh BPPV). ENG adalah tes

yang panjang dan sulit. Jika ada hasil yang abnormaldan tidak sesuai dengan

gejalaklinis sebaiknya dikonfirmasi denga tes kursi putar dan dikombinasi dengan

tes VEMP.

b. VEMP merupakan tes vestibular dasar karena ini memberikankeseimbangan

yang baik untuk keperluan diagnosticdan toleransi pasien. Tes ini sensitif terhadap

sindrom dehiscence kanal superior. Kehilangan vestibular bilateral dan neuroma

kaustik. VEMP secara umum normal pada neuritis dan penyakit Menier.

c. Posturografi adalah sebuah instrument dari tes Romberg. Ini sangat berguna untuk

malingering dan juga mempunyai kegunaan melihat perkembangan orang- orang

yang menjalani pengobatan.


3. Pemeriksaan labor darah, dilakukan bila ada gejala spesifik kompleks dan tidak ada

pemeriksaan rutin untuk pasien denga keluhan pusing. Dalam faktanya pemeriksaan

kimia, hitung jenis, tes toleransi glukosa, tes alergi tidak secara rutin diperiksa.

4. Pemeriksaan Radiologi, foto tengkorak, foto vertebrae servikal, CT scan kepala dan

sinus tidak direkomendasikan secara rutindalam evaluasi vertigo.

a. MRI kepala, mengevaluasi kesatuan struktural batang otak, serebelum,

periventrikuler substansia putih, dan kompleks nervus VIII. MRI tidak secara rutin

dibutuhkan untuk evaluasi vertigo tanpa penemuan neurologis yang lain berkaitan.

b. CT Scan tulang temporal memberikan resolusi tinggi dari struktur telinga

daripada MRI dan juga lebih baik untuk evaluasi lesi yang melibatkan tulang. CT

tulang temporal mutlak dibutuhkan untuk diagnosis dehiscence canal superior. Jenis

koronal langsung resolusi tinggi adalah yang terbaik untuk diagnosis ini. CT Scan

tulang temporal banyak memancarkan radiasi dan untuk alasan ini, tes VEMP

direkomendasikan sebagai tes awal untuk dehiscence canal superior.

5. Pemeriksaan lainnya

a. EEG digunakan untuk diagnosis kejang. Hasilnya sangat rendah untuk pasien

dengan keluhan pusing.

b. Ambulatory Monitor atau Holter Monitoring digunakan untuk mendeteksi

aritmia atau sinus arrest.

6. Tatalaksana gangguan keseimbangan?

MANAJEMEN VERTIGO
Penatalaksanaan vertigo bergantung pada lama keluhan dan ketidaknyamanan akibat

gejala yang timbul serta patologi yang mendasarinya. Pada vertigo, beberapa tindakan

spesifik dapat dianjurkan untuk mengurangi keluhan vertigo. Pada penyakit Meniere,

misalnya, pengurangan asupan garam dan penggunaan diuretik disarankan untuk

mengurangi tekanan endolimfatik. Untuk BPPV (benign paroxysmal positional vertigo),

dapat dicoba dengan “bedside maneuver” yang disebut dengan “Epley particle

repositioning maneuver”, seperti pada gambar di bawah ini:

Penatalaksanaan Medikamentosa

Secara umum, penatalaksanaan medikamentosa mempunyai tujuan utama: (i)

mengeliminasi keluhan vertigo, (ii) memperbaiki proses-proses kompensasi vestibuler,

dan (iii) mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif. Beberapa golongan

obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di antaranya adalah:


a. Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan vertigo,

yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin. Kedua preparat

tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan antivertigo. Antikolinergik

berperan sebagai supresan vestibuler melalui reseptor muskarinik. Pemberian

antikolinergik per oral memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan gejala efek

samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala penghambatan reseptor

muskarinik sentral, seperti gangguan memori dan kebingungan (terutama pada

populasi lanjut usia), ataupun gejala-gejala penghambatan muskarinik perifer, seperti

gangguan visual, mulut kering, konstipasi, dan gangguan berkemih.

b. Antihistamin. Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan

antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di

antaranya adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan prometazin.

Mekanisme antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak diketahui, tetapi

diperkirakan juga mempunyai efek terhadap reseptor histamin sentral. Antihistamin

mungkin juga mempunyai potensi dalam mencegah dan memperbaiki “motion

sickness”. Efek sedasi merupakan efek samping utama dari pemberian penghambat

histamin-1. Obat ini biasanya diberikan per oral, dengan lama kerja bervariasi mulai

dari 4 jam (misalnya, siklizin) sampai 12 jam (misalnya, meklozin).

c. Histaminergik. Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai

antivertigo di beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri

merupakan prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari

efek vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah

dan sistem vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik,

dengan kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif jarang,

termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.


d. Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual pada pasien

dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar antidopaminergik merupakan

neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui dengan pasti,

tetapi diperkirakan bahwa antikolinergik dan antihistaminik (H1) berpengaruh pada

sistem vestibuler perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4 sampai 12

jam. Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai antiemetik, seperti domperidon

dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini terutama adalah

hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan yang berhubungan dengan

gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif, parkinsonisme, distonia akut, dan

sebagainya.

e. Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan di tempat khusus

pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vestibuler diperkirakan terjadi melalui

mekanisme sentral. Namun, seperti halnya obat-obat sedatif, akan memengaruhi

kompensasi vestibuler. Efek farmakologis utama dari benzodiazepin adalah sedasi,

hipnosis, penurunan kecemasan, relaksasi otot, amnesia anterograd, serta

antikonvulsan. Beberapa obat golongan ini yang sering digunakan adalah lorazepam,

diazepam, dan klonazepam.

f. Antagonis kalsium. Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal

kalsium di dalam sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah ion kalsium

intrasel. Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan vestibuler.

Flunarizin dan sinarizin merupakan penghambat kanal kalsium yang diindikasikan

untuk penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini juga digunakan sebagai obat migren.

Selain sebagai penghambat kanal kalsium, ternyata fl unarizin dan sinarizin

mempunyai efek sedatif, antidopaminergik, serta antihistamin-1. Flunarizin dan

sinarizin dikonsumsi per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang,
dengan kadar mantap tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih

dapat terdeteksi dalam waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek samping

jangka pendek dari penggunaan obat ini terutama adalah efek sedasi dan peningkatan

berat badan. Efek jangka panjang yang pernah dilaporkan ialah depresi dan gejala

parkinsonisme, tetapi efek samping ini lebih banyak terjadi pada populasi lanjut usia.

g. Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan secara hati-hati

karena adanya efek adiksi.

h. Asetilleusin Obat ini banyak digunakan di Prancis. Mekanisme kerja obat ini sebagai

antivertigo tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bekerja sebagai prekrusor

neuromediator yang memengaruhi aktivasi vestibuler aferen, serta diperkirakan

mempunyai efek sebagai “antikalsium” pada neurotransmisi. Beberapa efek samping

penggunaan asetilleusin ini di antaranya adalah gastritis (terutama pada dosis tinggi)

dan nyeri di tempat injeksi.

i. Lain-lain Beberapa preparat ataupun bahan yang diperkirakan mempunyai efek

antivertigo di antaranya adalah ginkgo biloba, piribedil (agonis dopaminergik), dan

ondansetron.

7. Pencegahan gangguan keseimbangan?

 menggunakan pelindung telinga saat bekerja di industry

 melakukan tes pendengaran

 tidak menggunakan earphone dalam waktu lama

 membersihkan telinga secara rutin

8. Prognosis dan komplikasi?


9. Klasifikasi gangguan keseimbangan ?

 benign peroxymal positional vertigo

 labirinitis vestibular

 penyakit meniere, vertigo

 disfungsi vestibular unilateral

 migraine vestibuler

 fistula perilimfe

10. Anatomi dan histologi telinga dalam?

 Anatomi Telinga Dalam atau Labyrinthus

1. Labyrinthus osseus

Terletak didalam pars petrosa ossis temporalis, medial terhadap telinga tengah. Terdiri

dari labyrinthus osseus, tersusun dari sejumlah rongga di dalam tulang dan labyrinthus

membranaceus tersusun dari sejumlah saccus dan ductus membranosa di dalam

labyrinthus osseus.

Labyrinthus osseus terdisi atas tiga bagian: vestibulum, canalis semicircularis dan

cochlea. Ketiganya merupakan rongga-rongga yang terletak didalam substansia

compacta tulang. Mereka dilapisi oleh endosteum dan berisi cairan bening,

perilympha, yang didalamnya terdapat labyrinthus membranaceus.

 Vesttibulum merupakan bagian tengah labyrinthus osseus terletak posterior

terhadap cochlea dan anterior terhadap canalis semicircularis. Pada dinding

lateralnya terdapat fenestra vestibuli yang ditutupi oleh bassis stapedis dan

ligm. annulare dan fenestra cochleae yang ditutupi oleh membrana tympanica

secundaria. Didalam vestibulum terdapat sacculus dan utriculus labyrinthus

mambranosa.
 Canalis semicircularis ada tiga, yaitu canalis semicircularis superior, posterior

dan lateral bermuara kebagian posterior vestibulum. Didalam canalis terdapat

ductus semicircularis.

 Cochlea bermuara kedalam bagian anterior vestibulum. Umumnya terdiri atas

satu pilar sentral, modiolus cochleae dan modiulus ini dikelilingi tabung

tulang yang sempit sabanyak dua setengah putaran. Membrana basilaris

terbentang dari pinggir bebas lamina spiralis sampai ke dinding luar tulang,

sehingga membelah canalis cochlearis menjadi scala vestibuli disebelah atas

dan scala tympani disebelah bawah.

2. Labyrithus Membranaceus

Terletak didalam labyrinthus osseus. Berisi endolymoha dan dikelilingi

perilympha. Labyrithus membranaceus terdiri atas utriculus dan sacculus yang

terdapat didalam vestibulum osseus; tiga ductus semicircularis yang terletak

didalam cochlea.

 Histologi Telinga Dalam

Koklea
Organo Corti

11. Fisiologi telinga dalam?


12. Etiologi, faktor risiko, dan tanda gejala gangguan pendengaran?

A. ETIOLOGI

Etiologi di bagi menjadi 2 yaitu :

1. Internal

Degenerasi primer eferen dari koklea, degenerasi primer organ corti penurunan

vascularisasi dari reseptor neuro sensorik mungkin jugamengalami gangguan.

Sehingga baik jalur auditorik dan lobus temporalis otak sering terganggu akibat

lanjutnya usia

2. Eksternal

Terpapar bising yang berlebihan, penggunaan ototoksik dan reaksi paska radang

B. TANDA DAN GEJALA

1. Berkurangnya pendengaran secara perlahan dan progresif perlahan pada kedua telinga

dan tidak disadari oleh penderita.

2. Suara-suara terdengar seperti bergumam, sehingga mereka sulit untuk mengerti

pembicaraan.

3. Sulit mendengar pembicaraan di sekitarnya, terutama jika berada di tempat dengan

latar belakang suara yang ramai.

4. Suara berfrekuensi rendah, seperti suara laki-laki, lebih mudah didengar daripada

suara berfrekuensi tinggi.

5. Bila intensitas suara ditinggikan akan timbul rasa nyeri di telinga.

6. Telinga terdengar berdenging (tinnitus)

C. FAKTOR RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN

Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko yang mempunyai hubungan yang kuat dengan

timbulnya gangguan pendengaran sensorineural dibuktikan dalam penelitian ini.

Cormick et al,7 meneliti pada tikus yang mempunyai hipertensi mendapatkan bahwa

terdapat penurunan kemampuan pendengaran (penurunan ac potensial tingkap bundar

koklea). Disfungsi saraf simpatis, disfungsi trombosit dan natriuretic hormon merupakan

kemungkinan etiologi dari gangguan pendengaran sensorineural. Lama menderita paling

lama 4 tahun, rata-rata diderita selama satu tahun. Dan hanya 3 (tiga) subyek memakan

obat hipertensi, tetapi hanya 2 (dua) subyek minum obat hipertensi secara teratur.

Masa Kerja dan Umur

Telah dilakukan penyesuaian masa kerja, mengacu pada uji statistik yang memenuhi

syarat. Masa kerja > 20tahun jelas merupakan faktor risiko timbulnya gangguan

pendengaran karena makin seringnya dan lama terpajan dengan kebisingan. Dari

perhitungan statistik umur > 40tahun tidak mempunyai risiko timbulnya gangguan

pendengaran dibandingkan umur yang lebih muda ² 40 tahun), hubungan bermakna

secara bivariat tetapi dengan pengendalian faktor risiko lain dengan analisis multivariat

menjadi tidak bermakna. Walaupun faktor degeneratif merupakan faktor risiko gangguan

pendengaran yang diketahui tetapi tidak bisa dibuktikan pada penelitian ini.Dengan uji

multi kolinieritas ternyata masa kerja dan umur mempunyai multikolinieritas yang tinggi.

Dengandikeluarkan faktor risiko umur maka korelasi antar variabelbisa dihilangkan. Dari

24 pekerja yang berumur > 40tahun dan mempunyai gangguan pendengaran, ternyata 22

pekerja (91,67%) mempunyai masa kerja > 20 tahun. Dari penjelasan secara kaidah

pengetahuan kedokteran dan secara statistik tersebut maka dapat dinyatakan bahwa

faktor risiko umur tetap merupakan suatu faktor risikoyang penting dan bermakna.
Gizi

Faktor risiko gizi yang dipakai adalah IMT (IndeksMasa Tubuh), untuk memudahkan

penafsiran dibagi 2kategori (gemuk dan normal). Pada kenyataan tidak adayang

tergolong kurus IMT < 18, pekerja pertambangan minyak secara umum mempunyai

masalah kelebihan beratbadan. Kegemukan diketahui secara luas dan melalui penelitian-

penelitian berhubungan dengan penyakit-penyakit kardiovaskuler. Patofisiologi vaskuler

merupakanpenjelasan adanya faktor resiko kegemukan pada timbulnya gangguan

pendengaran. Pengaruh bising dan getaran pada fungsi keseimbangan dan pendengaran,

menemukan ada pengaruh faktor gizi lebih terhadap timbulnya gangguan pendengaran.

Dalam penelitian ini didapatkan pengaruh IMT terhadap timbulnya gangguan

pendengaran sensorineural pada uji bivariat tetapi menjadi tidak bermakna uji

multivariat. Pada pengujian multi kolinieritas IMT bebas dari multikolinieritas dengan

faktor risiko hipertensi, merokok, masa kerja, umur, kadar kolesterol total darah. Faktor

risiko IMT tetap merupakanf aktor risiko gangguan pendengaran sensorineural tapi

kemungkinan bukan faktor risiko yang utama dan langsung.

Merokok

Merokok merupakan faktor risiko yang kuat terjadinya gangguan pendengaran

sensorineural. Dengan sekitar 4000 jenis yang kimia terkandung dalam rokok,dengan

nikotin dan karbonmonoksida merupakan bahanyang penting dalam proses kerusakan

pada organ pendengaran. Nikotin mempunyai sifat ototoksik dan menyempitkan

pembuluh darah sehingga mengurangi pasokandarah ke organ tubuh. Karbonmonoksida

akan membentuk karboksi-hemoglobin, yang akan mengurangi ketersediaan oksigen

tingkat sel. Pengaruh bahan-bahan kimia dalam rokok tersebut akan menimbulkan

kerusakan pada organ koklea. Data mengenai jumlah rokok yang diisap dan waktu sejak
mulai merokok tidak tersedia, sehingga data yang bisa diolah hanya ada kebiasaan

merokokatau tidak. Dalam penelitian ini faktor risiko merokok merupakan faktor risiko

yang kuat dan independent terhadap terjadinya gangguan pendengaran sensorineural. Hal

ini dibuktikan dengan penelitian oleh Nakanishi et all, menemukan ada hubungan yang

tinggi merokok dengan terjadinya gangguan pendengaran frekuensi tinggi pada pekerja

kantor (relatif kurang terpajan bising). Nakanishi et all. mengemukakan suatuin sufisiensi

sirkulasi darah pada organ koklea merupakan penyebab utama gangguan pendengaran

pada frekuensi tinggi. Sedangkan penelitian lain dengan metode penelitian potong

melintang dari Cruickshanks et all, menemukan adanya hubungan antara merokok

dengan gangguan pendengaran (berisiko 1,69 mendapatkan gangguan pendengaran pada

perokok).

Kadar Kolesterol Total

Kadar kolesterol total darah pada penelitian inidiambil titik potong yang bersifat

preventif pada 200mg%. Kadar kolesterol total jelas merupakan faktorrisiko terjadinya

timbulnya adanya gangguan pendengaran pada pekerja di daerah bising dan bahaya

kimia. Pada gambar grafik distribusi tingkat kolesterol darah, terlihat bahwa sebagian

besar ada di tingkat 200 – 250mg%.

BTX dan Kebisingan

Semua pekerja yang masuk sampel penelitian ini semua terpajan bahaya kimia. BTX

merupakan faktorrisiko yang bersifat additive terhadap faktor risiko bising terhadap

terjadinya gangguan pendengaran sensorineural.Tetapi faktor risiko BTX tidak dianalisis

pada penelitian ini. Demikian juga faktor risiko kebisingan yang merupakan faktor risiko

utama pada gangguan pendengaran sensorineural tidak dianalisis pada penelitian ini.
13. Patofisiologi dan klasifikasi gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai:

1. Tuli konduktif

Disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga eksterna, membran timpani, atau

telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 60dB karena dihantarkan

menuju koklea melalui tulang (hantaran melalui tulang) bila intensitasnya tinggi.

Penyebab tersering gangguan pendengaran jenis ini pada anak adalah otitis media dan

disfungsi tuba eustachius yang disebabkan oleh otitis media sekretori. Kedua kelainan

tersebut jarang menyebabkan kelainan gangguan pendengaran melebihi 40dB.

2. Tuli sensorineural

Disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf pendengaran dan batang otak

sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Bila kerusakan terbatas pada

sel rambut di koklea, maka sel ganglion dapat bertahan atau mengalami degenerasi

transneural. Bila sel ganglion rusak, maka nervus VIII akan mengalami degenerasi

Wallerian. Penyebabnya antara lain adalah: kelainan bawaan, genetik, penyakit/kelainan

pada saat anak dalam kandungan, proses kelahiran,infeksi virus, pemakaian obat yang

merusak koklea (kina, antibiotika seperti golongan makrolid), radang selaput otak, kadar

bilirubin yang tinggi. Penyebab utama gangguan pendengaran ini disebabkan genetik atau

infeksi, sedangkan penyebab yang lain lebih jarang.

3. Tuli campuran

Bila gangguan pendengaran atau tuli konduktif dan sensorineural terjadi bersamaan.

14. Interpretasi data?


15. Apakah sistem vestibuli mempengaruhi kerja indera?

Vestibuli meliputi organ-organ telinga dalam dan terkait organ visual dan pendengaran.

Apabila mengalami gangguan maka secara visual dan pendengaran akan terganggu.

16. Mekanisme pusing berputar saat bangun

Pusing berputar saat bangun disebabkan karen vertigo akibat gangguan pada sistem yang

menjaga keseimbangan tubuh. Pada kasus vertigo yang dialami adalah vertigo vestibular

tipe perifer yaitu Benign Proxymal postinal Vertigo (BPPV) yang kemungkinan

diakibatkan karena proses degeneratif sistem vestibular pada telinga tengah hal ini

diperkuat karena pada kasus di temukan tes DIX – Hallpike positif.

Otolith terlepas  menempel pada permukaan kupula  gerakan endolimfe pada salah

satu kanal semisirkularis terganggu (di pengaruhi gravitasi dan akselarasi)  vertigo

17. Hubungan pekerjaan pada pemicu terhadap gangguan keseimbangan dan

pendengaran?

Pada pemicu, pak amin bekerja sebagai operator mesin generator di menara pembangkit

listrik. Bising intensitas tinggi dapat merusak kokhlea telinga dalam sehingga

mengganggu pendengaran pekerja, sedang kerusakan yang ditimbulkan pada saraf

vestibuler di telinga dapat menyebabkan gangguan keseimbangan terhadap pekerja.

18. Mekanisme sistem keseimbangan

Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kesetabilan postur oleh

aktifitas motorik tidak dapat dipisahkan dari factor lingkungan dan system regulasi yang

berperan dalam pembentukan keseimbangan.


Tujuan dari tubuh mempertahankan keseimbangan adalah : menyanggah tubuh

melawan gravitas dan factor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar

seimbangan dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh agar seimbang dengan

bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak.

19. Terasa oleng saat menoleh ke kiri

Disebabkan karena terganggunya pada kanalis semisirkularis pada apparatus Vestibular.

Saat melakukan akselarasi dan deselarasi  cairan endolimfe kesulitan untuk

mensejajarkan dengan arah gerakan kepala sehingga terjadilah presepsi oleng 

membaik perlahan jika di bantu dengan berpegangan pada sesuatu guna meminimalisir

pergerakan yang terjadi  rasa oleng hilang.

21. Mengapa telinga berdenging pada kasus?

• Tinnitus merupakan keadaan dimana terdengar suara di telinga tanpa adanya stimulus

akustik

• Etiologi : infeksi telinga, cidera kepala, paparan bising

• Terjadi akibat hasil aktivitas abnormal di sistem saraf yang diterima sebagai sensasi

suara dalam pendengaran

22. Mekanisme telinga berdenging?

Saat suara masuk, tulang-tulang pendengaran bergetar. Suara lalu diteruskan ke koklea

(rumah siput), yang terletak di bagian tengah telinga. Pada koklea terdapat sel-sel rambut

yang berfungsi menangkap rangsangan atau frekuensi suara. Sel rambut juga berfungsi

mengubah energi akustik menjadi rangsang listrik untuk dapat diteruskan ke pusat

persepsi pendengaran di otak. Suara berfrekuensi lebih dari 80 desibel dapat membuat
sel-sel rambut mengalami kelelahan. Sel-sel rambut yang sering lelah lama-kelamaan

rusak. Kerusakan pada sel rambut menyebabkan terganggunya proses mendengar.

Akibatnya, terjadi berdenging.

23. Mengapa tidak nyaman saat menonton TV dan dikeramaian?

24. Jenis pusing dan mekanismenya?

PATOFISIOLOGI

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang

mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang

dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan

kejadian tersebut :

1) Teori rangsang berlebihan (overstimulation) Teori ini berdasarkan asumsi

bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga

fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

2) Teori konflik sensorik. Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan

sensorik yang berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum

dan proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal dari

sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di

sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nnistagmus (usaha koreksi bola mata),

ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar

(berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih

menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

3) Teori neural mismatch. Teori ini merupakan pengembangan teori konflik

sensorik, menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan
tertentu, sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan

pola 3 gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola

gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi

sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4) Teori otonomik. Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom

sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis

terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

5) Teori neurohumoral. Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin

(Kohl) dan teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan

neurotransmiter tertentu dalam pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan

timbulnya gejala vertigo.

6) Teori Sinap. Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai

peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses

adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan 4 stres yang akan

memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya

akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme

adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat

meneangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal

serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual,

muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf

parasimpatis.

25. Peran kanalis semisirkularis dan organ otolit : (Apparatus Vestibular )

- Peran Kanalis semisirkularis (Rotasi kepala)


Mendeteksi akselarasi atau deselarasi kepala rational atau angular, misalnya ketika kita

mulai (akselarasi) atau berhenti (deselarasi) berputar atau menengok. Tiap telinga

memiliki 3 kanalis semisirkuaris yaitu anterior, lateral dan posterior. Sel-sel rambut

reseptif masing-masing kanalis semisirkularis terletak di ampula dan terbenam di dalam

lapisan gelatinosa, kapula yang menonjol kedalam endolimfe. Kapula ini bergoyang

sesuai arah gerakan cairan. Contoh :

Akselarasi (arah kiri)  gerakan endolimfe berlawanan (Arah kanan)  rambut

melengkung karena bagian kupulanya mengikuti arah gerakan cairan endolimfe yang

berlawanan.  tetapi hanya sesaat karena cairan endolimfe akan bergerak menyusul

gerakan kepala (balik ke arah kiri). Ketika kepala berhenti / deselarasi  cairan

endolife sesaat masih berlanjut (ke arah kanan)  kupula dan sel rambut melengkung

ke arah sebaliknya sesaat dan kembali sejajar lagi dengan arah gerakan kepala.

- Peran otolit

Memberi informasi tentang posisi kepala relatif terhadap gravitasi dan juga mendeteksi

perubahan kecepatan gerakan lurus. Organ otolit terbagi 2 :

 Utrikulus (mendeteksi akselarasi dan deselarasi linear arah horizontal)

o Saat memiringkan kepala  depolarisasi atau hiperpolarisasi  SSP menerima

berbagai pola aktivitas saraf bergantung padap osisi kepala dalam kaitannya dengan

gravitasi

o Gerakan linear horizontal saat berlari contohnya (awalnya membaran otolit tertinggal

di belakang endolimfe dan sel rambut karena inersianya yang lebih besar namun akan

kembali sejajar jika kecepatan konstan, tetapi jika berhenti maka membarna otolit akan

maju dikit dan kembali lagi jadi posisi rambut normal)  akan terjadi akselerasi dan

depolarisasi juga.
 Sakulus (informasi)

o Saat bangun dari tidur, naik – turun tangga  sinyal-sinya dari barbagai komponen

aparatus vestibolar dibawa melalui nervus vestibulokoklearis ke nukleus vestibularis

informasi diintegrasikan dari permukaan kulit, mata, sendi ,dan otot untuk

memepertahankan keseimbangan meskipun kepala / tubuh bergerak.

26. Peranan organ lain?

Sistem Vestibular

Sistem vestibular berperan penting dalam keseimbangan, gerakan kepala,dan gerak bola

mata. Sistem vestibular meliputi organ-organ di dalam telinga bagian dalam. Berhubungan

dengan sistem visual dan pendengaran untuk merasakan arah dan kecepatan gerakan kepala.

Sebuah cairan yang disebutendolymph mengalir melalui tiga kanal telinga bagian dalam

sebagai reseptor saatkepala bergerak miring dan bergeser. Gangguan fungsi vestibular

dapatmenyebabkan vertigo atau gangguan keseimbangan. Alergi makanan, Dehidrasi,dan

trauma kepala / leher dapat menyebabkan disfungsi vestibular. Melaluirefleks vestibulo-

occular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihatobyek yang bergerak.

kemudian pesan diteruskan melalui saraf kranialis VIII kenukleus vestibular yang berlokasi

di batang otak (brain stem). Beberapa stimulus tidak menuju langsung ke nukleus vestibular

tetapi ke serebelum, formatio retikularis, thalamus dan korteks serebri.


Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, formasi (gabungan

reticular), dan cerebelum. Hasil dari nukleus vestibular menujuke motor neuron melalui

medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan

otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat

cepat sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-

ototpostural.

Sistem Visual

Sistem visual (penglihatan) yaitu mata mempunyai tugas penting bagi kehidupan manusia

yaitu memberi informasi kepada otak tentang posisi tubuh terhadap lingkungan berdasarkan

sudut dan jarak dengan obyek sekitarnya. Dengan input visual, maka tubuh manusia dapat

beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan sehingga system visual langsung

memberikan informasi ke otak, kemudian otak memerikan informasi agar system

musculoskeletal (otot &tulang) dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan

keseimbangan tubuh. Pada gambar dibawah ini kita dapat melihat system visualisasi pada

tubuh manusia.
Sistem Somatosensori (Tactile &Proprioceptive).

Sistem Somatosensori mempunyai beberapa neuron yang panjang dansaling berhubungan

satu sama lainnya yang mana Sistem Somatosensori memiliki tiga neuron yang panjang yaitu

: primer, sekunder dan tersier (Pertama, Kedua,dan Ketiga).

a. Primer Neuron (Pertama) memiliki badan sel pada dorsal root ganglion didalam saraf

spinal (area sensasi berada pada daerah kepala dan leher), dimana bagian ini akan menjadi

suatu terminal dari ganglia saraf trigeminal atau ganglia dari saraf sensorik kranial lainnya).

b. Second Neuron (kedua) dimana neuron ini berada di medulla spinalis danbrain stem dan

meiliki sel tubuh yang baik. Akson neuron ini naik ke sisiberlawan di medulla spinalis dan

brain stem, (Akson dari banyak neuronberhenti pada bagian thalamus (Ventral Posterior

nucleus, VPN), dan yang lainnya pada system retikuler dan cerebellum.

c. Third neuron (ketiga) Dalam hal sentuhan dan rangsangan nyeri, neuron ketiga memiliki

tubuh sel dalam VPN dari thalamus dan berakhir di gyruspostcentralis dari lobus parietal.
Sistem somatosensori tersebar melalui semua bagian utama tubuh mamalia (dan vertebrata

lainnya). Terdiri dari reseptor sensori dan motorik (aferen) neurondi pinggiran (kulit, otot dan

organ-organ misalnya), ke neuron yang lebih dalamdari sistem saraf pusat.

Sistem somatosensori adalah sistem sensorik yang beragam yang terdiridari reseptor dan

pusat pengolahan untuk menghasilkan modalitas sensorik sepertisentuhan, temperatur,

proprioception (posisi tubuh), dan nociception (nyeri). Reseptor sensorik menutupi kulit dan

epitel, otot rangka, tulang dan sendi, organ,dan sistem kardiovaskular. Informasi propriosepsi

disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input)

proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui

lemniskus medialis dan talamus.

Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagianbergantung pada impuls

yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alatindra tersebut adalah ujung-ujung

saraf yang beradaptasi lambat di sinovia danligamentum. Impuls dari alat indra ini dari

reseptor raba di kulit dan jaringan lain,serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan

posisi tubuh dalam ruang.

27. Nistagmus dan vestibulookuli?

Nistagmus merupakan reaksi dari reflex terhadap vestibuler ocular aksi tertentu. Nistagmus

dapat bersifat fisiologis dan patologis dan manifestasi secara spontan atau dengan bantuan

alat. nistagmus merupakan parameter akurat untuk menetukan aktifitas system vestibuler
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi: 6. Jakarta : EGC 2011.

2. Snell Richard. Anatomi Klinis berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC. 2013.

3. Eroschenko Victor. Atlas Histologi diFiore. Jakarta: EGC. 2012.

4. Mescher, Anthony L. Histologi Dasar Junqueira. Edisi 12. Jakarta: EGC, 2012.

5. www.kalbemed.com/Portals/6/06_198Vertigo.pdf

6. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/04/penatalaksanaan_vertigo.pdf

7. W. Sudoyo, Aru, Setiyohadi, Bambang dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.

Jilid III. Jakarta : Interna Publishing. 2009.

8. H. Sidarta Ilyas, Sri Rahayu. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2012.

Anda mungkin juga menyukai